Firman Allah s.w.t.:
وَ اللَّيْلِ إِذَا يَسْرِ
Dan malam bila berlalu. (al-Fajr: 4)
Al-‘Aufī telah meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbās, bahwa makna yang dimaksud ialah malam hari apabila telah berlalu. Dan ‘Abdullāh ibn-uz-Zubair telah mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya:
وَ اللَّيْلِ إِذَا يَسْرِ
Dan malam bila berlalu. (al-Fajr: 4)
Yakni bilamana berlalu sedikit demi sedikit, atau sebagian demi sebagian. Mujāhid, Abul-‘Āliyah, dan Qatādah telah meriwayatkan dari Zaid ibnu Aslam dan Ibnu Zaid sehubungan dengan makna firman-Nya:
وَ اللَّيْلِ إِذَا يَسْرِ
Dan malam bila berlalu. (al-Fajr: 4)
Yaitu apabila berjalan. Pendapat ini dapat ditakwilkan sesuai dengan apa yang telah dikatakan oleh Ibnu ‘Abbās, yakni telah berlalu. Dapat pula ditakwilkan bahwa makna yang dimaksud dengan berjalan ialah tiba. Juga dapat dikatakan bahwa takwil ini lebih sesuai, mengingat ia menjadi lawan kata dari firman-Nya:
وَ الْفَجْرِ
Demi fajar (al-Fajr: 1)
Karena sesungguhnya makna fajar itu ialah datangnya siang hari dan berlalunya malam hari. Maka apabila firman Allah s.w.t.:
وَ اللَّيْلِ إِذَا يَسْرِ
Dan malam bila berlalu. (al-Fajr: 4)
Ditakwilkan dengan pengertian “datangnya malam hari”, berarti makna yang dimaksud ialah bahwa Allah s.w.t. telah bersumpah dengan menyebut datangnya siang hari dan berlalunya malam hari, juga dengan datangnya malam hari dan berlalunya siang hari. Semakna dengan apa yang disebutkan dalam ayat lain melalui firman-Nya:
وَ اللَّيْلِ إِذَا عَسْعَسَ. وَ الصُّبْحِ إِذَا تَنَفَّسَ.
Demi malam apabila telah hampir meninggalkan gelapnya, dan demi subuh apabila fajarnya mulai menyingsing. (at-Takwīr: 17-18).
Hal yang sama telah dikatakan oleh Adh-Dhaḥḥāk sehubungan dengan makna firman-Nya:
وَ اللَّيْلِ إِذَا يَسْرِ
Dan malam bila berlalu. (al-Fajr: 4)
Yakni bila berlangsung. Lain pula dengan ‘Ikrimah, ia mengatakan bahwa firman-Nya:
وَ اللَّيْلِ إِذَا يَسْرِ
Dan malam bila berlalu. (al-Fajr: 4)
Bahwa makna yang dimaksud ialah malam Juma‘, yaitu malam Muzdalifah demikianlah menurut apa yang telah diriwayatkan oleh Ibnu Abī Ḥātim.
Kemudian Ibnu Abī Ḥātim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Aḥmad ibnu ‘Ishām, telah menceritakan kepada kami Abū ‘Āmir, dari Katsīr ibnu ‘Abdullāh ibnu ‘Amr yang mengatakan bahwa ia pernah mendengar Muḥammad ibnu Ka‘b al-Qurazhī mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya:
وَ اللَّيْلِ إِذَا يَسْرِ
Dan malam bila berlalu. (al-Fajr: 4)
Dikatakan: “Teruskanlah perjalananmu, hai orang yang mengadakan perjalanan di malam hari, dan jangan sekali-kali kamu menginap kecuali di Jam‘un.”
Firman Allah s.w.t.:
هَلْ فِيْ ذلِكَ قَسَمٌ لِّذِيْ حِجْرٍ
Pada yang demikian itu terdapat sumpah (yang dapat diterima) oleh orang-orang yang berakal. (al-Fajr: 5).
Maksudnya, bagi orang yang mempunyai akal dan pemikiran. Sesungguhnya akal dinamakan ḥijr (pencegah) karena ia mencegah pemiliknya dari melakukan perbuatan dan mengeluarkan ucapan yang tidak layak baginya. Dan termasuk ke dalam pengertian ini Ḥijir Baitullāh (Hijir Ismail) karena mencegah orang yang melakukan tawaf dari menempel di temboknya yang termasuk rukun Syami. Termasuk pula ke dalam pengertian ini Ḥijr-ul-Yamāmah (daerah Yamāmah yang dilindungi), dan dikatakan: “Hakim telah menahan si Fulan,” bila si hakim mencegahnya dari melakukan aktivitasnya.
وَ يَقُوْلُوْنَ حِجْرًا مَحْجُوْرًا
Dan mereka berkata: “Ḥijran Maḥjūra,” (semoga Allah menghindarkan bahaya ini dari saya). (al-Furqān: 22).
Semuanya itu termasuk dalam satu bab dan mempunyai makna yang berdekatan.
Sumpah ini yang menyebutkan waktu-waktu ibadah dan juga ibadah itu sendiri – seperti haji, salat, dan lain sebagainya – termasuk berbagai jenis dari amal taqarrub yang dijadikan sarana oleh hamba-hambaNya yang bertakwa lagi takut kepada-Nya serta rendah diri kepada-Nya untuk mendekatkan diri mereka kepada Dzat-Nya Yang Maha Mulia.
Setelah menyebutkan ibadah dan ketaatan mereka, lalu disebutkan oleh firman-Nya:
أَلَمْ تَرَ كَيْفَ فَعَلَ رَبُّكَ بِعَادٍ
Apakah kamu tidak memperhatikan bagaimana Tuhanmu berbuat terhadap kaum ‘Ād (al-Fajr: 6).
Mereka adalah orang-orang yang membangkang, angkara murka, sewenang-wenang, pendurhaka terhadap Allah, mendustakan rasul-rasulNya lagi mengingkari kitab-kitabNya, Maka Allah menyebutkan bagaimana Dia membinasakan mereka dan menghancurkan mereka serta menjadikan mereka sebagai pelajaran dan kisah-kisah umat yang durhaka. Untuk itu Allah s.w.t. berfirman:
أَلَمْ تَرَ كَيْفَ فَعَلَ رَبُّكَ بِعَادٍ. إِرَمَ ذَاتِ الْعِمَادِ.
Apakah kamu tidak memperhatikan bagaimana Tuhanmu berbuat terhadap kaum ‘Ād (Yaitu) penduduk Iram yang mempunyai bangunan-bangunan yang tinggi. (al-Fajr: 6-7).
Mereka adalah kaum ‘Ād pertama, yaitu keturunan dari ‘Ād ibnu Iram ibnu ‘Aus ibnu Sam ibnu Nūḥ, menurut Ibnu Isḥāq. Mereka adalah kaum yang diutus kepada mereka Nabi Hūd a.s., lalu mereka mendustakannya dan menentangnya. Maka Allah menyelamatkannya dari kalangan mereka beserta orang-orang yang beriman bersamanya dari kalangan mereka. Dan Allah membinasakan mereka dengan angin yang sangat dingin lagi sangat kuat, yang terus-menerus menimpa mereka selama tujuh malam delapan siang hari. Maka kamu lihat kaum itu mati semuanya di tempat tinggal mereka seperti batang-batang pohon kurma yang lapuk, maka apakah kamu masih melihat adanya sisa-sisa dari mereka?
Allah s.w.t. telah menyebutkan kisah mereka di dalam al-Qur’ān bukan hanya pada satu tempat agar dijadikan pelajaran bagi orang-orang mukmin kehancuran yang telah menimpa mereka. Firman Allah s.w.t.:
إِرَمَ ذَاتِ الْعِمَادِ.
(Yaitu) penduduk Iram yang mempunyai bangunan-bangunan yang tinggi. (al-Fajr: 7).
Berkedudukan sebagai ‘athaf bayān untuk menambah keterangan perihal identitas mereka, dan firman-Nya:
ذَاتِ الْعِمَادِ.
yang mempunyai bangunan-bangunan yang tinggi. (al-Fajr: 7).
Karena mereka menempati kemah-kemah yang terbuat dari bulu, kemudian ditegakkan dengan tiang-tiang yang kuat lagi kokoh. Mereka terkenal sangat kuat di masanya dan paling besar tubuhnya. Untuk itulah rasul mereka (yaitu Nabi Hūd a.s.) mengingatkan mereka akan nikmat tersebut dan memberi petunjuk kepada mereka agar nikmat tersebut dijadikan sebagai sarana bagi mereka untuk taat kepada Tuhannya yang telah menciptakan mereka. Hal ini disebutkan oleh Allah s.w.t. dalam ayat yang lain melalui firman-Nya:
وَ اذْكُرُوْا إِذْ جَعَلَكُمْ خُلَفَاءَ مِنْ بَعْدِ قَوْمِ نُوْحٍ وَ زَادَكُمْ فِي الْخَلْقِ بَسْطَةً فَاذْكُرُوْا آلآءَ اللهِ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَ
Dan ingatlah oleh kamu sekalian di waktu Allah menjadikan kamu sebagai pengganti-pengganti (yang berkuasa) sesudah lenyapnya kaum Nūḥ, dan Tuhan telah melebihkan kekuatan tubuh dan perawakanmu (daripada kaum Nūḥ itu). Maka ingatlah nikmat-nikmat Allah supaya kamu mendapat keberuntungan. (al-A‘rāf: 69).
Dan firman Allah s.w.t.:
فَأَمَّا عَادٌ فَاسْتَكْبَرُوْا فِي الْأَرْضِ بِغَيْرِ الْحَقِّ وَ قَالُوْا مَنْ أَشَدُّ مِنَّا قُوَّةً أَوَ لَمْ يَرَوْا أَنَّ اللهَ الَّذِيْ خَلَقَهُمْ هُوَ أَشَدُّ مِنْهُمْ قُوَّةً
Adapun kaum ‘Ād, maka mereka menyombongkan diri di muka bumi tanpa alasan yang benar dan berkata: “Siapakah yang lebih besar kekuatannya daripada kami?” Dan apakah mereka itu tidak memperhatikan bahwa Allah yang menciptakan mereka adalah lebih besar kekuatan-Nya daripada mereka.” (Fushshilat: 15).
Dan dalam surat ini disebutkan oleh firman-Nya:
الَّتِيْ لَمْ يُخْلَقْ مِثْلُهَا فِي الْبِلَادِ.
Yang belum pernah dibangun (suatu kota) seperti itu, di negeri-negeri lain. (al-Fajr: 8).
Yakni belum pernah ada suatu kabilah pun yang diciptakan seperti mereka di negeri mana pun, karena mereka memiliki kekuatan yang dahsyat, keras, lagi perawakan mereka besar-besar. Mujāhid mengatakan bahwa Iram adalah suatu umat di masa dahulu, yakni kaum ‘Ād pertama. Qatādah ibnu Di‘amah dan as-Suddī mengatakan bahwa sesungguhnya Iram adalah ibu kota kerajaan kaum ‘Ād. Ini merupakan pendapat yang baik, jayyid, lagi kuat. Mujāhid, Qatādah, dan al-Kalabī mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya:
ذَاتِ الْعِمَادِ.
yang mempunyai bangunan-bangunan yang tinggi. (al-Fajr: 7).
Mereka adalah suku nomaden dan tidak pernah menetap dalam suatu tempat. Al-‘Aufī telah meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbās, bahwa sesungguhnya mereka disebut dzāt-ul-‘imād karena perawakan mereka sangat tinggi. Ibnu Jarīr memilih pendapat yang pertama dan menolak pendapat yang kedua, dan ternyata dia benar.
Firman Allah s.w.t.:
الَّتِيْ لَمْ يُخْلَقْ مِثْلُهَا فِي الْبِلَادِ.
Yang belum pernah dibangun (suatu kota) seperti itu, di negeri-negeri lain. (al-Fajr: 8).
Ibnu Zaid mengatakan bahwa dhamīr yang ada merujuk kepada ‘imād karena ketinggiannya yang tidak terperikan, dan ia mengatakan bahwa mereka telah membangun bangunan-bangunan yang tinggi di atas bukit-bukit pasir, yang belum pernah dibangun (suatu kota) seperit itu di negeri-negeri lain.
Lain halnya dengan Qatādah dan Ibnu Jarīr, keduanya merujukkan dhamīr yang ada kepada kabilah. Yakni belum pernah ada suatu kabilah pun yang diciptakan seperti mereka di masanya. Pendapat inilah yang benar, sedangkan pendapat Ibnu Zaid dan orang-orang yang mengikutinya lemah. Karena seandainya makna yang dimaksud adalah seperti yang ditakwilkan oleh mereka, tentulah bunyi ayat bukan lam yukhlaq, melainkan lam yu‘mal mitsluhā fil-bilād. Dan sesungguhnya bunyi ayat adalah seperti berikut:
الَّتِيْ لَمْ يُخْلَقْ مِثْلُهَا فِي الْبِلَادِ.
Yang belum pernah dibangun (suatu kota) seperti itu, di negeri-negeri lain. (al-Fajr: 8).
Ibnu Abī Ḥātim mengatakan, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Abū Shāliḥ, juru tulis al-Laits, telah menceritakan kepadaku Mu‘āwiyah ibnu Shāliḥ, dari orang yang telah menceritakan hadits ini kepadanya, dari al-Miqdām, dari Nabi s.a.w. sehubungan dengan penduduk Iram yang mempunyai bangunan-bangunan yang tinggi. Maka beliau s.a.w. bersabda:
كَانَ الرَّجُلُ مِنْهُمْ يَأْتِيْ عَلَى الصَّخْرَةِ فَيَحْمِلُهَا عَلَى الْحَيِّ فَيُهْلِكُهُمْ
Adalah seseorang dari mereka (kaum ‘Ād) dapat mengangkat sebuah batu yang amat besar (seperti bukit), lalu ia memikulnya dan menimpakannya kepada suatu penduduk desa, maka binasalah mereka.
Kemudian Ibnu Abī Ḥātim mengatakan telah menceritakan kepada kami ‘Alī ibn-ul-Ḥusain, telah menceritakan kepada kami Abuth-Thāhir, telah menceritakan kepada kami Anas ibn-ul-‘Iyādh, dari Tsaur ibnu Zaid ad-Dailī yang mengatakan bahwa ia pernah membaca sebuah prasasti kuno yang bunyinya seperti berikut: “Akulah Syaddād ibnu ‘Ād, akulah yang meninggikan bangunan-bangunan yang tinggi, dan akulah orang yang hastaku sama besarnya dengan tubuh satu orang; dan akulah orang yang menyimpan perbendaharaan sedalam tujuh hasta, tiada yang dapat mengeluarkannya selain umat Muḥammad s.a.w.”
Menurut hemat saya, pendapat apa pun dari yang telah disebutkan di atas, baik yang mengatakannya sebagai bangunan-bangunan tinggi yang mereka bangun, atau menganggapnya sebagai tiang-tiang rumah mereka di daerah pedalaman, ataukah menganggapnya sebagai senjata yang dipakai mereka untuk berperang atau menggambarkan ketinggian seseorang dari mereka. Semuanya itu pada garis besarnya menunjukkan bahwa mereka adalah suatu umat yang disebutkan di dalam al-Qur’ān bukan hanya pada satu tempat saja yang penyebutan mereka dibarengi dengan kisah kaum Tsamūd, sebagaimana yang disebutkan dalam surat ini; hanya Allah-lah Yang Maha Mengetahui.
Dan mengenai orang yang mengira bahwa firman-Nya:
إِرَمَ ذَاتِ الْعِمَادِ.
(Yaitu) penduduk Iram yang mempunyai bangunan-bangunan yang tinggi. (al-Fajr: 7).
Bahwa makna yang dimaksud adalah suatu kota yang adakalanya kota Dimasyq seperti apa yang diriwayatkan dari Sa‘īd ibn-ul-Masayyab dan ‘Ikrimah, atau menganggapnya kota Iskandariah seperti yang diriwayatkan dari al-Qurazī, atau dianggap kota lainnya. Maka pendapat-pendapat ini masih perlu diteliti kebenarannya; karena bila diartikan demikian, mana mungkin dapat sesuai dengan firman-Nya:
أَلَمْ تَرَ كَيْفَ فَعَلَ رَبُّكَ بِعَادٍ. إِرَمَ ذَاتِ الْعِمَادِ.
Apakah kamu tidak memperhatikan bagaimana Tuhanmu berbuat terhadap kaum ‘Ād (Yaitu) penduduk Iram yang mempunyai bangunan-bangunan yang tinggi. (al-Fajr: 6-7).
Jika hal itu dijadikan sebagai badal atau ‘athaf bayān, maka tidak sealur dengan konteks pembicaraannya. Karena sesungguhnya yang dimaksud dalam topik pembicaraaan ayat ini tiada lain memberitakan tentang kebinasaan suatu kabilah yaitu ‘Ād, dan adzab yang ditimpakan oleh Allah kepada mereka sebagai pembalasan dari-Nya, tanpa ada seorang pun yang dapat mencegahnya. Dan makna yang dimaksud bukanlah menceritakan perihal suatu kota atau suatu kawasan.
Sesungguhnya kami ingatkan hal ini tiada lain agar jangan ada orang yang terpedaya oleh berbagai macam pendapat yang dikemukakan oleh sebagian ulama tafsir sehubungan dengan ayat ini. Yang di antaranya ada yang menyebutkan bahwa Iram adalah suatu kota yang memiliki bangunan-bangunan yang tinggi, yang dibangun dengan bata emas dan perak gedung-gedung, rumah-rumah, dan taman-tamannya. Dan bahwa batu kerikilnya dari intan dan mutiara, sedangkan tanahnya dari kesturi, dan sungai-sungainya mengalir, sedangkan buah-buahannya berjatuhan; rumah-rumahnya tiada penghuninya, tembok-tembok dan pintu-pintunya dalam keadaan terbuka, tetapi tiada seorang pun yang ada di dalamnya. Dan bahwa kota tersebut berpindah-pindah; adakalanya di negeri Syam dan adakalanya di negeri Yaman, dan adakalanya berpindah ke negeri Iraq, dan lain sebagainya. Maka sesungguhnya kisah seperti ini termasuk dongengan-dongengan Israiliyat, yang tiada kenyataannya, dan termasuk yang dibuat oleh orang-orang Zindiq dari kalangan mereka, yang sengaja dituangkan untuk memperdaya akal orang-orang yang bodoh agar mau percaya dengan kisah buatan mereka.
Ats-Tsa‘labī dan lain-lainnya menyebutkan bahwa pernah ada seorang lelaki Badui yang bernama ‘Abdullāh ibnu Qilābah hidup di masa Mu‘āwiyah. Lelaki Badui itu pergi mencari beberapa ekor untanya yang lepas, ketika ia sedang mencarinya ke mana-mana, tersesatlah ia di suatu daerah. Dan tiba-tiba ia menjumpai suatu kota yang besar dengan tembok-temboknya yang tinggi dan pintu-pintu gerbangnya yang besar. Lalu ia memasukinya dan menjumpai di dalamnya banyak hal yang mendekati, seperti apa yang telah kami sebutkan di atas, yaitu kota emas. Lalu lelaki itu kembali dan menceritakan kepada orang-orang apa yang telah dilihatnya, maka orang-orang beramai-ramai pergi bersama dia menuju ke tempat yang disebutkannya, dan ternyata mereka tidak melihat sesuatu pun di tempat tersebut.
Ibnu Abī Ḥātim telah menyebutkan kisah mengenai kota Iram yang mempunyai bangunan-bangunan yang tinggi ini dengan kisah yang panjang sekali. Dan kisah ini tidak shaḥīḥ sanadnya. Seandainya memang shaḥīḥ sampai kepada lelaki Badui tersebut, maka barangkali lelaki Badui itu membuat-buatnya; atau dia terkena semacam penyakit kejiwaan yang menimbulkan ilusi berbagai macam hal, sehingga ia menganggap bahwa ilusinya itu suatu kenyataan, padahal hakikatnya tidaklah demikian. Dan faktor inilah yang memastikan tidak sahnya kisah lelaki Badui itu.
Hal ini hampir sama dengan apa yang diberitakan oleh kebanyakan orang yang kurang akalnya, yang tamak kepada keduniawian. Mereka beranggapan bahwa di dalam perut bumi terdapat banyak emas, perak dan berbagai macam permata, yaqut, mutiara, dan keajaiban (teka-teki) yang besar. Akan tetapi, mereka beranggapan bahwa untuk mencapainya ada banyak hambatan yang harus dilenyapkan terlebih dahulu agar dapat diambil. Karenanya mereka banyak menipu harta orang-orang kaya dan orang-orang yang lemah lagi kurang akalnya (yang mau membelanjakan hartanya untuk tujuan itu) sehingga mereka yang melakukan praktek demikian, memakan harta orang lain dengan cara yang batil. Mereka mengilusikan kepada orang-orang yang mereka perdaya, bahwa biaya itu untuk membeli dupa, ramu-ramuan, dan lain sebagainya yang diada-adakan oleh mereka, padahal kenyataannya tipuan belaka.
Akan tetapi, yang pasti memang di dalam tanah banyak terdapat harta-harta yang terpendam, yang dahulunya adalah bekas-bekas peninggalan masa jahiliah dan masa Islam pertama. Maka barang siapa yang berhasil mendapatkannya, ia dapat memindahkannya. Adapun mengenai harta terpendam seperti apa yang digambarkan oleh dugaan mereka, hal itu hanyalah dusta dan buat-buatan belaka, dan tidak benar sama sekali bahwa hal itu dapat dipindahkan atau dapat diambil oleh orang yang menemukannya. Hanya Allah-lah yang memberi petunjuk kepada jalan yang benar.
Dan mengenai pendapat Ibnu Jarīr yang mengatakan bahwa firman Allah s.w.t.:
إِرَمَ ذَاتِ الْعِمَادِ.
(Yaitu) penduduk Iram yang mempunyai bangunan-bangunan yang tinggi. (al-Fajr: 7).
Dapat ditakwilkan sebagai nama suatu kabilah atau suatu negeri (kota) yang dihuni oleh kaum ‘Ād, yang karenanya lafazh Iram tidak menerima tanwīn. Pendapat ini masih perlu diteliti, karena makna yang dimaksud oleh konteks cerita hanyalah menceritakan tentang kabilah, untuk itulah maka disebutkan dalam firman berikutnya:
وَ ثَمُوْدَ الَّذِيْنَ جَابُوا الصَّخْرَ بِالْوَادِ.
Dan kaum Tsamud yang memotong batu-batu besar di lembah. (al-Fajr: 9).
Yakni mereka memotong batu-batu yang ada di lembah tempat mereka. Ibnu ‘Abbās mengatakan bahwa mereka mengukirnya dan melubanginya. Hal yang sama dikatakan oleh Mujāhid, Qatādah, adh-Dhaḥḥāk, dan Ibnu Zaid. Dan termasuk ke dalam pengertian kata ini bila dikatakan mujtābin nimār, artinya bila mereka melubanginya. Dan dikatakan wajtāb-ats-tsauba bila seseorang membukanya (memotongnya); oleh karena itulah maka kantong dalam bahasa ‘Arab disebut al-jaib. Dan Allah s.w.t. telah berfirman:
وَ تَنْحِتُوْنَ مِنَ الْجِبَالِ بُيُوْتًا فَارِهِيْنَ
Dan kamu pahat sebagian dari gunung-gunung untuk dijadikan rumah-rumah dengan rajin. (asy-Syu‘arā’: 149).
Dan Ibnu Jarīr dan Ibnu Abī Ḥātim sehubungan dengan kisah ayat ini menyebutkan ucapan seorang penyair:
أَلَا كُلُّ شَيْءٍ مَا خَلَا اللهُ بَائِدٌ كَمَا بَادَ حَيٌّ مِنْ شَنِيْفٍ وَ مَارِدِ
هُمْ ضَرَبُوْا فِيْ كُلِّ صَمَّاءٍ صَعْدَةً بِأَيْدٍ شَدَادٍ أَيِّدَاتِ السَّوَاعِدِ
Ingatlah segala sesuatu selain Allah pasti lenyap (binasa)
Sebagaimana telah lenyap suatu kabilah dari Syanīf dan Mārid.
Mereka telah mengukir dan memotong batu-batu gunung
Dengan tangan-tangan yang keras dan lengan-lengan yang kekar.
Ibnu Isḥāq mengatakan bahwa mereka adalah orang-orang ‘Arab, dan tempat tinggal mereka adalah di lembah al-Qurā. Kami telah menyebutkan kisah kaum ‘Ād secara rinci di dalam tafsir sūrat-ul-A‘rāf, sehingga tidak perlu diulangi lagi.