Al-Ḥāfizh Abū Ya‘lā mengatakan, telah menceritakan kepada kami Isḥāq, telah menceritakan kepada kami ‘Abdullāh ibnu Ja‘far, telah menceritakan kepadaku ‘Abdullāh ibnu Dīnār, dari Ibnu ‘Umar yang telah menceritakan bahwa Rasūlullāh s.a.w. sering menceritakan tentang seorang wanita yang hidup di masa Jahiliah yang berada di atas sebuah bukit bersama anak laki-lakinya sedang mengembalakan ternak kambing.
Maka anaknya bertanya: “Hai Ibu, siapakah yang telah menciptakan engkau?” Ibunya menjawab: “Allah”. Ia bertanya: “Siapakah yang menciptakan ayahku?” Si ibu menjawab: “Allah”. Ia bertanya: “Siapakah yang menciptakan diriku?” Si ibu menjawab: “Allah.”
Si anak bertanya: “Siapakah yang menciptakan langit?” Si ibu menjawab: “Allah”. Si anak bertanya: “Siapakah yang menciptakan bumi?” Si ibu menjawab: “Allah”. Ia bertanya: “Siapakah yang menciptakan gunung?” Si ibu menjawab: “Allah” Ia bertanya: “Siapakah yang menciptakan kambing itu?” Si ibu menjawab: “Allah.” Maka si anak berkata: “Sesungguhnya aku benar-benar mendengar Allah mempunyai kedudukan yang penting di atas segalanya,” lalu ia menjatuhkan dirinya dari atas gunung itu sehingga tubuhnya hancur.
Ibnu ‘Umar mengatakan: “Rasūlullāh s.a.w. sering menceritakan kisah ini kepada kami.” Ibnu Dīnār mengatakan bahwa ‘Abdullāh ibnu ‘Umar sering menceritakan kisah ini kepada kami. Tetapi di dalam sanad hadis ini terdapat kelemahan. ‘Abdullāh ibnu Ja‘far yang disebutkan dalam sanad hadis ini adalah al-Madīnī, seorang yang dinilai lemah oleh putranya sendiri (yaitu Imām ‘Alī ibn-ul-Madīnī) dan juga oleh yang lainnya.
Firman Allah s.w.t.:
فَذَكِّرْ إِنَّمَا أَنْتَ مُذَكِّرٌ. لَّسْتَ عَلَيْهِمْ بِمُصَيْطِرٍ.
Maka berilah peringatan, karena sesungguhnya kamu hanyalah orang yang memberi peringatan. Kamu bukanlah orang yang berkuasa atas mereka (Al-Ghāsyiyah, ayat 21-22)
Hai Muḥammad, berilah manusia peringatan dengan apa yang engkau diutus kepada mereka untuk menyampaikannya. Dalam ayat lain disebutkan:
فَإِنَّمَا عَلَيْكَ الْبَلَاغُ وَ عَلَيْنَا الْحِسَابُ.
Sesungguhnya tugasmu hanya menyampaikan saja, sedangkan Kamilah yang menghisab amalan mereka. (ar-Ra‘d: 40).
Karena itulah maka disebutkan dalam surat ini oleh firman-Nya:
لَّسْتَ عَلَيْهِمْ بِمُصَيْطِرٍ.
Kamu bukanlah orang yang berkuasa atas mereka (Al-Ghāsyiyah, ayat 22)
Ibnu ‘Abbās dan Mujāhid serta selain keduanya mengatakan bahwa makna ayat ini sama dengan apa yang disebutkan oleh firman-Nya dalam ayat yang lain, yaitu:
وَ مَا أَنْتَ عَلَيْهِمْ بِجَبَّارٍ
Dan kamu sekali-kali bukanlah seorang pemaksa terhadap mereka. (Qāf: 45).
Yakni kamu bukanlah orang yang dapat menciptakan iman di dalam hati mereka. Ibnu Zaid mengatakan bahwa makna ayat ialah kamu bukanlah seorang yang dapat memaksakan mereka untuk beriman.
Imām Aḥmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Wakī‘, dari Sufyān, dari Abuz-Zubair, dari Jābir yang mengatakan bahwa Rasūlullāh s.a.w. pernah bersabda:
أُمِرْتُ أَنْ أُقَاتِلَ النَّاسَ حَتَّى يَقُوْلُوْا: لَا إِلهَ إِلَّا اللهُ فَإِذَا قَالُوْهَا عَصَمُوْا مِنِّيْ دِمَاءَهُمْ وَ أَمْوَالُهُمْ إِلَّا بِحَقِّهَا وَ حِسَابُهُمْ عَلَى اللهِ عَزَّ وَ جَلَّ.
Aku diperintahkan untuk memerangi manusia hingga mereka mau mengucapkan: “Tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Allah.” Maka apabila mereka mau mengucapkannya, berarti mereka memelihara darah dan hartanya dariku, kecuali berdasarkan alasan yang hak, sedangkan hisab (perhitungan) mereka ada pada Allah s.w.t.
Kemudian Rasūlullāh s.a.w. membaca firman-Nya:
فَذَكِّرْ إِنَّمَا أَنْتَ مُذَكِّرٌ. لَّسْتَ عَلَيْهِمْ بِمُصَيْطِرٍ.
Maka berilah peringatan, karena sesungguhnya kamu hanyalah orang yang memberi peringatan. Kamu bukanlah orang yang berkuasa atas mereka (Al-Ghāsyiyah, ayat 21-22)
Hal yang sama telah diriwayatkan oleh Imām Muslim di dalam Kitāb-ul-Īmān dan Imām Tirmidzī serta Imām Nasā’ī di dalam kitab tafsir dari kitab Sunan masing-masing dari keduanya, melalui Sufyān ibnu Sa‘īd ats-Tsaurī dengan sanad yang sama dan dengan tambahan penyebutan ayat. Dan hadis ini diketengahkan di dalam kitab Shaḥīḥain melalui riwayat Abū Hurairah tanpa tambahan penyebutan ayat.
Firman Allah s.w.t.:
إِلَّا مَنْ تَوَلَّى وَ كَفَرَ.
tetapi orang yang berpaling dan kafir (Al-Ghāsyiyah, ayat 23)
Yaitu berpaling, tidak mau mengamalkan rukun-rukunnya; kafir hatinya dan juga lisannya terhadap perkara yang hak. Ayat ini semakna dengan apa yang disebutkan dalam ayat lain melalui firman-Nya:
فَلَا صَدَّقَ وَ لَا صَلَّى، وَ لَكِنْ كَذَّبَ وَ تَوَلَّى.
Dia tidak mau membenarkan (Rasul dan al-Qur’ān) dan tidak mau mengerjakan shalat, tetapi ia mendustakan (Rasul) dan berpaling (dari kebenaran). (al-Qiyāmah: 31-32).
Karena itulah maka disebutkan oleh firman-Nya:
فَيُعَذِّبُهُ اللهُ الْعَذَابَ الْأَكْبَرَ.
maka Allah akan mengadzabnya dengan adzab yang besar (Al-Ghāsyiyah, ayat 24)
Imām Aḥmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Qutaibah, telah menceritakan kepada kami Laits, dari Sa‘īd ibnu Abī Hilāl, dari ‘Alī ibnu Khālid, bahwa Abū Umāmah al-Bāhilī bersua dengan Khālid ibnu Yazīd ibnu Mu‘āwiyah; maka Khālid bertanya kepadanya tentang kalimat yang paling lembut yang pernah ia dengar dari Rasūlullāh s.a.w. bersabda:
أَلَا كُلُّكُمْ يَدْخُلُ الْجَنَّةَ إِلَّا مَنْ شَرَدَ عَلَى اللهِ شِرَادَ الْبَعِيْرِ عَلَى أَهْلِهِ.
Ingatlah, kamu semuanya masuk surga kecuali orang yang membangkang terhadap Allah, seperti unta yang membangkang terhadap pemiliknya.
Imām Aḥmad mengetengahkan hadis ini secara tunggal. Dan ‘Alī ibnu Khālid (yakni Khālid ibnu Mu‘āwiyah). Dan Ibnu Abī Ḥātim tidak menambahkan selain dari apa yang telah ada di sini, yaitu diriwayatkan dari Abū Umāmah dan Khālid ibnu Mu‘āwiyah oleh Sa‘īd ibnu Abū Hilāl.
Firman Allah s.w.t.:
إِنَّ إِلَيْنَا إِيَابَهُمْ.
Sesungguhnya kepada Kami-lah kembali mereka (Al-Ghāsyiyah, ayat 25)
Yakni kembali dan berpulangnya mereka.
ثُمَّ إِنَّ عَلَيْنَا حِسَابَهُمْ
kemudian sesungguhnya kewajiban Kami-lah menghisab mereka (Al-Ghāsyiyah, ayat 26)
Kami akan melakukan perhitungan terhadap amal perbuatan yang telah mereka kerjakan, dan Kami akan membalaskannya kepada mereka; jika amalnya baik, maka balasannya baik; dan jika amalnya buruk, maka balasannya buruk pula.
Demikianlah akhir tafsir sūrat-ul-Ghāsyiyah dengan memanjatkan puji dan syukur kepada Allah atas segala karunia-Nya.