Surah al-Fil 105 ~ Tafsir al-Azhar

Dari Buku:
Tafsir al-Azhar
Oleh: Prof. Dr. HAMKA

Penerbit: PT. Pustaka Islam Surabaya

Sūrat-ul-Fīl

(Gajah)

Surat ke-105, 5 Ayat

Diturunkan di Makkah

 

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ

Dengan Nama Allah, Maha Pengasih, Maha Penyayang

 

أَلَمْ تَرَ كَيْفَ فَعَلَ رَبُّكَ بِأَصْحَابِ الْفِيْلِ. أَلَمْ يَجْعَلْ كَيْدَهُمْ فِيْ تَضْلِيْلٍ. وَ أَرْسَلَ عَلَيْهِمْ طَيْرًا أَبَابِيْلَ. تَرْمِيْهِمْ بِحِجَارَةٍ مِّنْ سِجِّيْلٍ. فَجَعَلَهُمْ كَعَصْفٍ مَّأْكُوْلٍ

105:1. Apakah kamu tidak memperhatikan bagaimana Tuhanmu telah bertindak terhadap tentara bergajah.
105:2. Bukankah Dia telah menjadikan tipu daya mereka (untuk menghancurkan Ka‘bah) itu sia-sia?,
105:3. Dan Dia mengirimkan kepada mereka burung yang berbondong-bondong,
105:4. Yang melempari mereka dengan batu (berasal) dari tanah yang terbakar,
105:5. Lalu Dia menjadikan mereka seperti daun-daun yang dimakan (ulat).

 

Tidakkah engkau perhatikan?” (pangkal ayat 1). Atau tidaklah engkau mendengar berita: “Bagaimana Tuhan engkau berbuat terhadap orang-orang yang mempunyai gajah?” (ujung ayat 1).

Pertanyaan Allah seperti ini adalah untuk memperkuat berita penting itu, yang ditujukan mulanya kepada Nabi s.a.w. namun maksudnya ialah untuk ummat yang percaya seumumnya.

Kisah orang-orang yang mempunyai gajah ini adalah tersebut dengan selengkapnya di dalam kitab Sīrah Ibnu Hisyām, pencatat riwayat hidup Nabi Muḥammad s.a.w. yang terkenal.

Ketika itu Tanah ‘Arab bahagian Selatan adalah di bawah kekuasaan Kerajaan Habsyī. Najasyī (Negus) menanam wakilnya di ‘Arabia Selatan itu bernama Abrahah. Sebagaimana kita ketahui, Kerajaan Habsyī adalah pemeluk Agama Kristen. Untuk menunjukkan jasanya kepada Rajanya, Abrahah sebagai Wakil Raja atau Gubernur telah mendirikan sebuah gereja di Shan’ā diberinya nama Qullais. Dibuatnya gereja itu sangat indahnya sehingga jaranglah akan tandingnya di dunia di masa itu. Setelah selesai dikirimnyalah berita kepada Najasyī: “Telah aku dirikan sebuah gereja, ya Tuanku! Dan aku percaya belumlah ada raja-raja sebelum Tuanku mendirikan gereja semegah ini. Namun hatiku belumlah puas orang ‘Arab yang selama ini berhaji ke Makkah, aku palingkan hajinya ke gereja Tuanku itu.”

Berita isi surat yang pongah ini sampai ke telinga bangsa ‘Arab, sehingga mereka gelisah. Maka bangkitlah marah seorang pemuka ‘Arab karena tempat mereka berhaji akan dialihkan dengan kekerasan. Menurut Ibnu Hisyām orang itu ialah dari kabilah Bani Faqīm in ‘Adiy. Maka pergilah dia sembunyi-sembunyi ke gereja itu, dia masuk ke dalam, dan di tengah-tengah gereja megah itu diberakinya. Setelah itu dia pun segera pulang ke negerinya.

Berita ini disampaikan orang kepada Abrahah. Lalu dia bertanya: “Siapakah yang membuat pekerjaan kotor ini?” Ada orang menjawab: “Yang berbuat kotor ini adalah orang yang membela rumah yang mereka hormati itu, tempat mereka tiap tahun naik haji, di Makkah. Setelah dia mendengar maksud Paduka Tuan hendak memalingkan haji orang ‘Arab dari rumah yang mereka sucikan kepada gereja ini orang itu marah lalu dia masuk ke dalam gereja ini dan diberakinya, untuk membuktikan bahwa gereja ini tidaklah layak buat pengganti rumah mereka yang di Makkah itu.”

Sangatlah murka Abrahah melihat perbuatan itu, dan bersumpahlah dia; akan segera berangkat ke Makkah, untuk meruntuhkan rumah itu!

Dikirimnya seorang utusan kepada Bani Kinānah, mengajak mereka mempelopori naik haji ke gereja yang didirikannya itu. Tetapi sesampai utusan itu ke negeri Bani Kinānah dia pun mati dibunuh orang.

Itu pun menambah murka dan sakit hati Abrahah.

Maka disuruhnyalah tentara Habsyinya bersiap. Setelah siap mereka pun berangkat menuju Makkah. Dia sendiri mengendarai seekor gajah, diberinya nama Maḥmūd.

Setelah tersiar berita tentara di bawah pimpinan Abrahah telah keluar hendak pergi meruntuh Ka‘bah sangatlah mereka terkejut dan seluruh kabilah-kabilah ‘Arab itu pun merasalah bahwa mempertahankan Ka‘bah dari serbuan itu adalah kewajiban mereka. Salah seorang pemuka ‘Arab di negeri Yaman bernama Dzū Nafar menyampaikan seruan kepada kaumnya dan ‘Arab tetangganya supaya bersiap menangkis dan menghadang serbuan ini. Mengajak berjihad mempertahankan Baitullāh al-Ḥarām. Banyaklah orang datang menggabungkan diri kepada Dzū Nafar itu melawan Abrahah. Tetapi karena kekuatan tidak seimbang, Dzū Nafar kalah dan tertawan. Tatkala Abrahah hendak membunuh tawanan itu berdatang sembahlah dia: “Janganlah saya Tuan bunuh. Barangkali ada faedahnya bagi tuan membiarkan saya tinggal hidup.” Karena permohonannya itu tidaklah jadi Dzū Nafar dibunuh dan tetaplah Dzū Nafar dibelenggu. Abrahah memang seorang yang suka memaafkan.

Abrahah pun meneruskan perjalanannya. Sesampai di negeri orang Khats’am tampil pula pemimpin ‘Arab bernama Nufail bin Ḥabīb al-Khats’amiy memimpin dua kabilah Khats’am, yaitu Syahran dan Nahis dan beberapa kabilah lain yang mengikutinya. Mereka pun berperang pula melawan Abrahah, tetapi Nufail pun kalah dan tertawan pula. Ketika dia akan dibunuh dia pun berdatang sembah: “Tak usah saya tuan bunuh, bebaskanlah saya supaya saya menjadi petunjuk jalan tuan di negeri-negeri ‘Arab ini.”

Dua kabilah ini, Syahran dan Nahis adalah turut perintah Tuan. Permintaannya itu pun dikabulkan oleh Abrahah dan tetaplah dia berjalan di samping Abrahah menjadi penunjuk jalan, sehingga sampailah tentara itu di Thā’if.

Sampai di Thā’if pemuka Tsaqif yang bernama Mas‘ūd bin Mu’attib bersama beberapa orang pemuka lain datang menyongsong kedatangan Abrahah, lalu mereka menyatakan ketundukan.

Dia berkata: “Wahai Raja! Kami adalah hambasahaya Tuan, kami tunduk takluk ikut perintah, tidak ada kami bermaksud melawan Tuan. Di negeri ini memang ada pula sebuah rumah yang kami puja dan muliakan (yang dimaksudnya ialah berhala yang bernama al-Lāta). Namun kami percaya bukanlah berhala kami ini yang Tuan maksud akan diruntuhkan. Yang Tuan maksud tentulah Ka‘bah yang di Makkah. Kami bersedia memberikan penunjuk jalan buat Tuan akan menuju negeri Makkah itu.” Lalu mereka berikan seorang penunjuk jalan bernama Abū Raghāl! Lantaran itu Abrahah pun melanjutkan perjalanan dengan Abū Raghāl sebagai penunjuk jalan, sampai mereka dapat istirahat di satu tempat bernama Mughammis, suatu tempat sudah dekat ke Makkah dalam perjalanan dari Thā’if.

Sesampai mereka berhenti di Mughammis itu tiba-tiba matilah Abū Raghāl si penunjuk jalan itu. Kubur Abū Raghāl itu ditandai oleh orang ‘Arab, maka setiap yang lalu lintas di dekat situ melempari kubur itu.

Setelah Abrahah berhenti dengan tentaranya di Mughammis itu diutusnyalah seorang utusan dari bangsa Habsyi ke negeri Makkah. Nama utusan itu Aswad bin Maqfūd. Dia pergi dengan naik kuda. Setelah dia sampai di wilayah Makkah dirampasinyalah harta-benda penduduk Tiḥāmah dari Quraisy dan ‘Arab yang lain. Termasuk 200 ekor unta kepunyaan ‘Abd-ul-Muththalib bin Hāsyim, yang ketika itu menjadi orang yang dituakan dan disegani dalam kalangan Quraisy. Melihat perbuatan dan perampasan yang dilakukan oleh patroli Abrahah yang bernama Aswad bin Maqfūd itu naik darahlah orang Quraisy, orang Kinānah dan Kabīlah Huzail yang semuanya hidup dikeliling Makkah yang berpusat kepada Ka‘bah, sehingga mereka pun telah menyatakan bersiap hendak berperang melawan Abrahah. Tetapi setelah mereka musyawaratkan dengan seksama, mereka pun mendapat kesimpulan bahwa tidaklah seimbang kekuatan mereka hendak melawan dengan besarnya angkatan perang musuh. Sebab itu perang tidaklah dijadikan.

Lalu Abrahah mengirim lagi perutusannya di bawah pimpinan Hunathah al-Himyariy ke Makkah, hendak mencari hubungan dengan pemuka-pemuka Makkah dan ketua-ketuanya. Lalu utusan itu menyampaikan pesan Abrahah: “Kami datang ke mari bukanlah untuk memerangi kalian. Kedatangan kami hanyalah semata-mata hendak menghancurkan rumah ini. Kalau kalian tidak mencoba melawan kami, selamatlah nyawa dan darah kalian.” Dan Abrahah berpesan pula: “Kalian memang penduduk Makkah tidak hendak melawan kami, suruhlah salah seorang ketua Makkah datang menghadapnya ke Mughammis!”

Hunathah itu pun datanglah ke Makkah menyampaikan titah raja yang tegas itu. Setelah orang yang ditemuinya menyatakan bahwa pemimpin dan ketua mereka ialah ‘Abd-ul-Muththalib bin Hāsyim. Lalu datanglah dia menuju ‘Abd-ul-Muththalib dan menyampaikan titah raja yang tegas itu. Mendengar pesan raja itu berkatalah ‘Abd-ul-Muththalib:

“Demi Allah tidaklah kami bermaksud hendak berperang dengan dia. Kekuatan kami tidak cukup untuk memeranginya. Rumah ini adalah Rumah Allah, Bait Allāh al-Ḥarām, dan Rumah Khalīl Allāh Ibrāhīm. Kalau Allah hendak mempertahankan rumah-Nya dari diruntuhkan, itulah urusan Allah sendiri. Kalau dibiarkannya rumah-Nya diruntuh orang, apalah akan daya kami. Kami tak kuat mempertahankannya.”

Berkata Hunathah: “Kalau begitu tuan sendiri harus datang menghadap baginda. Saya diperintahkan mengiringkan Tuan.”

“Baiklah”, kata ‘Abd-ul-Muththalib. Maka beliau pun pergilah bersama Hunathah menghadap Raja. Beliau diiringkan oleh beberapa orang puteranya sehingga sampailah mereka ke tempat perhentian laskar itu. Lalu dinyatakannya keadaan Dzū Nafar yang tertawan itu, sebab dia adalah sahabat lamanya, sehingga dia pun diizinkan menemuinya dan masuk ke dalam tempat tahanannya.

Dia bertanya kepada Dzū Nafar: “Hai Dzū Nafar! Adakah pendapat yang dapat engkau berikan kepadaku tentang kemusykilan yang aku hadapi ini?”

Dzū Nafar menjawab: “Tidak ada pendapat yang dapat diberikan oleh seorang yang dalam tawanan raja, yang menunggu akan dibunuh saja, entah pagi entah petang. Tak ada nasihat yang dapat saya berikan. Cuma ada satu! Yaitu pawang gajah selalu menjaga gajah raja itu, Unais namanya. Dia adalah sahabatku. Saya akan mengirim berita kepadanya tentang halmu dan saya akan memesan bahwa engkau sahabatku supaya dia pun mengerti bahwa engkau ini orang penting. Moga-moga dengan perantaraannya engkau dapat menghadap raja. Supaya engkau dapat menumpahkan perasaanmu di hadapannya, dan supaya Unais pun dapat memujikan engkau di hadapan baginda. Moga-moga dia sanggup.”

“Baiklah”, kata ‘Abd-ul-Muththalib.

Lalu Dzū Nafar mengirim orang kepada Unais pengawal gajah raja. Kepada Unais itu Dzū Nafar memesankan siapa ‘Abd-ul-Muththalib. Bahwa dia adalah ketua orang Quraisy, yang empunya sumur Zamzam yang terkenal itu, yang memberi makan orang yang terlantar di tanah rendah dan memberi makan binatang buas di puncak-puncak bukit. Untanya 200 ekor dirampas hamba-hamba raja, dia mohon izin menghadap baginda, dan engkau usahakanlah supaya pertemuan itu berhasil.

“Saya sanggupi”, kata Unais. Maka Unais pun datanglah menghadap raja mempersembahkan darihal ‘Abd-ul-Muththalib itu: “Daulat Tuanku, beliau adalah Ketua Quraisy.”

Dia telah berdiri di hadapan pintu Tuanku, ingin menghadap. Dialah yang menguasai Zamzam di Makkah. Dialah yang memberi makanan manusia di tanah rendah dan memberi makanan binatang buas di puncak gunung-gunung. Beri izinlah dia masuk, Tuanku. Biarlah dia menyampaikan apa yang terasa di hatinya.”

“Suruhlah dia masuk”, titah Raja.

‘Abd-ul-Muththalib adalah seorang yang rupawan, berwajah menarik dan berwibawa, besar dan jombang. Baru saja dia masuk, ada sesuatu yang memaksa Abrahah berdiri menghormatinya dan menjemputnya ke pintuk khemah. Abrahah merasa tidaklah layak orang ini akan duduk di bawah dari kursinya. Sebab itu baginda sendirilah yang turun dari kursi dan sama duduk di atas hamparan itu berdekat dengan ‘Abd-ul-Muththalib. Kemudian itu bertitahlah baginda kepada penterjemah: “Suruh katakanlah apa hajatnya!”

‘Abd-ul-Muththalib menjawab dengan perantaraan penterjemah: “Maksud kedatanganku ialah memohonkan kepada raja agar unta kepunyaanku, 200 ekor banyaknya, yang dirampas oleh hambasahaya baginda, dipulangkan kepadaku.”

Raja menjawab dengan perantaraan penterjemah: “Katakan kepadanya: Mulai dia masuk aku terpesona melihat sikap dan rupanya, yang menunjukkan dia seorang besar dalam kaumnya. Tetapi setelah kini dia mengemukakan soal untanya 200 ekor yang dirampas oleh orang-orangku, dan dia tidak membicarakan sama-sekali, tidak ada reaksinya sama-sekali tentang rumah agamanya dan rumah agama nenek-moyangnya yang aku datang sengaja hendak meruntuhkannya, menjadi sangat kecil dia dalam pandanganku.”

‘Abd-ul-Muththalib menjawab: “Saya datang ke mari mengurus unta itu, karena yang empunya unta itu ialah aku sendiri. Adapun soal rumah itu, memang sengaja tidak saya bicarakan. Sebab rumah itu ada pula yang empunya, yaitu Allah. Itu adalah urusan Allah.”

Dengan sombong Abrahah menjawab: “Allah itu sendiri tidak akan dapat menghambat maksudku!”

‘Abd-ul-Muththalib menjawab: “Itu terserah Tuan, aku datang ke mari hanya mengurus untaku.”

Unta yang 200 ekor itu pun disuruh dikembalikan oleh Abrahah. ‘Abd-ul-Muththalib pun segeralah kembali ke Makkah, memberitahukan kepada penduduk Makkah pertemuannya dengan Abrahah. Lalu dia memberi nasihat supaya seluruh penduduk Makkah segera meninggalkan Makkah, mengelakkan diri ke puncak-puncak bukit keliling Makkah atau ke lurah-lurah, agar jangan sampai terinjak terlindis oleh tentara yang akan datang mengamuk.

Setelah itu, dengan diiringkan oleh beberapa pemuka Quraisy, ‘Abd-ul-Muththalib pergi ke pintu Ka‘bah dipegangnya teguh-teguh gelang pada pintunya lalu mereka berdoa bersama-sama menyeru Allah, memohon pertolongan, dan agar Allah memberikan pembalasannya kepada Abrahah dan tentaranya. Sambil memegang gelang pintu Ka‘bah itu dia bermohon:

يَا رَبِّ لَا أَرْجُوْ لَهُمْ سِوَاكَا يَا رَبِّ فَامْنَعْ مِنْهُمْ حِمَاكَا
إِنَّ عَدَوَّ الْبَيْتِ مَنْ عَادَاكَ إِنَّهُمْ لَنْ يَقْهَرُوْا قُوَاكَ

Ya Tuhanku! Tidak ada yang aku harap selain Engkau! Ya Tuhanku! Tahanlah mereka dengan benteng Engkau! Sesungguhnya siapa yang memusuhi rumah ini adalah musuh Engkau. Mereka tidak akan dapat menaklukkan kekuatan Engkau.

Setelah selesai bermunajat kepada Tuhan dengan memegang gelang pintu Ka‘bah itu, ‘Abd-ul-Muththalib bersama orang-orang yang mengiringkannya pun mengundurkan diri, lalu pergi ke lereng-lereng bukit, dan di sanalah mereka berkumpul menunggu apakah yang akan diperbuat Abrahah terhadap negeri Makkah bilamana dia masuk kelak.

Setelah pagi besoknya bersiaplah Abrahah hendak memasuki Makkah dan dipersiapkanlah gajahnya. Gajah itu diberinya nama Mahmud. Dan Abrahah pun telah bersiap-siap hendak pergi meruntuhkan Ka’bah, dan kalau sudah selesai pekerjaannya itu kelak dia bermaksud hendak segera pulang ke Yaman.

Setelah dihadapkannya gajahnya itu menuju Makkah, mendekatlah orang tawanan yang dijadikan penunjuk jalan itu, dari Kabilah Khats’am yang bernama Nufail bin Ḥabīb itu. Dia dekati gajah tersebut, lalu dipegangnya telinga gajah itu dengan lemah-lembutnya dan dia berbisik: “Kalau engkau hendak dihalau berjalan hendaklah engkau tengkurup saja, hai Mahmud! Lebih cerdik bila engkau pulang saja ke tempat engkau semula di negeri Yaman. Sebab engkau sekarang hendak dikerahkan ke Baladillāh al-Ḥarām (Tanah Allah yang suci lagi bertuah).”

Selesai bisikannya itu dilepaskannyalah telinga gajah itu. Dan sejak mendengar bisikan itu gajah tersebut terus tengkurup, tidak mau berdiri. Nufail bin Ḥabīb pun pergilah berjalan cepat-cepat meninggalkan tempat itu, menuju sebuah bukit.

Maka datanglah masa akan berangkat. Gajah disuruh berdiri tidak mau berdiri. Dipukul kepalanya dengan tongkat penghalau gajah yang agak runcing ujungnya, supaya dia segera berdiri. Namun dia tetap duduk tak mau bergerak. Diambil pula tongkat lain, ditonjolkan ke dalam mulutnya supaya dia berdiri, namun dia tidak juga mau berdiri. Lalu ditarik kendalinya dihadapkan ke negeri Yaman; dia pun segera berdiri, bahkan mulai berjalan kencang. Lalu dihadapkan pula ke Syam. Dengan gembira dia pun berjalan cepat menuju Syam. Lalu dihadapkan pula ke Timur, dia pun berjalan kencang. Kemudian dihadapkan dia ke Makkah, dia pun duduk kembali, tidak mau bergerak.

Padahal Abrahah sudah siap, tentaranya pun sudah siap.

Dalam keadaan yang demikian itu, demikian uraian Ibnu Hisyām dalam Sīrah-nya nampaklah di udara beribu-ribu ekor burung terbang menuju mereka. Datangnya dari jurusan laut. Burung itu membawa tiga butir batu; sebutir di mulutnya dan dua butir digenggamnya dengan kedua belah kakinya. Dengan serentak burung-burung itu menjatuhkan batu yang di bawanya itu ke atas diri tentara-tentara yang banyak itu. Mana yang kena terpekik kesakitan karena saking panasnya. Berpekikan dan berlarianlah mereka, tumpang siur tidak tentu arah, karena takut akan ditimpa batu kecil-kecil itu yang sangat panas membakar itu. Lebih banyak kena daripada yang tidak kena.

Semua menjadi kacau-balau dan ketakutan. Mana yang kena terkaparlah jatuh, dan yang tidak sampai kena hendak segera lari kembali ke Yaman. Mereka cari Nufail bin Ḥabīb untuk menunjuki jalan menuju Yaman, namun dia tidak mau lagi, malahan dia bersyair:

أَيْنَ الْمَفَرُّ وَ الْإِلهُ الطَّالِبْ وَ الْأَشْرَمُ الْمَغْلُوْبُ لَيْسَ الْغَالِبْ

 

 

Kemana akan lari, Allahlah yang mengejar, Asyram (Abrahah) yang kalah, bukan dia yang menang.

Kucar-kacirlah mereka pulang. Satu demi satu mana yang kena lontaran batu itu jatuh. Dan yang agak tegap badannya masih melanjutkan pelarian menuju negerinya, namun di tengah jalan mereka berjatuhan juga. Adapun Abrahah sendiri yang tidak terlepas dari lontaran batu itu masih sempat naik gajahnya menuju Yaman, namun di tengah jalan penyakitnya bertambah membahayakan. Terkelupas kulitnya, gugur dagingnya, sehingga sesampainya di negeri Yaman boleh dikatakan sudah seperti anak ayam menciap-ciap. Lalu mati dalam kehancuran.

Maka terkenallah tahun itu dengan nama “Tahun Gajah”. Menurut keterangan Nabi s.a.w. sendiri dalam sebuah Hadis yang shaḥīḥ, beliau dilahirkan adalah dalam tahun gajah itu. Demikianlah disebutkan oleh al-Mawardī di dalam tafsirnya. Dan tersebut pula di dalam kitab I‘lam-un-Nubuwwah, Nabi s.a.w. dilahirkan 12 Rabi‘-ul-Awwal, 50 hari saja sesudah kejadian bersejarah kehancuran tentara bergajah itu.

Setelah Nabi kita s.a.w. berusia 40 tahun dan diangkat Allah menjadi Rasul s.a.w. masih didapati dua orang peminta-minta di Makkah, keduanya buta matanya. Orang itu adalah sisa dari pengasuh-pengasuh gajah yang menyerang Makkah itu.

Bukankah telah Dia jadikan daya upaya mereka itu pada sia-sia?” (ayat 2). Usaha yang begitu sombong dan besar, jawaban Abrahah kepada ‘Abd-ul-Muththalib, bahwa Allah sendiri tidak akan sanggup bertahan kalau dia datang menyerang. Segala maksudnya hendak menghancurkan itu sia-sia belaka, dan gagal belaka.

Tersebut dalam riwayat bahwa ‘Abd-ul-Muththalib yang tengah meninjau dari atas bukit-bukit Makkah apa yang akan dilakukan oleh tentara bergajah itu melihat burung berduyun-duyun menuju tentara yang hendak menyerbu Makkah itu. Kemudian hening tidak ada gerak apa-apa. Lalu diperintahnya anaknya yang paling bungsu, ‘Abdullāh (ayah Nabi kita Muḥammad s.a.w.) pergi melihat-lihat apa yang telah kejadian, ada apa dengan burung-burung itu dan ke mana perginya. Maka dilakukannyalah perintah ayahnya dan dia pergi melihat-lihat dengan mengendarai kudanya. Tidak beberapa lamanya dia pun kembali dengan memacu kencang kudanya dan menyingsingkan kainnya. Setelah dekat, dengan tidak sabar orang-orang bertanya: “Ada apa, ‘Abdullāh?”

‘Abdullāh menjawab: “Hancur-lebur semua!” Lalu diceriterakannya apa yang dilihatnya, “Bangkai bergelimpangan dan ada yang masih menarik-narik nafas akan mati dan sisanya telah lari menuju negerinya.”

Maka berangkatlah ‘Abd-ul-Muththalib dengan pemuka-pemuka Quraisy itu menuju tempat tersebut, tidak berapa jauh dari dalam kota Makkah. Mereka dapati apa yang telah diceriterakan ‘Abdullāh bin ‘Abd-ul-Muththalib itu. Bahkan 200 ekor unta ‘Abd-ul-Muththalib dan harta-benda yang lain, dan harta-benda yang ditinggalkan, kucar-kacir oleh tentara yang hancur itu. Baik kuda-kuda kendaraan, ataupun pakaian-pakaian perang yang mahal-mahal, alat senjata peperangan, pedangnya, perisainya dan tombaknya dan emas perak banyak sekali. Maka sepakatlah kepala-kepala Quraisy itu memberikan kelebihan pembahagian yang banyak untuk ‘Abd-ul-Muththalib, sebab dia dipandang sebagai pemimpin yang bijaksana. Dengan keahliannya dapat menghadapi musuh yang begitu besar dan begitu sombong.

Sebagai kita katakan tadi, 50 hari sesudah kejadian itu, Nabi Muḥammad s.a.w. pun lahirlah ke dunia. Tetapi ayahnya dalam perjalanan ke Yatsrib, kampung dari keluarga ayahnya. Di sana dia meninggal sebelum puteranya lahir. Berkata Ibnu Isḥāq: “Setelah penyerangan orang Habsyi terhadap Makkah itu digagalkan dan dihancurkan oleh Allah sendiri, bertambah penghargaan dan penghormatan bangsa ‘Arab kepada Quraisy. Sehingga mereka katakan: ‘Orang Quraisy itu ialah Keluarga Allah. Allah berperang untuk mereka.’”

Dan Dia telah mengirimkan ke atas mereka burung berduyun-duyun.” (ayat 3). Burung-burung itu berduyun datang dari laut. Ahli-ahli tafsir bicara macam-macam tentang keadaan burung itu. Namun apa jenis burung tidak penting kita perkajikan. Sembarang burung pun dapat dipergunakan Tuhan untuk melakukan kehendak-Nya. Sedangkan tikus bisa merusakkan sebuah negeri dengan menyuruh tikus itu memakan padi yang sedang mulai masak di sawah. Sedangkan belalang berduyun-duyun beratus ribu dapat membuat satu negeri jadi lapar, apatah lagi burung berduyun-duyun (abābīl).

Yang melempari mereka dengan batu siksaan?” (ayat 4). Batu yang mengandung adzab, batu yang mengandung penyakit. Ada tafsir mengatakan bahwa batu itu telah direndang terlebih dahulu dengan api neraka. Syaikh Muḥammad ‘Abduh mencoba mentakwilkan bahwa batu itu membawa bibit penyakit cacar. Menurut keterangan ‘Ikrimah sejak waktu itulah terdapat penyakit cacar di Tanah ‘Arab. Ibnu ‘Abbās mengatakan juga bahwa sejak waktu itu adanya penyakit cacar di Tanah ‘Arab.

Dapat saja kita menerima penafsiran ini jika kita ingat bahwa membawa burung atau binatang dari satu daerah ke daerah yang lain, walaupun satu ekor, hendaklah terlebih dahulu diperiksakan kepada doktor, kalau-kalau burung itu membawa hama penyakit yang dapat menular. Demikian juga dengan tumbuh-tumbuhan. Demikian seekor burung, bagaimana kalau beribu burung?

Lalu Dia jadikan mereka seperti daun kayu yang dimakan ulat.” (ayat 5). Laksana daun kayu dimakan ulat, memang adalah satu perumpamaan yang tepat buat orang yang diserang penyakit cacar (ketumbuhan), seluruh badan akan ditumbuhi oleh bisul yang panas, malahan sampai ada yang tumbuh dalam mata. Telapak kaki yang begitu tebal pun tidak terlepas, dan muka pun akan coreng-moreng dari bekasnya. Sebagai yang telah penulis alami (1923).

Al-Qurthubī menulis dalam tafsirnya: “Hikayat tentara bergajah ini adalah satu mu’jizat lagi dari Nabi kita, walaupun beliau waktu itu belum lahir.” Dan tidak ada orang yang akan dapat melupakan bahwa nenek-kandungnya mengambil peranan penting pada kejadian ini.

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *