Adapun yang menjadi sasaran sumpah di dalam sumpah itu, sudah terangkum di dalam rangkaian ayat tersebut, yang ditafsirkan sesudahnya. Yaitu, tindakan sewenang-wenang dan berbuat kerusakan, dan hukuman Tuhan terhadap orang-orang yang sewenang-wenang dan berbuat kerusakan. Ini adalah sesuatu yang tepat dan menjadi sasaran sumpah yang disampaikan dalam suatu isyārat, yang sesuai dengan sentuhan-sentuhan surah yang halus secara global:
أَلَمْ تَرَ كَيْفَ فَعَلَ رَبُّكَ بِعَادٍ. إِرَمَ ذَاتِ الْعِمَادِ. الَّتِيْ لَمْ يُخْلَقْ مِثْلُهَا فِي الْبِلَادِ. وَ ثَمُوْدَ الَّذِيْنَ جَابُوا الصَّخْرَ بِالْوَادِ. وَ فِرْعَوْنَ ذِي الْأَوْتَادِ. الَّذِيْنَ طَغَوْا فِي الْبِلَادِ. فَأَكْثَرُوْا فِيْهَا الْفَسَادَ. فَصَبَّ عَلَيْهِمْ رَبُّكَ سَوْطَ عَذَابٍ. إِنَّ رَبَّكَ لَبِالْمِرْصَادِ.
“Apakah kamu tidak memperhatikan bagaimana Tuhanmu berbuat terhadap kaum ‘Ād? (Yaitu) penduduk Iram yang mempunyai bangunan-bangunan yang tinggi, yang belum pernah dibangun (suatu kota) seperti itu, di negeri-negeri lain. Juga kaum Tsamūd yang memotong batu-batu besar di lembah, dan kaum Fir‘aun yang mempunyai pasak-pasak (tentara yang banyak), yang berbuat sewenang-wenang dalam negeri, lalu mereka berbuat banyak kerusakan dalam negeri itu? Karena itu, Tuhanmu menimpakan kepada mereka cemeti ‘adzāb. Sesungguhnya Tuhanmu benar-benar mengawasi.” (al-Fajr: 6-14).
Nada kalimat tanya dalam persoalan seperti ini lebih dapat menggugah dan membangkitkan perhatian. Khithāb ini pada mulanya kepada Nabi s.a.w. kemudian berlaku bagi setiap orang berikutnya yang melihat atau merenungkan puing-puing kaum-kaum itu. Semua orang yang diajak bicara pada kali pertama oleh al-Qur’ān mengenai masalah itu, menggetahuinya. Tampak bekas-bekasnya dan diceritakan dari generasi ke generasi.
Disandarkannya tindakan (pengkukuman) itu kepada “Tuhanmu” dalam peristiwa tersebut adalah untuk menenangkan, menyenangkan, dan menggembirakan hati orang-orang yang beriman. Khususunya, mereka yang berada di Makkah yang menghadapi kekejaman orang-orang yang zhālim dan kekerasan para penguasa musyrik yang menentang dakwah Islam dan mengawasi para pelakunya.
Dalam ayat-ayat yang pendek ini, Allah mengumpulkan puing-puing kekuatan para diktator yang sudah dikenal oleh sejarah masa lalu, seperti puing-puing “kaum ‘Ād, yaitu kaum Iram” dahulu kala. Ada yang mengatakan bahwa mereka adalah dari bangsa ‘Arab pedalaman, yang berdiam di bukit-bukit pasir, di sebelah selatan Jazīrah ‘Arab, di antara Ḥadhramaut dan Yaman. Mereka adalah kaum Badui yang bertempat di tenda-tenda yang dipasang di atas tiang-tiang. Di dalam al-Qur’ān mereka disifati sebagai bangsa yang kuat dan keras. Maka, kabilah ‘Ād ini adalah kabilah yang paling kuat dan istimewa pada zamannya: “yang belum pernah dibangun (suatu kota) seperti itu, di negeri-negeri lain” pada masa-masa itu.
“Juga kaum Tsamūd yang memotong batu-batu besar di lembah.” (al-Fajr: 9).
Kaum Tsamūd berdiam di daerah bebatuan di sebelah utara Jazīrah ‘Arabia di antara Madīnah dan Syām. Mereka memotong-motong batu besar dan membangun gedung-gedung megah dengannya, sebagaimana mereka juga membuat benteng-benteng dan gua-gua di gunung-gunung.
“Dan kaum Fir‘aun yang mempunyai pasak-pasak.” (al-Fajr: 10).
Menurut pendapat yang lebih kuat, yang dimaksud dengan al-autād “pasak-pasak” ini adalah piramid-piramid, yang menyerupai tiang-tiang yang menancap di bumi dengan bangunannya yang kokoh. Sedangkan, Fir‘aun yang diisyāratkan di sini adalah Fir‘aun yang zhālim dan diktator pada zaman Nabi Mūsā.
Mereka itu:
“Berbuat sewenang-wenang dalam negeri, lalu mereka berbuat banyak kerusakan dalam negeri itu?” (al-Fajr: 11-12).
Di belakang kesewenang-wenangan, tidak ada lagi sesuatu selain kerusakan. Maka, kesewenang-wenangan itu merusak orang yang berbuat sewenang-wenang itu sendiri, dan merusak orang-orang yang diperlakukan dengan sewenang-wenang. Hal ini sebagaimana ia juga merusak segala sesuatu yang berhubungan dan berkaitan dengannya dalam semua sisi kehidupan. Kesewenang-wenangan dan kerusakan ini akan menghalangi kehidupan untuk mendapatkan kesejahteraan dan keselamatan serta kemakmuran pembangunan. Dengan demikian, kekhalifahan manusia sama sekali tidak dapat ditegakkan di muka bumi.
Sesungguhnya kediktatoran dan kesewenang-wenangan itu menjadikan sang diktator itu sebagai tawanan hawa-nafsunya sendiri. Karena itu. ia tidak mau kembali kepada timbangan yang mantap, dan tidak mau berhenti pada batas yang jelas. Lalu, ia membuat kerusakan yang diawali dengan dirinya sendiri dan menempatkan dirinya di bumi ini bukan sebagai hamba yang ditugasi mengemban tugas kekhalifahan. Karena itu, Fir‘aun berkata: “Aku adalah tuhanmu yang maha tinggi”, ketika dirinya sudah dirusak oleh kesewenang-wenangannya sendiri. Sehingga, melampaui kedudukannya sabagai hamba yang diciptakan, yang berlanjut dengan mengucapkan pernyataan dan pengakuan yang amat buruk itu, yaitu kerusakan yang serusak-rusaknya.
Selanjutnya, ia menjadikan masyarakat sebagai budak-budak yang hina, yang selalu menjadi sasaran kemurkaan dan kemarahan yang keterlaluan. Sehingga, sirnalah rasa harga diri mereka sebagai manusia, dan rasa kebebasan mereka sudah tidak lagi dapat tumbuh dengan leluasa. Nafsu yang hina-dina itu semakin merana dan membusuk. Bahkan, menjadi ladang gembalaan cacing-cacing syahwat yang rendah dan jiwa yang sakit, serta menjadi ladang penyimpangan yang dibarengi dengan redup dan sirnanya cahaya nurani dan pikiran. Juga sudah hilang kenormalan, cita-cita, harapan, dan keinginannya untuk mencapai derajat yang tinggi. Itulah kerusakan yang serusak-rusaknya.
Kemudian ia menghancurkan norma-norma, tata nilai, serta pola pikir dan pola pandang yang lurus. Karena, semua itu dianggap membahayakan bagi para diktator dan kediktatorannya. Maka, dibuatlah pemalsuan terhadap tata nilai, penyimpangan terhadap norma-norma, dan penyelewengan terhadap pola pikir supaya mau menerima bentuk kezhālimannya yang amat busuk, dan mau melihatnya sebagai sesuatu yang dapat diterima dan ditolerir. Ini juga kerusakan yang serusak-rusaknya.
Setelah mereka melakukan banyak kerusakan di muka bumi, maka pengobatannya ialah dengan membersihkan muka bumi ini dari kerusakan:
“Karena itu, Tuhanmu menimpakan kepada mereka cemeti ‘adzāb. Sesungguhnya Tuhanmu benar-benar mengawasi” (al-Fajr: 13-14).
Tuhanmu selalu mengawasi mereka dan mencatat tindakan-tindakan mereka. Maka setelah kerusakan begitu banyak dan semakin bertambah, Dia menimpakan kepada mereka cemeti ‘adzāb. Ungkapan ini mengesankan sakitnya ‘adzāb itu ketika disebutkan kata cemeti, dan mengesankan begitu banyak dan bertubi-tubi ‘adzāb itu ketika disebutkan kata shabba mencurahkan/menimpakan”. Nah, di sini terkumpullah rasa sakit yang menyengat dan curahan siksa yang amat sangat kepada diktator-diktator yang berbuat sewenang-wenang dan melampaui batas di negeri itu dan melakukan banyak kerusakan di sana.
Di balik puing-puing kehancuran mereka ini, tercurahlah ketenangan di dalam hati orang beriman, yang selalu menghadapi kesewenang-wenangan pada masa kapan pun dan di mana pun tempatnya. Dari firman Allah: “Sesungguhnya Tuhanmu benar-benar mengawasi”, terlimpahlah ketenangan yang khusus. Karena Tuhanmu ada di sana, selalu mengawasi, dan tiada sesuatu pun yang terlepas dari pengawasan-Nya. Maka, tenanglah hati orang yang beriman, dan dapat tidur pulas, karena Tuhannya ada di sana. Dia selalu mengawasi terhadap kesewenang-wenangan, kejahatan, dan kerusakan!
Di sini kita lihat juga beberapa contoh qadar Allah terhadap urusan dakwah, selain contoh yang dipaparkan surah al-Burūj yang berupa ashḥāb-ul-ukhdūd, orang-orang yang menggali parit untuk membakar hidup-hidup orang-orang yang beriman. Al-Qur’ān senantiasa mendidik orang-orang mu’min dengan contoh ini dan itu, sesuai dengan situasi dan kondisi. Juga menyiapkan jiwa-jiwa orang yang beriman untuk menghadapi ini dan itu, supaya hatinya tenang dalam menghadapi siatuasi dan kondisi yang berbeda-beda, selalu optimis, dan menyerahkan segala sesuatu kepada kekuasaan Allah yang memberlakukannya sesuai dengan kehendak-Nya.