Surah al-Fajr 89 ~ Tafsir Ibni Katsir (3/4)

Dari Buku:
Tafsir Ibnu Katsir, Juz 30
(An-Nabā’ s.d. An-Nās)
Oleh: Al-Imam Abu Fida’ Isma‘il Ibnu Katsir ad-Dimasyqi

Penerjemah: Bahrun Abu Bakar L.C.
Penerbit: Sinar Baru Algensindo Bandung

Rangkaian Pos: Surah al-Fajr 89 ~ Tafsir Ibni Katsir

Firman Allah s.w.t.:

وَ فِرْعَوْنَ ذِي الْأَوْتَادِ.

Dan kaum Fir‘aun yang mempunyai pasak-pasak. (al-Fajr: 10).

Al-‘Aufī telah meriwayatkan dair Ibnu ‘Abbās, bahwa yang dimaksud dengan al-autād ialah bala tentaranya yang mendukung dan menguatkan kedudukannya. Menurut suatu pendapat, Fir‘aun – bila menghukum – mengikat kedua tangan dan kedua kaki si terhukum pada pasak-pasak besi, lalu digantungkan dengannya. Hal yang sama dikatakan oleh Mujāhid, bahwa dia mematok tangan dan kaki terhukum pada pasak-pasak, yakni dipasung. Hal yang sama dikatakan oleh Sa‘īd ibnu Jubair dan al-Ḥasan dan as-Suddī. As-Suddī menyebutkan bahwa Fir‘aun mengikat seorang lelaki pada tiap-tiap tangan dan kakinya ke pasak-pasak, kemudian menggelindingkan sebuah batu besar ke atas tubuhnya hingga si lelaki terhukum itu hancur karenanya.

Qatādah mengatakan, telah sampai suatu kisah kepada kami, bahwa Fir‘aun mempunyai mainan berupa pasak-pasak dan tambang-tambang yang diletakkan di dalam suatu tempat yang mempunyai naungan. Tsābit al-Bannānī telah meriwayatkan dari Abū Rāfi‘, bahwa Fir‘aun dijuluki Dzul-Autād karena dia memasang empat pasak untuk istrinya yang kedua tangan dan kedua kakinya diikat pada pasak-pasak itu. Lalu di atas punggung istrinya diletakkan sebuah batu penggilingan yang besar, hingga istrinya mati (karena ia beriman kepada Mūsā a.s.).

Firman Allah s.w.t.:

الَّذِيْنَ طَغَوْا فِي الْبِلَادِ. فَأَكْثَرُوْا فِيْهَا الْفَسَادَ.

Yang berbuat sewenang-wenang dalam negeri, lalu mereka berbuat banyak kerusakan dalam negeri itu. (al-Fajr: 11-12).

Yakni angkara murka, angkuh, lagi senang menebarkan kerusakan di muka bumi dan menyakiti orang lain.

فَصَبَّ عَلَيْهِمْ رَبُّكَ سَوْطَ عَذَابٍ.

Karena itu Tuhanmu menimpakan kepada mereka cemeti adzab. (al-Fajr: 13).

Yaitu Allah menurunkan kepada mereka adzab dari langit dan hukuman yang tiada seorang pun dapat menolaknya dari kaum yang durhaka itu.

Firman Allah s.w.t.:

إِنَّ رَبَّكَ لَبِالْمِرْصَادِ

Sesungguhnya Tuhanmu benar-benar mengawasi. (al-Fajr: 14).

Ibnu ‘Abbās mengatakan bahwa makna yang dimaksud ialah mendengar dan melihat, yakni mengawasi semua amal perbuatan makhluk-Nya dan kelak Dia akan menimpakan balasan-Nya terhadap masing-masing, baik di dunia maupun di akhirat nanti. Dan kelak Dia akan memberdirikan semua makhluk di hadapan-Nya, lalu dia memutuskan hukum-Nya terhadap mereka dengan adil, dan memberikan pembalasan kepada masing-masing sesuai dengan apa yang berhak diterimanya. Dia Maha Suci dari perbuatan aniaya dan melampaui batas.

Imam Ibnu Abī Ḥātim dalam hal ini telah mengetengahkan sebuah hadits yang gharīb sekali dan sanad-nya masih perlu di teliti ke-shaḥīḥ-annya. Untuk itu ia mengatakan, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Aḥmad Ibnu Abil-Hawārī, telah menceritakan kepada kami Yūnus al-Ḥazhzhā’, dari Abū Hamzah al-Bīsānī, dari Mu‘ādz ibnu Jabal yang mengatakan bahwa Rasūlullāh s.a.w. pernah bersabda:

يَا مُعَاذُ، إِنَّ الْمُؤْمِنَ لَدَى الْحَقَّ أَسِيْرٌ، يَا مُعَاذُ، إِنَّ الْمُؤْمِنَ لَا يَسْكُنُ رَوْعُهُ وَ لَا يَأْمَنُ اضْطِرَابُهُ حَتَّى يَخْلُفَ جُسْرَ جَهَنَّمَ خَلْفَ ظَهْرِهِ، يَا مُعَاذُ، إِنَّ الْمُؤْمِنَ قَيَّدَهُ الْقُرْآنُ عَنْ كَثِيْرٍ مِنْ شَهْوَاتِهِ وَ عَنْ أَنْ يُهْلَكَ فِيْهَا هُوَ بِإِذْنِ اللهِ عَزَّ وَ جَلَّ فَالْقُرْآنُ دَلِيْلُهُ، وَ الْخَوْفُ مَحِجَّتُهُ، وَ الشَّوْقُ مَطِيَّتُهُ، وَ الصَّلَاةُ كَهْفُهُ، وَ الصَّوْمُ جُنَّتُهُ، وَ الصَّدَقَةُ فِكَاكُهُ، وَ الصِّدْقُ أَمِيْرُهُ، وَ الْحَيَاءُ وَزِيْرُهُ، وَ رَبُّهُ عَزَّ وَ جَلَّ مِنْ وَرَاءِ ذلِكَ كُلُّهُ بِالْمِرْصَادِ.

Hai Mu‘ādz, sesungguhnya orang mukmin itu menjadi tawanan Tuhan yang Hak, hai Mu‘ādz, sesungguhnya orang mukmin itu tidak dapat terbebas dari ketakutannya dan tidak merasa aman dari kekhawatirannya sebelum ia meninggalkan jembatan Jahannam berada di belakang punggungnya (telah melaluinya dengan selamat). Hai Mu‘ādz, sesungguhnya orang mukmin itu diikat oleh al-Qur’ān terhadap kebanyakan nafsu syahwatnya dan terhadap hal-hal yang membinasakan dirinya karena terjerumus ke dalamnya dengan seizin Allah s.w.t. maka al-Qur’ān adalah penunjuk jalannya, takut kepada Allah adalah alasannya, dan rindu kepada-Nya merupakan kendaraannya, salat adalah gua perlindungannya, puasa adalah bentengnya, sedekah adalah kebebasannya, dan kejujuran (kebenaran) adalah pemimpinnya, malu adalah pembantunya, dan Allah s.w.t. dibelakang itu semuanya selalu mengawasinya.

Ibnu Abī Ḥātim mengatakan bahwa Yūnus al-Ḥazhzhā’ dan Abū Hamzah merupakan perawi yang tidak dikenal; Abū Hamzah meriwayatkan dari Mu‘ādz berpredikat mursal, seandainya hanya dikatakan dari Abū Hamzah saja tentulah baik. Yakni seandainya hadits ini hanyalah semata-mata perkataan Abū Hamzah saja, tentulah baik (karena berarti seadanya, mengingat Abū Hamzah tidak mengalami masa Mu‘ādz ibnu Jabal).

Kemudian Ibnu Abī Ḥātim mengatakan, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Shafwān ibnu Shāliḥ, telah menceritakan kepada kami al-Walīd ibnu Muslim, dari Shafwān ibnu ‘Amr, dari Aifā’, dari Ibnu ‘Abd-ul-Kalā‘ī, bahwa Aifa‘ pernah mendengarnya sedang memberi pelajaran kepada orang banyak, yang antara lain ibnu ‘Abd-ul-Kalā‘ī mengatakan bahwa sesungguhnya neraka Jahannam itu mempunyai tujuh buah tanggul, sedangkan shirāt berada di atas semuanya itu, ia mengatakan bahwa lalu semua makhluk ditahan di tanggul yang pertama, dan dikatakan kepada mereka:

وَ قِفُوْهُمْ إِنَّهُمْ مَسْئُوْلُوْنَ

Dan tahanlah mereka (di tempat perhentian) karena sesungguhnya mereka akan ditanya. (ash-Shaffāt: 24).

Lalu mereka dihisab tentang salat mereka dan mereka dimintai pertanggungjawaban mengenainya. Maka binasalah karenanya orang-orang yang binasa dan selamatlah karenanya orang-orang yang selamat. Apabila mereka telah sampai di tanggul yang kedua, maka dihisablah mereka terhadap amanatnya, apakah mereka menunaikannya dan apakah mereka mengkhianatinya. Maka binasalah orang-orang yang binasa dan selamatlah orang-orang yang ditakdirkan selamat. Dan apabila mereka telah sampai di tanggul yang ketiga, maka mereka dimintai pertanggungjawaban tentang hubungan persaudaraan, apakah mereka menjalinnya ataukah memutuskannya. Maka binasalah orang-orang yang binasa dan selamatlah orang-orang yang selamat.

Ibnu ‘Abd-ul-Kalā‘ī melanjutkan kisahnya, bahwa raḥīm (persaudaraan) pada hari itu menjulur ke udara di atas neraka Jahannam seraya berdoa: “Ya Allah, barang siapa yang menghubungkan diriku, maka hubungilah dia. Dan barang siapa yang memutuskan aku, maka putuskanlah dia.” Ibnu ‘Abd-ul-Kalā‘ī mengatakan bahwa itulah yang dimaksud oleh firman-Nya:

إِنَّ رَبَّكَ لَبِالْمِرْصَادِ

Sesungguhnya Tuhanmu benar-benar mengawasi. (al-Fajr: 14).

Demikianlah menurut apa yang diketengahkan dari atsar ini secara apa adanya, tetapi Ibnu Abī Ḥātim tidak menyebutkannya secara lengkap.

 

Al-Fajr, ayat: 15-20

فَأَمَّا الْإِنْسَانُ إِذَا مَا ابْتَلَاهُ رَبُّهُ فَأَكْرَمَهُ وَ نَعَّمَهُ فَيَقُوْلُ رَبِّيْ أَكْرَمَنِ. وَ أَمَّا إِذَا مَا ابْتَلَاهُ فَقَدَرَ عَلَيْهِ رِزْقَهُ فَيَقُوْلُ رَبِّيْ أَهَانَنِ. كَلَّا بَلْ لَا تُكْرِمُوْنَ الْيَتِيْمَ. وَ لَا تَحَاضُّوْنَ عَلَى طَعَامِ الْمِسْكِيْنِ. وَ تَأْكُلُوْنَ التُّرَاثَ أَكْلًا لَّمًّا. وَ تُحِبُّوْنَ الْمَالَ حُبًّا جَمًّا.

089:15. Adapun manusia apabila Tuhannya mengujinya lalu dimuliakan-Nya dan diberi-Nya kesenangan, maka dia berkata: “Tuhanku telah memuliakanku”.
089:16. Adapun bila Tuhannya mengujinya lalu membatasi rezekinya maka dia berkata: “Tuhanku menghinakanku”.
089:17. Sekali-kali tidak (demikian), sebenarnya kamu tidak memuliakan anak yatim,
089:18. dan kamu tidak saling mengajak memberi makan orang miskin,
089:19. dan kamu memakan harta pusaka dengan cara mencampur baurkan (yang halal dan yang batil),
089:20. dan kamu mencintai harta benda dengan kecintaan yang berlebihan.

 

Allah s.w.t. berfirman, mengingkari sifat manusia yang apabila Allah meluaskan baginya dalam hal rezeki untuk mengujinya melalui rezeki itu, maka ia menganggap bahwa hal itu merupakan kemuliaan dari Allah s.w.t. untuk dirinya. Padahal kenyataannya tidaklah demikian, bahkan sebenarnya hal itu merupakan ujian dan cobaan, sebagaimana yang disebutkan di dalam firman-Nya:

أَيَحْسَبُوْنَ أَنَّمَا نُمِدُّهُمْ بِهِ مِنْ مَّالٍ وَ بَنِيْنَ، نُسَارِعُ لَهُمْ فِي الْخَيْرَاتِ بَلْ لاَّ يَشْعُرُوْنَ.

Apakah mereka mengira bahwa harta dan anak-anak yang Kami berikan kepada mereka itu (berarti bahwa) Kami bersegera memberikan kebaikan-kebaikan kepada mereka? Tidak, sebenarnya mereka tidak sadar. (al-Mu’minūn: 55-56).

Demikian pula sebaliknya Allah menguji dan mencobanya dengan kesempitan rezeki, dia mengira bahwa hal itu merupakan penghinaan dari Allah s.w.t. kepadanya. Maka disanggah oleh firman-Nya:

كَلَّا

Sekali-kali tidak (demikian). (al-Fajr: 17).

Yakni sebenarnya tidaklah seperti yang diduganya baik dalam keadaan mendapat kesukaan maupun dalam keadaan mendapat kedukaan; karena sesungguhnya Allah memberi harta kepada siapa yang disukai-Nya dan juga kepada orang yang tidak disukai-Nya, dan Dia menyempitkan rezeki terhadap orang yang disukai-Nya dan juga terhadap orang yang tidak disukai-Nya. Dan sesungguhnya pokok pangkal permasalahan dalam hal ini bergantung kepada ketaatan yang bersangkutan kepada Allah s.w.t. dalam dua keadaan tersebut. Apabila ia diberi kekayaan, hendaknya ia bersyukur kepada Allah atas karunia-Nya itu; dan apabila mendapat kemiskinan, hendaknya ia bersabar dan tetap menjalankan ketaatan kepada Allah s.w.t.

Firman Allah s.w.t.:

بَلْ لَا تُكْرِمُوْنَ الْيَتِيْمَ

Sebenarnya kamu tidak memuliakan anak yatim. (al-Fajr: 17).

Di dalam ayat ini terkandung makna perintah untuk memuliakan anak yatim, sebagaimana yang disebutkan di dalam hadits yang diriwayatkan oleh ‘Abdullāh ibn-ul-Mubārak, dari Sa‘īd ibnu Ayyūb, dari Yaḥyā ibnu Sulaimān, dari Yazīd ibnu Abā Ghayyāts, dari Abū Hurairah, dari Nabi s.a.w. yang telah bersabda:

خَيْرُ بَيْتٍ فِي الْمُسْلِمِيْنَ بَيْتٌ فِيْهِ يَتِيْمٌ يُحْسِنُ إِلَيْهِ، وَ شَرُّ بَيْتٍ فِي الْمُسْلِمِيْنَ بَيْتٌ فِيْهِ يَتِيْمٌ يُسَاءُ إِلَيْهِ

Sebaik-baik rumah di kalangan kaum muslim adalah rumah yang di dalamnya terdapat anak yatim yang diperlakukan dengan baik, dan seburuk-buruk rumah di kalangan kaum muslim adalah rumah yang di dalamnya terdapat anak yatim yang diperlakukan dengan buruk.

Kemudian Nabi s.a.w. berisyarat dengan kedua jari tangannya, lalu bersabda:

أَنَا وَ كَافِلُ الْيَتِيْمِ فِي الْجَنَّةِ هكَذَا

Aku dan orang yang menjamin anak yatim berada di dalam surga seperti ini.

Abū Dāūd mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muḥammad ibn-ush-Shabāḥ ibnu Sufyān, telah menceritakan kepada kami ‘Abd-ul-‘Azīz (yakni Ibnu Abū Ḥāzim), telah menceritakan kepadaku ayahku, dari Sahl (yakni Ibnu Sa‘īd) bahwa Rasūlullāh s.a.w. pernah bersabda:

أَنَا وَ كَافِلُ الْيَتِيْمِ كَهَاتَيْنِ فِي الْجَنَّةِ

Aku dan orang yang menjamin anak yatim seperti kedua jari ini di dalam surga.

Yakni berdekatan, seraya mengisyaratkan kedua jarinya, yaitu telunjuk dan jari tengahnya:

وَ لَا تَحَاضُّوْنَ عَلَى طَعَامِ الْمِسْكِيْنِ.

Dan kamu tidak saling mengajak memberi makan orang miskin. (al-Fajr: 18).

Yaitu tidak memerintahkan orang lain untuk memberi santunan kepada orang-orang fakir dan miskin dan sebagian dari mereka tidak menganjurkan hal ini kepada sebagian yang lainnya.

وَ تَأْكُلُوْنَ التُّرَاثَ أَكْلًا لَّمًّا.

Dan kamu memakan harta pusaka dengan cara mencampuradukkan (yang halal dan yang haram). (al-Fajr: 19).

Yang dimaksud dengan turāts ialah harta warisan, yakni memakannya tanpa mempedulikan dari arah mana dihasilkannya, baik dari cara halal maupun cara haram.

وَ تُحِبُّوْنَ الْمَالَ حُبًّا جَمًّا.

Dan kamu mencintai harta benda dengan kecintaan yang berlebihan. (al-Fajr: 20).

Yakni kecintaan yang banyak; sebagian ulama mengartikannya kecintaan yang berlebihan.

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *