Hati Senang

Surah al-Fil 105 ~ Tafsir Ibni Katsir (2/3)

Tafsir Ibnu Katsir

Dari Buku:
Tafsir Ibnu Katsir, Juz 30
(An-Nabā’ s.d. An-Nās)
Oleh: Al-Imam Abu Fida’ Isma‘il Ibnu Katsir ad-Dimasyqi

Penerjemah: Bahrun Abu Bakar L.C.
Penerbit: Sinar Baru Algensindo Bandung

Sedangkan ‘Abd-ul-Muththalib dan segolongan orang dari para pemuka penduduk Makkah – antara lain Muth‘im ibnu ‘Adi, ‘Amr ibnu ‘Aid ibnu ‘Imran ibnu Makhzum, dan Mas‘ud ibnu ‘Amr ats-Tsaqafi – berada di Gua Hira menyaksikan apa yang dilakukan oleh tentara Habsyah itu, dan apa yang dialami mereka dengan gajahnya yang membangkang itu; kisahnya sangat ajaib dan aneh.

Ketika mereka sedang dalam keadaan demikian, tiba-tiba Allah mengirimkan kepada tentara Habsyah yang bergajah itu burung Abābīl, gelombang demi gelombang yang warna bulunya kuning, lebih kecil daripada merpati, sedangkan kakinya berwarna merah; tiap-tiap burung membawa tiga buah batu kerikil. Lalu iringan burung-burung itu tiba dan berputar di atas mereka, kemudian menimpakan batu-batu itu kepada mereka hingga mereka binasa.

Muhammad ibnu Ishaq mengatakan bahwa tentara Habsyah datang dengan membawa dua ekor gajah; ada pun gajah Mahmud hanya mendekam dan tidak mau bangkit, sedangkan gajah lainnya memberanikan dirinya dan akhirnya ia terkena batu itu.

Wahb ibnu Munabbih mengatakan bahwa mereka membawa banyak gajah, sedangkan gajah Mahmud adalah kendaraan raja mereka, Mahmud mendekam dengan tujuan agar gajah lainnya mengikuti jejaknya. Dan ternyata di antara kumpulan gajah yang mereka bawa ada seekor gajah yang memberanikan dirinya melangkah, maka ia tertimpa batu dan binasa hingga gajah lainnya kabur melarikan diri.

‘Atha’ ibnu Yasar dan lain-lainnya mengatakan bahwa tentara bergajah itu tidak semuanya binasa oleh adzab seketika itu juga, bahkan di antara mereka ada yang segera mati, dan di antaranya ada yang tubuhnya rontok anggota demi anggota dalam pelariannya, yang pada akhirnya binasa juga. Sedangkan Abrahah termasuk dari mereka yang tubuhnya rontok anggota demi anggota, hingga akhirnya mati di tanah orang-orang Khats‘am.

Ibnu Ishaq mengatakan bahwa lalu mereka melarikan diri, sedangkan anggota tubuh mereka rontok satu demi satu, dan di setiap jalan mereka mati bergelimpangan. Sedangkan Abrahah, tubuhnya terkena oleh batu itu, lalu mereka membawanya lari bersama mereka, dan tubuhnya rontok sedikit demi sedikit, hingga sampailah mereka bersamanya di Shan‘a, sedangkan keadaan Abrahah seperti anak burung yang baru menetas. Dan Abrahah masih belum mati kecuali setelah dadanya terbelah dan jantungnya keluar; demikianlah menurut shahibul hikayat.

Muqatil ibnu Sulaiman menceritakan bahwa orang-orang Quraisy memperoleh harta yang banyak dari jarahan harta benda pasukan Abrahah itu, sehingga disebutkan bahwa pada hari itu ‘Abd-ul-Muththalib mendapat emas yang jumlahnya dapat memenuhi suatu galian sumur.

Ibnu Ishaq mengatakan, telah menceritakan kepadaku Ya‘qub ibnu ‘Utbah yang menceritakan kepadanya bahwa penyakit cacar dan lepra di tanah ‘Arab mula-mula terjadi pada tahun itu. Dan bahwa pahitnya buah harmal, hanzal, dan ‘usr dirasakan sejak tahun itu. Hal yang sama telah diriwayatkan dari ‘Ikrimah melalui jalur yang jayyid.

Ibnu Ishaq mengatakan bahwa ketika Allah s.w.t. berkehendak mengutus Nabi Muḥammad s.a.w., maka termasuk di antara karunia dan nikmat yang dilimpahkan-Nya kepada kaum Quraisy ialah terusirnya tentara Habsyah dari mereka, demi menjaga tetapnya kekuasaan dan masa keemasan mereka (Quraisy). Untuk itulah maka disebutkan oleh firman-Nya:

أَلَمْ تَرَ كَيْفَ فَعَلَ رَبُّكَ بِأَصْحَابِ الْفِيْلِ، أَلَمْ يَجْعَلْ كَيْدَهُمْ فِيْ تَضْلِيْلٍ، وَ أَرْسَلَ عَلَيْهِمْ طَيْرًا أَبَابِيْلَ، تَرْمِيْهِمْ بِحِجَارَةٍ مِّنْ سِجِّيْلٍ، فَجَعَلَهُمْ كَعَصْفٍ مَّأْكُوْلٍ.

Apakah kamu tidak memperhatikan bagaimana Tuhanmu telah bertindak terhadap tentara bergajah. Bukankah Dia telah menjadikan tipu daya mereka (untuk menghancurkan Ka‘bah) itu sia-sia?. Dan Dia mengirimkan kepada mereka burung yang berbondong-bondong, yang melempari mereka dengan batu (berasal) dari tanah yang terbakar, lalu Dia menjadikan mereka seperti daun-daun yang dimakan (ulat).

Dan juga firman-Nya:

لإِيلافِ قُرَيْشٍ، إِيلافِهِمْ رِحْلَةَ الشِّتَاء وَالصَّيْفِ، فَلْيَعْبُدُوا رَبَّ هذَا الْبَيْتِ، الَّذِي أَطْعَمَهُم مِّن جُوعٍ وَآمَنَهُم مِّنْ خَوْفٍ.

Karena kebiasaan orang-orang Quraisy, (yaitu) kebiasaan mereka bepergian pada musim dingin dan musim panas. Maka hendaklah mereka beribadah kepada Tuhan Pemilik rumah ini (Ka‘bah). Yang telah memberi makanan kepada mereka untuk menghilangkan lapar dan mengamankan mereka dari ketakutan. (Al-Quraisy 1-4)

Yakni agar tiada sesuatu pun yang mengubah keadaan mereka dari kebiasaannya, yang hal tersebut tiada lain karena Allah berkehendak baik terhadap mereka, sekiranya mereka mensyukurinya.

Ibnu Hisyam mengatakan bahwa abābīl artinya berbondong-bondong, dalam bahasa ‘Arab kata ini tidak ada bentuk tunggalnya. Ibnu Hisyam mengatakan pula bahwa ada pun makna sijjīl, menurut apa yang telah dikatakan oleh Yunus an-Nahwi dan Abu ‘Ubaidah, makna yang dimaksud menurut orang Arab ialah yang sangat keras.

Ibnu Hisyam mengatakan bahwa sebagian ulama tafsir mengatakan bahwa keduanya merupakan kata yang berasal dari bahasa Persia, lalu oleh orang ‘Arab dijadikan menjadi satu. Sesungguhnya yang dimaksud tiada lain sama dengan batu dan tanah liat. Ulama tafsir itu mengatakan bahwa batu-batu tersebut berasal dari kedua jenis itu, yakni batu dan tanah liat.

Ibnu Hisyam mengatakan bahwa al-‘ashfu artinya daun tanaman yang belum diketam, bentuk tunggalnya adalah ‘ashfah; demikianlah menurut apa yang dikemukakan oleh Ibnu Hisyam.

Hammad ibnu Salamah telah meriwayatkan dari ‘Amir, dari Dzurr, dari ‘Abdullah dan Abu Salamah ibnu ‘Abdur-Rahman sehubungan dengan makna firman-Nya:

طَيْرًا أَبَابِيْلَ

Burung yang berbondong-bondong. (al-Fīl: 3)

Maksudnya, yang bergelombang-gelombang. Ibnu ‘Abbas dan adh-Dhaḥḥak mengatakan bahwa makna yang dimaksud ialah sebagian darinya mengiringi sebagian yang lainnya. Al-Hasan al-Bashri dan Qatadah mengatakan bahwa yang dimaksud dengan abābīl ialah yang banyak jumlahnya. Mujahid mengatakan bahwa abābīl artinya yang berpencar, berturut-turut, lagi berbondong-bondong. Ibnu Zaid mengatakan bahwa yang dimaksud dengan abābīl ialah berpencar-pencar, ada yang datang dari arah ini dan arah itu, yakni mendatangi mereka dari segala penjuru. Al-Kisa’i mengatakan bahwa ia pernah mendengar sebagian ulama Nahwu mengatakan bahwa bentuk tunggal abābīl ialah ibil.

Ibnu Jari mengatakan, telah menceritakan kepadaku ‘Abdul-A‘la, telah menceritakan kepadaku Daud, dari Ishaq ibnu ‘Abdullah ibnul-Harits ibnu Naufal yang mengatakan sehubungan dengan makna firman Allah s.w.t.:

وَ أَرْسَلَ عَلَيْهِمْ طَيْرًا أَبَابِيْلَ

Dan Dia mengirimkan kepada mereka burung yang berbondong-bondong. (al-Fīl: 3)

Yaitu berkelompok-kelompok seperti ternak unta yang dilepas bebas. Dan telah menceritakan kepada kami Abu Kuraib, telah menceritakan kepada kami Waki‘, dari Ibnu ‘Aun, dari Ibnu Sirin, dari Ibnu ‘Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya:

وَ أَرْسَلَ عَلَيْهِمْ طَيْرًا أَبَابِيْلَ

Dan Dia mengirimkan kepada mereka burung yang berbondong-bondong. (al-Fīl: 3)

Maksudnya, burung-burung yang mempunyai belalai seperti gajah dan cakar-cakar yang seperti kaki anjing.

Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ya‘qub ibnu Ibrahim, telah menceritakan kepada kami Hasyim, telah menceritakan kepada kami Hushain, dari ‘Ikrimah sehubungan dengan makna firman-Nya:

طَيْرًا أَبَابِيْلَ

Burung yang berbondong-bondong. (al-Fīl: 3)

Burung-burung itu berwarna hijau keluar dari laut, kepalanya seperti kepala serigala. Telah menceritakan pula kepada kami Ibnu Basysyar, telah menceritakan kepada kami Ibnu Mahdi, dari Sufyan, dari al-A‘masy, dari Abu Sufyan, dari ‘Ubaid ibnu ‘Umair sehubungan dengan makna firman-Nya:

طَيْرًا أَبَابِيْلَ

Burung yang berbondong-bondong. (al-Fīl: 3)

Yakni burung yang muncul dari laut yang paruh dan kedua cakarnya semuanya berwarna hitam; semua sanad riwayat di atas berpredikat shaḥīḥ.

Sa‘id ibnu Jubair mengatakan bahwa burung itu berwarna hijau, sedangkan paruhnya berwarna kuning. Burung-burung itu silih berganti menyerang mereka. Diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas, Mujahid dan ‘Atha’, bahwa burung ababil itu bentuknya serupa dengan burung garuda yang dikenal di daerah Maghrib. Demikianlah menurut apa yang diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim dari mereka.

Ibnu Abi Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Zar‘ah, telah menceritakan kepada kami ‘Ubaidillah ibnu Muhammad ibnu Abu Syaibah, telah menceritakan kepada kami Abu Mu‘awiyah, dari al-A‘masy, dari Abu Sufyan, dari ‘Ubaid ibnu ‘Umair yang mengatakan bahwa ketika Allah berkehendak akan membinasakan tentara bergajah, maka Dia mengirimkan kepada mereka pasukan burung yang dikeluarkan dari laut yang gesitnya sama dengan burung walet. Tiap ekor burung membawa tiga buah batu yang terbagi pada paruhnya satu buah dan pada masing-masing kedua kakinya satu buah.

Burung-burung itu datang berbaris bershaf-shaf di atas mereka, lalu mengeluarkan suaranya dan menjatuhkan batu-batu yang ada pada paruh dan kedua kakinya. Maka tiada sebuah batu pun yang menimpa kepala seseorang dari mereka melainkan tembus sampai ke duburnya, dan tidak sekali-kali batu itu mengenai sesuatu dari tubuh seseorang dari mereka melainkan tembus ke bagian lainnya. Allah mengirimkan pula angin yang kencang sehingga menambah kencang jatuhnya batu-batuan itu hingga semuanya binasa.

As-Saddi telah meriwayatkan dari ‘Ikrimah, dari Ibnu ‘Abbas, bahwa batu-batuan dari Sijjīl, makna yang dimaksud ialah tanah liat yang telah berubah menjadi batu. Hal ini disebutkan keterangannya di atas dan tidak perlu ulangi lagi.

Firman Allah s.w.t.:

فَجَعَلَهُمْ كَعَصْفٍ مَّأْكُوْلٍ.

lalu Dia menjadikan mereka seperti daun-daun yang dimakan (ulat). (al-Fīl: 5).

Sa‘id ibnu Jubair mengatakan bahwa makna yang dimaksud ialah pakan hewan ternak yang dikenal oleh pasaran dengan istilah habūr. Menurut riwayat lain dari Sa‘id, disebutkan daun tanaman gandum. Diriwayatkan pula darinya al-‘ashfu artinya pakan ternak yang telah digerogoti oleh ulat dedaunannya. Hal yang sama telah dikatakan oleh al-Hasan al-Bashri. Diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas, bahwa al-‘ashfu artinya kulit ari biji gandum.

Ibnu Zaid mengatakan bahwa al-‘ashfu artinya daun tanaman dan daun sayuran bilamana telah dimakan oleh ternak, maka kelihatan hanya tangkainya saja. Makna yang dimaksud ialah bahwa Allah s.w.t. membinasakan mereka dan menghancurkan mereka serta menjadikan mereka “senjata makan tuan” dengan penuh kedongkolan. Tiada suatu kebaikan pun yang mereka peroleh, dan sebagian besar dari mereka binasa, serta tiada yang pulang melainkan dalam keadaan terluka parah, sebagaimana yang dialami oleh raja mereka (yaitu Abrahah). Sesungguhnya dadanya terbelah dan jantungnya kelihatan ketika ia sampai si Shan‘a, lalu ia sempat menceritakan kepada penduduk Shan‘a apa yang telah menimpa diri mereka, setelah itu ia mati. Kemudian tampuk pemerintahan negeri Yaman dipegang oleh anak Abrahah yang bernama Yaksum, setelah itu saudaranya yang bernama Masruq ibnu Abrahah.

Kemudian Saif ibnu Dzi Yazin al-Himyari berangkat menemui Kisra (Raja Persia) dan meminta bantuan kepadanya untuk menghadapi tentara Habsyah. Maka Kisra mengabulkan permintaannya dan menyerahkan kepadanya sebagian dari tentaranya yang berperang bersama Saif ibnu Dzi Yazin. Maka Allah mengembalikan kepada mereka kerajaan yang dahulu dimiliki oleh nenek moyang mereka berikut semua kekuasaannya. Kemudian berdatanganlah kepadanya delegasi-delegasi dari orang-orang ‘Arab, mengucapkan selamat atas kemenangannya.

Muhammad ibnu Ishaq mengatakan, telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah ibnu Abu Bakar, dari Amrah binti ‘Abdur-Rahman ibnu As‘ad ibnu Zuarah, dari ‘A’isyah yang mengatakan bahwa sesungguhnya ia sempat melihat bekas pawang gajah dan pemegang kendalinya di Makkah dalam keadaan telah tuna netra lagi cacat, tak dapat berjalan, dan meminta-minta (menjadi pengemis). Al-Waqidi telah meriwayatkan dari Asma’ binti Abu Bakar yang telah mengatakan bahwa kedua bekas pawang gajah itu dalam keadaan cacat parah, meminta-minta kepada orang di Asaf dan Na‘ibah, tempat orang-orang musyrik menyembelih sembelihan mereka.

Alamat Kami
Jl. Zawiyah, No. 121, Rumah Botol Majlis Dzikir Hati Senang,
RT 06 RW 04, Kp. Tajur, Desa Pamegarsari, Parung, Jawa Barat. 16330.