Surah al-Falaq 113 ~ Tafsir al-Aisar

TAFSĪR AL-AISAR
(Judul Asli: أَيْسَرُ التَّفَاسِيْرِ لِكَلَامِ الْعَلِيِّ الْكَبِيْرِ)
Edisi Indonesia:
Tafsir al-Qur’an al-Aisar (Jilid 7)

Penulis: Syaikh Abū Bakar Jābir al-Jazā’irī

(Jilid ke 7 dari Surah Qāf s.d. an-Nās)
 
Penerbit: Darus Sunnah

SURAT AL-FALAQ

MADANIYYAH

JUMLAH AYAT: 5 AYAT

 

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ

Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang

Surat al-Falaq: Ayat 1-5

قُلْ أَعُوْذُ بِرَبِّ الْفَلَقِ. مِنْ شَرِّ مَا خَلَقَ. وَ مِنْ شَرِّ غَاسِقٍ إِذَا وَقَبَ. وَ مِنْ شَرِّ النَّفَّاثَاتِ فِي الْعُقَدِ. وَ مِنْ شَرِّ حَاسِدٍ إِذَا حَسَدَ.

113: 1. Katakanlah: “Aku berlindung kepada Tuhan Yang Menguasai Shubuḥ, 113: 2. dari kejahatan (makhluk yang) Dia ciptakan,
113: 3. dan dari kejahatan malam apabila telah gelap gulita,
113: 4. dan dari kejahatan (perempuan-perempuan) penyihir yang meniup pada buhul-buhul (talinya),
113: 5. dan dari kejahatan orang yang dengki apabila ia dengki”.

PENJELASAN KATA

(أَعُوْذُ) A‘ūdzu: Aku berlindung dan meminta pertolongan.

(الْفَلَق) Al-Falaq: Yaitu waktu Shubuḥ.

(مِنْ شَرِّ مَا خَلَقَ) Min Syarri Mā Khalaq: Dari (kejahatan) makhluk hidup dan benda mati.

(غَاسِقٍ إِذَا وَقَبَ) Ghāsiqin Idzā Waqab: Apabila malam telah gelap dan bulan telah pergi.

(النَّفَّاثَاتِ) An-Naffātsāti: Para tukang sihir yang meniup-niup.

(فِي الْعُقَدِ) Fil-‘Uqad: Pada ikatan-ikatan yang mereka ikatkan.

(حَاسِدٍ إِذَا حَسَدَ) Ḥāsidin Idzā Ḥasad: Apabila menampakkan dan menjalankan dengkinya.

MAKNA AYAT 1-5 SECARA UMUM

Firman-Nya: “Katakanlah: “Aku berlindung kepada Tuhan Yang Menguasai Shubuḥ (Fajar),” (12061) yaitu ketika Labīd bin al-A‘shamm (12072), seorang Yahudi dari Madīnah, telah menyihir Rasūlullāh s.a.w.. Maka Allah ta‘ālā menurunkan “al-Mu‘awwidzatain” (surat al-Falaq dan surat an-Nās). Kemudian malaikat Jibrīl membacakannya kepada Rasūlullāh s.a.w. dan Allah ta‘ālā menyembuhkannya. Kedua surat ini diturunkan di Madīnah.

Firman-Nya: “Katakanlah: “Aku berlindung kepada Tuhan Yang Menguasai Shubuḥ (Fajar),” maksudnya, katakanlah wahai Rasūl Kami: “a‘ūdzu” yaitu aku berlindung dan aku memohon pertolongan kepada Rabb Penguasa Shubuḥ, yaitu Allah. Karena Dia-lah yang memunculkan waktu Shubuḥ dan menumbuhkan biji-bijian, dan tidak ada yang mampu melakukan hal tersebut, kecuali Allah. Karena Allah Maha Kuasa, Maha Mengetahui.

Firman-Nya: “Dari kejahatan (makhluk yang) Dia ciptakan” dari kejelekan seluruh makhluk yang telah Allah ta‘ālā ciptakan. Mulai dari makhluk hidup yang mukallaf seperti manusia dan makhluk yang tidak mukallaf, seperti hewan dan seluruh benda-benda mati. Allah ta‘ālā berfirman: “dan dari kejahatan malam apabila telah gelap gulita,” (12083) yaitu apabila malam telah datang dan bulan telah tenggelam. Karena apabila malam telah gelap gulita, maka sangat dimungkinkan ular-ular, hewan-hewan berbisa, dan binatang buas keluar. Termasuk para penjahat yang akan melakukan aksi kejahatan, para pencuri, dan yang lainnya akan keluar (beroperasi di malam hari).

Firman-Nya: “dan dari kejahatan (perempuan-perempuan) penyihir yang meniup pada buhul-buhul (talinya).” Maksudnya aku berlindung kepada Allah, Rabb Pemilik Shubuḥ, dari kejahatan perempuan penyihir yang suka meniup buhul-buhul. Arti kata “an-nafts” yaitu mengeluarkan udara dari mulut tanpa ludah. Sehingga ada hadits yang menjelaskan: “Barang siapa mengikat ikatan dan meniupnya, maka ia telah berbuat sihir.”

*Missing: (12094).

Firman-Nya: “Dan dari kejahatan orang yang dengki apabila ia dengki.” (12105) Berlindunglah kepada Allah Rabb Pemilik Shubuḥ dari kejahatan orang dengki apabila ia menampakkan kedengkiannya dan menginginkan keburukan menimpamu. Karena arti kata dengki adalah menginginkan hilangnya nikmat yang sedang dirasakan seseorang, baik dengan cara disengaja maupun tidak. Semuanya tetap merupakan perbuatan tercela.

PELAJARAN YANG DAPAT DIAMBIL DARI AYAT 1-5.

  1. Kewajiban berlindung kepada Allah dari segala sesuatu yang ditakuti, yang tidak mampu untuk melawannya. Baik karena tidak kelihatan atau karena ia sendiri tidak mempunyai kekuatan untuk melawan.
  2. Larangan meniup-niup pada ikatan (tali/buhul). Karena hal ini termasuk perbuatan tukang sihir. Pelaku sihir hukumnya kafir dan (hukuman pidananya) yaitu lehernya harus ditebas dengan pedang.
  3. Larangan berbuat iri dengki. Karena iri dengki merupakan penyakit yang sangat berbahaya yang bisa mendorong anak Ādam membunuh saudaranya (Qābīl membunuh Hābīl). Atau saudara-saudaranya Nabi Yūsuf yang tega berbuat makar terhadap dirinya.
  4. “Al-Ghibthah” bukan termasuk sikap iri dengki sebagaimana yang dijelaskan di dalam sebuah hadits shaḥīḥ: “Tidak ada dengki kecuali di dalam dua perkara.” Karena maksud dari dua perkara di dalam hadits ini adalah “al-ghibthah” (menginginkan kebaikan seperti yang dimiliki orang lain, tetapi tidak mengharapkan hilangnya nikmat tersebut dari orang tersebut).

Catatan:

  1. 1206). Surat al-Falaq merupakan surat “al-Mu‘awwidzatain” yang pertama. Sedangkan yang keduanya adalah surat an-Nās. Kedua surat ini diawali dengan surat al-Ikhlāsh. Rasūlullāh s.a.w. bersabda: “Hendaknya manusia berlindung kepada Allah ta‘ala dengan surat-surat ini.” Di dalam kitab Shaḥīḥ al-Bukhārī dan Muslim dari ‘Ā’isyah r.a. bahwa ketika Nabi s.a.w. mengeluhkan rasa sakit, maka beliau akan membaca “al-Mu‘awwidzatain” dan meniupkannya kepada kedua tangannya kemudian mengusapkannya kepada tubuhnya. Kemudian ketika sakitnya bertambah berat, maka akulah yang membacakannya dan aku usapkan dengan kedua tangannya mengharapkan keberkahan dari kedua tangannya.
  2. 1207). Yaitu tentang kejadian Labīd bin al-A‘shamm, seorang Yahudi, yang menyihir Nabi s.a.w. seperti yang tercantum di dalam kitab Shaḥīḥ al-Bukhārī dan Muslim dan kitab-kitab lainnya. Di antara bacaan yang dibacakan oleh malaikat Jibrīl a.s. kepada Rasūlullāh s.a.w. adalah: “Dengan nama Allah aku meruqyahmu dari segala sesuatu yang menganggumu, dari kejahatan orang yang dengki dan mata yang iri, semoga Allah menyembuhkanmu.”
  3. 1208). Imām at-Tirmidzī meriwayatkan dan menshahihkannya dari ‘Ā’isyah r.a. bahwa Nabi s.a.w. melihat bulan dan berkata: “Wahai ‘Ā’isyah, berlindunglah kepada Allah dari kejahatan ini, sesungguhnya ini adalah al-ghāsiq idzā waqab (malam apabila telah larut).”
  4. 1209). Imām an-Nasā’ī meriwayatkan dari Abū Hurairah r.a. bahwa Nabi s.a.w. bersabda: “Barang siapa yang mengikat ikatan kemudian meniupnya, maka sungguh ia telah berbuat sihir, dan barang siapa menggatungkan sesuatu, maka Allah akan menyerahkannya kepada yang ia bergantung kepadanya.” Oleh karena itu, orang-orang salaf memakruhkan ketika meruqyah dibarengi dengan tiupan. Mereka berkata: “Boleh meruqyah, tetapi tidak boleh meniup-niup”. Akan tetapi, mayoritas para ulama membolehkannya.
  5. 1210). Sikap iri dengki adalah haram. Iri dengki merupakan dosa pertama yang terjadi, yaitu ketika Iblīs merasa dengki terhadap Nabi Ādam a.s. dan Qābīl yang merasa dengki terhadap Hābīl. Hakikat dari sikap iri dengki adalah mengharapkan kenikmatan yang ada pada diri orang lain menjadi hilang kemudian berpindah kepada dirinya (pendengki) atau tidak mengharapkannya. Semua ini termasuk dalam kategori seburuk-buruknya dengki.

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *