Surah al-Ghasyiyah 88 ~ Tafsir Ibni Katsir (2/3)

Dari Buku:
Tafsir Ibnu Katsir, Juz 30
(An-Nabā’ s.d. An-Nās)
Oleh: Al-Imam Abu Fida’ Isma‘il Ibnu Katsir ad-Dimasyqi

Penerjemah: Bahrun Abu Bakar L.C.
Penerbit: Sinar Baru Algensindo Bandung

Rangkaian Pos: Surah al-Ghasyiyah 88 ~ Tafsir Ibni Katsir

Adapun firman Allah s.w.t.:

فِيْهَا عَيْنٌ جَارِيَةٌ.

Di dalamnya ada mata air yang mengalir (Al-Ghāsyiyah, ayat 12)

Maksudnya, yang mengalir dengan bebas. Ini merupakan ungkapan nakirah dalam konteks itsbāt, dan makna yang dimaksud bukanlah satu mata air, melainkan ini adalah isim jins yang artinya di dalam surga-surga itu terdapat banyak mata air yang mengalir. Ibnu Abī Ḥātim mengatakan bahwa dibacakan kepada ar-Rabī‘ ibnu Sulaimān, bahwa telah menceritakan kapada kami Asad ibnu Mūsā, telah menceritakan kepada kami Ibnu Tsaubān, dari ‘Athā’ ibnu Qurrah, dari ‘Abdullāh ibnu Dhamrah, dari Abū Hurairah r.a. yang mengatakan bahwa Rasūlullāh s.a.w. pernah bersabda:

أَنْهَارُ الْجَنَّةِ تَفْجُرُ مِنْ تَحْتِ تِلَالٍ – أَوْ مِنْ تَحْتِ جِبَالٍ – الْمِسْكِ.

Sungai-sungai di surga bersumber dari bawah jurang, atau dari bawah gunung-gunung kesturi.

Firman Allah s.w.t.:

فِيْهَا سُرُرٌ مَّرْفُوْعَةٌ.

Di dalamnya ada takhta-takhta yang ditinggikan (Al-Ghāsyiyah, ayat 13)

yang tinggi lagi empuk, banyak hamparannya dan tebal-tebal, di atasnya terdapat banyak bidadari yang bermata jeli. Para ulama mengatakan bahwa apabila kekasih Allah hendak duduk di atas tahta yang tinggi-tinggi itu, maka tahta-tahta itu merendah untuknya:

وَ أَكْوَابٌ مَّوْضُوْعَةٌ.

dan gelas-gelas yang terletak (di dekatnya) (Al-Ghāsyiyah, ayat 14)

Yakni gelas-gelas minum yang disediakan bagi para pemiliknya yang hendak minum dengannya.

وَ نَمَارِقُ مَصْفُوْفَةٌ.

dan bantal-bantal sandaran yang tersusun (Al-Ghāsyiyah, ayat 15)

Ibnu ‘Abbās mengatakan bahwa makna yang dimaksud ialah bantal-bantal; hal yang sama dikatakan pula oleh ‘Ikrimah, Qatādah, adh-Dhaḥḥāk, as-Suddī, ats-Tsaurī, dan lain-lainnya.

Firman Allah s.w.t.:

وَ زَرَابِيُّ مَبْثُوْثَةٌ.

dan permadani-permadani yang terhampar (Al-Ghāsyiyah, ayat 16)

Ibnu ‘Abbās mengatakan bahwa makna yang dimaksud ialah permadani-permadani. Hal yang sama dikatakan oleh adh-Dhaḥḥāk dan selainnya yang bukan hanya seorang. Makna mabtsutsah ialah yang digelar di mana-mana bagi orang yang hendak duduk di mana pun yang dikehendakinya.

Sehubungan dengan hal ini sebaiknya diketengahkan sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Abū Bakar ibnu Abū Dāūd yang mengatakan bahwa telah menceritakan kepada kami ‘Amr ibnu ‘Utsmān, telah menceritakan kepada kami ayahku, dari Muḥammad ibnu Muhājir, dari adh-Dhaḥḥāk al-Mu‘āfirī, dari Sulaimān ibnu Mūsā, telah menceritakan kepadaku Kuraib; ia pernah mendengar Usamah ibnu Zaid mengatakan bahwa Rasūlullāh s.a.w. pernah bersabda:

أَلَا هَلْ مِنْ مُشِمِّرٍ لِلْجَنَّةِ فَإِنَّ الْجَنَّةَ لَا خَطَرَ لَهَا، هِيَ وَ رَبِّ الْكَعْبَةِ، نُوْرٌ يَتَلَأْلَأُ، وَ رَيْحَانَةٌ تَهْتَزُّ، وَ قَصْرٌ مُشَيَّدٌ، وَ نَهْرٌ مَطَرِّدٌ، وَ ثَمْرَةٌ نَضِيْجَةٌ، وَ زَوْجَةٌ حَسَنَاءُ جَمِيْلَةٌ، وَ حُلَلٌ كَثِيْرَةٌ، وَ مُقَامٌ فِيْ أَبَدٍ فِيْ دَارٍ سَلِيْمَةٍ، وَ فَاكِهَةٌ وَ خُضْرَةٌ، وَ حَبْرَةٌ وَ نِعْمَةٌ، فِيْ مَحَلَّةٍ عَالِيَةٍ بَهِيَّةٍ.

Ingatlah, adakah orang yang mau berupaya keras meraih surga, karena sesungguhnya surga itu keindahannya tidak tergambarkan. Surga itu, demi Tuhan Yang memiliki Ka‘bah, merupakan nūr yang berkilauan, keharumannya semerbak menggugah hati, gedung-gedungnya kokoh lagi tinggi-tinggi, sungai-sungainya mengalir, buah-buahnya masak-masak, istri-istrinya cantik-cantik lagi jelita, pakaian-pakaiannya banyak berlimpa, tempat tinggal yang abadi di negeri yang sejahtera, dipenuhi dengan buah-buahan dan hijau-hijauan, pakaian-pakaian sutra yang mewah lagi lembut di gedung-gedung yang tinggi lagi megah?

Para sahabat berkata: “Benar, wahai Rasūlullāh, kamilah orang-orang yang berupaya keras untuk meraihnya.” Rasūlullāh s.a.w. bersabda: “Katakanlah olehmu: In syā’ Allāh.” Maka mereka mengucapkan: “In syā’ Allāh.”

Ibnu Mājah meriwayatkan hadis ini dari al-‘Abbās ibnu ‘Utsmān ad-Dimasyqī, dari al-Walīd ibnu Muslim ibnu Muḥammad ibnu Muhājir dengan sanad yang sama.

 

Al-Ghāsyiyah, ayat 17-26.

أَفَلَا يَنْظُرُوْنَ إِلَى الْإِبِلِ كَيْفَ خُلِقَتْ. وَ إِلَى السَّمَاءِ كَيْفَ رُفِعَتْ. وَ إِلَى الْجِبَالِ كَيْفَ نُصِبَتْ. وَ إِلَى الْأَرْضِ كَيْفَ سُطِحَتْ. فَذَكِّرْ إِنَّمَا أَنْتَ مُذَكِّرٌ. لَّسْتَ عَلَيْهِمْ بِمُصَيْطِرٍ. إِلَّا مَنْ تَوَلَّى وَ كَفَرَ. فَيُعَذِّبُهُ اللهُ الْعَذَابَ الْأَكْبَرَ. إِنَّ إِلَيْنَا إِيَابَهُمْ. ثُمَّ إِنَّ عَلَيْنَا حِسَابَهُمْ

088:17. Maka apakah mereka tidak memperhatikan unta bagaimana dia diciptakan,
088:18. Dan langit, bagaimana ia ditinggikan?
088:19. Dan gunung-gunung bagaimana ia ditegakkan?
088:20. Dan bumi bagaimana ia dihamparkan?
088:21. Maka berilah peringatan, karena sesungguhnya kamu hanyalah orang yang memberi peringatan.
088:22. Kamu bukanlah orang yang berkuasa atas mereka,
088:23. tetapi orang yang berpaling dan kafir,
088:24. maka Allah akan mengadzabnya dengan adzab yang besar.
088:25. Sesungguhnya kepada Kami-lah kembali mereka,
088:26. kemudian sesungguhnya kewajiban Kami-lah menghisab mereka.

 

Allah s.w.t. berfirman, memerintahkan kepada hamba-hambaNya untuk memperhatikan makhluk-makhlukNya yang menunjukkan akan kekuasaan dan kebesaran-Nya.

أَفَلَا يَنْظُرُوْنَ إِلَى الْإِبِلِ كَيْفَ خُلِقَتْ.

Maka apakah mereka tidak memperhatikan unta bagaimana dia diciptakan (Al-Ghāsyiyah, ayat 17)

Karena sesungguhnya unta itu hewan yang menakjubkan dan bentuknya aneh. Ia sangat kuat dan keras, tetapi sekalipun demikian ia jinak untuk angkutan yang berat dan tunduk pada penuntun (pengendali) yang lemah. Dagingnya dapat dimakan, bulunya dapat dimanfaatkan, dan air susunya dapat diminum. Disebutkan unta secara khusus karena kebanyakan orang-orang ‘Arab memakai unta sebagai hewan kendaraan.

Disebutkan bahwa Syuraih al-Qādhī pernah mengatakan: “Marilah kita keluar untuk melihat unta bagaimana ia diciptakan, dan bagaimana langit ditinggikan. Yakni bagaimana Allah s.w.t. meninggikannya dari bumi dengan ketinggian yang tak terperikan ini,” sebagaimana yang disebutkan dalam ayat lain melalui firman-Nya:

أَفَلَمْ يَنْظُرُوْا إِلَى السَّمَاءِ فَوْقَهُمْ كَيْفَ بَنَيْنَاهَا وَ زَيَّنَّاهَا وَ مَا لَهَا مِنْ فُرُوْجٍ.

Maka apakah mereka tidak melihat akan langit yang ada di atas mereka, bagaimana Kami meninggikannya dan menghiasinya dan langit itu tidak mempunyai retak-retak sedikit pun?” (Qāf: 6).

Adapun firman Allah s.w.t.:

وَ إِلَى الْجِبَالِ كَيْفَ نُصِبَتْ.

Dan gunung-gunung bagaimana ia ditegakkan? (Al-Ghāsyiyah, ayat 19)

Yakni dijadikan tegak dan berdiri kokoh untuk menjadi penyeimbang agar bumi diam dan tidak mengguncangkan para penduduknya, kemudian Allah s.w.t. menjadikan padanya banyak manfaat dan bahan-bahan mineral yang terkandung di dalamnya.

وَ إِلَى الْأَرْضِ كَيْفَ سُطِحَتْ.

Dan bumi bagaimana ia dihamparkan? (Al-Ghāsyiyah, ayat 20)

Yaitu dihamparkan, digelarkan, dan dijadikan sebagai tempat yang layak untuk dihuni. Dan seorang Badui (kampung) dengan kecerdikan akalnya dapat menyimpulkan melalui pemandangan yang disaksikan oleh mata kepalanya sendiri, yaitu unta kendaraannya, langit yang ada di atasnya, gunung-gunung yang terpampang di hadapannya, dan bumi yang menjadi tempat berpijaknya, bahwa terciptanya semuanya itu berkat kekuasaan Penciptanya. Dia tiada lain adalah Tuhan Yang Maha Besar, Yang Maha Pencipta, Yang Menguasai, dan Yang Mengatur semuanya. Dan bahwa tiada Tuhan yang berhak disembah selain Dia.

Demikian pula Dhamām mengucapkan sumpahnya setelah mengajukan beberapa pertanyaan kepada Rasūlullāh s.a.w., sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imām Aḥmad. Disebutkan bahwa telah menceritakan kepada kami Hāsyim ibn-ul-Qāsim, telah menceritakan kepada kami Sulaimān ibn-ul-Mughīrah dan Tsabit, dari Anas yang telah mengatakan bahwa dahulu kami dilarang mengajukan pertanyaan mengenai sesuatu masalah kepada Rasūlullāh s.a.w. Maka kala itu kami sangat senang bila datang seorang lelaki Badui yang cerdas, lalu menanyakan kepada Rasūlullāh s.a.w. beberapa masalah, maka kami mendengarkannya.

Kemudian datanglah seorang lelaki Badui, lalu bertanya: “Wahai Muḥammad, sesungguhnya telah datang kepada kami utusanmu dan mengatakan kepada kami bahwa sesungguhnya engkau adalah utusan Allah?” Nabi s.a.w. menjawab: “Benar.”

Maka lelaki Badui itu bertanya: “Lalu siapakah yang menciptakan langit?” Nabi s.a.w. menjawab: “Allah”. Lelaki itu bertanya: “Siapakah yang menciptakan bumi?” Nabi s.a.w. menjawab: “Allah.” Lelaki itu bertanya: “Siapakah yang memancangkan gunung-gunung ini dan yang menciptakan segala sesuatu yang ada padanya?” Nabi s.a.w. menjawab: “Allah”.

Lelaki Badui itu bertanya: “Maka demi Tuhan Yang telah menciptakan langit, bumi, dan Yang telah memancangkan gunung-gunung ini, apakah benar Allah telah mengutusmu?” Nabi s.a.w. menjawab: “Benar.” Lelaki itu bertanya: “Utusanmu mengira bahwa diwajibkan atas kami mengerjakan shalat lima waktu setiap harinya?” Nabi s.a.w. menjawab: “Benar”. Lelaki itu bertanya: “Maka demi Tuhan Yang telah mengutusmu, apakah Allah telah memerintahkan demikian kepadamu?” Nabi s.a.w. menjawab: “Ya”. Lelaki itu bertanya: “Dan utusanmu mengira bahwa kami diwajibkan membayar zakat harta benda kami?” Nabi s.a.w. menjawab: “Benar”. Lelaki itu bertanya: “Maka demi Tuhan Yang telah mengutusmu, apakah Allah yang memerintahkan demikian kepadamu?” Nabi s.a.w. menjawab: “Ya”. Lelaki Badui itu bertanya: “Dan utusanmu mengira bahwa diwajibkan atas kami berhaji ke Baitullāh bagi yang mampu mengadakan perjalanannya?” Nabi s.a.w. menjawab: “Benar.” Kemudian lelaki Badui itu pergi dan berkata: “Demi Tuhan Yang telah mengutusmu dengan membawa kebenaran, aku tidak akan menambahi sesuatu pun dari hal tersebut dan tidak pula menguranginya barang sedikit pun.” Maka Nabi s.a.w. bersabda:

إِنْ صَدَقَ لَيَدْخُلَنَّ الْجَنَّةَ.

Jika dia benar, niscaya dia masuk surga.

Imām Muslim telah meriwayatkan hadis ini dari ‘Amr an-Nāqid, dari Abun-Nadhr alias Hāsyim ibn-ul-Qāsim dengan sanad yang sama, dan Imām Bukhārī memberinya komentar. Imām Tirmidzī dan Imām Nasā’ī meriwayatkannya melalui hadis Sulaimān ibn-ul-Mughīrah dengan sanad yang sama.

Imām Aḥmad, Imām Bukhārī, Imām Abū Dāūd, Imām Nasā’ī, dan Imām Ibnu Mājah meriwayatkan hadis ini melalui al-Laits ibnu Sa‘d, dari Sa‘īd al-Maqbarī, dari Syarīk ibnu ‘Abdullāh ibnu Abū Namīr, dari Anas dengan sanad yang sama secara panjang lebar. Dan di akhir hadisnya disebutkan bahwa telah menceritakannya kepadaku Dhamām ibnu Tsa‘labah saudara lelaki Bani Sa‘īd ibnu Bakr.

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *