Surah al-Ghasyiyah 88 ~ Tafsir Sayyid Quthb (2/3)

Dari Buku:
Tafsīr fi Zhilāl-il-Qur’ān
Oleh: Sayyid Quthb
 
Penerbit: Gema Insani

Rangkaian Pos: Surah al-Ghasyiyah 88 ~ Tafsir Sayyid Quthb

Di sisi lain:

وُجُوْهٌ يَوْمَئِذٍ نَّاعِمَةٌ. لِسَعْيِهَا رَاضِيَةٌ. فِيْ جَنَّةٍ عَالِيَةٍ. لَا تَسْمَعُ فِيْهَا لَاغِيَةً. فِيْهَا عَيْنٌ جَارِيَةٌ. فِيْهَا سُرُرٌ مَّرْفُوْعَةٌ. وَ أَكْوَابٌ مَّوْضُوْعَةٌ. وَ نَمَارِقُ مَصْفُوْفَةٌ. وَ زَرَابِيُّ مَبْثُوْثَةٌ.

Banyak muka pada hari itu berseri-seri, merasa senang karena usahanya, dalam surga yang tinggi. Tidak kamu dengar di dalamnya perkataan yang tidak berguna. Di dalamnya ada mata air yang mengalir. Di dalamnya ada takhta-takhta yang ditinggikan, gelas-gelas yang terletak (di dekatnya), bantal-bantal sandaran yang tersusun, dan permadani-permadani yang terhampar.” (al-Ghāsyiyah: 8-16).

Di sini tampak wajah-wajah yang berseri-seri dan memancarkan sinar kegembiraan. Wajah-wajah yang meni‘mati apa yang didapati, dan terpuji pula ‘amalan-‘amalan yang dahulu telah dikerjakannya. Mereka memperoleh akibatnya yang baik, dan bersenang-senang dengan kesenangan ruhani yang tinggi. Perasaan ridhā terhadap ‘amalan-‘amalan yang telah dikerjakannya ketika mereka mengetahui Allah meridhāinya.

Tidak ada yang lebih menyenangkan hati selain dari merasa tenang dan tenteram terhadap kebaikan yang menghasilkan akibat yang menyenangkan, kemudian dilihatnya dalam keridhāan Allah Yang Maha Mulia, dan dalam keni‘matan. Karena itulah, Allah mendahulukan penyebutan kebahagiaan ruhani ini sebelum menyebutkan kesenangan-kesenangan dan keni‘matan lain di surga. Kemudian diterangkannya sifat-sifat surga dengan segala keni‘matan yang diberikan kepada orang-orang yang berbahagia itu:

“…..dalam surga yang tinggi…..”

Tinggi dzātnya, luhur dan mulia derajatnya. Tinggi tingkatannya, dan tinggi posisinya. Ketinggian itu memiliki kesan tersendiri di dalam hati.

“……Tidak kamu dengar di dalamnya perkataan yang tidak berguna…..”

Kalimat ini dikemukakan secara mutlak, yang menggambarkan suasana ketenangan, kedamaian, ketenteraman, kasih-sayang, keridhaan, ucapan-ucapan dan percakapan-percakapan santai antara orang-orang yang saling mencintai dan saling menyayangi, tanpa perkataan-perkataan yang tidak berguna, yang tidak mengandung kebaikan, dan tidak mengandung keselamatan. Suasana seperti ini saja sudah merupakan suatu keni‘matan, dan hal ini sudah merupakan kebahagiaan. Kebahagiaan yang tampak jelas ketika hati merasakan kehidupan dunia ini tanpa segala perkataan yang tiada berguna, pertengkaran dan persengketaan, caci-maki dan pertentangan, serta kegaduhan dan keributan.

Kemudian hatinya damai membayangkan suasana kehidupan surgawi yang teduh dan aman, damai dan tenang, penuh cinta dan keridhāan, dan dalam naungan yang sejuk menyenangkan, yang diungkapkan dalam kalimat yang mengesankan: “Tidak kamu dengar di dalamnya perkataan yang tidak berguna.” Kalimat yang diucapkan dengan lafal-lafalnya yang menyenangkan hati, teduh, indah, dan mudah, dengan nuansa musik yang enak dan santai.

Sentuhan ini juga mengesankan bahwa kehidupan orang-orang mu’min di bumi dengan menjauhkan diri dari pertengkaran dan perkataan yang tidak berguna, merupakan sebuah nuansa dari kehidupan surgawi. Sehingga, mereka merasakan ni‘mat yang mulia itu.

Demikianlah Allah mengemukakan sebagian dari sifat surga dalam ma‘na yang tinggi, mulia, dan cemerlang. Setelah itu disebutkanlah keni‘matan-keni‘matan yang menyenangkan perasaan dan indra. Disebutkan dalam gambaran yang dapat dibayangkan oleh manusia. Gambaran yang di surga nanti akan dibentuk sesuai dengan tingkat kejiwaan ahli surga, yang tidak diketahui kecuali oleh orang yang merasakannya.

“….. Di dalamnya ada mata air yang mengalir……”

Mata air yang mengalir”, sumber yang memancar. Pemandangan yang indah, keindahan gerakan dan pancaran serta mengalirnya air itu. Air yang mengalir itu bagaikan menyambut perasaan yang bersangkutan terhadap kehidupan dan terhadap ruh yang memancar dan mengalir. Pemandangan ini menyenangkan kalau dipandang, dan pada sisi lain menyenangkan jiwa yang meresapinya dengan mendalam.

Di dalamnya ada takhta-takhta yang ditinggikan.” Ketinggian ini mengesankan adanya kebersihan dan kesucian. “….. Gelas-gelas yang terletak (di dekatnya)”, tersusun dan tersedia, siap digunakan untuk minum tanpa mencarinya dan tanpa mengambilkannya lagi. “…..Bantal-bantal yang tersusun.….” dan tempat-tempat sandaran yang empuk untuk bersandar dan bersantai ria. “…. Dan, permadani-permadani yang terhampar”, dengan beludrunya seperti sajadah, yang berhampar di sana-sini untuk hiasan dan untuk istirahat.

Semua ini adalah keni‘matan-keni‘matan seperti yang dapat disaksikan manusia di dunia. Disebutkannya semua ini untuk mendekatkannya kepada apa yang dapat dicapai penghuni bumi. Sedangkan, sifat dan tabiatnya yang sebenarnya sudah tentu disesuaikan dengan perasaan mereka di surga nanti. Yaitu, bagi orang-orang berbahagia yang oleh Allah akan diberikan kesenangan untuk merasakannya nanti.

Adalah suatu perbuatan yang sia-sia apabila kita membicarakan dengan detail tentang hakikat tabiat keni‘matan atau tabiat ‘adzāb akhirat nanti. Karena pengetahuan manusia terhadap semua itu bergantung pada jenis pengetahuan dan kemampuannya. Sedangkan, penduduk dunia hanya mengetahui sesuatu dengan pengetahuan yang terikat oleh kondisi-kondisi bumi dan tabiat kehidupan di dalamnya. Karena di akhirat nanti, hijab akan diangkat, penghalang-penghalang dihilangkan, ruh dilepaskan, dan petunjuk-petunjuk lafal berubah sesuai dengan hukum perubahan yang terjadi di sana. Sehingga, terjadilah apa yang terjadi, sedang kita sekarang tidak mengetahui bagaimana yang akan terjadi nanti.

Penyebutan sifat-sifat ini hanya bermanfaat agar kita membayangkan semaksimal mungkin menurut bayangan kita tentang kelezatan-kelezatan dan keni‘matan-keni‘matan serta kesenangan-kesenangan yang ada di sana. Di sini kita hanya dapat merasakan dan membayangkan. Kita akan mengetahui hakikat yang sebenarnya di sana nanti, ketika Allah memuliakan kita dengan karunia dan keridhāan-Nya.

Merenungkan Fenomena Alam Semesta.

Selesailah pengembaraan di dunia lain, kemudian kembali kepada dunia nyata yang ada di hadapan mata. Dunia yang mengisyāratkan kekuasaan Yang Maha Kuasa dan adanya pengaturan Yang Maha Pengatur, keunikan ciptaan-Nya dan keunikan tabiatnya. Juga yang menunjukkan bahwa di balik pengaturan dan penataan itu terdapat urusan sesudah kehidupan dunia, terdapat persoalan yang bukan persoalan bumi, dan terdapat kesudahan yang bukan kematian.

أَفَلَا يَنْظُرُوْنَ إِلَى الْإِبِلِ كَيْفَ خُلِقَتْ. وَ إِلَى السَّمَاءِ كَيْفَ رُفِعَتْ. وَ إِلَى الْجِبَالِ كَيْفَ نُصِبَتْ. وَ إِلَى الْأَرْضِ كَيْفَ سُطِحَتْ.

Maka, apakah mereka tidak memperhatikan unta bagaimana dia diciptakan? Dan langit, bagaimana ia ditinggikan? Dan gunung-gunung bagaimana ia ditegakkan? Dan bumi bagaimana ia dihamparkan?” (al-Ghāsyiyah: 17-20).

Empat ayat yang pendek ini merangkum sisi-sisi lingkungan bangsa ‘Arab yang dibicarai al-Qur’ān pertama kali, sebagaimana ia juga merangkum sisi-sisi makhlūq yang menonjol di alam semesta. Yaitu, ketika ia membicarakan langit, bumi, gunung-gunung, dan unta (sebagai salah satu contoh yang mewakili semua binatang) karena kekhasan unta dalam penciptaannya pada umumnya, dan nilainya bagi bangsa ‘Arab secara khusus.

Pemandangan-pemandangan ini dihamparkan untuk dipandangi manusia di manapun mereka berada. Di manapun manusia mengkaji ‘ilmu pengetahuan dan kebudayaan, maka pemandangan-pemandangan ini tentu masuk di dalam dunianya dan objek pengetahuannya. Pemandangan-pemandangan ini yang mengisyāratkan kepadanya tentang apa yang ada di belakangnya. Ya‘ni, ketika mereka mengarahkan pandangan dan hatinya kepada petunjuk-petunjuk yang dikandungnya.

Kemu‘jizatan tersimpan di dalamnya, dan penciptaan Yang Maha Pencipta terhadapnya sangat jelas tiada bandingnya. Hal ini saja kiranya sudah cukup mengisyāratkan hakikat ‘aqīdah yang pertama dan utama. Oleh karena itulah, al-Qur’ān mengarahkan perhatian semua manusia kepadanya:

Apakah mereka tidak memperhatikan unta bagaimana ia diciptakan?…..”

Unta adalah binatang yang utama bagi bangsa ‘Arab. Mereka biasa bepergian dengan menaikinya dan membawa muatan di atasnya. Darinya mereka biasa minum dan makan, dari bulu dan kulitnya mereka buat pakaian dan tenda-tenda. Maka, unta adalah sumber penghidupan yang pertama bagi mereka (waktu itu).

Kemudian, unta juga memiliki kekhasan-kekhasan tersendiri dibandingkan dengan binatang-binatang lainnya. Ia dengan kekuatannya yang besar dan tubuhnya yang besar dan jangkung, tetap tunduk dan penurut dituntun dan dikendalikan oleh anak kecil sekalipun. Ia yang besar manfaat dan pelayanannya terhadap manusia, tetapi tidak repot pemeliharaannya. Ia mudah digembalakan. Makanannya hanya dengan bahan-bahan makanan yang mudah diperoleh. Ia adalah binatang yang paling sabar dan tabah menghadapi lapar, haus, kerja berat, dan kondisi-kondisi yang jelek. Kemudian, bentuknya juga memiliki keistimewaan di dalam kerapian pemandangan alam yang terbentang,

Karena itu, al-Qur’ān mengarahkan perhatian orang-orang yang dibicarakannya untuk merenungkan penciptaan unta, yang ada di depan mereka. Unta yang tidak perlu didatangkannya dari negeri yang jauh dan tidak memerlukan pengetahuan baru untuk mengetahuinya.

Apakah mereka tidak memperhatikan unta bagaimana ia diciptakan?” Apakah mereka tidak merenungkan penciptaan dan kejadiannya? Kemudian apakah mereka tidak merenungkan bagaimana ia diciptakan dengan kondisi yang sangat cocok dengan tugas-tugas dan fungsinya? Yang melakukan aktivitas-aktivitas sesuai dengan tujuan penciptaannya? Yang cocok dengan lingkungan di mana ia berada dan sesuai dengan tugasnya itu?

Sesungguhnya mereka tidak menciptakan unta-unta itu, dan unta-unta itu pun tidak menciptakan dirinya sendiri. Karena itu, tidak ada lain kecuali pasti ada yang menciptakannya. Keberadaan unta itu menunjukkan hal itu, dan memastikan keberadaan Yang Maha Pencipta, yang sekaligus yang merencanakan dan mengaturnya.

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *