Surah al-Ghasyiyah 88 ~ Tafsir al-Azhar (1/2)

Dari Buku:
Tafsir al-Azhar
Oleh: Prof. Dr. HAMKA

Penerbit: PT. Pustaka Islam Surabaya

Rangkaian Pos: Surah al-Ghasyiyah 88 ~ Tafsir al-Azhar

Sūrat-ul-Ghasyiyah
(Yang Mengerikan)

Surat ke-88, 26 Ayat
Diturunkan di Makkah

 

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ

Dengan Nama Allah, Maha Pengasih, Maha Penyayang

 

هَلْ أَتَاكَ حَدِيْثُ الْغَاشِيَةِ. وُجُوْهٌ يَوْمَئِذٍ خَاشِعَةٌ. عَامِلَةٌ نَّاصِبَةٌ. تَصْلَى نَارًا حَامِيَةً. تُسْقَى مِنْ عَيْنٍ آنِيَةٍ. لَّيْسَ لَهُمْ طَعَامٌ إِلَّا مِنْ ضَرِيْعٍ. لَا يُسْمِنُ وَ لَا يُغْنِيْ مِنْ جُوْعٍ. وُجُوْهٌ يَوْمَئِذٍ نَّاعِمَةٌ. لِسَعْيِهَا رَاضِيَةٌ. فِيْ جَنَّةٍ عَالِيَةٍ. لَا تَسْمَعُ فِيْهَا لَاغِيَةً. فِيْهَا عَيْنٌ جَارِيَةٌ. فِيْهَا سُرُرٌ مَّرْفُوْعَةٌ. وَ أَكْوَابٌ مَّوْضُوْعَةٌ. وَ نَمَارِقُ مَصْفُوْفَةٌ. وَ زَرَابِيُّ مَبْثُوْثَةٌ. أَفَلَا يَنْظُرُوْنَ إِلَى الْإِبِلِ كَيْفَ خُلِقَتْ. وَ إِلَى السَّمَاءِ كَيْفَ رُفِعَتْ. وَ إِلَى الْجِبَالِ كَيْفَ نُصِبَتْ. وَ إِلَى الْأَرْضِ كَيْفَ سُطِحَتْ. فَذَكِّرْ إِنَّمَا أَنْتَ مُذَكِّرٌ. لَّسْتَ عَلَيْهِمْ بِمُصَيْطِرٍ. إِلَّا مَنْ تَوَلَّى وَ كَفَرَ. فَيُعَذِّبُهُ اللهُ الْعَذَابَ الْأَكْبَرَ. إِنَّ إِلَيْنَا إِيَابَهُمْ. ثُمَّ إِنَّ عَلَيْنَا حِسَابَهُمْ

088:1. Sudah datangkah kepadamu berita (tentang) hari pembalasan.
088:2. Banyak muka pada hari itu tunduk terhina,
088:3. bekerja keras lagi kepayahan,
088:4. memasuki api yang sangat panas (neraka),
088:5. diberi minum (dengan air) dari sumber yang sangat panas.
088:6. Mereka tiada memperoleh makanan selain dari pohon yang berduri,
088:7. yang tidak menggemukkan dan tidak pula menghilangkan lapar.
088:8. Banyak muka pada hari itu berseri-seri,
088:9. merasa senang karena usahanya,
088:10. dalam surga yang tinggi,
088:11. tidak kamu dengar di dalamnya perkataan yang tidak berguna.
088:12. Di dalamnya ada mata air yang mengalir.
088:13. Di dalamnya ada takhta-takhta yang ditinggikan,
088:14. dan gelas-gelas yang terletak (di dekatnya),
088:15. dan bantal-bantal sandaran yang tersusun,
088:16. dan permadani-permadani yang terhampar.
088:17. Maka apakah mereka tidak memperhatikan unta bagaimana dia diciptakan,
088:18. Dan langit, bagaimana ia ditinggikan?
088:19. Dan gunung-gunung bagaimana ia ditegakkan?
088:20. Dan bumi bagaimana ia dihamparkan?
088:21. Maka berilah peringatan, karena sesungguhnya kamu hanyalah orang yang memberi peringatan.
088:22. Kamu bukanlah orang yang berkuasa atas mereka,
088:23. tetapi orang yang berpaling dan kafir,
088:24. maka Allah akan mengadzabnya dengan adzab yang besar.
088:25. Sesungguhnya kepada Kami-lah kembali mereka,
088:26. kemudian sesungguhnya kewajiban Kami-lah menghisab mereka.

Surat ini akan menerangkan lagi darihal heru-beru hari kiamat. Ayatnya yang pertama bersifat sebagai pertanyaan, untuk menambah keyakinan dan perhatian: “Sudahkah datang kepada engkau berita kejadian yang ngeri itu?” (ayat 1).

Yang dimaksud dengan Al-Ghasyiyah sebagai nama Surat dan tertulis pada ayat pertama ini ialah betapa hebatnya hari kiamat itu kelak. A. Hasan dengan Tafsir Al-Furqan mengartikannya dengan dahsyat. H. Zainuddin Hamidi dan Fakhruddin H.S. memberinya arti yang menyelubungi; karena semua orang di hari itu akan diselubungi oleh rasa ketakutan dan kengerian menunggu keputusan nasibnya. Penyusun tafsir ini memberinya arti yang mengerikan itu.

Lalu diuraikanlah di ayat selanjutnya yang mengerikan itu:

“Beberapa wajah di hari itu tunduk terhina.” (ayat 2). Wajah dari orang-orang yang telah merasa bersalah di masa hidupnya yang lampau. Merasa sendiri betapa dahsyat, betapa hebat dan betapa ngeri ihwal yang akan dihadapinya. Muka waktu itu tak dapat diangkat, malahan tunduk merasa hina.

“Yang bekerja, yang berpayah lelah.” (ayat 3).

Menurut tafsir dari Al-Qasyani, setelah orang-orang itu dimasukkan ke dalam neraka, bekerja keraslah dia, berpayah lelah, berusaha hendak gagai naik dari dalamnya. Hendak melepaskan diri karena sakitnya azab. Namun usahanya itu hanya mendatangkan lelah saja, karena dia tidak akan dapat keluar, sebelum azab siksaannya selesai. Atau bekerja keras siang dan malam karena dikerahkan, dipaksa dan dihantam oleh Malaikat Zabaniyah yang menjaga neraka itu. Dan kata Al-Qasyani pula; boleh juga ditafsirkan bahwa orang-orang ini di kala hidupnya di dunia dahulu, bekerja keras siang dan malam, berpayah lelah menghabiskan tenaga mengejar kemewahan dunia, mengumpul harta, mengumpul kekayaan; namun faedah yang didapatnya untuk akhirat tidak ada samasekali.”

Berapa banyak orang bekerja keras, berpayan lelah mempertahankan kedudukan, kekayaan dan berbagai kemegahan dalam dunia. Padahal yang dikejar hanyalah suatu fatamorgana belaka. Sehabis-habis tenaga ajal pun datang. Selain dari lapisan kain kafan tak ada yang dibawa pulang ke hadhrat Tuhan. Amal tak ada, jasa tak ada, bekal pun tidak.

“Yang terbakar dalam api yang amat panas.” (ayat 4).

Apakah cuma hasil dari kerja keras berpayah lelah itu? Apakah cuma hasil dari tenaga yang telah habis dan guna apa tenaga itu dihabiskan? Lain tidak hanyalah sebagai pepatah terkenal: “Diraut ranjau dihamburi.” Segala kerja keras berpenat berpayah lelah itu hanyalah menyalakan api neraka yang akan membakar diri.

“Diberi minum dari mata-air yang menggelegak.” (ayat 5).

Di dalam dunia ini pun ada orang yang merasakan demikian itu. “Nasi dimakan rasa sekam, air diminum rasa duri.” Atau laksana orang meminum air laut, tambah diminum tambah haus. Kepuasan tidak ada, haus tidak lepas. Sebab yang dicari bukan obat penawar, melainkan upas racun.

Pengalaman di dunia ini pun akan dirasakan sampai ke akhirat. Air yang disangka akan melepaskan dahaga itu ternyata adalah timbul dari mata-air yang selalu menggelegak, sehingga kalau diminum, perutlah yang akan hancur; “Tidaklah ada untuk mereka makanan, kecuali dari duri.” (ayat 6), yang menyangkut dalam rongkongan, dikeluarkan kembali susah, ditelan ke dalam tak mau turun ke perut; “Yang tidak menggemukkan dan tidak mengenyangkan dari kelaparan.” (ayat 7).

Itulah jenisnya azab dan siksaan. Dan itu hanyalah kelanjutan saja dari kesia-siaan selama hidup di dunia. Di dunia mencari minuman yang kelak akan jadi duri dan makanan yang kelak hanya akan menambah kurus dan sengsara.

WAJAH YANG BERSERI-SERI

Seketika Saiyidina Abu Bakar Shiddiq telah merasa dekat ajalnya berwasiatlah beliau kepada para sahabat-sahabat Rasulullah yang akan beliau tinggalkan, supaya mereka mengangkat Saiyidina Umar bin Khattab akan menggantikan jabatan beliau jadi Khalifah. Setelah orang banyak ridha menerima wasiat itu dan Umar sendiri pun menerimanya pula dengan rasa prihatin, beliau panggillah orang yang beliau cadangkan jadi penggantinya itu lalu berwasiat khusus pula kepadanya. Setengah dari wasiat itu demikian:

“Hai Umar! Inilah pesan terakhirku kepadamu, di saat langkah kakiku yang terakhir akan meninggalkan dunia ini dan langkah kaki pertama akan menuju bandul akhirat.

“Ingatlah olehmu, hai Umar, bagaimana Allah memberi tuntunan dan peringatan bagi kita dengan perantaraan Rasul-Nya; tidak ada satu pun rangkaian ancaman kepada kita, melainkan selalu diiringi dengan ayat-ayat yang mengandung janji mulia dan gembira. Demikian juga sebaliknya, tidak ada ayat-ayat yang dimulai dengan janji gembira, melainkan diiringi dibelakangnya dengan janji ancaman bagi yang durhaka. Demikian itu ialah supaya kita selalu ada pengharapan kepada Tuhan di samping takut akan azab-Nya, dan selalu takut akan azab-Nya di samping kita menaruh harapan.”

Demikianlah yang selalu kita temui dalam rentetan ayat Tuhan, sebagai yang kita dapati Surat Al-Ghasyiyah ini. Sesudah sejak ayat 1 sampai 7 berisi gambaran kengerian hari kiamat, diulaslah dengan berita gembira untuk orang yang taat kepada Tuhan di masa hidup.

“Beberapa wajah di hari itu akan merasakan nikmat.” (ayat 8). Wajah kata mufradnya, wujuuh kata jama’nya; artinya ialah muka. Dan muka yang dimaksud di sini tentu jiwa atau hati kita. Karena raut muka menunjukkan takut, ataupun menunjukkan gembira bahagia, adalah gambaran dari perasaan jiwa sendiri. Datanglah ayat yang selanjutnya menyatakan sebab timbulnya kegembiraan itu: “Yang lantaran usahanya sendiri, dia merasa sentosa.” (ayat 9). Dengan pernyataan Tuhan demikian, nyatalah bahwa nikmat berganda yang dirasai kelak di akhirat itu tidak lain dari karena melihat bekas usaha, bekal amal yang diperbuat semasa hidup di dunia dulu. Karena hidupnya yang pendek hanya sebentar semasa di dunia itu telah diisinya untuk bekal yang didapatinya di akhirat.

Selanjutnya Tuhan mencurai memaparkan apa-apa saja jenis nikmat yang akan dirasakan itu:

“Di dalam syurga yang amat tinggi.” (ayat 10). Baik disebut tinggi karena tempatnya, ataupun tinggi karena yang duduk di sana hanyalah orang-orang yang ditinggikan Allah kedudukannya karena amalnya. “Tidak akan mereka dengar di dalamnya hal-hal yang sia-sia.” (ayat 11).

Tersunyi dan bersih suatu tempat daripada perkataan-perkataan yang sia-sia, hamun dan maki, gunjing dan gujirak, melampiaskan rasa dengki dan hasad, membicarakan keburukan orang lain dan memfitnah, adalah salah satu yang menyebabkan dunia ini jadi neraka bagi hidup kita. Kalau tiap hari yang kita dengar hanya kata-kata yang tak berujung pangkal, jiwa kita rasa tersiksa. Maka dalam syurga itu kelak kata-kata demikian tidak akan kita dengar lagi. Yang akan kita dengar hanyalah ucapan tasbih dan tahmid, sanjung dan puji kepada Tuhan. Bersihnya suasana syurga itu dari kata sia-sia, itulah keistimewaan syurga, yang tidak akan didapat dalam dunia ini.

Bandingkanlah itu dengan suasana dalam istana raja-raja yang indah permai, cukup lengkap inang pengasuh, beti-beti prawara, pembawa panji. Kelihatan di luar istana itu yang gemilang, namun suasana di dalamnya kerapkali sebagai neraka. Karena di sanalah berlaku segala iri-hati, fitnah memfitnah, mengambil muka dan rasa takut akan tersingkir dari kedudukan.

“Di dalamnya ada mata-air yang selalu mengalir.” (ayat 12). Mata-air yang selalu mengalir, atau sungai-sungai yang selalu mengalir, dapatlah menjelaskan dalam ingatan kita betapa subur, betapa damai, betapa sejuk tempat di sana. Tempat yang tidak mengenal kepanasan musim panas (summer) dan kedinginan musim sejuk (winter) sebagai kita rasakan di dunia ini.

Konon khabarnya, menurut uraian sejarah ahli-ahli arsitektur Arab di zaman jayanya di Andalusia atau Isfahan, di Damaskus atau di Fez, di Baghdad atau di Cairo, yang menimbulkan ilham bagi ahli-ahli bangunan Arabis yang terkenal membuat air-mancur di tengah lapangan rumah ialah ayat-ayat semacam ini di dalam Al-Qur’an. Sehingga betapa pun hebatnya musim panas, namun air memancur (fountain) di tengah pekarangan rumah itu membawakan kesejukan.

“Di dalamnya ada tempat-tempat peraduan yang ditinggikan.” (ayat 13). Di atas tempat-tempat peraduan itulah mereka duduk berbaring melepas lelah dari kepayahan hidup di waktu di dunia. “Dan piala-piala yang sedia terletak.” (ayat 14), sehingga tinggal meminum saja. Kadang-kadang datang pelayan-pelayan remaja mengisi piala itu bila telah habis isinya. (Lihat kembali Surat 76, Al-Insan: 19 Juzu’ 29).

“Dan bantal-bantal sandaran yang teratur berbaris.” (ayat 15). Ini pun suatu penggambaran yang indah dari syurga, diiringi lagi dengan ayat selanjutnya; “Dan permadani hamparan yang selalu terbentang.” (ayat 16).

Bantal tersusun, permadani terbentang, piala beredar, peraduan tertinggi, alangkah nikmatnya.

Itulah timbalan perkhabaran tentang siksaan neraka, karena kesia-siaan hidup. Yaitu nikmat syurga karena bekas usaha hidup yang tidak sia-sia di zaman lampau.

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *