Diturunkan di Makkah
Jumlah Ayat: 5.
بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ
“Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang”
أَلَمْ تَرَ كَيْفَ فَعَلَ رَبُّكَ بِأَصْحَابِ الْفِيْلِ. أَلَمْ يَجْعَلْ كَيْدَهُمْ فِيْ تَضْلِيْلٍ. وَ أَرْسَلَ عَلَيْهِمْ طَيْرًا أَبَابِيْلَ. تَرْمِيْهِمْ بِحِجَارَةٍ مِّنْ سِجِّيْلٍ. فَجَعَلَهُمْ كَعَصْفٍ مَّأْكُوْلٍ
105:1. Apakah kamu tidak memperhatikan bagaimana Tuhanmu telah bertindak terhadap tentara bergajah.
105:2. Bukankah Dia telah menjadikan tipu daya mereka (untuk menghancurkan Ka‘bah) itu sia-sia?,
105:3. Dia mengirimkan kepada mereka burung yang berbondong-bondong,
105:4. yang melempari mereka dengan batu (berasal) dari tanah yang terbakar,
105:5. lalu Dia menjadikan mereka seperti daun-daun yang dimakan (ulat).
Surah ini mengisyaratkan kepada sebuah kisah yang sudah sangat populer dalam kehidupan umat manusia di Jazīrah ‘Arab sebelum diutusnya Rasūlullāh. Sekaligus menunjukkan betapa besarnya perhatian Allah terhadap kawasan suci yang telah dipilih-Nya untuk menerima cahaya agama terakhir, dan menjadi buaian ‘aqidah yang baru. Juga menjadi titik tolak perjalanannya yang suci untuk memberantas kejahiliyyahan di seluruh penjuru dunia dan memantapkan petunjuk, kebenaran, dan kebaikan padanya.
Secara ringkas, riwayat-riwayat yang membicarakan peristiwa ini menunjuk pada perbuatan Gubernur Ḥabasyah di Yaman, pada masa negeri Yaman tunduk di bawah pemerintahan Habasyah setelah pemerintahan tersebut dapat mengusir bangsa Persia dari Saba’, yang dalam beberapa riwayat disebutkan bernama “Abrahah”. Ia telah membangun sebuah gereja di Yaman atas nama Raja Ḥabasyah dengan segala fasilitas dan kemegahannya, dengan maksud agar bangsa ‘Arab yang biasa berkunjung ke al-Bait-ul-Ḥarām pindah ke sana. Ia berkeyakinan bahwa bangsa Yaman akan tertarik kepadanya. Demikian pula dengan bangsa-bangsa ‘Arab lainnya yang di kawasan tengah dan utara. Maksud ini ia sampaikan kepada Raja Ḥabasyah.
Akan tetapi, bangsa ‘Arab tidak ada yang mau meninggalkan rumah suci mereka, karena mereka mempunyai keyakinan bahwa mereka adalah putra-putra Nabi Ibrāhīm dan Ismā‘īl, dua orang pembangun rumah suci yang merupakan kebanggan mereka karena nasab mereka yang membangunnya. Kepercayaan mereka, meski berbeda-beda, menurut pandangan mereka lebih utama daripada kepercayaan Ahli Kitab itu banyak kerusakannya, tidak stabil, dan semrawut juga.
Pada waktu itu, kuatlah tekad Abrahah untuk menghancurkan Ka‘bah agar dapat memalingkan perhatian masyarakat darinya. Dipimpinnyalah pasukan yang besar disertai pasukan bergajah. Adapun yang berada di depan adalah seekor gajah besar yang sudah sangat terkenal di kalangan mereka.
Bangsa ‘Arab mendengar rencana itu dan mereka merasa keberatan kalau Ka‘bah dihancurkan. Maka, rencana itu hendak dihalang-halangi oleh seorang pemuda dan tokoh Yaman yang bernama Dzū Nafar, lalu ia menyeru kaumnya dan segenap bangsa ‘Arab untuk memerangi Abrahah dan membela al-Bait-ul-Ḥarām. Maka, sebagian masyarakat menyambut seruannya, lantas dihadapinya Abrahah. Akan tetapi, ia kalah lalu ditangkap dan ditawan oleh Abrahah.
Kemudian perjalanan Abrahah itu juga dihadang oleh Nufail bin Ḥabīb al-Khats‘amī bersama dua kabilah ‘Arab dan sejumlah orang ‘Arab. Akan tetapi, mereka dapat dikalahkan oleh Abrahah. Nufail ditahan, lalu dijadikan penunjuk jalan di tanah ‘Arab.
Sehingga ketika melewati Thā’if, tokoh-tokoh suku Tsaqīf keluar menemui Abrahah dan mengatakan kepadanya bahwa rumah suci yang dimaksudkannya tidak berada di Thā’if melainkan di Makkah. Hal ini mereka lakukan dengan maksud untuk menolak Abrahah dari rumah suci yang mereka bangun untuk berhala Lāta. Maka, mereka kirim orang untuk menunjukkan jalan ke Ka‘bah.
Setelah Abrahah sampai di suatu tempat antara Thā’if dan Makkah, ia mengirim salah seorang komandannya hingga sampai ke Makkah. Mereka merampas harta benda suku Tihāmah dari kalangan Quraisy dan lainnya, dan merampas dua ratus ekor unta milik ‘Abd-ul-Muththalib bin Hāsyim, yang waktu itu sebagai pembesar dan pemuka Quraisy. Maka, suku Quraisy, Kinānah, dan Hudzail, serta suku-suku yang ada di sekitar al-Bait-ul-Ḥarām itu bermaksud hendak menyerangnya. Tetapi, kemudian mereka mengetahui bahwa kekuatan mereka tidak seimbang untuk menghadapinya. Maka, urunglah niat mereka untuk memeranginya.
Abrahah mengirim seorang utusan ke Makkah untuk menanyakan pemimpin negeri itu dan menyampaikan kepadanya bahwa kedatangan raja ke Makkah bukan untuk menghancurkan mereka, melainkan semata-mata untuk menghancurkan al-Bait-ul-Ḥarām. Kalau mereka tidak menghalang-halangi, ia tidak perlu menumpahkan darah mereka. Setelah utusan itu menceritakan kepada ‘Abd-ul-Muththalib tentang maksud kedatangan Abrahah, ‘Abd-ul-Muththalib berkata kepadanya: “Demi Allah, kami tidak ingin berperang dengannya, dan kami tidak memiliki kemampuan untuk melakukannya. Ini adalah rumah Allah yang mulia dan ini adalah rumah bikinan kekasih-Nya, Nabi Ibrāhīm a.s. Kalau Dia menghalanginya, itu adalah karena memang rumah suci ini milik-Nya. Jika Dia membiarkannya, demi Allah, kami tidak akan melakukan penolakan” Setelah mendengar informasi bahwa penduduk negeri itu tidak menghendaki peperangan, utusan itu membawa ‘Abd-ul-Muththalib untuk menghadap Abrahah.
Ibnu Isḥāq berkata: “‘Abd-ul-Muththalib itu adalah orang yang sangat bagus, sangat tampan, dan sangat berwibawa. Maka ketika Abrahah melihatnya, ia menghormati dan mengagungkan serta memuliakannya. Ia tidak memperkenankannya duduk di bawahnya. Akan tetapi, ia tidak senang kalau orang-orang Ḥabasyah mengetahui bahwa ia duduk bersamanya di atas singgasananya. Maka, Abrahah turun dari singgasananya, lalu duduk di atas hamparan dan mempersilakan ‘Abd-ul-Muththalib duduk di sebelahnya.
Kemudian ia berkata kepada juru terjemahnya: “Tanyakan kepadanya tentang maksud kedatangannya” ‘Abd-ul-Muththalib menjawab: “Keperluanku datang ke sini adalah untuk meminta kembali dua ratus ekor unta milik saya telah dirampas oleh Baginda.” Setelah ‘Abd-ul-Muththalib berkata begitu, Abrahah berkata kepada juru terjemahnya: “Katakan kepadanya bahwa saya tertarik ketika memandangnya, kemudian saya tidak tertarik ketika dia mengatakan apa yang baru saja diucapkannya itu. Mengapa dia membicarakan kepadaku tentang dua ratus ekor unta yang telah aku rampas dan tidak membicarakan rumah suci yang merupakan agamanya dan agama nenek moyangnya yang hendak aku hancurkan?” ‘Abd-ul-Muththalib menjawab: “Sesungguhnya, aku adalah pemilik unta itu, sedang rumah suci itu ada pemiliknya yang akan melindunginya.” Abrahah berkata: “Dia tidak hendak menghalangi aku. Sudahlah, itu urusanmu.” Kemudian ia mengembalikan untanya.
‘Abd-ul-Muththalib kembali kepada orang-orang Quraisy dan menginformasikan kepada mereka tentang hal itu. Ia perintahkan mereka supaya keluar dari Makkah dan berlindung ke atas gunung-gunung. Kemudian ia berdiri dan bergantung di pintu Ka‘bah. Segolongan orang Quraisy berdiri bersamanya, berdoa kepada Allah dan memohon pertolongan kepada-Nya. Pada waktu itu, ‘Abd-ul-Muththalib bersenandung:
“Tiada artinya mereka,
Seorang hamba dapat menahan langkahnya
Maka, cegahlah mereka dari mendatangi rumah-Mu
Jangan sampai salib mereka dan siasat mereka mengalahkan siasat-Mu
Jika Engkau biarkan mereka bertindak terhadap qiblat kami
Maka, akan terjadilah sesuatu yang telah tampak.”
Abrahah menghadapkan pasukan dan gajahnya ketika telah tiba di sekitar Makkah, tetapi gajahnya lantas menderum di luar kota Makkah dan tidak mau memasukinya. Merekan berusaha keras untuk memasuki kota Makkah, tetapi tidak berhasil. Hal itu diterangkan juga oleh Rasūlullāh s.a.w. melalui sabda beliau pada waktu peristiwa Ḥudaibiyyah ketika unta beliau al-Qashwa’ menderum di luar kota Makkah. Maka orang-orang berkata: “Al-Qashwa’ mogok.” Lalu Rasūlullāh bersabda: “Al-Qashwa’ tidak mogok dan dia tidak diciptakan untuk mogok. Akan tetapi, dia ditahan oleh yang menahan gajah dahulu.” (Diriwayatkan oleh Bukhārī).
Diriwayatkan di dalam Shaḥīḥ Bukhārī dan Shaḥīḥ Muslim bahwa Rasūlullāh s.a.w. bersabda pada waktu pembebasan kota Makkah (Fatḥu Makkah):
“Sesungguhnya, Allah telah menahan gajah dari memasuki kota Makkah, dan Dia menjadikan Rasūl-Nya dan kaum Mu’minīn berkuasa atasnya. Sesungguhnya, kehormatan kota ini telah kembali sebagaimana kehormatannya kemarin. Karena itu ingatlah, hendaklah orang yang hadir menyampaikan kepada yang tidak hadir.”
Nah, itu adalah peristiwa yang pasti bahwa Allah telah menahan gajah itu dari memasuki Makkah pada waktu peristiwa gajah.
Kemudian Allah hendak membinasakan pasukan itu beserta komandannya. Maka, dikirimkan-Nyalah kepada mereka beberapa rombongan burung yang melempari mereka dengan batu-batu gunung, sehingga mereka menjadi seperti daun-daun kering yang terobek-robek, sebagaimana diceritakan oleh al-Qur’ān-ul-Karīm. Abrahah pun tekena lemparan di tubuhnya. Mereka membawanya dalam keadaan jari-jarinya terputus satu demi satu, hingga sampai di Shan‘ā’. Maka, ia tidak mati sehingga dadanya terbelah dan kelihatan hatinya, sebagaimana diceritakan dalam beberapa riwayat.
Bermacam-macam riwayat di dalam menetapkan keberadaan burung-burung ini tentang rombongannya, bentuknya, ukuran fisiknya, besar kecilnya batu-batu itu, jenisnya, dan cara kerjanya, sebagaimana juga terdapat sebagian riwayat yang mengatakan bahwa pada tahun itu merajalela penyakit cacar dan campak di Makkah.
Orang-orang yang cenderung mempersempit kawasan kejadian luar biasa dan urusan ghaib, memandang bahwa hukum alam yang berlaku dalam peristiwa itu. Mereka berpendapat bahwa menafsirkan peristiwa itu dengan terjadinya wabah cacar dan campak adalah lebih dekat dan lebih tepat, sedangkan, yang dimaksud dengan burung di situ adalah lalat atau nyamuk yang menyebarkan virus-virus tersebut, karena arti kata thair adalah segala sesuatu yang bisa terbang.
Ustadz Syaikh Muḥammad ‘Abduh mengatakan di dalam menafsirkan surah ini di dalam Juz ‘Amma:
“Pada hari kedua, merajalela penyakit cacar dan campak di kalangan tentara (Abrahah). ‘Ikrimah berkata: “Itu adalah penyakit cacar yang pertama kali ada di negara ‘Arab.” Ya‘qun bin ‘Utbah berkata tentang peristiwa yang terjadi itu: “Pertama kali terjadi penyakit campak dan cacar di negeri ‘Arab adalah pada tahun itu. Wabah itu menimpa tubuh mereka dengan kondisi yang jarang terjadi keadaan seperti itu. Daging mereka berserakan dan berjatuhan, sehingga pasukannya menjadi rusak dan berlarian, dan mereka pun terkena penyakit itu. Daging Abrahah terus berjatuhan sepotong demi sepotong, dan jari-jemarinya terputus satu demi satu hingga tembus dadanya, dan ia meninggal di Shan‘ā’.
Demikianlah yang telah disepakati dalam riwayat-riwayat. Itulah i‘tiqād yang benar tentang peristiwa ini. Surah yang mulia ini telah menjelaskan kepada kita bahwa penyakit cacar atau campak itu timbul karena batu kering yang jatuh menimpa personal tentara itu dengan perantaraan beberapa rombongan burung yang dikirim Allah bersama angin kencang.
Maka, boleh saja anda berkeyakinan bahwa burung ini adalah sejenis nyamuk atau lalat yang membawa bibit-bibit penyakit, dan batu-batu ini berasal dari tanah beracun yang kering yang dibawa oleh angin, lalu menempel pada kaki binatang-binatang tersebut. Apabila ia hinggap pada tubuh, niscaya akan menempellah racun tersebut padanya. Kemudian menimbulkan luka yang merusak tubuh dan menjadikan dagingnya berjatuhan.
Kebanyakan dari burung-burung yang lemah ini disiapkan sebagai tentara Allah yang besar untuk membinasakan orang-orang yang hendak dibinasakan-Nya. Binatang-binatang kecil ini, yang sekarang mereka namakan dengan mikroba, tidak keluar dari kelompok tentara-tentara Allah itu. Mereka bermacam-macam kelompok dan jenisnya yang hanya Allah s.w.t. yang dapat menghitung jumlahnya. Adanya bekas kekuasaan Allah untuk menekan orang-orang yang zhālim dan diktator tersebut, tidak ditentukan bahwa burung-burung itu harus dari puncak-puncak gunung, tidak harus dari jenis binatang bersayap yang aneh, tidak harus memiliki warna tertentu, dan tidak pula harus diketahui ukuran bebatuannya dan cara kerjanya. Maka, Allah memiliki tentara dari segala sesuatu.
Pada tiap-tiap sesuatu terdapat tanda-tanda
Yang menunjukkan bahwa Allah Maha Esa.
Tidak ada satu pun kekuatan di dunia ini melainkan tunduk kepada kekuatan-Nya. Maka terhadap sang tiran yang hendak menghancurkan Baitullāh ini, Allah mengirimkan kepadanya burung atau binatang penerbang yang menebarkan penyakit cacar atau campak kepadanya. Lalu, membinasakannya dan membinasakan kaumnya, sebelum memasuki Makkah. Ini sekaligus sebagai ni‘mat yang dicurahkan Allah kepada warga menyembah berhala, untuk memelihara rumah suci-Nya. Sehingga, Dia mengutus orang yang akan memeliharanya dengan kekuatan agamanya, yaitu Nabi Muḥammad s.a.w. Ni‘mat Allah itu dahulu juga diberikan kepada musuh-musuhNya, pasukan bergajah yang hendak memangsa Bait-ul-Ḥarām tanpa dosa dan kesalahan apa pun.
Inilah yang semestinya dipegang dalam menafsirkan surah ini. Selain itu tidak dapat diterima kecuali dengan ta’wil, jika sah riwayatnya. Ada satu kekuasaan besar yang mengagumkan yang menghukum orang yang membanggakan diri dengan gajahnya. Kemudian membinasakannya dengan burung atau makhlūq kecil yang tidak tampak oleh mata telanjang, karena kecilnya ukurannya, tetapi diberi kemampuan demikian hebat. Tidak diragukan oleh orang yang berakal sehat bahwa peristiwa ini sangat hebat, menakjubkan, dan mengagumkan!!”
Kami tidak mengetahui, apakah gambaran yang dilukiskan oleh Ustadz al-Imām mengenai bentuk penyakit cacar atau campak ataukah yang disebutkan dalam beberapa riwayat bahwa batu-batu itu sendiri yang mencabik-cabik kepala dan tubuh mereka hingga rusak berantakan seperti daun-daun yang dimakan ulat, yang disebut “‘ashf”, yang lebih menunjukkan kekuasaan dan rencana Allah. Bagi kami sama saja, apakah hukum alam yang terungkapkan kepada manusia yang berlaku dan membinasakan suatu kaum yang hendak dibinasakan oleh Allah, ataukah terjadi sesuatu yang luar biasa yang tidak terungkapkan dalam ‘ilmu pengetahuan manusia, yang terjadi pada kaum itu untuk merealisasikan ketentuan Allah.
Sesungguhnya, sunnatullāh itu bukan hanya apa yang sudah terbiasa pada manusia atau diketahui oleh mereka. Tidak ada sunnah Allah yang diketahui manusia kecuali hanya sedikit saja yang disingkapkan Allah kepada mereka sesuai dengan kadar kemampuan mereka. Juga sesuai dengan kadar kesiapan dan percobaan serta pengalaman mereka dalam rentang waktu yang panjang. Peristiwa-peristiwa luar biasa ini adalah termasuk sunnatullah juga. Hanya saja merupakan sesuatu yang luar biasa bila diukur dengan apa yang biasa mereka alami dan ketahui.
Oleh karena itu, kami tidak ragu-ragu dan tidak perlu mena’wilkan peristiwa luar biasa ini atau apa saja yang disebutkan di dalam nash dan peristiwa-peristiwa yang memberi kesan sebagai sesuatu yang luar biasa, dan tidak bisa terjadi dalam kebiasaan manusia. Pada waktu yang sama kami tidak memandang bahwa berlakunya sesuatu menurut sunnah (hukum) yang biasa berlaku itu tidak kurang kesan dan petunjuknya yang menunjukkan sebagai sesuatu yang luar biasa, karena hukum yang biasa berlaku pada alam semesta ini adalah luar biasa bila diukur dengan kemampuan manusia.
Sesungguhnya terbit dan terbenamnya matahari adalah sesuatu yang luar biasa, padahal peristiwa ini selalu terjadi setiap hari. Kelahiran seorang bayi adalah sesuatu yang luar biasa, padahal biasa terjadi setiap waktu. Kalau tidak luar biasa, cobalah lakukan percobaan bagi orang yang mau melakukannya, (niscaya akan tampak olehnya bahwa peristiwa kelahiran itu sesuatu yang luar biasa). Menguasakan burung untuk membawa batu-batu lembut berbibit penyakit dan virus-virus cacar dan campak lalu melemparkannya ke bumi hingga menjadi wabah pada tentara-tentara bergajah tersebut, adalah sesuatu yang luar biasa. Bahkan, beberapa peristiwa luar biasa dengan petunjuknya yang lengkap yang menunjukkan kekuasaan dan ketentuan Allah. Tidak kurang petunjuk dan keagungannya daripada kalau Allah mengirimkan burung khusus dengan membawa batu khusus untuk melakukan tindakan khusus terhadap tubuh-tubuh mereka pada waktu yang sudah ditetapkan. Ini ataupun itu semuanya adalah kejadian luar biasa.
Kami lebih cenderung mengatakan bahwa peristiwa pembinasaan tentara bergajah terjadi sesuai prinsip keluarbiasaan yang tidak biasa terjadi pada manusia. Pasalnya, Allah mengirimkan burung Abābīl yang luar biasa, yang membawa batu-batu yang tidak biasa, yang bertindak terhadap tubuh-tubuh mereka secara laur biasa pula. Tidak ada kebutuhan untuk menerima riwayat-riwayat yang menerangkan ukuran besar kecilnya burung itu dan bentuknya. Karena, di tempat-tempat lain kita juga menemukan bandingan-bandingan dengan adanya unsur intensitas (menyangatkan) dan membesarkan.
Kami lebih cenderung kepada pendapat ini bukan karena lebih besar petunjuk dan hakikatnya, tetapi karena nuansa surah dan suasana peristiwa itu menjadikan pendapat semacam ini lebih mendekati. Karena Allah s.w.t. sudah menghendaki sesuatu terhadap rumah ini. Dia menghendaki untuk melindunginya supaya menjadi tempat ber‘ibadah dan tempat yang aman bagi manusia, dan supaya menjadi titik sentral bertumpunya ‘aqidah baru yang memberi kebebasan dan kemerdekaan bagi manusia. Ya‘ni, di negeri yang bebas merdeka, yang tidak pernah dikuasai oleh satu pun golongan dari luar, dan tidak pernah dikuasai oleh satu pun pemerintahan yang mengepung dakwah Islam di tanah kelahirannya.
Dia hendak menjadikan peristiwa ini sebagai sebuah pelajaran yang jelas dan transparan bagi semua mata pada semua generasi. Sehingga, hal itu merupakan suatu keni‘matan tersendiri bagi kaum Quraisy sesudah diutusnya Rasūlullāh sebagaimana dikisahkan surah ini. Hal itu juga dijadikan-Nya sebagai percontohan bagaimana pemeliharaan Allah terhadap apa-apa yang harus dihormati dan bagaimana gairah-Nya terhadapnya. Maka, relevanlah dengan semua ini kalau peristiwa itu sebagai peristiwa luar biasa dengan semua unsur dan bagiannya. Kita tidak perlu mencoba melukiskannya sebagai peristiwa yang biasa-biasa saja mengenai peristiwa yang unik ini.
Lebih-lebih, penyakit cacar atau campak menurut yang biasa terjadi, tidaklah sesuai dengan riwayat-riwayat tentang pengaruh peristiwa itu terhadap tubuh tentara dan komandannya. Karena cacar atau campak biasanya tidak sampai merontokkan anggota-anggota tubuh dan memutuskan jari-jemari satu demi satu. Juga tidak sampai membelah dada dan menembus jantung.
Gambaran inilah yang dikesankan oleh nash al-Qur’ān: “Lalu Dia menjadikan mereka seperti daun-daun yang dimakan (ulat)”, dengan kesan yang langsung dan dekat.
Riwayat ‘Ikrimah dan cerita Ya‘qūb bin ‘Utbah bukanlah sebagai nash yang menunjukkan bahwa pasukan gajah itu ditimpa penyakit cacar. Riwayat itu tidak lebih hanya mengatakan bahwa pada tahun itu berjangkit penyakit cacar untuk pertama kalinya. Dalam perkataan keduanya ini juga tidak terdapat isyarat yang menunjuk kepada Abrahah dan tentaranya secara khusus sebagai terkena penyakit itu.