Surah al-Fajr 89 ~ Tafsir al-Azhar (2/3)

Dari Buku:
Tafsir al-Azhar
Oleh: Prof. Dr. HAMKA

Penerbit: PT. Pustaka Islam Surabaya

Rangkaian Pos: Surah al-Fajr 89 ~ Tafsir al-Azhar

KALAU IMAN TIDAK ADA

Pada kedua ayat ini digambarkan jiwa manusia bila Iman tidak ada; “Maka adapun manusia itu, apabila diberi percobaan akan dia oleh Tuhannya, yaitu diberi-Nya dia kemuliaan dan diberi-Nya dia nikmat.” (pangkal ayat 15). Diberi dia kekayaan atau pangkat tinggi, disegani orang dan mendapat kedudukan yang tertonjol dalam masyarakat; yang di dalam ayat itu disebutkan bahwa semuanya itu adalah cobaan; “Maka berkatalah dia: “Tuhanku telah memuliakan daku.” (ujung ayat 15). Mulailah dia mendabik dada, membanggakan diri, bahwa Tuhan telah memuliakan dia. Dia masih menyebut nama Tuhan, tetapi bukan dari rasa Iman. Sehingga kalau kiranya datang orang minta tolong kepadanya, orang itu akan diusirnya, karena merasa bahwa dirinya telah diistimewakan Tuhan.

“Dan adapun apabila Tuhannya memberikan percobaan kepadanya, yaitu dijangkakan-Nya rezekinya.” (pangkal ayat 16). Dijangkakan, atau diagakkan, atau dibatasi; dapat hanya sekedar penahan jangan mati saja. Kehidupan miskin, dapat sekedar akan dimakan, dan itu pun payah; “Maka dia berkata: “Tuhanku telah menghinakan daku.” (ujung ayat 16).

Di dalam ayat ini bertemu sekali lagi bahwa kemiskinan itu pun cobaan Tuhan juga. Kaya percobaan, miskin pun percobaan.

Dalam Surat 21, Al-Anbiya’ ayat 35 ada tersebut:

“Tiap-tiap diri akan merasakan mati, dan Kami timpakan kepada kamu kejahatan dan kebaikan sebagai ujian; dan kepada Kamilah kamu semua akan kembali.”

Buruk dan baik semuanya adalah ujian. Kaya atau miskin pun ujian. Kalau Allah memberikan anugerah kekayaan berlimpah-ruah, tetapi alat penyambut kekayaan itu tidak ada, yaitu Iman; maka kekayaan yang melimpah-ruah itu akan membawa diri si kaya ke dalam kesengsaraan rohani. Harta yang banyak itu akan jadi alat baginya menimbun-nimbun dosa.

Sebaliknya orang miskin, hidup hanya sekedar akan dimakan. Kalau alat penyambut kemiskinan itu tidak ada, yaitu Iman; maka kemiskinan itu pun akan membawanya menjadi kafir! Asal perutnya berisi, tidak peduli lagi mana yang halal dan mana yang haram.

Oleh sebab itu dapatlah kita lihat di kota-kota besar sebagai Jakarta dan kota-kota lain; ada orang yang mengendarai mobilnya dengan sombong, dengan kaki tidak berjejak di tanah, tidak tahu dia ke mana rezeki yang banyak itu hendak dibelanjakannya. Lalu dia pun lewat di atas jembatan. Di bawah jembatan tadi kelihatan orang-orang yang tidak ada rumah tempat tinggalnya lagi, tidur dengan enaknya siang hari. Karena jika hari telah malam, yang laki-laki pergi menggarong dan yang perempuan pergi menjual diri. Namun nilai di sisi Tuhan di antara yang berbangga berpongah di atas mobil mengkilap itu sama saja dengan yang tidur di bawah jembatan. Keduanya tidak ada alas Iman dalam hatinya untuk menerima percobaan rezeki melimpah atau rezeki terbatas.

Di dalam ayat-ayat ini diuraikan “penyakit” jiwa manusia bilamana tidak ada Iman. Yang mereka pentingkan hanya diri sendiri. Dia tidak mempunyai rasa belas-kasihan; “Tidak sekali-kali! Bahkan kamu tidak memuliakan anak yatim.” (ayat 17).

“Tidak sekali-kali maksudnya ialah bantahan pembelaan diri setengah orang, bahwa mereka kalau kaya akan banyak berbuat baik. Kalau miskin akan sabar menderita. Samasekali itu adalah “omong kosong”. Sebab sifat-sifat yang baik, kelakuan yang terpuji tidaklah akan subur dalam jiwa kalau Iman tidak ada. Kalau dia telah kaya, dia tidak lagi akan merasa belas-kasihan kepada anak yatim. Sebab dia hanya memikirkan dirinya, tidak memikirkan orang lain. Sebab dia tidak pernah memikirkan bagaimana kalau dia sendiri mati, dan anaknya tinggal kecil-kecil. “Dan kamu tidak ajak-mengajak atas memberi makan orang miskin.” (ayat 18).

Di dalam dua ayat ini bertemu dua kalimat penting, yang timbul dari hasil Iman. Pertama ialah memuliakan anak yatim. Memuliakan adalah lawan dari menghinakan, yaitu menganggapnya rendah, hanya separuh manusia, sebab tidak ada lagi orang yang mengasuhnya. Atau diasuh juga anak yatim itu tetapi direndahkannya, dipandang sebagai budak belian saja. Ini bukanlah perangai orang Mu’min.

Kedua ialah kalimat ajak-mengajak. Dalam kalimat ini terdapat pikulan bersama, bukan pikulan sendiri. “Berat sama dipikul, ringan sama dijinjing.”

Seorang Ulama Besar, Ibnu Hazm Al-Andalusi pernah menyatakan bahwa jika terdapat seseorang mati tidak makan pada satu qaryah (kampung), maka yang bertanggung jawab ialah orang sekampung itu. Dalam hukum Islam seluruh isi kampung diwajibkan membayar diyat atas kematian si miskin itu. Karena memberi makan fakir-miskin adalah kewajiban mereka bersama. Si miskin berhak menerima bahagian dari zakat.

“Dan kamu makan harta warisan orang; makan sampai licin.” (ayat 19). Ini pun rentetan dari dada yang kosong dari iman dan petunjuk itu. Dada yang penuh dengan kufur. Mereka terima harta warisan dari saudaranya yang telah wafat, lalu dimakannya sendiri dengan lahapnya, sampai licin tandas; sedang waris yang berhak, baik isterinya atau anak-anaknya yang masih kecil, tidak mendapat. Inilah yang banyak kejadian pada bangsa Arab di zaman Jahiliyah. Kadang-kadang janda dari si mati, atau yatim anak perempuan yang masih gadis, dijadikan sebagai “waris” pula, diambil alih kekuasaan oleh laki-laki yang dewasa, yang mengakui dirinya kepala waris. Bersama-sama dengan harta si mati orang-orang yang dalam kesedihan itu diboyong semua ke rumah yang menyambut waris. Untuk dikuasai hartanya dan dikuasai dirinya. Kadang-kadang ditahan-tahannya akan kawin lagi, karena merugikan bagi si pemboyong waris itu.

Setelah hijrah ke Madinah, Agama Islam mengatur pembahagian warisan (faraidh) dan perempuan mendapat hak pula sebagai laki-laki.

“Dan kamu suka sekali-kali akan harta, kesukaan sampai keji.” (ayat 20). Di mana saja pintunya, akan kamu hantam pintu itu sampai terbuka, kalau di dalamnya ada harta. Halal dan haram tak perduli. Menipu dan mengecoh tak dihitung. Menjual negeri dan bangsa pun kamu mau, asal dapat duit. Menjual rahasia negara pun kamu tidak keberatan, asal uang masuk. Malah membuka perusahaan yang penuh dengan dosa; sebagai perusahaan pelacuran perempuan, membuka rumah perjudian, menjual barang-barang yang merusak budi pekerti manusia, bahkan apa saja, kamu tidak keberatan asal hartamu bertambah.

Inilah celakanya kalau hidup tidak ada tuntunan Iman.

INSAFILAH

“Tidak sekali-kali!” (pangkal ayat 21). Samasekali sombong congkakmu di dunia itu, sikap penghinaanmu terhadap anak yatim, engganmu bersama-sama membantu makanan fakir-miskin, kecurangan dan lahap seleramu memulut segala harta warisan sehingga yang berhak tak mendapat apa-apa lagi, sampai kepada loba tamakmu akan harta, sehingga dengan jalan yang keji dan nista kamu pun suka, asal harta itu kamu dapat, semuanya itu tidaklah akan menyelamatkan dirimu. Itu hanya laba sebentar dalam dunia. Tidak, sekali-kali tidak! Janganlah kamu harapkan itu semua akan menolongmu. Bahkan akan datang masanya; “Apabila kelak bumi ini dihancurkan, sehancur-hancurnya.” (ujung ayat 21). Sehingga bumi itu akan jadi datar pun runtuh menjadi debu atau laksana saraab (fatamorgana), (lihat kembali ayat 20, Surat 78, An-Naba’). Dan segala sesuatu pada berobah kepada kehancuran. Sebab kiamat sudah datang.

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *