Surah al-Fajr 89 ~ Tafsir Sayyid Quthb (4/4)

Dari Buku:
Tafsīr fi Zhilāl-il-Qur’ān
Oleh: Sayyid Quthb
 
Penerbit: Gema Insani

Rangkaian Pos: Surah al-Fajr 89 ~ Tafsir Sayyid Quthb

Sesal Kemudian tak Berguna

Setelah menyingkap hakikat keadaan mereka yang mungkar dan menggambarkan kesalahan pandangan mereka di dalam menilai ujian yang berupa kelapangan dan kesempitan rezeki, maka datanglah ancaman yang menakutkan dengan menyebutkan hari pembalasan dan hakikatnya. Penyebutan ancaman yang menakutkan itu diucapkan setelah menyebutkan ujian dan hasilnya, yang dikemas dengan kalimat-kalimat berkesan kuat:

كَلَّا إِذَا دُكَّتِ الْأَرْضُ دَكًّا دَكًّا. وَ جَاءَ رَبُّكَ وَ الْمَلَكُ صَفًّا صَفًّا. وَ جِيْءَ يَوْمَئِذٍ بِجَهَنَّمَ يَوْمَئِذٍ يَتَذَكَّرُ الْإِنْسَانُ وَ أَنَّى لَهُ الذِّكْرَى. يَقُوْلُ يَا لَيْتَنِيْ قَدَّمْتُ لِحَيَاتِيْ. فَيَوْمَئِذٍ لَّا يُعَذِّبُ عَذَابَهُ أَحَدٌ. وَ لَا يُوْثِقُ وَثَاقَهُ أَحَدٌ.

Jangan (berbuat demikian). Apabila bumi digoncangkan berturut-turut, dan datanglah Tuhanmu; sedang malaikat berbaris-baris, dan pada hari itu diperlihatkan neraka Jahannam; dan pada hari itu ingatlah manusia tetapi tidak berguna lagi mengingat itu baginya. Dia mengatakan: “Alangkah baiknya kiranya aku dahulu mengerjakan (‘amal shāliḥ) untuk hidupku ini.” Maka, pada hari itu tiada seorang pun yang menyiksa seperti siksaan-Nya, dan tiada seorang pun yang mengikat seperti ikatan-Nya” (al-Fajr: 21-26).

Bumi digoncangkan, tanda-tanda yang ada di atasnya diruntuhkan dan diratakan. Inilah salah satu peristiwa terjungkirbaliknya alam pada hari kiamat. Sedangkan, datangnya Tuhanmu dan malaikat berbaris-baris, maka itu adalah urusan ghaib yang tidak kita ketahui hakikatnya, toh kita sendiri masih berada di bumi. Akan tetapi, kita merasakan bahwa di balik itu terdapat keagungan dan kebesaran serta sesuatu yang menakutkan. Demikian pula dengan masalah didatangkannya neraka Jahannam. Kiranya cukup bagi kita untuk merasakan atau menyadari kedekatan neraka itu kepada mereka dan dan kedekatan orang-orang yang disiksa itu kepada neraka tersebut. Adapun bagaimana hakikat yang sebenarnya dan bagaimana terjadinya, maka itu adalah persoalan ghaib yang tersimpan hingga hari yang dimaklumi (kiamat).

Dari balik ayat-ayat ini dan dari celah-celah nuansa musikalnya yang tajam dan keras, terlihat pemandangan yang menakutkan hati dan menundukkan pandangan. Bumi digoncangkan dengan sekeras-kerasnya. Yang Maha Perkasa lagi Maha Memiliki segala kebesaran menampakkan diri dan mengendalikan semua keputusan dan ketetapan. Para malaikat berdiri berbaris-baris. Kemudian didatangkanlah neraka Jahannam, lalu berhenti dengan menakutkan dan menyeramkan.

“….Pada hari itu ingatlah manusia…..”

Manusia yang dulu lalai terhadap hikmah ujian yang berupa kesempitan dan kelapangan rezeki serta kedudukan. Manusia yang memakan harta pusaka dengan mencampuradukkan yang halal dan yang bāthil, mencintai harta-benda secara berlebihan, tidak memuliakan anak yatim, tidak menganjurkan memberi makan orang miskin, bertindak sewenang-wenang, serta berbuat kerusakan dan menyeleweng.

Pada hari itu ia menyadari kebenaran dan hendak mengambil pelajaran dari apa yang dilihatnya. Akan tetapi, waktunya telah habis: “Akan tetapi, bagaimana akan berguna lagi mengingat itu baginya?” Kesempatan untuk ingat dan menyadari telah berlalu. Ia tak akan kembali lagi. Maka, tidak ada gunanya penyesalan pada hari ini, di negeri pembalasan ini, bagi seorang pun. Di sana tidak ada lagi selain penyesalan karena telah berlalu masa ber‘amal shāliḥ dalam kehidupan dunia!

Ketika tampak jelas baginya hakikat ini:

Dia mengatakan: “Alangkah baiknya kiranya aku dahulu mengerjakan (‘amal shāliḥ) untuk hidupku ini.”” (al-Fajr: 24).

Alangkah baiknya, kalau aku dulu mengerjakan sesuatu (‘amal shāliḥ) untuk hidupku di sini. Karena ini adalah kehidupan yang sebenarnya yang seharusnya manusia melakukan persiapan-persiapan dan menabung kebaikan untuknya. Perkataan “yā laitanī” “alangkah baiknya” adalah sebuah angan-angan kosong yang mengandung penyesalan yang jelas. Ini merupakan upaya maksimal yang dapat dilakukan manusia di akhirat nanti.

Kemudian digambarkan tempat kembalinya setelah mengungkapkan penyesalan yang memilukan dan harapan-harapan kosong:

Maka, pada hari itu tiada seorang pun yang menyiksa seperti siksaan-Nya, dan tiada seorang pun yang mengikat seperti ikatan-Nya” (al-Fajr: 25-26).

Sesungguhnya Allah Yang Maha Kuasa lagi Maha Perkasa, pada hari itu akan menyiksa dengan siksaan keras yang tiada seorang pun dapat menyiksa seperti itu, dan mengikat dengan ikatan erat yang tiada seorang pun dapat mengikat seperti itu. ‘Adzāb Allah dan ikatan-Nya ini dijelaskan dalam beberapa tempat lain di dalam al-Qur’ān. Ya‘ni, dalam pemandangan-pemandangan hari kiamat yang banyak ragamnya di celah-celah al-Qur’ān secara keseluruhan. Di sini disebutkan secara global disertai sifat khusus bahwa tidak ada ‘adzāb dan ikatan manusia yang menyamainya. Bahkan, tidak ada siksaan dan ikatan dari makhlūq manapun yang seperti itu.

Ini merupakan antitesis dari apa yang disebutkan di muka dalam surah ini yang memaparkan kesewenang-wenangan para diktator (kaum ‘Ād, kaum Tsamūd, dan Fir‘aun) yang banyak berbuat kerusakan di muka bumi, yang menyiksa manusia dan mengikatnya dengan belenggu-belenggu dan rantai. Maka inilah Tuhanmu, wahai Nabi dan orang yang beriman. Dia meng‘adzāb dan mengikat orang-orang yang dahulu suka menyiksa dan mengikat manusia. Akan tetapi, kedua macam ‘adzāb dan kedua ikatan itu jauh berbeda. Hinalah apa yang dapat dilakukan manusia dalam hal ini, dan besarlah apa yang dilakukan Yang Maha Pencipta dan Pemilik urusan ini.

Maka, terserahlah manusia-manusia diktator dan zhālim itu menyiksa dan mengikat serta membelenggu manusia. Karena, mereka akan di‘adzāb dan diikat dengan ‘adzāb dan ikatan yang tidak dapat dibayangkan dan diperkirakan lagi!

Jiwa Muthma’innah.

Di tengah-tengah pemaparan pemandangan yang menakutkan dan mengerikan, ‘adzāb dan ikatan ini, yang melampaui segala batas gambaran dan bayangan manusia, dipanggillah “jiwa” yang beriman dari alam tertinggi:

يَا أَيَّتُهَا النَّفْسُ الْمُطْمَئِنَّةُ. ارْجِعِيْ إِلَى رَبِّكِ رَاضِيَةً مَّرْضِيَّةً. فَادْخُلِيْ فِيْ عِبَادِيْ. وَ ادْخُلِيْ جَنَّتِيْ

Hai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhāi-Nya. Maka masuklah ke dalam jamā‘ah hamba-hambaKu, dan masuklah ke dalam surga-Ku. (al-Fajr: 27-30).

Demikianlah panggilan disampaikan dengan lemah-lembut dan menunjukkan kedekatan: “Yā ayyatuha.….” Disampaikan dengan penuh nuansa kejiwaan dan kemuliaan: “Yā ayyatuhan-nafsu…” Disampaikan dengan penuh sanjungan dan penenangan: “Yā ayyatuhan-nafs-ul-muthma’innah…..” Semuanya disampaikan di tengah-tengah pembicaraan tentang kekerasan ‘adzāb dan keeratan ikatan. Kemudian disebutkanlah kebebasan dan kelapangan bagi jiwa muthma’innah: “Kembalilah kepada Tuhanmu....” Kembalilah kepada sumber asalmu setelah engkau terasing dari bumi dan terlepas dari buaian. Kembalilah kepada Tuhanmu, karena antara engkau dan Dia terdapat hubungan, saling mengenal, dan jalinan. Kembalilah “dengan hati yang puas lagi diridhāi-Nya”, dengan keteduhan yang melimpah, yang memenuhi seluruh angkasanya dengan kelemahlembatan dan keridhāan.

Masuklah ke dalam jamā‘ah hamba-hambaKu…..”, yang dekat kepada-Ku dan pilihan, untuk mendapatkan kedekatan ini. “Masuklah ke dalam surga-Ku….”, di bawah naungan dan rahmat-Ku.

Ini adalah kelemah-lembutan yang menyenangkan ruh-ruh ahli surga sejak panggilan pertama “Hai jiwa yang tenang” terhadap Tuhannya, yang tenang menempuh jalannya, dan tenang terhadap qadar Allah. Juga tenang di waktu senang dan di waktu terhalang dan di waktu mendapatkan pemberian. Tenang tanpa ragu. Jiwa yang tenang tanpa menyimpang, tanpa bergoncang di jalan, dan tanpa merasa takut pada hari yang menakutkan dan mengerikan.

Selanjutnya, ayat-ayat tersebut mencurahkan nuansa keamanan, keridhāan, kepuasan, dan ketenangan. Irama musikalnya yang landai dan teduh sekitar pemandangan itu mengesankan kasih-sayang, kedekatan, dan ketenangan.

Itulah surga dengan napas-napas keridhāan dan keteduhannya, yang turun dari celah-celah ayat-ayat ini. Tampak padanya tempat pengawasan Tuhan yang agung dan indah.