“Dan datang Tuhan engkau.” (pangkal ayat 22). Yaitu datang ketentuan dari Tuhan, bahwasanya segala perkara akan dibuka, segala manusia akan dihisab, buruk dan baik akan ditimbang. “Sedang malaikat mulai hadir berbaris-baris.” (ujung ayat 22).
Ditunjukkanlah di dalam ayat ini bagaimana hebatnya hari itu.
“Tuhan datang” – Dan hari itu bukanlah hari dunia ini lagi. Setengah Ulama tafsir memberikan arti bahwa yang datang itu ialah perintah Tuhan, bukan Tuhan sendiri.
Menulis Ibnu Katsir dalam tafsirnya tentang arti: “Dan datang Tuhan engkau.” – Kata beliau: “Yakni kedatangan-Nya karena akan memutuskan perkara-perkara di antara hamba-hamba-Nya. Yang demikian itu ialah setelah semuanya memohonkan syafa’at daripada Tuhannya seluruh Anak Adam, yaitu Nabi Muhammad SAW, yaitu sesudah mereka itu semua pada mulanya memohonkan pertolongan syafa’at daripada sekalian Rasul-rasul yang terutama, seorang sesudah seorang; semuanya menjawab mengatakan aku ini tidaklah layak untuk itu, sehingga sampailah giliran kepada Nabi Muhammad SAW. Lalu beliau berkata: “Akulah yang akan membela! Akulah yang akan membela!” Maka pergilah Muhammad menghadap Tuhan, memohonkan Tuhan memutuskan perkara-perkara itu, lalu Tuhan memberikan syafa’at yang dimohonkannya itu. Itulah permulaan syafa’at dan itulah “maqaaman-mahmuudan” sebagai yang tersebut di dalam Surat Al-Isra’ (tengok Juzu’ 15). Maka datanglah Tuhan untuk mengambil keputusan perkara-perkara itu, sedang malaikat-malaikat pun hadirlah berbaris-baris dengan segala hormatnya di hadapan Tuhan.
Di dalam ayat 38, daripada Surat 78, An-Naba’ pun disebutkan bagaimana sikap hormat para malaikat itu di hadapan Tuhan, tak seorang jua pun yang berani berkata mengangkat lidah sebelum mendapat izin dari Tuhan.
Berkata Az-Zamakhsyari: “Diumpamakan keadaannya dengan kehadiran raja sendiri kepada suatu majlis; maka timbulah suatu kehebatan dan ketinggian siasat, yang tidak akan didapat kalau yang hadir itu cuma pimpinan tentara atau menteri-menteri saja.”
Tidaklah perlu kita perbincangkan terlalu panjang hal yang disebutkan tentang kehadiran Tuhan di dalam Al-Qur’an. Melainkan wajiblah kita mempercayainya dengan tidak memberikan lagi keterangan lebih terperinci, di dalam alam dunia yang kita hidup sekarang ini.
“Dan akan didatangkan pada hari itu neraka jahannam.” (pangkal ayat 23). Oleh karena neraka jahannam itu adalah satu di antara berbagai-bagai makhluk Tuhan Yang Maha Besar Maha Agung, niscaya berkuasalah Tuhan mendatangkan neraka jahannam itu, dengan alat-alat kekuasaan yang ada pada-Nya. Sehingga segala makhluk dapat melihatnya dengan jelas, dan orang kafir mengerti sendiri bahwa ke sanalah mereka akan dihalau. Di dalam Surat 79, An-Nazi’at yang telah lalu, ayat 36 disebutkan bahwa neraka Jahim akan ditonjolkan! “Pada hari itu teringatlah manusia, padahal apa gunanya peringatan lagi?” (ujung ayat 23). Pada hari itu baru timbul sesal; padahal apalah gunanya penyesalan lagi; roda hidup tak dapat lagi diputar ke belakang. Yang dihadapi sekarang adalah hasil kelalaian di zaman lampau.
“Dia akan berkata: “Wahai, alangkah baiknya jika aku dari semula telah bersedia untuk penghidupanku ini.” (ayat 24).
Itulah satu keluhan penyesalan atas sesuatu yang tidak akan dapat dicapai lagi. Huruf Laita dalam bahasa Arab disebut Huruf Tamanni, yaitu mengeluh mengharap sesuatu yang tidak akan dapat dicapai lagi. Karena waktunya telah berlalu. “Kalau aku tahu akan begini nasibku, mengapa tidak sejak dahulu, waktu di dunia, aku berusaha agar mencapai hidup bahagia di hari ini. Padahal kalau aku mau mengatur hidup demikian di dunia dahulu, aku akan bisa saja.”
Itulah sesalan yang percuma di hari nanti. Dan itu pula sebabnya maka Nabi-nabi disuruh memperingatkan dari sekarang. Karena perintah-perintah Al-Qur’an adalah untuk dilaksanakan di sini, dan terima pahalanya di akhirat; bukan sebaliknya.
“Maka pada hari itu, tidak ada siapa pun akan dapat mengazab seperti azab-Nya.” (ayat 25). “Dan tidak siapa pun akan dapat mengikat seperti ikatan-Nya.” (ayat 26).
Ini adalah Azab Tuhan, bukan Azab seorang makhluk bagaimanapun kuat kuasanya. Ikatan belenggu Tuhan, yang tidak ada satu belenggu pun dalam dunia ini yang akan dapat menandingi belenggu Tuhan itu.
Maka ngeri dan tafakkurlah kita memikirkan hari itu; hari yang benar dan termasuk dalam bahagian terpenting dari Iman kita, sesudah percaya kepada Allah. Dan terasalah pada kita bahwa tidak ada tempat berlindung daripada murka Allah, melainkan kepada Allah jua kita berbuat.
Dalam suasana yang demikian itu kita bacalah ayat yang seterusnya. Ayat penutup Surat dan ayat memberikan pengharapan kepada jiwa yang telah mencapai ketenteramannya.
Siapakah yang disebut Nafsul-Muthmainnah?
Al-Qur’an sendiri menyebutkan tingkatan yang ditempuh oleh nafsu atau diri manusia. Pertama Nafsul Ammarah, yang selalu mendorong akan berbuat sesuatu di luar pertimbangan akal yang tenang. Maka keraplah manusia terjerumus ke dalam lembah kesesatan karena nafsul-ammarah ini. (Lihat Surat 12, Yusuf; ayat 53).
Bilamana langkah telah terdorong, tibalah penyesalan diri atas diri. Itulah yang dinamai Nafsul-Lawwamah. Itulah yang dalam bahasa kita sehari-hari dinamai “tekanan batin”, atau merasa berdosa. Nafsul-Lawwamah ini dijadikan sumpah kedua oleh Allah, sesudah sumpah pertama tentang ihwal hari kiamat. (Surat 75, Al-Qiyamah ayat 2).
Demikian pentingnya, sampai dijadikan sumpah. Karena bila kita telah sampai kepada Nafsul-Lawwamah, artinya kita telah tiba di persimpangan jalan; atau akan menjadi orang yang baik, pengalaman mengajar diri, atau menjadi orang celaka, karena sesal yang tumbuh tidak dijadikan pengajaran, lalu timbul sikap yang dinamai “keterlanjuran”.
Karena pengalaman dari dua tingkat nafsu itu, kita dapat naik mencapai “An-Nafsul-Muthmainnah”, yakni jiwa yang telah mencapai tenang dan tenteram. Jiwa yang telah digembleng oleh pengalaman dan penderitaan. Jiwa yang telah melalui berbagai jalan berliku, sehingga tidak mengeluh lagi ketika mendaki, karena di balik pendakian pasti ada penurunan. Dan tidak gembira melonjak lagi ketika menurun, karena sudah tahu pasti bahwa dibalik penurunan akan bertemu lagi pendakian. Itulah jiwa yang telah mencapai Iman! Karena telah matang oleh berbagai percobaan.
Jiwa inilah yang mempunyai dua sayap. Sayap pertama adalah syukur ketika mendapat kekayaan, bukan mendabik dada. Dan sabar ketika rezeki hanya sekedar lepas makan, bukan mengeluh. Yang keduanya telah tersebut dalam ayat 15 dan 16 tadi.
Jiwa inilah yang tenang menerima segala khabar gembira (basyiran) ataupun khabar yang menakutkan (nadziran).
Jiwa inilah yang diseru oleh ayat ini:
“Wahai jiwa yang telah mencapai ketentraman.” (ayat 27). Yang telah menyerah penuh dan tawakkal kepada Tuhannya: Telah tenang, karena telah mencapai yakin: terhadap Tuhan.
Berkata Ibnu ‘Atha’: “Yaitu jiwa yang telah mencapai ma’rifat sehingga tak sabar lagi bercerai dari Tuhannya walau sekejap mata.” Tuhan itu senantiasa ada dalam ingatannya, sebagai tersebut dalam ayat 38 dari Surah 13, Ar-Ra’ad.
Berkata Hasan Al-Bishri tentang muthmainnah ini: “Apabila Tuhan Allah berkehendak mengambil nyawa hamba-Nya yang beriman, tenteramlah jiwanya terhadap Allah, dan tenteram pula Allah terhadapnya.”
Berkata sahabat Rasulullah SAW ‘Amr bin Al-‘Ash (Hadis mauquf): “Apabila seorang hamba yang beriman akan meninggal, diutus Tuhan kepadanya dua orang malaikat, dan dikirim beserta keduanya suatu bingkisan dari dalam syurga. Lalu kedua malaikat itu menyampaikan katanya: “Keluarlah, wahai jiwa yang telah mencapai ketenteramannya, dengan ridha dan diridhai Allah. Keluarlah kepada Roh dan Raihan. Tuhan senang kepadamu, Tuhan tidak marah kepadamu.” Maka keluarlah Roh itu, lebih harum dari kasturi.”
“Kembalilah kepada Tuhanmu, dalam keadaan ridha dan diridhai.” (ayat 28). Artinya: setelah payah engkau dalam perjuangan hidup di dunia yang fana, sekarang pulanglah engkau kembali kepada Tuhanmu, dalam perasaan sangat lega karena ridha; dan Tuhan pun ridha, karena telah menyaksikan sendiri kepatuhanmu kepada-Nya dan tak pernah mengeluh.
“Maka masuklah ke dalam golongan hamba-hamba-Ku.” (ayat 29). Di sana telah menunggu hamba-hamba-Ku yang lain, yang sama taraf perjuangan hidup mereka dengan kamu; bersama-sama di tempat yang tinggi dan mulia. Bersama para Nabi, para Rasul, para shadiqqin dan syuhadaa. “Wa hasuna ulaa-ika rafiiqa”; Itulah semuanya yang sebaik-baik teman.
“Dan masuklah ke dalam syurga-Ku.” (ayat 30). Di situlah kamu berlepas menerima cucuran nikmat yang tiadakan putus-putus daripada Tuhan; Nikmat yang belum pernah mata melihatnya, belum pernah telinga mendengarnya, dan lebih daripada apa yang dapat dikhayalkan oleh hati manusia.
Dan ada pula satu penafsiran yang lain dari yang lain; yaitu annafs diartikan dengan roh manusia, dan rabbiki diartikan tubuh tempat roh itu dahulunya bersarang. Maka diartikannya ayat ini: “Wahai Roh yang telah mencapai tenteram, kembalilah kamu kepada tubuhmu yang dahulu telah kamu tinggalkan ketika maut memanggil,” sebagai pemberitahu bahwa di hari kiamat nyawa dikembalikan ke tubuhnya yang asli. Penafsiran ini didasarkan kepada qiraat (bacaan) Ibnu Abbas, Fii ‘Abdii dan qiraat umum Fii “Ibaadil.
Wallahu A’lam Bishshawaabi.