Surah al-Fil 105 ~ Tafsir Ibni Katsir (1/3)

Dari Buku:
Tafsir Ibnu Katsir, Juz 30
(An-Nabā’ s.d. An-Nās)
Oleh: Al-Imam Abu Fida’ Isma‘il Ibnu Katsir ad-Dimasyqi

Penerjemah: Bahrun Abu Bakar L.C.
Penerbit: Sinar Baru Algensindo Bandung

Rangkaian Pos: Surah al-Fil 105 ~ Tafsir Ibni Katsir

Sūrat-ul-Fīl
(Gajah)

Makkiyyah, 5ayat
Turun sesudah Sūrat-ul-Kafirūn

 

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ

Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang

 

Al-Fīl, ayat 1-5.

أَلَمْ تَرَ كَيْفَ فَعَلَ رَبُّكَ بِأَصْحَابِ الْفِيْلِ، أَلَمْ يَجْعَلْ كَيْدَهُمْ فِيْ تَضْلِيْلٍ، وَ أَرْسَلَ عَلَيْهِمْ طَيْرًا أَبَابِيْلَ، تَرْمِيْهِمْ بِحِجَارَةٍ مِّنْ سِجِّيْلٍ، فَجَعَلَهُمْ كَعَصْفٍ مَّأْكُوْلٍ.

Apakah kamu tidak memperhatikan bagaimana Tuhanmu telah bertindak terhadap tentara bergajah. Bukankah Dia telah menjadikan tipu daya mereka (untuk menghancurkan Ka‘bah) itu sia-sia?. Dan Dia mengirimkan kepada mereka burung yang berbondong-bondong, yang melempari mereka dengan batu (berasal) dari tanah yang terbakar, lalu Dia menjadikan mereka seperti daun-daun yang dimakan (ulat).

Ini merupakan nikmat yang telah dianugerahkan Allah kepada kaum Quraisy, karena Allah telah menyelamatkan mereka dari serangan tentara bergajah, yang sejak semula telah bertekad akan merobohkan Ka‘bah dan meratakannya dengan tanah hingga tiada bekas-bekasnya lagi. Maka Allah memusnahkan mereka dan menjadikan mereka kalah serta usaha mereka menjadi sia-sia, begitu pula tiada hasilnya dari kerja mereka; Allah mengusir mereka dengan cara yang buruk dan akibat yang mengecewakan.

Mereka adalah kaum Nasrani, dan agama mereka saat itu lebih mirip keadaannya dengan apa yang dilakukan oleh orang-orang Quraisy, yaitu menyembah berhala. Peristiwa ini terjadi sebagai irhash dan pendahuluan bagi akan diutusnya Rasulullah s.a.w. Karena sesungguhnya di tahun itu Nabi Muḥammad – menurut pendapat yang terkenal – dilahirkan. Dan seakan-akan takdir Allah s.w.t. telah menetapkan bahwa: Hai golongan orang-orang Quraisy, Kami menolong kalian bukanlah karena kalian lebih baik daripada orang-orang Habsyah itu, tetapi karena memelihara Baitul-‘Atīq yang akan Kami muliakan, Kami agungkan, dan Kami hormati dengan diutusnya seorang nabi yang ummi, yaitu Muḥammad s.a.w. penutup para nabi.

Berikut ini adalah kisah tentara bergajah secara ringkas, padat, tetapi mendekati kebenaran. Dalam kisah orang-orang yang dimasukkan di dalam parit berapi telah disebutkan bahwa Dzu Nuwas, raja terakhir orang-orang Himyar yang musyrik; dialah orang yang membunuh kaum Nasrani dengan memasukkan mereka ke dalam parit yang berapi, jumlah mereka yang dibunuh olehnya kurang lebih ada dua puluh ribu orang. Tiada seorang pun dari mereka yang selamat kecuali Daus yang dijuluki dengan panggilan Dzu Tsa‘labain.

Daus melarikan diri dan meminta pertolongan kepada Kaisar raja di negeri Syam, yang juga seagama dengannya, yaitu pemeluk agama Nasrani. Maka Kaisar berkirim surat perintah kepada Raja Najasyi di negeri Habsyah, mengingat letak geografis lebih dekat ke negeri Yaman.

Maka Raja Najasyi mengirimkan dua orang panglima perangnya – yaitu Aryath dan Abrahah ibnush-Shabah Abu Yaksum – dengan membawa pasukan yang sangat banyak jumlahnya. Maka mereka memasuki negeri Yaman dan mereka merajalela di kota-kotanya, lalu merebut kerajaan negeri Yaman dari tangan orang-orang Himyar, sedangkan Dzu Nuwas sendiri tewas karena tenggelam di laut.

Dan Habsyah menjadikan negeri Yaman sebagai negeri yang berdiri sendiri di bawah pimpinan kedua panglima tersebut, yaitu Ayath, dan Abrahah. Lalu keduanya berselisih pendapat mengenai siapa di antara keduanya yang berhak menjadi raja di negeri Yaman; keduanya berupaya menjatuhkan yang lainnya. Pada akhirnya salah satu pihak berkata kepada pihak lawannya: “Kita tidak perlu mengorbankan prajurit yang tidak berdosa di antara kita, lebih baik kita perang tanding saja antara aku dan kamu. Maka barang siapa yang dapat mengalahkan lawannya dan berhasil membunuhnya, dialah yang berhak menjadi raja di negeri ini.” Pihak lainnya menyetujui usul ini, akhirnya keduanya bertanding dalam suatu ajang perang yang di belakang masing-masing pihak ada parit.

Di suatu kesempatan Aryath berhasil menebaskan pedangnya dan mengenai hidung dan mulut Abrahah, dan hampir saja membelah wajahnya. Maka Atudah maula (bekas budak) Abrahah membela majikannya dan menyerang Aryath serta berhasil membunuhnya. Maka Abrahah diusung dari arena itu dalam keadaan terluka, lalu lukanya diobati hingga akhirnya ia sembuh; setelah itu ia sendirilah yang memimpin tentara Habsyah di negeri Yaman.

Raja Najasyi (Negus) berkirim surat kepadanya, yang isinya mencela perbuatannya itu dan mengancamnya serta bersumpah bahwa dirinya benar-benar akan menginjak-injak negeri Yaman dan membelah ubun-ubunnya. Maka Abrahah membalas suratnya dengan nada memohon belas kasihan dan berdiplomasi, seraya mengirimkan hadiah-hadiah, cindera mata, dan kantong yang berisikan tanah negeri Yaman serta potongan rambut ubun-ubunnya. Semuanya itu ia kirimkan bersama kurirnya untuk disampaikan kepada Raja Najasyi.

Di dalam suratnya Abrahah mengatakan: “Hendaklah Anda (raja) menginjak-injak tanah ini untuk menunaikan sumpah Anda, dan inilah potongan rambut ubun-ubunku kuserahkan kepadamu.” Ketika hal tersebut sampai di pangkuan Raja Najasyi, ternyata ia terpikat dengan cara yang dilakukan Abrahah, dan akhirnya ia puas dan mendukung apa yang dilakukan oleh Abrahah. Dan dalam suratnya itu Abrahah menjanjikan kepada Najasyi bahwa dirinya akan membangun sebuah gereja di tanah Yaman atas nama Raja Najasyi, yang belum pernah ada suatu gereja pun dibangun sebesar itu.

Maka Abrahah membangun sebuah gereja yang sangat besar di kota Shan‘a bangunannya tinggi sekali lagi dipenuhi dengan berbagai ukiran dan pahatan; orang-orang Arab menamainya Al-Qulais. Disebut demikian karena bangunannya tinggi sekali, hingga membuat qalansuwah (peci) orang yang memandangnya hampir saja terjatuh dari kepalanya, mengingat puncaknya tinggi sekali.

Kemudian Abrahah menginstruksikan kepada Asyram agar memalingkan para peziarah dari kalangan orang-orang ‘Arab untuk mengunjunginya sebagaimana Ka‘bah di Makkah dikunjungi mereka. Dan Abrahah memerintahkan kepada Asyram supaya menyerukan pengumuman ini di seluruh kerajaannya. Maka orang-orang ‘Arab keturunan ‘Adnan dan Qahthan tidak suka dengan hal tersebut, dan orang-orang Quraisy sangat marah karenanya, hingga sebagian dari mereka ada yang bertekad membuat kerusuhan di dalamnya. Dia masuk dengan diam-diam ke dalamnya di malam hari, lalu menimbulkan peristiwa yang menggemparkan di dalamnya, setelah itu ia lari pulang ke Hijaz.

Ketika para pelayan gereja melihat peristiwa tersebut, mereka melaporkan kepada rajanya (yaitu Abrahah) dan mengatakan kepadanya bahwa sesungguhnya yang melakukan peristiwa tersebut tiada lain adalah kaki tangan orang-orang Quraisy, karena mereka marah dan tidak suka dengan adanya gereja ini yang dianggap menyaingi kepunyaan mereka. Maka Abrahah bersumpah bahwa dirinya benar-benar akan menuju ke Ka‘bah di Makkah dan benar-benar akan menghancurkannya batu demi batu hingga rata dengan tanah.

Muqatil ibnu Sulaiman menyebutkan bahwa ada seorang pemuda dari kalangan Quraisy memasuki gereja besar di Yaman itu, lalu ia membakarnya, sedangkan di hari itu cuaca sangat panas, maka dengan mudahnya gereja itu terbakar hingga ambruk. Karena peristiwa itulah Abrahah bersiap-siap menghimpun bala tentaranya dalam jumlah yang sangat besar. Lalu ia berangkat dengan pasukannya itu dengan maksud agar tiada seorang pun yang dapat menghalang-halangi niatnya. Selain dari itu ia membawa seekor gajah yang besarnya tak terperikan, diberi nama Mahmud; gajah tersebut sengaja dikirim oleh Raja Najasyi kepadanya untuk tujuan tersebut. Bahkan menurut pendapat lain, selain gajah Mahmud itu ada delapan gajah lainnya; dan menurut pendapat lainnya lagi dua belas ekor gajah; hanya Allah-lah Yang Maha Mengetahui.

Gajah tersebut akan dijadikan sebagai sarana untuk merobohkan Ka‘bah, misalnya mengikat semua sisi Ka‘bah dengan rantai, lalu mengikatnya pada leher gajah, maka gajah akan menariknya dan tembok Ka‘bah akan runtuh sekaligus dalam waktu yang singkat.

Ketika orang-orang ‘Arab mendengar keberangkatan Abrahah dengan pasukannya yang bergajah itu, maka mereka merasakan adanya bahaya yang amat besar akan menimpa diri mereka. Dan mereka merasakan bahwa sudah merupakan keharusan bagi mereka membela Bait mereka dan mengusir orang-orang yang bermaksud jahat terhadapnya.

Maka bangkitlah seorang lelaki dari kalangan penduduk Yaman yang terhormat dan terbilang sebagai pemimpin mereka untuk mengadakan perlawanan terhadap Abrahah. Orang tersebut bernama Dzu Nafar, maka ia menyerukan kepada kaumnya dan orang-orang ‘Arab lainnya untuk memerangi Abrahah dan berjihad melawannya demi membela Baitullāh, karena Abrahah bermaksud akan merobohkannya dan meratakannya dengan tanah.

Seruannya itu mendapat sambutan yang hangat dari mereka, lalu mereka berperang melawan Abrahah dipimpin oleh Dzu Nafar, tetapi pada akhirnya Dzu Nafar kalah. Ini tiada lain karena kehendak Allah s.w.t. yang bertujuan akan memuliakan Baitullāh dan mengagungkannya. Dzu Nafar ditawan, tetapi Abrahah memaafkannya dan membawanya pergi bersama ke Makkah.

Dan ketika perjalanan Abrahah sampai di tanah orang-orang Khats‘am. Ia dihalangi oleh Nufail ibnu Habib al-Khats‘am bersama kaumnya, yang memeranginya selama dua bulan. Tetapi pada akhirnya Abrahah berhasil mengalahkan mereka dan menawan Nufail ibnu Habib; pada mulanya Abrahah bermaksud membunuhnya, kemudian ia memaafkannya dan membawanya serta ke Makkah sebagai penunjuk jalannya di negeri Hijaz.

Ketika perjalanan Abrahah sampai di dekat Tha’if, maka para penduduk Tha’if datang menyambutnya dan bersikap diplomatis dengannya karena takut dengan rumah peribadatan mereka yang mereka beri nama al-Lata, karena Abrahah menghormati mereka. Dan mereka mengirimkan Abu Rigal untuk pergi bersamanya sebagai penunjuk jalan.

Ketika perjalanan Abrahah sampai di al-Magmas – yaitu di suatu tempat yang terletak tidak jauh dari Makkah – ia turun beristirahat, sedangkan bala tentaranya merampas semua ternak penduduk Makkah dan sekitarnya atas perintah Abrahah sendiri. Dan di antara ternak unta yang dirampas terdapat dua ratus ekor unta milik ‘Abd-ul-Muththalib. Dan tersebutlah orang yang diserahi oleh Abrahah untuk memimpin perampasan ternak itu adalah komandan pasukan terdepannya yang dikenal dengan nama al-Aswad ibnu Maqshud, lalu ia dikecam oleh sebagian bangsa ‘Arab melalui bait-bait syairnya, menurut apa yang diriwayatkan oleh Ibnu Ishaq.

Abrahah mengirimkan Hannathah al-Himyari ke Makkah dan memerintahkan kepadanya supaya kembali membawa orang Quraisy yang paling terhormat. Dan Abrahah menyampaikan kepadanya bahwa dia datang bukan untuk memerangi kamu, terkecuali jika kamu menghalang-halanginya dari Baitulullāh. Maka datanglah Hannathah ke Makkah, lalu ditunjukkan kepadanya rumah ‘Abd-ul-Muththalib ibnu Hisyam, lalu ia menyampaikan kepadanya apa yang dikatakan oleh Abrahah. Maka ‘Abd-ul-Muththalib mengatakan kepadanya: “Demi Allah, kami tidak berniat untuk memeranginya, juga kami tidak mempunyai kekuatan untuk itu. ini adalah Baitullāh yang disucikan dan merupakan bait (rumah) kekasih-Nya, yaitu Ibrahim. Maka jika Dia mempertahankannya, sudah wajar karena ia adalah rumah-Nya yang disucikan. Dan jika Dia membiarkan antara bait-Nya dan Abrahah, maka tiada kemampuan bagi kami untuk mempertahankannya.”

Hannathah berkata kepada ‘Abd-ul-Muththalib: “Kalau begitu, marilah engkau pergi bersamaku untuk menemuinya.” Maka ‘Abd-ul-Muththalib berangkat bersama Hannathah. Dan ketika Abrahah melihat ‘Abd-ul-Muththalib, ia terkejut melihat penampilan ‘Abd-ul-Muththalib yang tinggi lagi berwibawa dan tampan. Maka ia menghormatinya, dan ia turun dari singgasananya, lalu duduk bersama ‘Abd-ul-Muththalib di hamparan permadani.

Abrahah berkata kepada juru terjemahnya untuk mengatakan kepada ‘Abd-ul-Muththalib mengenai keperluannya hingga datang menghadap kepadanya. ‘Abd-ul-Muththalib berkata kepada juru terjemah Abrahah: “Sesungguhnya aku datang untuk keperluanku sendiri, yaitu sudilah kiranya sang raja (Abrahah) menyerahkan kepadanya dua ratus ekor unta miliknya yang telah dirampasnya.”

Abrahah terkejut dan mengatakan kepada juru terjemahnya bahwa katakanlah kepadanya: “Sesungguhnya pada mulanya ketika aku melihatmu, aku merasa kagum dengan penampilan dan wibawamu. Tetapi setelah engkau berbicara kepadaku, kesanku menjadi sebaliknya; apakah engkau berbicara kepadaku hanya mengenai dua ratus ekor unta yang telah kurampas darimu? Sedangkan engkau meninggalkan bait-mu yang merupakan agamamu dan agama nenek moyangmu, padahal aku datang untuk merobohkannya, lalu mengapa engkau tidak berbicara kepadaku mengenainya?”

‘Abd-ul-Muththalib menjawab: “Sesungguhnya aku adalah pemilik unta itu dan sesungguhnya bait itu mempunyai Pemiliknya sendiri yang akan membelanya.” Abrahah berkata: “Dia tidak akan dapat mencegahku dari merobohkannya.” ‘Abd-ul-Muththalib berkata: “Kalau begitu, terserah Anda.”

Menurut suatu pendapat, sesungguhnya bersama ‘Abd-ul-Muththalib terdapat segolongan orang-orang terhormat dari kalangan orang-orang ‘Arab. Mereka menawarkan kepada Abrahah sepertiga dari harta Tihamah dengan syarat Abrahah mengurungkan niatnya dari menghancurkan Ka‘bah. Tetapi Abrahah menolak tawaran mereka dan mengembalikan kepada ‘Abd-ul-Muththalib dua ratus ekor untanya.

‘Abd-ul-Muththalib kembali ke Makkah dan menemui orang-orang Quraisy, lalu memerintahkan kepada mereka agar keluar dari Makkah dan berlindung di atas puncak-puncak bukitnya karena takut akan serangan bala tentara Abrahah. Setelah itu ‘Abd-ul-Muththalib pergi ke Ka‘bah dan memegang pegangan pintu Ka‘bah, sedangkan di belakangnya ikut beberapa orang dari kaum Quraisy. Mereka semuanya berdoa kepada Allah dan memohon pertolongan kepada-Nya dari serangan Abrahah dan bala tentaranya.

‘Abd-ul-Muththalib dalam doanya itu mengatakan seraya memegang pegangan pintu Ka‘bah:

اللهُمَّ إِنَّ الْمَرْءَ يَمْ نَعُ رَحْلَهُ فَامْنَعْ رِحَالَكَ
لَا يَغْلِبَنَّ صَلِيْبُهُمْ وَ مَحَالُهُمْ أَبَدًا مَحَالِكَ

 

Ya Allah, sesungguhnya seseorang itu diharuskan membela ternak unta miliknya, maka belalah kepemilikan-Mu. Janganlah sekali-kali Engkau biarkan salib dan kekuasaan mereka selamanya menang atas tempat-Mu ini.

Setelah itu ‘Abd-ul-Muththalib melepaskan pegangan pintu Ka‘bah, lalu ia bersama orang-orang Quraisy lainnya keluar menuju ke daerah perbukitan, berlindung di puncak-puncaknya. Demikianlah menurut Ibnu Ishaq.

Muqatil ibnu Sulaiman menyebutkan bahwa mereka meninggalkan di dekat Baitullāh seratus ekor unta budnah yang telah dikalungi (untuk dikurbankan), dengan tujuan mudah-mudahan sebagian tentara Abrahah ada yang berani mengganggunya dan menyembelih sebagiannya tanpa hak, maka akibatnya Allah akan menghukum mereka.

Dan pada pagi harinya Abrahah bersiap-siap untuk memasuki kota Makkah, lalu menyiapkan gajahnya yang diberi nama Mahmud dan ia menyiapkan pula bala tentaranya. Setelah semuanya siap, maka mereka mengarahkan gajahnya menuju ke arah Mekah, tetapi sebelum itu Nufail ibnu Habib datang dan berdiri di dekat gajah, lalu berkata: “Hai Mahmud, duduklah kamu dan kembalilah dengan penuh kesadaran menuju ke tempat asal kedatanganmu, karena sesungguhnya engkau berada di negeri Allah yang disucikan,” setelah itu melepaskan telinga gajah Mahmud, yang dipegangnya saat ia membisikinya.

Maka gajah itu duduk, dan Nufail lari dengan kencangnya menuju ke daerah perbukitan dan berlindung di puncaknya. Mereka memukuli gajah itu supaya berdiri, akan tetapi itu membangkang dan tidak mau berdiri. Lalu mereka memukul kepalanya dengan palu agar bangkit, dan mereka masukkan tongkat mereka ke bagian lubang telinganya, menariknya dengan tujuan agar mau berdiri, tetapi gajah itu tetap menolak. Kemudian mereka mengarahkannya ke negeri Yaman, dan ternyata tanpa sulit gajah itu bangkit dengan sendirinya, lalu berlari kecil menuju ke arah itu. Kemudian mereka mencoba untuk mengarahkannya ke negeri Syam, dan gajah itu menuruti perintahnya; mereka coba mengarahkannya ke timur, maka gajah itu mengikuti perintah. Tetapi bila diarahkan ke Makkah, gajah itu diam dan duduk.

Dan Allah mengirimkan kepada mereka sejumlah besar burung dari arah laut yang bentuknya seperti burung walet dan burung balsan; tiap-tiap ekor membawa tiga buah batu. Satu di paruhnya dan yang dua dipegang oleh masing-masing dari kedua kakinya; batu itu sebesar kacang humsh dan kacang ‘adas. Tiada seorang pun dari mereka yang terkena batu itu melainkan pasti binasa, tetapi tidak seluruhnya terkena batu itu.

Akhirnya mereka melarikan diri dan lari tunggang-langgang ke arah semula mereka datang seraya mencari Nufail ibnu Habib untuk menunjukkan kepada mereka jalan pulangnya. Sedangkan Nufail berada di atas bukit bersama orang-orang Quraisy dan orang-orang ‘Arab Hijaz lainnya, menyaksikan apa yang ditimpakan oleh Allah s.w.t. kepada tentara bergajah itu sebagai adzab dari-Nya. Dan ketika menyaksikan pemandangan itu Nufail berkata:

أَيْنَ الْمَفَرُّ وَ الإِلهُ الطَّالِبُ وَ الأَشْرَمُ الْمَغْلُوْبُ لَيْسَ الْغَالِبَ

Ke manakah tempat untuk berlari dari kejaran Tuhan yang mengejar; Asyram kalah dan tidak menang.

Ibnu Ishaq mengatakan bahwa Nufail ibnu Habib dalam kesempatan itu mengumandangkan bait-bait syair yang berbunyi: “Mengapa engkau tidak menghormati kami dan agama kami, maka kami akan menghormati kedatanganmu dengan penghormatan yang luar biasa. Demi suatu agama yang seandainya engkau melihat sebagaimana yang kami lihat di dekat al-Muhashshib, tetapi ternyata engkau tidak melihatnya. Jika engkau melihatnya, tentulah engkau memaafkanku dan memuji tindakanku, dan engkau tidak akan mengalami kekecewaan dari apa yang telah terlewatkan di antara kita. Aku memuji kepada Allah ketika melihat kedatangan burung-burung, dan aku menjadi takut akan tertimpa oleh batu-batu yang dijatuhkannya. Maka semua kaum (tentara Habsyah) mencari-cari Nufail, seakan-akan aku mempunyai utang kepada tentara Habasyah itu.”

Al-Waqidi meriwayatkan berikut sanadnya, bahwa mereka bersiap-siap untuk memasuki Makkah dan gajahnya telah mereka persiapkan pula, tetapi manakala mereka mengarahkannya ke salah satu tujuan dari tujuan yang lain, maka gajah itu mau bergerak. Dan jika mereka arahkan gajahnya menuju ke kota suci Makkah, tiba-tiba ia duduk dan mengeluarkan suaranya (menolak). Lalu Abrahah memaksa pawang gajah dan membentaknya, bahkan memukulinya supaya ia memaksa gajah agar mau masuk ke kota Makkah; mereka memakan waktu yang cukup lama untuk itu.

Unduh Rujukan:

  • [download id="19867"]

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *