Surah al-Ghasyiyah 88 ~ Tafsir al-Azhar (2/2)

Dari Buku:
Tafsir al-Azhar
Oleh: Prof. Dr. HAMKA

Penerbit: PT. Pustaka Islam Surabaya

Rangkaian Pos: Surah al-Ghasyiyah 88 ~ Tafsir al-Azhar

RENUNGKANLAH

Setelah kita dibawa mengingat keadaan hari akhirat yang pasti akan kita tempuh itu, baik siksaan neraka yang ngeri, atau nikmat syurga karena amal, kita dibawa kembali ke dalam hidup yang kita hadapi sekarang. Oleh karena yang terlebih dahulu mendapat seruan Ilahi ini ialah bangsa Arab, disuruhlah mereka memperhatikan alam yang ada di sekeliling mereka. Yang paling dekat dari hidup mereka waktu itu ialah unta. Maka datanglah ayat: “Apakah mereka tidak memandang kepada unta, bagaimana dia telah dijadikan.” (ayat 17).

Unta adalah binatang yang paling dekat kepada hidup orang Arab dari zaman ke zaman, sejak tanah itu didiami manusia. Itulah binatang serba-guna. Binatang pengangkut dalam perjalanan yang jauh. Binatang peluku sawah ataupun penimba air dari sumur yang dalam. Binatang yang juga jadi makanan mereka. Bulunya pun dapat dicukur untuk dijadikan benang pakaian. Dagingnya bisa dimakan, susunya bisa diperas dan diminum.

Badan binatang itu besar, kekuatannya luar biasa dan tahan menempuh panas terik di padang pasir luas itu. Tahan lapar dan tahan haus. Di samping itu makanannya pun tidak sukar. Rumput-rumput padang pasir yang tidak akan dapat dimakan binatang lain, bagi unta itulah makanannya biasa, walaupun berduri.

Dan sangat patuhnya kepada manusia; disuruh berhenti, dia berhenti. Disuruh duduk dia duduk, disuruh berdiri dia pun tegak. Kadang-kadang bertambah malam hari, bertambah gontai dan tetap dia berjalan, mengangguk-angguk dengan tenangnya dalam perjalanan jauh di padang pasir itu.

Kadang-kadang mereka berjalan berkafilah dari Selatan ke Utara, dari Yaman menuju Syam, melalui Hejaz, ataupun Nejd. Di waktu malam yang jadi pedoman ialah bintang di langit. Karena langit di suasana padang pasir itu jarang sekali diliputi awan di waktu malam. Maka janganlah mereka tersesat menuju negeri jauh di bawah naungan bintang-bintang itu. Lalu datanglah ayat seterusnya:

“Dan kepada langit, bagaimana dia telah diangkatkan.” (ayat 18). Atau ditinggikan ke atas.

Dalam mengiringkan atau mengendarai unta sambil berjalan malam itu, selalulah mereka ditudungi langit. Dan terasalah hubungan diri mereka dengan langit yang tinggi itu, sebab ada bintangnya. Umpama bintang-bintang itu tidak menghiasi langit, niscaya sesatlah jalan mereka. (Lihat Surat 16, An-Nahl: 16, Juzu’ 14). Maka setelah memandang langit dan bintang-bintangnya itu disuruhlah pula memperhatikan bagaimana langit itu diangkatkan ke atas, dihiasi indah. Sebagai unta tadi pula, siapa yang mengangkatkan itu.

“Dan kepada gunung-gunung, bagaimana dia telah dipancangkan.” (ayat 19).

Biasa perjalanan kafilah dilakukan malam hari dan berhenti kelak pagi hari sepenggalah matahari naik, sebelum terik panas. Biasanya berlindunglah mereka ke kaki gunung-gunung batu terjal yang keras, terjadi dari batu granit itu. Di sana mereka berhenti menunggu matahari condong ke Barat dan panas mulai menurun. Dapatlah dikatakan kalau tidaklah ada gunung-gunung tempat berlindung kepanasan itu, yang kadang-kadang mempunyai gua-gua tempat berteduh, akan sengsaralah mereka kena tekanan cahaya matahari. Maka disuruh pulalah mereka memandang kembali, bagaimana gunung itu dijadikan pancang atau pasak dari bumi ini. Alangkah hebat dan dahsyatnya muka bumi ini disapu angin, jika tidak ada gunung menjadi pancang penyanggah deru angin.

“Dan kepada bumi, bagaimana dia telah dihamparkan.” (ayat 20).

Dan perjalanan itu dilakukan di muka bumi, beratap langit, berpasak gunung berkendaraan dan alat pengangkutan unta. Semuanya terjadi di muka bumi. Maka dengan sendirinya, sebagai renungan terakhir bumi itu untuk kita anak manusia ini hidup.

Disuruh memandang, atau merenungkan. Bukan semata-mata melihat dengan mata, melainkan membawa apa yang terlihat oleh mata ke dalam alam fikiran dan difikirkan; itulah yang disebut memandang.

Maka berkatalah Zamakhsyari dalam tafsirnya: “Arti ayat-ayat menyuruh memandang ini, ialah supaya mereka saksikan demikian besar qudrat iradat khaliq pencipta alam ini, yang manusia hanya tinggal memakainya saja.

Kalau semuanya ini sudah dipandang dan direnungkannya, niscaya tidak lagi dia akan mengingkari kekuasaan Allah untuk membangkitkan kembali manusia pada hari nanti, yang dinamai Hari Kiamat.

Orang yang baru mencapai seujung kuku ilmu, dan terlalu banyak ditimbulkan keraguan dan kehilangan iman dalam dadanya karena pengaruh kaum Orientalis dan zending dan missi Kristen, pernah mengambil ayat ini jadi bukti bahwa Al-Qur’an itu diturunkan hanya buat orang Arab, sebab di dalamnya tersebut unta. Dan menyangka dengan mengemukakan demikian, mereka telah mengemukakan suatu “ilmiah”.

Sedang ayat Al-Qur’an yang menyebut unta (al-ibl) itu dalam Al-Qur’an hanya dua kali. Yaitu ayat 17 Surat Al-Ghasyiyah ini dan Surat Al-An’am ayat 144. Dan “Jamaal” (unta) dua kali pula, (An-Nahl; 6 dan Al-A’raf; 39). Dan tidak mereka hendak memperhatikan bahwa laba-laba membuat sarang, lebah membuat madu, keledai memikul beban, nyamuk yang paling kecil, lalat yang kecil pula, dibuat juga misalnya dalam Al-Qur’an.

Padahal bukan kitab suci Al-Qur’an saja yang demikian halnya, yaitu menurut bahasa yang mulai didatangi. Taurat dan Injil pun begitu pula. Sehingga khabarnya konon, ketika membuat terjemahan Bible ke bahasa Eskimo, payah mencari terjemahan unta, karena binatang yang ada di sana hanyalah lama, yang tidak ada di bahagian dunia yang lain.

Pandanglah ini semua, perhatikanlah. Agar kian lama akan kian dekatlah kamu kepada Allah dan bertambah dalamlah iman tumbuh dalam hatimu.

Sesudah manusia itu sendiri disuruh memandang dan memperhatikan alam kelilingnya yang begitu rapat dengan kehidupannya sehari-hari kembalilah peringatan kepada Rasulullah SAW bahwa di samping manusia itu disuruh memperhatikan sendiri, mereka pun wajib diberi pula peringatan.

“Maka peringatkanlah.” (pangkal ayat 21). Peringkanlah, selalulah berikan peringatan. Sadarkan fikiran mereka, bangkitkan perhatian mereka. “Karena sesungguhnya engkau lain tidak adalah seorang pemberi ingat.” (ujung ayat 21). Memberi ingat itulah tugasmu. Untuk itulah engkau aku pilih menjadi utusan-Ku ke dunia ini. Janganlah berhenti dan bekerjalah terus. “Bukanlah engkau orang yang dapat memaksa atas mereka.” (ayat 22).

Kewajiban engkau adalah memberikan peringatan. Adapun memasukkan iman ke dalam hati mereka, bukanlah tugasmu dan tidaklah ada kekuasaanmu. Yang akan memasukkan iman ke dalam hati mereka ialah Allah sendiri.

Dengan ayat ini jelas sekali bahwa Rasul Allah tidak akan memaksa orang beriman. Dan ayat ini pun berisi pengajaran bagi siapa yang telah menyediakan diri menyambung pekerjaan Rasul; ajarlah orang banyak! Berilah peringatan pada mereka, dan jangan lekas jengkel atau kecil hati kalau peringatan itu belum segera berhasil.

Ini adalah laksana petani yang memancang tanah luas untuk ditanami. Lalu dia mulai mencangkul. Tiba-tiba tengah mencangkul itu patah semangatnya setelah dilihatnya bahwa tanah yang akan digarapnya itu masih sangat luas, entah bila akan selesai.

Apakah ayat ini tidak berlawan dengan ayat 9 Surat 87 Al-A’la yang sebelumnya?

“Beri peringatanlah, jika pemberian peringatan itu ada manfaatnya.”

Tidak berlawan! Karena pada ayat 9 Surat 87 ini yang diberikan tuntunan kepada Nabi SAW ialah cara memberikan peringatan. Lihatlah yang akan ada faedahnya, artinya tengoklah keadaan medan dan cuaca. Sesuai dengan sabda Nabi sendiri:

“Bercakaplah dengan manusia menurut kadar akal mereka.”

Janganlah memberikan “kuliah” cara di Universitas tatkala menghadapi orang desa. Jangan memberikan suatu keterangan yang dangkal kepada orang terpelajar, dan sebagainya.

“Tetapi barangsiapa yang berpaling dan menolak.” (ayat 23). “Maka Allahlah yang akan mengazabnya dengan azab yang besar.” (ayat 24).

Dalam rangkaian ayat dari 21 sampai 24 ini bertambah jelas di mana tugas Rasul dan di mana janji Allah. Orang-orang yang berpaling tidak mau mendengarkan, dan yang menolak tidak mau menerima kebenaran itu, Allah sendiri yang akan mengazabnya. Azab yang besar sudah tersedia, sebagaimana telah tersebut di awal Surat di atas tadi.

Biarlah mereka sendiri yang memperhitungkan kecongkakan dan kesombongan mereka di hadapan Allah. Dan engkau, ya Rasul Allah! Hendaklah kerja terus.

“Sesungguhnya kepada Kamilah mereka semua akan kembali.” (ayat 25). Mereka akan kembali kepada Allah, artinya mereka akan mati. Sesudah itu mereka akan dibangkitkan, “Kemudian itu, atas Kamilah perhitungan mereka.” (ayat 26).

Artinya, setelah mereka kembali ke hadapan Kami itu, Kamilah yang akan melakukan perhitungan, yang disebut HISAB. Di waktu itulah kelak akan mereka rasakan sendiri siksaan lantaran penolakan itu.

***

Bacaan Surat ini dalam sembahyang:

Menurut riwayat Hadis dari Nu’man bin Basyir yang dirawikan oleh Muslim dan Abu Daud dan beberapa ahli Hadis yang lain, Surat Al-Ghasyiyah ini sepasang dengan Surat Al-A’la (87) sebelumnya, adalah yang kerapkali dibaca Nabi SAW pada sembahyang Jum’at.

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *