Hati Senang

Surah al-Falaq 113 ~ Tafsir Sayyid Quthb

Tafsir Sayyid Quthb - Tafsir Fi Zhilalil Qur'an
Dari Buku:
Tafsīr fi Zhilāl-il-Qur’ān
Oleh: Sayyid Quthb   Penerbit: Gema Insani

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ

Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang

قُلْ أَعُوْذُ بِرَبِّ الْفَلَقِ. مِنْ شَرِّ مَا خَلَقَ. وَ مِنْ شَرِّ غَاسِقٍ إِذَا وَقَبَ. وَ مِنْ شَرِّ النَّفَّاثَاتِ فِي الْعُقَدِ. وَ مِنْ شَرِّ حَاسِدٍ إِذَا حَسَدَ.

113: 1. Katakanlah: “Aku berlindung kepada Tuhan Yang Menguasai subuh, 113: 2. dari kejahatan makhluk-Nya,

113-3. dan dari kejahatan malam apabila telah gelap gulita,

113-4. dan dari kejahatan wanita-wanita tukang sihir yang menghembus pada buhul-buhul,

113-5. dan dari kejahatan orang yang dengki apabila ia dengki”.

 

Surah ini dan surah sesudahnya merupakan pengarahan dari Allah s.w.t. kepada Nabi-Nya s.a.w. dan seluruh kaum mu’minin sesudah itu, supaya berlindung ke bahwa perlindungan Allah dari segala sesuatu yang menakutkan, baik yang tersembunyi maupun yang tampak, yang tidak diketahui maupun yang diketahui, yang secara global maupun yang secara terperinci. Seakan-akan Allah membuka pintu perlindungan-Nya dan membentangkan naungan-Nya buat mereka, dan berkata kepada mereka dengan kasih sayang dan lemah lembut: “Kemarilah, kemarilah ke benteng perlindungan. Kemarilah ke tempat yang aman bagi kamu, dan kamu akan merasa tenang di dalamnya. Kemarilah karena Aku tahu bahwa kamu lemah, sedang kamu mempunyai musuh, dan di sekitarmu banyak hal yang menakutkan. Di sini terjamin keamanan, ketenangan, dan keselamatan.”

Karena itu, masing-masing surah ini dimulai dengan pengarahan: “Katakanlah: “Aku berlindung kepada Tuhan Yang Menguasai subuh…”, dan, “Katakanlah: “Aku berlindung kepada Tuhan (Yang memelihara dan menguasai) manusia….

Mengenai kisah turunnya dan operasionalnya terdapat beberapa riwayat yang sesuai dengan bayang-bayang yang kita merasakan ketenangan dan kelegaan darinya. Sehingga, menjadi jelas dengan adanya riwayat-riwayat bahwa Rasulullah merasa mendapat kelegaan dan kesenangan yang mendalam, menggembirakan, dan penuh kebebasan.

‘Uqbah bin ‘Amir r.a. mengatakan bahwa Rasulullah s.a.w. bersabda:

أَلَمْ تَرَ آيَاتٍ أُنْزِلَتْ هذِهِ اللَّيْلَةَ لَمْ يُرَ مِثْلُهُنَّ قَطُّ؟ قُلْ أَعُوْذُ بِرَبِّ الْفَلَقِ، وَ قُلْ أَعُوْذُ بِرَبِّ النَّاسِ.

“Tahukah kamu ayat-ayat yang diturunkan tadi malam, yang tidak ada ayat yang setara dengannya? Yaitu: “Qul a‘ūdzu bi Rabb-il-falaq” dan “Qul a‘ūdzu bi Rabb-in-nās.” (H.R. Mālik, Muslim, Tirmidzī, Abū Dāwūd dan an-Nasā’i).

Dari Jabir r.a. katanya: “Rasulullah s.a.w. bersabda kepadaku: “Bacalah wahai Jabir.” Saya bertanya: “Demi ayah dan ibuku, apa yang harus saya baca?” Beliau bersabda: “Bacalah: “Qul a‘ūdzu bi Rabb-il-falaq” dan “Qul a‘ūdzu bi Rabb-in-nās.” Lalu aku membacanya. Kemudian beliau bersabda: “Bacalah, karena engkau tidak akan membaca surah yang setara dengan keduanya.” (H.R. an-Nasā’i).

Dzarr bin Jaisy berkata: “Saya bertanya kepada Ubay bin Ka‘b tentang al-Mu‘awwidzatain. Saya berkata: “Wahai Abul-Mundzir, sesungguhnya saudaramu Ibnu Mas‘ud berkata begini dan begini (Ibnu Mas‘ud tidak menetapkan kedua surah ini di dalam mushḥaf-nya. Kemudian dia menerima pendapat jamaah sahabat dan menetapkan kedua surah ini di dalam mushḥaf). Ia berkata: “Saya bertanya kepada Rasulullah, lalu beliau bersabda: “Difirmankan kepadaku: “Qul”, maka saya mengucapkan begitu.” Maka, kami mengucapkannya seperti yang diucapkan oleh Rasulullah (yakni tanpa membuang lafal “Qul”).”

Semua atsar ini sesuai dengan bayang-bayang keteduhan dan kasih-sayang itu.

Di dalam surah ini, Allah s.w.t. menyebutkan Diri-Nya dengan sifat-Nya yang dapat melindungi dari kejahatan sebagaimana yang disebutkan dalam surah itu.

قُلْ أَعُوْذُ بِرَبِّ الْفَلَقِ.

Katakanlah: “Aku berlindung kepada Tuhan Yang Menguasai subuh”….” (al-Falaq: 1)

Al-Falaq antara lain berarti waktu subuh. Di antaranya juga berarti makhluk secara keseluruhan. Ini mengisyaratkan kepada sesuatu yang darinyalah muncul wujud dan kehidupan, sebagaimana firman-Nya:

Sesungguhnya, Allah menumbuhkan butir tumbuh-tumbuhan dan biji buah-buahan. Dia mengeluarkan yang hidup dari yang mati dan mengeluarkan yang mati dari yang hidup.” (al-An‘ām: 95).

Dia menyingsingkan pagi dan menjadikan malam untuk beristirahat, dan (menjadikan) matahari dan bulan untuk perhitungan.” (al-An‘ām: 96)

Baik lafal “falaq” dalam arti sudah sehingga permohonan perlindungan itu kepada Tuhan Yang Menguasai subuh – yang memberi keamanan dengan cahayanya dari kejahatan segala sesuatu yang gelap dan tersembunyi – atau dalam arti makhluk sehingga permohonan perlindungan itu kepada Tuhan Yang Menguasai semua makhluk, yang memberi keamanan dari kejahatan makhluk-makhlukNya, maka makna ini relevan sekali dengan apa yang disebutkan sesudahnya:

مِنْ شَرِّ مَا خَلَقَ.

Dari kejahatan makhluk-Nya” (al-Falaq: 2)

Yakni, kejahatan semua makhluk-Nya secara mutlak dan global. Makhluk-makhluk itu memiliki kejelekan-kejelekan dalam bermacam-macam keadaan yang saling berhubungan satu sama lain, sebagaimana mereka juga memiliki kebaikan-kebaikan dan kemanfaatan-kemanfaatan pada keadaan-keadaan yang lain. Sedangkan, permohonan perlindungan kepada-Nya di sini dari kejelekan atau kejahatannya adalah agar kebaikannya itu tetap eksis. Karena, Allah yang telah menciptakannya itu tentu berkuasa untuk mengarahkannya dan mengatur keadaan-keadaan yang dominan kebaikannya, bukan kejahatannya.

وَ مِنْ شَرِّ غَاسِقٍ إِذَا وَقَبَ.

dan dari kejahatan malam apabila telah gelap gulita” (al-Falaq: 3)

Kata: “al-ghasiq” menurut bahasa berarti yang tumpah dan yang mengalir dengan deras. Kata: “al-waqab” berarti galian di gunung yang mengalirkan air. Dan yang dimaksud di sini adalah malam dengan segala keadaannya. Malam ketika sudah tumpah lalu menggenangi daratan. Yakni, menjadikan keadaan sedemikian mencekam sehingga ia menakutkan. Apalagi pada saat seperti itu sangat rentan munculnya sesuatu yang tersembunyi dan tak diketahui. Misalnya, binatang-binatang buas yang siap menerkam, mata-mata yang siap menyergap dan membunuh, musuh licik yang dapat saja melakukan sesuatu, dan binatang-binatang berbisa yang merayap mencari mangsa. Atau, dari waswas, bisikan-bisikan, kesusahan-kesusahan, dan kesedihan-kesedihan yang merayap pada waktu malam dan mencekik perasaan. Atau, dari setan yang merasa lebih kondusif di waktu gelap untuk melancarkan kesan-kesannya. Atau, dari syahwat yang bangkit ketika sedang sendirian dan dalam suasana gelap. Juga dari sesuatu yang tampak dan yang tersembunyi, yang merayap dan melompat, pada waktu malam apabila telah gelap gulita.

وَ مِنْ شَرِّ النَّفَّاثَاتِ فِي الْعُقَدِ.

dan dari kejahatan wanita-wanita tukang sihir yang menghembus pada buhul-buhul” (al-Falaq: 4)

An-naffātsāt fil-‘uqad” adalah wanita-wanita tukang sihir yang berusaha mengganggu dan menyakiti dengan jalan menipu indra, menipu saraf, dan memberikan kesan pada jiwa dan perasaan. Mereka meniup tali-temali seperti benang atau sapu tangan, dan meniup-niup padanya seperti memintal pintalan-pintalan sihir untuk memberikan sugesti.

Sihir itu tidak mengubah tabiat sesuatu, dan tidak menimbulkan suatu hakikat yang baru. Akan tetapi, ia hanya mengkhayalkan (menimbulkan bayangan) bagi indra dan perasaan sesuai dengan kehendak si penyihir. Inilah sihir sebagaimana yang digambarkan oleh al-Qur’an-ul-Karim di dalam kisah Nabi Musa a.s.:

Berkata Musa: “Silakan kamu sekalian melemparkan.” Maka, tiba-tiba tali-tali dan tongkat-tongkat mereka, terbayang kepada Musa seakan-akan ia merayap cepat, lantaran sihir mereka. Musa merasa takut dalam hatinya. Kami berkata: “Janganlah kamu takut, sesungguhnya kamulah yang paling unggul (menang). Lemparkanlah apa yang ada di tangan kananmu, niscaya ia akan menelan apa yang mereka perbuat. Sesungguhnya, apa yang mereka perbuat itu adalah tipu daya tukang sihir (belaka). Tidak akan menang tukang sihir itu, dari mana saja ia datang.” (Thāhā: 66-69).

Demikianlah, tali-tali dan tongkat-tongkat mereka tidak berubah menjadi ular yang sebenarnya, tetapi terbayang oleh orang-orang dan Musa bahwa tali-tali itu berjalan hingga dapat menimbulkan rasa takut di dalam jiwanya. Karena itu, datang pemantapan kepada beliau dari Allah. Kemudian tersingkaplah hakikat itu ketika tongkat Musa berubah menjadi ular dan menelan tali-tali dan tongkat-tongkat yang dijadikan alat sihir itu.

Inilah tabiat sihir yang selayaknya kita terima (yaitu sebagai bayang-bayang sesuatu). Dengan tabiatnya ini, ia dapat berpengaruh terhadap jiwa manusia dan menimbulkan perasaan sesuai dengan arahannya (sugestinya), yaitu perasaan yang menakutkan mereka, mengganggu, dan mengarahkan mereka kepada yang dikehendaki oleh si tukang sihir. Sampai batas ini, kita berhenti di dalam memahami tabiat sihir dan penghembusan terhadap tali-tali. Ini merupakan kejelekan yang kita berlindung kepada Allah darinya, berlindung ke bawah pemerliharaan dan perlindungan-Nya.

Terdapat beberapa riwayat – yang sebagiannya shaḥīḥ, tetapi tidak sampai ke tingkat mutawātir – bahwa Lubaid bin A‘sham, seorang Yahudi, menyihir Nabi s.a.w. di Madinah. Ada yang mengatakan selama beberapa hari dan ada yang mengatakan selama beberapa bulan. Sehingga, terkhayalkan kepada beliau bahwa beliau mendatangi istri-istri beliau padahal sebenarnya tidak mendatanginya, menurut satu riwayat. Juga terkhayalkan kepada beliau bahwa beliau melakukan sesuatu padahal sebenarnya beliau tidak melakukannya, menurut riwayat yang lain. Kedua surah tersebut turun untuk mengobati Rasulullah. Maka, ketika beliau merasa kedatangan sihir dimaksud – sebagaimana yang diberitahukan di dalam mimpi beliau – dan beliau bacakan kedua surah itu, terlepaslah ikatan-ikatan (buhul-buhul) itu dan hilanglah gangguan dari beliau.

Akan tetapi, riwayat-riwayat ini bertentangan dengan prinsip “‘ishmah nabawiyyah” “kemaksuman/keterpeliharaan nabi” di dalam bertindak dan bertabligh. Juga tidak relevan dengan i‘tiqad bahwa setiap perbuatan dari perbuatan Nabi dan setiap perkataan dari perkataan-perkataan beliau adalah sunnah dan syari‘ah. Hali ini juga bertentangan dengan peniadaan al-Qur’an dari Rasulullah bahwa beliau terkena sihir serta mendustakan orang-orang musyrik mengenai dakwaan-dakwaan bohong mereka. Karena itu, kami beranggapan bahwa riwayat-riwayat ini jauh dari kebenaran.

Hadits-hadits ahad tidak dapat dijadikan dasar dalam urusan ‘aqidah. Adapun yang menjadi rujukan dalam hal itu adalah Al-Qur’an, Kemutawatiran merupakan syarat untuk dapat diterimanya hadits-hadits mengenai pokok-pokok ‘aqidah. Sedangkan, riwayat-riwayat ini tidak mutawātir, apalagi menurut pendapat terkuat kedua surah ini diturunkan di Mekah. Sehingga, hal ini dapat menjadikan lemahnya riwayat-riwayat yang lain pula yang semakna dengan itu.

وَ مِنْ شَرِّ حَاسِدٍ إِذَا حَسَدَ.

Dan dari kejahatan orang yang dengki apabila ia dengki” (al-Falaq: 5)

Hasad ialah sikap jiwa terhadap kenikmatan yang diberikan Allah kepada sebagian hamba-Nya dan menginginkan agar nikmat tersebut hilang dari yang bersangkutan. Baik si ḥāsid “orang yang dengki” itu mengikuti sikap jiwannya ini dengan melakukan usaha untuk menghilangkan nikmat tersebut karena pengaruh dendam dan kebencian maupun ia hanya berhenti sebatas sikap jiwanya saja, maka kejahatan itu dapat mengakibatkan sikap yang demikian ini.

Kita harus meredakan ketajaman pengingkaran terhadap sesuatu yang kita tidak mengetahui rahasia-rahasia orang manusia. Karena, di sana terdapat banyak peristiwa yang ditimbulkan oleh misteri-misteri ini dan kita tidak mampu menyingkapnya hingga sekarang. Misalnya, terdapat getaran-getaran dari jauh, dan lewat getaran ini terjadi hubungan antar orang yang berjauhan tempatnya. Yakni, hubungan yang tidak dapat diragukan lagi karena telah mutawatirnya beritanya dan banyaknya pengalaman yang menunjukkan keberadaannya. Juga tidak ada jalan untuk mengetahui sebabnya dengan menggunakan apa yang kita ketahui di hadapan kita. Begitu juga dengan hipnotis, yang sekarang menjadi objek percobaan yang berulang-ulang dan menunjukkan hasil, tetapi tidak diketahui rahasia dan cara kerjanya. Selain getaran-getaran dan hipnotisme itu juga banyak terdapat rahasia pada alam semesta, jiwa manusia, dan organ-organ manusia.

Apabila si ḥāsid itu mendengki dan mengarahkan sikap jiwa tertentu kepada orang yang dihasadi, maka tidak ada jalan untuk meniadakan pengaruh pengarahan (sasaran) ini hanya semata-mata karena kita mempunyai pengetahuan dan alat-alat untuk berikhtiar, yang tidak dapat mencapai misteri pengaruh ini dan tata caranya. Karena, kita tidak mengetahui hal ini kecuali sedikit sekali. Dan, yang sedikit ini pun sering menyingkapkan kepada kita tentang hal itu secara kebetulan, kemudian menjadi ketetapan sebagai hakikat yang nyata sesudahnya.

Maka, di sini terdapat kejahatan yang kita harus memohon perlindungan kepada Allah darinya. (251).

Allah dengan rahmat dan karunia-Nya memberi pengarahan kepada Rasulullah dan umat beliau di belakang beliau supaya memohon perlindungan dari kejahatan-kejahatan ini. Dan yang pasti bahwa apabila mereka memohon perlindungan kepada-Nya niscaya Dia akan melindungi mereka dan memelihara mereka dari kejahatan-kejahatan ini secara global dan terperinci.

Imam Bukhari meriwayatkan dengan isnad-nya dari ‘A’isyah r.a. bahwa Rasulullah apabila naik ke tempat tidur pada setiap malam, beliau mengumpulkan kedua telapak tangan beliau. Kemudian meniup keduanya, lalu membaca surah: (قُلْ هُوَ اللهُ أَحَدٌ) dan (قُلْ أَعُوْذُ بِرَبِّ الْفَلَقِ) serta (قُلْ أَعُوْذُ بِرَبِّ النَّاسِ). Setelah itu, beliau mengusapkan kedua telapak tangan tersebut, lalu mengusapkannya ke tubuh beliau sedapat mungkin, yang beliau mulai dari kepala dan wajah, dan ke bagian-bagian tubuh lainnya yang memungkinkan. Beliau melakukan hal itu tiga kali. Demikian pula yang diriwayatkan oleh Ashḥab-us-Sunan.

Catatan:


  1. 25). Ustadz Syekh Muhammad ‘Abduh mempunyai pendapat lain tentang buhul-buhul dan orang yang dengki ini apabila ia dengki, sebagaimana disebutkannya di dalam Tafsīr Jūz ‘Amma, silakan periksa di sana. Dan sumbernya ialah sebagaimana sudah kami sebutkan di dalam menafsirkan surah al-Fil, yaitu kecenderungan Madrasah ‘Aqliyyah yang mempersempit lapangan perkara gaib. 
Alamat Kami
Jl. Zawiyah, No. 121, Rumah Botol Majlis Dzikir Hati Senang,
RT 06 RW 04, Kp. Tajur, Desa Pamegarsari, Parung, Jawa Barat. 16330.