Surah al-Ghasyiyah 88 ~ Tafsir Sayyid Quthb (3/3)

Dari Buku:
Tafsīr fi Zhilāl-il-Qur’ān
Oleh: Sayyid Quthb
 
Penerbit: Gema Insani

Rangkaian Pos: Surah al-Ghasyiyah 88 ~ Tafsir Sayyid Quthb

“…. Dan langit, bagaimana ia ditinggikan?….”

Mengarahkan hati untuk memperhatikan langit ini terjadi berulang-ulang di dalam al-Qur’ān. Orang yang lebih utama mengarahkkan perhatiannya ke langit ialah para penghuni padang sahara. Sehingga, mereka dapat merasakan, mendapatkan kesan dan isyārat-isyārat, seakan-akan langit itu hanya ada di atas padang saja.

Langit dengan siangnya yang terang-benderang; langit dengan dasarnya yang mengagumkan dan mengherankan; langit dengan maghribnya yang indah, unik, dan mengesankan; langit dengan malamnya yang mengembang, bintang-gemintangnya yang berkelip-kelip dan peristiwa-peristiwanya yang tenang; dan langit dengan paginya yang indah, hidup, dan penuh semangat.

Itulah langit di padang yang luas membentang. Apakah mereka tidak memperhatikan kepadanya? Apakah mereka tidak memperhatikan bagaimana ia ditinggikan? Siapakah gerangan yang meninggikannya tanpa tiang? Siapakah gerangan yang menebarkan bintang-bintang yang tak terhitung jumlahnya? Siapakah gerangan yang menciptakan keindahan padanya yang mengesankan? Mereka tidak pernah meninggikannya, dan langit itu pun tidak meninggikan dirinya sendiri. Karena itu, sudah tentu ada yang meninggikan dan menciptakannya. Untuk mengetahui hal ini, tidak perlu kepada ‘ilmu pengetahuan yang tinggi dan tidak perlu usaha-usaha yang berat, bahkan memperhatikannya dengan merenungkannya saja sudah cukup.

“…..Dan gunung-gunung, bagaimana ia ditegakkan?.….”

Gunung-gunung bagi bangsa ‘Arab merupakan tempat berlindung, teman, dan sahabat. Pemandangannya mengisyaratkan kebesaran dan keagungan di dalam hati manusia secara umum. Karena, dengan berada di sisinya, manusia tampak kecil dan kerdil, tunduk merendah kepada keagungan yang tinggi dan teguh. Jiwa manusia di puncak gunung lebih tertuju perhatiannya kepada Allah. Ia merasakan bahwa ia lebih dekat kepada-Nya, dan jauh dari hiruk-pikuk bumi dan segala sesuatunya yang remeh dan kecil. Tidaklah sia-sia dan tidak kontroversial jika Nabi Muḥammad s.a.w. ber-taḥannuts di Gua Ḥirā’ di Jabal Nūr. Pasalnya, orang-orang yang hendak berdialog dengan dirinya pada suatu waktu mengarahkan pandangannya ke gunung.

Dan gunung-gunung ini: “bagaimana ia ditegakkan?

Perhatian mengenai hal ini serasi benar dengan sifat pemandangan tersebut.

Dan bumi, bagaimana ia dihamparkan?

Bumi terhampar di depan mata dan digelar untuk kehidupan, berjalan, dan berakitivitas. Sedangkan, manusia tidak pernah menghamparkan dan menggelar bumi itu. Ia sudah dihamparkan sejak sebelum adanya manusia itu sendiri. Nah, apakah mereka tidak memperhatikan kepadanya dan memikirkan apa yang ada di balik itu seraya bertanya: “Siapakah gerangan yang menghamparkan dan membentangkanya sedemikian rupa bagi kehidupan?”

Sungguh pemandangan-pemandangan ini dapat menimbulkan kesan tertentu di dalam hati manusia, hanya semata-mata dengan memperhatikan dan merenungkannya. Hal ini pun sudah cukup untuk membangkitkan perasaan dan menghidupkan hati, juga menggerakkan ruh untuk menyadari adanya Yang Maha Pencipta yang menciptakan semua makhlūq ini.

Kalau kita mau berhenti sebentar di depan keindahan dan keteraturan pemandangan alam ini, niscaya kita akan melihat bagaimana al-Qur’ān berbicara terhadap rasa keagamaan manusia dengan menggunakan bahasa keindahan yang artistik. Juga bagaimana keduanya bertemu dalam perasaan seorang mu’min yang merasakan keindahan semesta.

Pemandangan umum yang meliputi pemandangan langit yang tinggi dan bumi yang terhampar, dalam jangkauan yang amat jauh dengan gunung-gunung yang menonjol dan “ditegakkan” urat-uratnya hingga tidak sirna dan terlempar, dan unta-unta yang menonjol punuknya, adalah dua garis yang serasi dan dua garis pokok yang terdapat dalam pemandangan yang besar dan hamparan yang luas membentang. Akan tetapi, ia juga merupakan isyārat yang indah jangkauan dan arahnya. Semuanya dipaparkan oleh al-Qur’ān dengan metodenya sendiri di dalam membeberkan pemandangan, dan di dalam ungkapan-ungkapannya dalam melukiskan dengan cara yang ringkas. (91).

Batas Kewajiban dan Sifat Tugas Rasūl.

Setelah melakukan perjalanan pertama ke alam akhirat, dan perjalanan kedua kepada pemandangan-pemandangan alam yang membentang, maka al-Qur’ān kembali lagi kepada Rasūlullāh s.a.w. dengan mengarahkan perhatiannya kepada batas-batas kewajibannya dan sifat-sifat tugasnya. Kemudian disentuhnya hati manusia dengan sentuhan akhir yang menggugah perasaan:

فَذَكِّرْ إِنَّمَا أَنْتَ مُذَكِّرٌ. لَّسْتَ عَلَيْهِمْ بِمُصَيْطِرٍ. إِلَّا مَنْ تَوَلَّى وَ كَفَرَ. فَيُعَذِّبُهُ اللهُ الْعَذَابَ الْأَكْبَرَ. إِنَّ إِلَيْنَا إِيَابَهُمْ. ثُمَّ إِنَّ عَلَيْنَا حِسَابَهُمْ

Maka berilah peringatan, karena sesungguhnya kamu hanyalah orang yang memberi peringatan. Kamu bukanlah orang yang berkuasa atas mereka. Tetapi, orang yang berpaling dan kafir, maka Allah akan meng‘adzābnya dengan ‘adzāb yang besar. Sesungguhnya kepada Kami-lah kembali mereka. Kemudian sesungguhnya kewajiban Kami-lah menghisab mereka.” (al-Ghāsyiyah: 21-26).

Berilah peringatan dengan ini dan itu! Ingatkanlah mereka dengan akhirat dan segala rangkaian peristiwanya. Ingatkanlah mereka dengan alam semesta beserta segala isi dan kandaungannya. Sesungguhnya engkau hanya seorang pemberi peringatan. Inilah batas-batas tugasmu. Inilah tugasmu dalam dakwah ini. Engkau tidak berhak dan tidak berkewajiban melakukan sesuatu pun di belakang itu. Tugasmu hanya memberi peringatan. Engkau akan dimudahkan untuk ini dan ditugasi melaksanakannya.

“….Kamu bukanlah orang yang berkuasa atas mereka….”

Engkau tidak berkuasa sedikit pun terhadap hati mereka. Sehingga, engkau tidak boleh menekan dan memaksanya untuk beriman, Karena hati itu berada di antara jari-jemari Allah ar-Raḥmān, tidak seorang manusia pun yang berkuasa atasnya.

Adapun jihad yang diwajibkan sesudah itu bukanlah untuk memaksa manusia supaya beriman. Namun, jihad hanya untuk menghilangkan dan menyingkirkan hambatan-hambatan jalan dakwah agar dapat sampai kepada manusia. Sehingga, mereka tidak terhalang untuk mendengarnya, dan tidak terfitnah dari agama mereka setelah mendengarnya. Jihad hanyalah untuk menghilangkan rintangan-rintangan dari jalan tadzkīr “pemberian peringatan” yang merupakan tugas satu-satuya yang dimiliki Rasūlullāh s.a.w.

Isyārat yang menunjukkan bahwa tugas dakwah Rasūlullāh hanya memberi peringatan dan menyampaikan risālah ini, disebutkan secara berulang-ulang di dalam al-Qur’ān karena sebab-sebab yang berbeda-beda. Pertama, untuk meredakan ketegangan Rasūlullāh dari kesedihan memikirkan dakwah setelah menyampaikannya. Lalu, menyerahkan urusan dakwah itu kepada ketentuan Allah yang akan memperlakukannya sesuai dengan kehendak-Nya.

Dengan demikian, antusiasme yang besar untuk keberhasilan dakwah dan agar manusia mendapatkan kebaikan ini, sudah tentu akan terjadi secara berulang-ulang. Sehingga, akan dapat yang mengeluarkan si juru dakwah dari koridor dakwah. Perasaan ini harus diredakan supaya ia dapat menjalankan tugasnya sebagaimana mestinya dengan hasil apa pun. Karena itu, ia tidak boleh menyusahkan diri memikirkan orang yang mau beriman dan yang tidak mau beriman. Janganlah ia sibuk dengan kesusahan yang berat ini ketika dakwahnya menghadapi kondisi yang buruk, tidak disambut dengan baik, dan banyak orang yang berpaling dan menentangnya.

Di antara indikasi yang menunjukkan antusiasme yang besar untuk keberhasilan dakwah ke jalan Allah ini dan supaya manusia merasakan kebaikan dan rahmat padanya, ialah adanya pengarahan yang berulang-ulang kepada Rasūlullāh s.a.w. Ini adalah pendidikan dari Allah dan pemberitahuan kepada beliau tentang batas-batas tugasnya dan tentang qadar Allah. Karena itu, antusiasme yang menggebu-gebu ini perlu diobati dengan pengobatan yang lama dan berulang-ulang dalam berbagai macam keadaan.

Akan tetapi, apabila ini batas tugas Rasūlullāh, maka persoalan tidak berhenti pada batas ini saja. Namun, tidak berarti lantas orang-orang yang mendustakan dan berpaling dari ajaran Islam itu menjadi selamat. Karena, di sana ada Allah yang kepada-Nyalah kembalinya segala urusan:

Tetapi, orang yang berpaling dan kafir, maka Allah akan meng‘adzābnya dengan adzāb yang besar.” (al-Ghāsyiyah: 23-24).

Pasti mereka akan kembali kepada Allah, dan sudah tentu Allah akan memberinya balasan. Inilah kesan terakhir dalam surah ini yang disebutkan dengan kalimat yang pasti dan tegas.

Sesungguhnya kepada Kami-lah kembali mereka. Kemudian sesungguhnya kewajiban Kami-lah menghisab mereka.” (al-Ghāsyiyah: 25-26).

Dengan demikian, terbataslah tugas Rasūlullāh dalam dakwah ini, dan tugas setiap juru dakwah sesudah beliau. Sesungguhnya engkau hanya seorang pemberi peringatan, sedang hisab mereka sesudah itu menjadi urusaan Allah. Mereka tidak bisa lari dan kembali kepada Allah. Juga tidak bisa lepas dari hisab dan pembalasan-Nya.

Hanya saja perlu dimengerti bahwa termasuk memberi peringatan ialah menghilangkan rintangan-rintangan dari jalan dakwah agar sampai kepada manusia. Dengan demikian, pemberian peringatan itu bisa sempurna. Maka, inilah fungsi jihad, sebagaimana dipahami dari al-Qur’ān dan dari perjalanan hidup Rasūlullāh, tanpa mengurangi dan tidak melebihkan.

Catatan:

  1. 9). “At-Tanāsuq-ul-Fanniy” di dalam kitab At-Tashwīr-ul-Fanniy fī-l-Qur’ān, terbitan Dār-usy-Syurūq.

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *