SŪRAT-UL-FALAQ.
Kelima: Firman Allah s.w.t.: (وَ مِنْ شَرِّ غَاسِقٍ إِذَا وَقَبَ) “Dan dari kejahatan malam apabila telah gelap gulita.” Para ulama juga berbeda pendapat dalam memaknai kata (غَاسِقٍ) pada ayat ini, beberapa ulama berpendapat bahwa maknanya adalah malam. Makna ini diambil dari kata al-ghasaq yang artinya adalah awal gelapnya malam, seperti pada ungkapan: ghasaq-al-lail, yaghsiqu, yang artinya malam telah membuat keadaan menjadi gelap. Makna ini disampaikan oleh Ibnu ‘Abbas, adh-Dhahhak, Qatadah, as-Suddi, dan ulama lainnya.
Setelah menyepakati makna dari kata (غَاسِقٍ), para ulama ini berbeda pendapat dalam memaknai kata (وَقَبَ), Ibnu ‘Abbas berpendapat bahwa maknanya adalah menjadi gelap. Adh-Dhahhak menafsirkan: maknanya adalah memasuki. Sedangkan Qatadah sebaliknya, ia memaknainya dengan arti: keluar. Yaman bin Riab berpendapat: maknanya adalah tenang. Ada juga yang berpendapat bahwa maknanya adalah turun, seperti pada ungkapan: waqab-al-adzāb ‘alal-kāfirīn, yakni: adzab telah diturunkan kepada orang-orang kafir.
Az-Zajjaj meriwayatkan, bahwa beberapa ulama mengartikan kata (وَقَبَ) dengan makna: dingin. Makna ini diambil dari kata al-ghasaq yang artinya adalah hawa dingin, seperti pada ungkapan al-lail-ul-ghāsiq, yang artinya malam yang dining, yakni lebih dingin daripada siang hari. Karena itulah mengapa hewan-hewan buas keluar dari sarangnya, serangga-serangga keluar dari tempat asalnya, dan segala macam yang akan berakibat buruk melancarkan aksinya.
Lalu ada juga yang berpendapat, bahwa makna dari kata (وَقَبَ) adalah: bintang kartika, yakni bintang yang ketika turun ke bumi maka akan menyebarkan penyakit dan wabah yang menular, namun jika ia naik kembali maka semua penyakit tadi akan naik bersamanya. Pendapat ini disampaikan oleh ‘Abd-ur-Rahman bin Zaid.
Ada juga yang berpendapat, bahwa maknanya adalah matahari yang tenggelam. Makna ini disampaikan oleh Ibnu Syihab.
Ada juga yang berpendapat, bahwa maknanya adalah bulan. Seperti makna yang disampaikan oleh al-Qutabi, ia mengatakan bahwa makna ayat ini adalah: dan dari kejahatan bulan yang masuk dalam peredarannya. Karena, bulan itu laksana pembungkus bumi yang menggelapkan separuh penjuru bumi, dan segala sesuatu yang hitam disebut dengan al-ghasaq.
Qatadah berpendapat, bahwa makna dari kata (وَقَبَ) adalah hilang atau tertutup oleh sesuatu hingga tidak terlihat.
Dari makna-makna yang disebutkan sepertinya makna inilah yang paling tepat, karena sesuai dengan hadits yang diriwayatkan oleh at-Tirmidzi, dari ‘A’isyah, ia berkata: Ketika pada suatu hari Nabi s.a.w. melihat ke arah bulan, beliau berkata kepadaku:
يَا عَائِشَةُ اسْتَعِيْذِيْ بِاللهِ مِنْ شَرِّ هذَا، فَإِنَّ هذَا هُوَ الْغَاسِقُ إِذَا وَقَبَ
“Wahai ‘A’isyah, mintalah perlindungan dari Allah akan keburukan yang mungkin akan terjadi pada saat sekarang ini, karena saat inilah yang dimaksud dengan: al-ghāsiqu idzā waqab (bulan yang tertutupi).” (8461).
Abu ‘Isa (at-Tirmidzi) mengomentari: hadits ini termasuk hadits ḥasan shaḥīḥ.
Ahmad bin Yahya Tsa‘lab meriwayatkan makna dari hadits ini, dari Ibn-ul-‘Arabi, ia mengatakan: Hal itu dikarenakan orang-orang yang berniat buruk sangat menanti-nanti datangnya bulan. Lalu Ibn-ul-‘Arabi melantunkan syairnya:
Semoga Allah menjagaku dari segala sesuatu yang aku tidak sukai.
Di antaranya serigala, anjing, dan bulan.
Yang pertama adalah hewan yang sangat kuat namun buas,
Yang kedua selalu menyalak.
Sedangkan yang ketiga selalu dinantikan cahayanya,
(oleh orang-orang yang berniat buruk).
Lalu ada juga yang berpendapat, bahwa makna ayat di atas adalah: ular yang mematuk dan menyebarkan racunnya pada mangsanya. Seakan kata al-ghāsiq itu mewakili taring giginya, karena as-sammu yughsaqu minhu, yakni karena racunnya disalurkan melalui giginya (yughsaqu = disalurkan).
Ada juga yang berpendapat, bahwa makna dari kata al-ghāsiq adalah segala sesuatu yang dapat menyerang dan membahayakan, apapun bentuk dan jenisnya. Makna ini diambil dari ungkapan ghasiqat-ul-qurbah (lukanya mengalirkan darah).
Keenam: Firman Allah s.w.t.: (وَ مِنْ شَرِّ النَّفَّاثَاتِ فِي الْعُقَدِ) “dan dari kejahatan wanita-wanita tukang sihir yang menghembus pada buhul-buhul.”Yakni, para penyihir (penyebutan wanita pada ayat ini karena ilmu sihir yang identik dengan wanita, seperti istilah: nenek sihir) yang meniupkan ikatan benang untuk melancarkan sihirnya. Ilmu sihir yang menggunakan cara meniupkan ini tidak jauh berbeda dengan pengobatan yang dilakukan dengan meniupkan tangan setelah membaca mu‘awwidzatain (yakni, menggantikan tiupan ilmu sihir dengan tiupan mu‘awwidzatain).
Kata (النَّفَّاثَاتِ) pada ayat ini dibaca oleh beberapa ulama menjadi an-nāfitsāt (8472), dengan wazan fā‘ilāt (bentuk pelaku wanita). Para ulama tersebut antara lain adalah: ‘Abdullah bin ‘Amru, ‘Abd-ur-Rahman bin Sabith, ‘Isa bin ‘Umar, dan Ruwais, yang diriwayatkan dari Ya‘qub.
Qirā’ah yang sama juga diriwayatkan dari ‘Abdullah bin al-Qasim maula (mantan budak) Abu Bakar-ish-Shiddiq.
Ketujuh: Imam an-Nasa’i meriwayatkan, dari Abu Hurairah, ia berkata: Nabi s.a.w. pernah bersabda:
مَنْ عَقَدَ عُقْدَةً ثُمَّ نَفَثَ فِيْهَا فَقَدْ سَحَرَ، وَ مَنْ سَحَرَ فَقَدْ أَشْرَكَ، وَ مَنْ تَعَلَّقَ شَيْئًا وُكِلَ إِلَيْهِ
“Barang siapa yang mengikat sebuah ikatan (biasanya benang atau tali) lalu meniupkannya, maka ia telah melakukan sihir dan barang siapa yang melakukan sihir maka ia telah berbuat syiri. Dan barang siapa yang menggantungkan sesuatu (misalnya, tulisan jampe-jampe di lehernya) maka ia akan diserahkan kepadanya.” (8483).
Para ulama sedikit berbeda pendapat mengenai hukum meniupkan jika diniatkan untuk pengobatan. Di mana sebagian kalangan tidak membolehkan, sedangkan sebagian lainnya memperbolehkannya.
‘Ikrimah berpendapat: tidak diperbolehkan bagi seseorang yang melakukan penyembuhan (dokter, tabib, atau yang lainnya) untuk meniup pasiennya dengan maksud menyembuhkannya, ia juga tidak diperbolehkan untuk melakukan pengobatan dengan cara mengusap ataupun mengikat (seperti yang biasanya dilakukan oleh penyihir).
Ibrahim mengatakan bahwa para ulama salaf tidak senang jika pengobatan dilakukan dengan cara meniup.
Diriwayatkan, bahwa pada suatu hari ketika adh-Dhahhak sedang menderita sakit, salah satu sahabatnya berkunjung ke rumahnya, lalu sahabatnya itu berkata kepada adh-Dhahhak: “Maukah engkau jika aku bacakan al-mu‘awwidzatain untukmu?” Adh-Dhahhak menjawab: “Baiklah, namun tidak perlu ditiupkan.” Lalu sabahatnya pun membacakan al-mu‘awwidzatain untuk adh-Dhahhak tanpa meniupkannya.
Ibnu Juraij meriwayatkan: Aku pernah bertanya kepada ‘Atha’: “Apakah yang dilakukan setelah membaca ayat al-Qur’an untuk menyembuhkan, apakah ditiupkan (yunfats) ataukah dihenbuskan (yunfakh)?” ia menjawab: “Tidak satupun dari keduanya, tapi bacalah seperti ini…..” Namun pada kesempatan yang lain in mengatakan: “Tiupkanlah jika kamu memang mau melakukannya.”
Ibnu Sirin juga pernah ditanya mengenai pengobatan dengan menyertakan peniupan di dalamnya, dan jawaban yang disampaikannya adalah: “Aku tidak tahu adanya larangan mengenai hal itu.”
Apabila ada ketidak-cocokan pendapat seperti ini, maka akan lebih mudah jika mereka melihat hadirs Nabi s.a.w., yaitu yang diriwayatkan dari ‘A’isyah, bahwa Nabi s.a.w. juga meniupkan ketika beliau melakukan pengobatan. Hadits ini diriwayatkan oleh para imam hadits, sebagaimana yang telah kami sampaikan pada awal tafsir surat-ul-Isra’.
Sebuah riwayat dari Muhammad bin Hathib juga menyebutkan, bahwa ketika pada suatu hari tangannya terbakar oleh api, ibunya membawa ia menghadap Nabi s.a.w. untuk diobati, lalu Nabi s.a.w. meniupkan luka tersebut sambil mengucap kata-kata.
Muhammad al-Asy‘ats juga pernah mengatakan: Pada saat terjadi sesuatu pada salah satu mataku, aku dibawa menghadap ‘A’isyah untuk diobati, lalu ia pun mengobatikan dan meniupkan mataku.
Adapun pendapat yang diriwayatkan dari ‘Ikrimah yang mengatakan bahwa peniupan tidak boleh dilakukan dalam suatu pengobatan, mungkin ia menyamakan antara peniupan pada pengobatan dengan peniupan pada sihir, padahal keduanya sama sekali berbeda, dan tidak berarti pengharaman tiupan pada sihir itu menjadikan tiupan pada perngobatan juga menjadi haram. Biasanya, peniupan yang dilakukan pada sihir itu akan membahayakan pada jiwa seseorang (entah hingga menghilangkan nyawa orang yang disihir atau terganggu akal sehatnya), sedangkan peniupan yang dilakukan pada pengobatan adalah untuk mengobati anggota tubuh seseorang secara zahirnya, oleh karena itu keduanya tidak dapat dipersamakan, apalagi dengan perbedaan yang mencolok antara satu yang bermanfaat dan satu yang membahayakan.
Sedangkan pendapat ‘Ikrimah yang memakruhkan pengusapan, pendapat tersebut bertentangan dengan salah satu riwayat hadits Nabi s.a.w., yaitu: ‘Ali mengatakan: ketika aku menderita suatu penyakit, Nabi s.a.w. mengunjungiku tepat pada saat aku sedang berdoa: “Ya Allah, apabila ini adalah saatnya ajalku tiba maka cabutlah nyawaku. Namun apabila sakitku ini bukanlah tanda dari akhir ajalku, maka sembuhkanlah aku dan sehatkanlah tubuhku. Dan apabila ini adalah cobaan dari-Mu, maka berilah kesabaran yang lebih kepadaku.” Setelah mendengar doa tersebut Nabi s.a.w. berkata: “Ulangilah apa yang kamu ucapkan tadi.” Lalu akupun mengulangi doa tersebut, dan setelah itu beliau mengusapku dengan tangannya dan berkata: “Ya Allah, sembuhkannya ia.” (8494) Akhirnya penyakitku pun pergi dan tidak pernah kembali lagi.
Kedelapan: Firman Allah s.w.t.: (وَ مِنْ شَرِّ حَاسِدٍ إِذَا حَسَدَ.) “dan dari kejahatan orang yang dengki apabila ia dengki.” Untuk makna dari kata: (حَسَدَ) (dengki), kami telah membahasnya sebelumnya pada surah an-Nisā’ (8505). Pada intinya, makna dari kata ini adalah: mengharapkan hilangnya nikmat yang dirasakan oleh orang yang didengki, walaupun orang yang mendengki tidak menginginkan nikmat tersebut beralih kepadanya.
Berbeda halnya dengan persaingan, perlombaan, atau kompetisi, di mana semua ini adalah mengharapkan hal yang serupa dengan sesuatu yang didapatkan oleh orang lain, namun ia tetap menghargai jika orang lain yang mendapatkannya. Kedengkian adalah sifat buruk dan tercela, sedangkan persaingan adalah hal yang baik dan biasanya dilakukan disertai dengan keceriaan.
Sebuah riwayat dari Nabi s.a.w. menyebutkan, bahwa beliau pernah bersabda: “Orang mukmin itu ceria, sedangkan orang munafik itu penuh kedengkian.”
Dalam kitab Shaḥīḥ-ul-Bukharī dan Shaḥīḥ Muslim juga disebutkan, bahwa Nabi s.a.w. pernah bersabda: “Kedengkian itu tidak diperbolehkan kecuali pada dua hal, yaitu: seseorang yang diberikan harta lalu ia menghabiskannya untuk bersedekah, dan seseorang yang diberikan ilmu hikmah lalu ia mengamalkannya dan mengajarkannya kepada orang lain.”
Riwayat-riwayat ini juga telah kami sampaikan pada tafsir sūrat-un-Nisā’ (8516). Wallāhu a‘lam.
Menurut saya (al-Qurthubi): Para ulama berpendapat bahwa seorang yang mendengki itu tidak akan berbahaya kecuali jika orang tersebut berbuat sesuatu atau mengatakan sesuatu sebagai reaksi dari kedengkiannya, misalnya saja dengan berbuat sesuatu yang berakihat buruk terhadap orang yang didengkinya, seperti riwayat hadits Nabi s.a.w. yang telah kami sampaikan sebelumnya: “Apabila ada kedengkian dalam dirimu maka janganlah kamu menginginkan kenikmatan itu hilang dari orang lain.” Al-ḥadīts.
Kedengkian adalah dosa pertama yang dilanggar di langit, dan kedengkian juga menjadi dosa pertama yang dilanggar di bumi. Adapun di langit adalah ketika Iblis dengki kepada Adam, sedangkan di bumi adalah ketika Qabil dengki terhadap Habil. Sifat dengki adalah sifat yang buruk, dibenci, dan dilaknat, karenanya sifat itu disebutkan pada surah ini.
Kesembilan: Surah ini menunjukkan bahwa keburukan adalah juga ciptaan dari Allah, dan Nabi s.a.w. diperintahkan untuk selalu meminta perlindungan kepada-Nya dari segala hal-hal yang buruk. Oleh karena itu Allah firman: (مِنْ شَرِّ مَا خَلَقَ.) “dari kejahatan makhluk-Nya.”
Lalu, Allah juga menutup surah ini dengan menyebutkan sifat dengki, sebagai peringatan akan besarnya akibat yang akan tercipta, juga besarnya bahaya yang akan terjadi dari suatu kedengkian.
Orang yang memiliki sifat dengki adalah musuh dari kenikmatan yang Allah berikan. Seperti yang dikatakan oleh para ulama ilmu hikmah: orang yang dipenuhi dengan sifat kedengkian itu seakan menantang Allah dalam lima hal, yaitu:
Diriwayatkan, bahwa orang yang memiliki sifat dengki itu tidak akan mendapatkan apa-apa dari suatu tempat kecuali hanya penyesalan, ia tidak akan mendapatkan apa-apa dari malaikat kecuali kebencian dan laknatnya, ia tidak akan mendapatkan apa-apa dari kesendirian kecuali hanya kepanikan dan kesusahan, ia tidak akan mendapatkan apa-apa dari akhirat kecuali pembakaran dan adzab, ia tidak akan mendapatkan apa-apa dari Allah kecuali penolakan dan murka-Nya.
Sebuah hadits Nabi s.a.w. menyebutkan:
ثَلَاثٌ لَا يُسْتَجَابُ دُعَائُهُمْ: آكِلُ الْحَرَامِ، وَ مُكْثِرُ الْغِيْبَةِ، وَ مَنْ كَانَ فِيْ قَلْبِهِ غِلٌّ أَوْ حَسَدٌ لِلْمُسْلِمِيْنَ
“Ada tiga kelompok manusia yang tidak akan dikabulkan doa mereka; yaitu: orang-orang yang memakan makanan yang diharamkan, orang-orang yang selalu berghibah, dan orang-orang yang dihatinya terdapat kedengkian terhadap kaum muslimin.” Wallāhu a‘lam.
Catatan: