Surah al-Fajr 89 ~ Tafsir Ibni Katsir (1/4)

Dari Buku:
Tafsir Ibnu Katsir, Juz 30
(An-Nabā’ s.d. An-Nās)
Oleh: Al-Imam Abu Fida’ Isma‘il Ibnu Katsir ad-Dimasyqi

Penerjemah: Bahrun Abu Bakar L.C.
Penerbit: Sinar Baru Algensindo Bandung

Rangkaian Pos: Surah al-Fajr 89 ~ Tafsir Ibni Katsir

SŪRAT-UL-FAJR
(Fajar)

Makkiyyah, 30 Ayat
Turun sesudah Sūrat-ul-Lail

 

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ

Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang

 

Imām Nasā’ī mengatakan, telah menceritakan kepadaku ‘Abd-ul-Wahhāb ibn-ul-Ḥakam, telah menceritakan kepadaku Yaḥyā ibnu Sa‘īd, dari Sulaimān, dari Muḥārib ibnu Ditsār dan Abū Shāliḥ, dari Jābir yang mengatakan bahwa sahabat Mu‘ādz melakukan shalat dan datanglah seorang lelaki yang bermakmum kepadanya, tetapi Mu‘ādz melakukan bacaannya sangat panjang. Akhirnya lelaki itu memisahkan diri dan shalat di suatu sudut dari masjid itu.

Ketika Mu‘ādz salam dari shalatnya, lalu diceritakanlah kepadanya perihal lelaki itu, maka Mu‘ādz berkata: “Dia adalah seorang munafik.” Kemudian hal itu diceritakan kepada Rasūlullāh s.a.w., maka Rasūlullāh s.a.w. menanyai lelaki tersebut, dan lelaki itu menjawab: “Wahai Rasūlullāh, pada mulanya aku datang dan shalat bersamanya, tetapi dia melakukan bacaannya sangat panjang, akhirnya aku bersalam dan shalat sendirian di sudut masjid itu. Setelah selesai, aku memberi makan untaku.” Maka Rasūlullāh s.a.w. menegur sahabat Mu‘ādz melalui sabdanya:

أَفَتَّانٌ يَا مُعَاذُ؟ أَيْنَ أَنْتَ مِنْ سَبِّحِ اسْمَ رَبِّكَ الأَعْلَى، وَ الشَّمْسِ وَ ضُحَاهَا، وَ الْفَجْرِ، وَ اللَّيْلِ إِذَا يَغْشَى

Apakah engkau orang yang suka menimbulkan fitnah, hai Mu‘ādz? Kenapa engkau tidak membaca: sabbiḥisma rabbik-al-a‘lā, wasy-syamsi wa dhuḥāhā, wal-fajri, dan wal-laili idzā yaghsyā?

 

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ

Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang

 

Al-Fajr, ayat: 1-14.

وَ الْفَجْرِ. وَ لَيَالٍ عَشْرٍ. وَ الشَّفْعِ وَ الْوَتْرِ. وَ اللَّيْلِ إِذَا يَسْرِ. هَلْ فِيْ ذلِكَ قَسَمٌ لِّذِيْ حِجْرٍ. أَلَمْ تَرَ كَيْفَ فَعَلَ رَبُّكَ بِعَادٍ. إِرَمَ ذَاتِ الْعِمَادِ. الَّتِيْ لَمْ يُخْلَقْ مِثْلُهَا فِي الْبِلَادِ. وَ ثَمُوْدَ الَّذِيْنَ جَابُوا الصَّخْرَ بِالْوَادِ. وَ فِرْعَوْنَ ذِي الْأَوْتَادِ. الَّذِيْنَ طَغَوْا فِي الْبِلَادِ. فَأَكْثَرُوْا فِيْهَا الْفَسَادَ. فَصَبَّ عَلَيْهِمْ رَبُّكَ سَوْطَ عَذَابٍ. إِنَّ رَبَّكَ لَبِالْمِرْصَادِ

089:1. Demi fajar,
089:2. dan malam yang sepuluh,
089:3. dan yang genap dan yang ganjil,
089:4. dan malam bila berlalu.
089:5. Pada yang demikian itu terdapat sumpah (yang dapat diterima) oleh orang-orang yang berakal.
089:6. Apakah kamu tidak memperhatikan bagaimana Tuhanmu berbuat terhadap kaum ‘Ād?,
089:7. (yaitu) penduduk Iram yang mempunyai bangunan-bangunan yang tinggi,
089:8. yang belum pernah dibangun (suatu kota) seperti itu, di negeri-negeri lain,
089:9. dan kaum Tsamūd yang memotong batu-batu besar di lembah,
089:10. dan kaum Fir‘aun yang mempunyai pasak-pasak (tentara yang banyak),
089:11. yang berbuat sewenang-wenang dalam negeri,
089:12. lalu mereka berbuat banyak kerusakan dalam negeri itu,
089:13. karena itu Tuhanmu menimpakan kepada mereka cemeti azab,
089:14. sesungguhnya Tuhanmu benar-benar mengawasi.

 

Al-Fajr merupakan suatu hal yang telah dimaklumi, yaitu subuh, menurut ‘Alī, Ibnu ‘Abbās, ‘Ikramah, Mujāhid, dan as-Suddī. Diriwayatkan pula dari Masrūq dan Muḥammad ibnu Ka‘b, bahwa makna yang dimaksud dengan fajr ialah fajar Hari Raya ‘Idul Adhḥā, yaitu sepuluh malam terakhir.

Menurut pendapat yang lain, makna yang dimaksud ialah shalat yang dikerjakan di saat fajar (shalat fajar), sebagaimana yang dikatakan oleh ‘Ikrimah. Dan menurut pendapat lain, makna yang dimaksud ialah seluruh siang hari; ini menurut suatu riwayat yang bersumber dari Ibnu ‘Abbās.

Mengenai sepuluh malam, makna yang dimaksud ialah tanggal sepuluh bulan Dzul-Ḥijjah; sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu ‘Abbās, Ibn-uz-Zubair, Mujāhid, dan lain-lainnya yang bukan hanya seorang dari kalangan ulama Salaf dan ulama Khalaf.

Di dalam kitab Shaḥīḥ Bukhārī telah disebutkan dari Ibnu ‘Abbās secara marfū‘:

مَا مِنْ أَيَّامٍ الْعَمَلُ الصَّالِحُ أَحَبُّ إِلَى اللهِ فِيْهِنَّ مِنْ هذِهِ الْأَيَّامِ

Tiada suatu hari pun yang amal saleh lebih disukai oleh Allah padanya selain dari hari-hari ini.

Yakni sepuluh hari pertama dari bulan Dzul-Ḥijjah. Mereka (para sahabat) bertanya: “Dan juga lebih utama daripada berjihad di jalan Allah?” Rasūlullāh s.a.w. menjawab:

وَ لَا الْجِهَادُ فِيْ سَبِيْلِ اللهِ إِلاَّ رَجُلًا خَرَجَ بِنَفْسِهِ وَ مَالِهِ ثُمَّ لَمْ يَرْجِعْ مِنْ ذلِكَ بِشَيْءٍ.

Dan juga lebih utama daripada berjihad di jalan Allah, terkecuali seseorang yang keluar dengan membawa hartanya untuk berjihad di jalan Allah, kemudian tidak pulang selain dari namanya saja.

Menurut pendapat yang lain, makna yang dimaksud adalah sepuluh hari pertama dair bulan Muḥarram, menurut apa yang diriwayatkan oleh Abū Ja‘far Ibnu Jarīr, tetapi tidak menisbatkannya kepada siapa pun sumber yang mengatakannya.

Abū Kadīnah telah meriwayatkan dari Qābūs ibnu Abū Dzabyān, dari ayahnya, dari Ibnu ‘Abbās sehubungan dengan makna firman-Nya:

وَ لَيَالٍ عَشْرٍ.

Dan malam yang sepuluh. (al-Fajr: 2)

Bahwa yang dimaksud adalah sepuluh malam yang pertama dari bulan Ramadhān; tetapi pendapat yang benar adalah yang pertama tadi.

Imām Aḥmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Zaid ibn-ul-Ḥabbāb, telah menceritakan kepada kami ‘Iyāsy ibnu ‘Uqbah, telah menceritakan kepadaku Khair ibnu Na‘īm, dari Abuz-Zubai, dari Jābir, dari Nabi s.a.w. yang telah bersabda:

إِنَّ الْعَشْرَ عَشْرُ الْأَضْحَى، وَ الْوَتْرَ يَوْمُ عَرَفَةَ، وَ الشَّفعَ يَوْمُ النَّحْرِ

Sesungguhnya malam yang sepuluh itu adalah malam yang sepuluh bulan Dzul-Ḥijjah dan al-watr (ganjil) adalah hari ‘Arafah sedangkan asy-syaf‘u (genap) adalah Hari Raya Qurban,

Imām Nasā’ī meriwayatkannya dari Muḥammad ibnu Rāfi‘ dan ‘Abdah ibnu ‘Abddullāh, masing-masing dari keduanya dari Zaid ibn-ul-Ḥabbāb dengan sanad yang sama. Ibnu Jarīr dan Ibnu Abī Ḥātim meriwayatkannya melalui Zaid ibn-ul-Ḥabbāb dengan sanad yang sama. Semua perawi yang disebutkan dalam sanad ini tidak mempunyai cela; tetapi menurut hemat penulis, predikat marfū‘ dari matan hadis ini tidak dapat diterima begitu saja. Allah sajalah Yang Maha Mengetahui.

Firman Allah s.w.t.:

وَ الشَّفْعِ وَ الْوَتْرِ.

Dan yang genap dan yang ganjil. (al-Fajr: 3).

Dalam hadits di atas telah disebutkan bahwa yang dimaksud dengan al-watr ialah hari ‘Arafah karena jatuh pada tanggal sembilan Dzul-Ḥijjah, dan yang dimaksud dengan asy-syaf‘u ialah Hari Raya Qurban karena ia jatuh pada tanggal sepuluh. Hal yang sama telah dikatakan pula oleh Ibnu ‘Abbās, ‘Ikrimah, dan adh-Dhaḥḥāk.

Pendapat Kedua. Ibnu Abī Ḥātim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abū Sa‘īd al-Asyaj, telah menceritakan kepada kami ‘Uqbah ibnu Khālid, dari Wāshil ibn-us-Sā’ib yang mengatakan bahwa ia telah bertanya kepada ‘Athā’ tentang makna firman-Nya:

وَ الشَّفْعِ وَ الْوَتْرِ.

Dan yang genap dan yang ganjil. (al-Fajr: 3).

Apakah yang dimaksud adalah shalat witir yang biasa kita kerjakan? ‘Athā’ menjawab: “Bukan, tetapi yang dimaksud dengan asy-syaf‘u ialah hari ‘Arafah, dan yang dimaksud dengan al-watru adalah malam Hari Raya Adhḥā.” (??? Catatan: Genap (asy-syaf‘u) = tanggal 9 (hari ‘Arafah), dan Ganjil (al-watru)= tanggal 10 (malam Hari Raya Adhḥā)???, mungkin salah ucap???)

Pendapat ketiga. Ibnu Abī Ḥātim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muḥammad ibnu ‘Āmir ibnu Ibrāhīm al-Ashbahānī, telah menceritakan kepadaku ayahku, dari an-Nu‘mān ibnu ‘Abd-us-Salām, dari Abu Sa‘īd ibnu ‘Auf yang menceritakan kepadaku di Makkah, bahwa ia pernah mendengar ‘Abdullāh ibn-uz-Zubair berkhutbah, lalu berdirilah seorang lelaki mengatakan: “Wahai Amīr-ul-Mu’minīn, terangkanlah kepadaku makna syaf‘u dan watru. Maka ‘Abdullāh ibn-uz-Zubair menjawab, bahwa yang dimaksud dengan asy-syaf‘u ialah apa yang disebutkan oleh Allah s.w.t. dalam firman-Nya:

فَمَنْ تَعَجَّلَ فِيْ يَوْمَيْنِ فَلَا إِثْمَ عَلَيْهِ

Barang siapa yang ingin cepat berangkat (dari Mina) sesudah dua hari, maka tiada dosa baginya (al-Baqarah: 203).

Dan yang dimaksud dengan al-watru ialah apa yang disebutkan oleh Allah s.w.t. dalam firman-Nya:

وَ مَنْ تَأَخَّرَ فَلَا إِثْمَ عَلَيْهِ

Dan barang siapa yang ingin menangguhkan (keberangkatannya dari dua hari itu), maka tidak ada dosa pula baginya. (al-Baqarah: 203).

Ibnu Juraij mengatakan, telah menceritakan kepadaku Muḥammad ibn-ul-Murtafi‘, ia pernah mendengar Ibn-uz-Zubair mengatakan bahwa asy-syaf‘u adalah pertengahan hari-hari tasyrīq, sedangkan al-watru ialah akhir hari-hari tasyrīq. Di dalam kitab Shaḥīḥain disebutkan melalui riwayat Abū Hurairah, dari Rasūlullāh s.a.w. yang telah bersabda:

إِنَّ للهِ تِسْعَةٌ وَ تِسْعِيْنَ اسْمًا مِائَةً إِلَّا وَاحِدًا مَنْ أَحْصَاهًا دَخَلَ الْجَنَّةَ وَ هُوَ وِتْرٌ يُحِبُّ الْوِتْرَ

Sesungguhnya Allah memiliki sembilan puluh sembilan nama, yakni seratus kurang satu, barang siapa yang menghafalnya, maka ia masuk surga. Dia adalah Esa (witr) dan menyukai yang esa (witr).

Pendapat Keempat. Al-Ḥasan al-Bashrī dan Zaid ibnu Aslam mengatakan bahwa semua makhluk adalah genap dan ganjil; Allah s.w.t. bersumpah dengan menyebut makhluk-Nya. Pendapat ini merupakan suatu riwayat yang bersumber dari Mujāhid. Tetapi pendapat terkenal yang bersumber dari Mujāhid menyebutkan sebagaimana pendapat yang pertama.

Al-‘Aufī telah meriwayatkan dair Ibnu ‘Abbās sehubungan dengan makna firman-Nya:

وَ الشَّفْعِ وَ الْوَتْرِ.

Dan yang genap dan yang ganjil. (al-Fajr: 3).

Ibnu ‘Abbās mengatakan bahwa Allah Esa, sedangkan kamu adalah genap. Dan dikatakan bahwa asy-syaf‘u adalah salat ‘Isyā’ (genap rakaatnya), sedangkan salat yang witir (ganjil) adalah salat Maghrib.

Pendapat Kelima. Ibnu Abī Ḥātim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abū Sa‘īd al-Asyāj, telah menceritakan kepada kami ‘Ubaidullāh ibnu Mūsā, dari Isrā’īl, dari Abā Yaḥyā, dari Mujāhid sehubungan dengan makna firman-Nya:

وَ الشَّفْعِ وَ الْوَتْرِ.

Dan yang genap dan yang ganjil. (al-Fajr: 3).

Bahwa yang dimaksud dengan asy-syaf‘u ialah sejodoh, dan yang dimaksud dengan al-watru adalah Allah s.w.t. Abū ‘Abdullāh telah meriwayatkan dari Mujāhid, bahwa Allah adalah al-watru; sedangkan makhluk-Nya adalah asy-syaf‘u alias genap, yakni laki-laki dan perempuan (jantan dan betina). Ibnu Abī Najīḥ telah meriwayatkan dari Mujāhid sehubungan dengan makna firman-Nya:

وَ الشَّفْعِ وَ الْوَتْرِ.

Dan yang genap dan yang ganjil. (al-Fajr: 3).

Segala sesuatu yang diciptakan oleh Allah disebut asy-syaf‘u (genap), langit dan bumi, daratan dan lautan, jin dan manusia, matahari dan rembulan, demikianlah seterusnya. Mujāhid dalam hal ini mengikuti pendapat yang dikatakan oleh mereka sehubungan dengan makna firman-Nya:

وَ مِنْ كُلِّ شَيْءٍ خَلَقْنَا زَوْجَيْنِ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ

Dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu mengingat akan kebesaran Allah. (adz-Dzāriyāt: 49).

Yakni agar kamu mengetahui bahwa orang yang menciptakan makhluk yang berpasang-pasangan adalah Tuhan Yang Maha Esa.

Pendapat keenam. Qatādah telah meriwayatkan dari al-Ḥasan sehubungan dengan makna firman-Nya:

وَ الشَّفْعِ وَ الْوَتْرِ.

Dan yang genap dan yang ganjil. (al-Fajr: 3).

Bahwa bilangan itu ada yang genap dan ada yang ganjil.

Pendapat yang Ketujuh. Sehubungan dengan makna ayat ini, diriwayatkan oleh Ibnu Abī Ḥātim dan Ibnu Jarīr melalui jalur Ibnu Juraij. Kemudian Ibnu Jarīr mengatakan bahwa telah diriwayatakan dari Nabi s.a.w. suatu hadits yang menguatkan pendapat yang telah kami sebutkan dari Ibn-uz-Zubair. Disebutkan bahwa telah menceritakan kepadaku ‘Abdullāh ibnu Abū Ziyād al-Qathwānī, telah menceritakan kepada kami Zaid al-Ḥabbāb, telah menceritakan kepadaku ‘Iyāsy ibnu ‘Uqbah, telah menceritakan kepadaku Khair ibnu Na‘īm, dari Abuz-Zubair, dari Jābir, bahwa Rasūlullāh s.a.w. telah bersabda:

الشَّفْعُ الْيَوْمَانِ وَ الْوَتْرُ الْيَوْمُ الثَّالِثِ

Asy-syaf‘u adalah dua hari dan al-watru adalah hari yang ketiganya.

Demikianlah hadits ini dikemukakan, yakni dengan lafazh tersebut, tetapi bertentangan dengan lafazh yang telah disebutkan sebelumnya dalam riwayat Imām Aḥmad, Imām Nasā’ī, dan Ibnu Abī Ḥātim, juga apa yang telah diriwayatkan oleh Ibnu Jarīr sendiri; hanya Allah-lah Yang Maha Mengetahui.

Abul-‘Āliyah dan ar-Rabī‘ ibnu Anas serta selain keduanya mengatakan bahwa shalat itu ada yang rakaatnya genap – seperti empat rakaat dan dua rakaat – ada juga yang ganjil – seperti shalat Maghrib yang jumlah rakaatnya ada tiga, yang boleh dibilang shalat witir di (penghujung) siang hari –. Demikian pula shalat witir yang dilakukan di akhir tahajjud yang terbilang witir malam hari.

‘Abd-ur-Razzāq telah meriwayatkan dari Ma‘mar, dari Qatādah, dari ‘Imrān ibnu Ḥushain sehubungan dengan firman-Nya:

وَ الشَّفْعِ وَ الْوَتْرِ.

Dan yang genap dan yang ganjil. (al-Fajr: 3).

Bahwa yang dimaksud adalah shalat-shalat fardhu, yang antara lain ada yang genap bilangan rakaatnya dan ada pula yang ganjil. Tetapi atsar ini munqathi‘ lagi mauqūf, lafazhnya hanya khusus menyangkut shalat fardhu. Sedangkan menurut yang diriwayatkan secara muttashil lagi marfū‘ sampai kepada Nabi s.a.w. menyebutkan dengan lafazh yang umum (yakni salat fardhu dan juga shalat sunat).

Imām Aḥmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abū Dāūd ath-Thayālisī, telah menceritakan kepada kami Hammām, dari Qatādah, dari ‘Imrān ibnu ‘Ishām, bahwa seorang syaikh dari ulama Bashrah pernah menceritakan kepadanya sebuah hadits dari ‘Imrān ibnu Ḥushain, bahwa Rasūlullāh s.a.w. pernah ditanya tentang makna asy-syaf‘u dan al-watru. Maka beliau s.a.w. menjawab:

هِيَ الصَّلَاةُ بَعْضُهَا شَفْعٌ وَ بَعْضُهَا وَتْرٌ

Maksudnya adalah salat, sebagian darinya ada yang genap (rakaatnya) dan sebagian yang lain ada yang ganjil.

Demikianlah yang tertera di dalam kitab Musnad. Hal yang sama telah diriwayatkan pula oleh Ibnu Jarīr, dari Bandār, dari ‘Affān dan dari Abū Kuraib alias ‘Ubaidillāh ibnu Mūsā, keduanya dari Hammām ibnu Yaḥyā, dari Qatādah, dari ‘Imrān ibnu ‘Ishām, dari seorang syaikh, dari ‘Imrān ibnu Ḥushain. Hal yang sama telah diriwayatkan oleh Abū ‘Īsā alias Imām Tirmidziī, dari ‘Amr ibnu ‘Alī, dari Ibnu Mahdī dan Abū Dāūd, keduanya dari Hammām, dari Qatādah, dari ‘Imrān ibnu ‘Ishām, dari seorang ulama Bashrah, dari ‘Imrān ibnu Ḥushain dengan sanad yang sama. Kemudian Imām Tirmidzī mengatakan bahwa hadits ini gharīb, kami tidak mengenalnya melainkan hanya melalui hadits Qatādah. Dan Khālid ibnu Qais telah meriwayatkannya pula dari Qatādah. Telah diriwayatkan pula dari ‘Imrān ibnu ‘Ishām, dari ‘Imrān ibnu Ḥushain sendiri, hanya Allah-lah Yang Maha Mengetahui.

Menurut hemat penulis, Ibnu Abī Ḥātim telah meriwayatkannya pula, ia mengatakan bahwa telah menceritakan kepada kami Aḥmad ibnu Sinān al-Wāsithī, telah menceritakan kepada kami Yazīd ibnu Hārūn, telah menceritakan kepada kami Hammām, dari Qatādah, dari ‘Imrān ibnu ‘Ishām ad-Dhab‘ī seorang syaikh dari kalangan penduduk Bashrah, dari ‘Imrān ibnu Ḥushain, dari Nabi s.a.w., lalu disebutkan hal yang semisal. Demikianlah yang penulis lihat di dalam kitab tafsirnya, dia menjadikan syaikh dari Bashrah itu adalah Imām ibnu ‘Ishām sendiri.

Hal yang sama telah diriwayatkan oleh Ibnu Jarīr, bahwa telah menceritakan kepada kami Nashr ibnu ‘Alī, telah menceritakan kepadaku ayahku, telah menceritakan kepadaku Khālid ibnu Qais, dari Qatādah, dari ‘Imrān ibnu ‘Ishām, dari ‘Imrān ibnu Ḥushain, dari Nabi s.a.w. sehubungan dengan makna asy-syaf‘u dan al-watru. Beliau s.a.w. bersabda:

هِيَ الصَّلَاةُ مِنْهَا شَفْعٌ وَ مِنْهَا وَتْرٌ

Maksudnya ialah salat, di antaranya ada yang genap dan di antaranya ada yang ganjil (rakaatnya).

Dalam riwayat ini tidak disebutkan syaikh yang tidak dikenal itu, dan hanya disebutkan ‘Imrān ibnu ‘Ishām adh-Dhab‘ī sendiri, dia adalah Abū ‘Imārah al-Bashrī Imām masjid Bani Dhabī‘ah. Dia adalah orang tua dari Abū Jamrah Nashr ibnu ‘Imrān adh-Dhab‘ī. Qatādah dan putranya (yaitu Abū Jamrah) dan al-Mutsannā ibnu Sa‘īd serta Abut-Tayyāḥ alias Yazīd ibnu Ḥumaid telah mengambil riwayat darinya.

Ibnu Ḥibbān menyebutkannya di dalam Kitāb-uts-Tsiqāt sebagai salah seorang yang berperdikat tsiqah, dan Khalīfah ibnu Khayyāth menyebutkannya di kalangan para tabi‘in dari kalangan penduduk Bashrah. Dia adalah seorang yang terhormat, mulia, dan mempunyai kedudukan di sisi al-Ḥajjāj ibnu Yūsuf. Kemudian al-Ḥajjāj membunuhnya di dalam Perang ar-Rawiyah pada tahun 82 Hijrah, karena ia bergabung dengan Ibn-ul-Asy‘ats. Pada Imām Tirmidzī tiada lagi haditsnya selain dari hadits ini, tetapi menurut hemat penulis, predikat mauqūf hadits ini hanya sampai kepada ‘Imrān ibnu Ḥushain, lebih mendekati kepada kebenaran; hanya Allah-lah Yang Maha Mengetahui. Dan Ibnu Jarīr tidak memutuskan dengan tegas nama yang dipilihnya di antara pendapat-pendapat tersebut di atas mengenai masalah genap dan ganjil ini.

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *