Surah al-Fajr 89 ~ Tafsir al-Azhar (1/3)

Dari Buku:
Tafsir al-Azhar
Oleh: Prof. Dr. HAMKA

Penerbit: PT. Pustaka Islam Surabaya

Rangkaian Pos: Surah al-Fajr 89 ~ Tafsir al-Azhar

Sūrat-ul-Fajar
(Waktu Fajar)

Surat ke-89, 30 Ayat
Diturunkan di Makkah

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ

Dengan Nama Allah, Maha Pengasih, Maha Penyayang

 

وَ الْفَجْرِ. وَ لَيَالٍ عَشْرٍ. وَ الشَّفْعِ وَ الْوَتْرِ. وَ اللَّيْلِ إِذَا يَسْرِ. هَلْ فِيْ ذلِكَ قَسَمٌ لِّذِيْ حِجْرٍ. أَلَمْ تَرَ كَيْفَ فَعَلَ رَبُّكَ بِعَادٍ. إِرَمَ ذَاتِ الْعِمَادِ. الَّتِيْ لَمْ يُخْلَقْ مِثْلُهَا فِي الْبِلَادِ. وَ ثَمُوْدَ الَّذِيْنَ جَابُوا الصَّخْرَ بِالْوَادِ. وَ فِرْعَوْنَ ذِي الْأَوْتَادِ. الَّذِيْنَ طَغَوْا فِي الْبِلَادِ. فَأَكْثَرُوْا فِيْهَا الْفَسَادَ. فَصَبَّ عَلَيْهِمْ رَبُّكَ سَوْطَ عَذَابٍ. إِنَّ رَبَّكَ لَبِالْمِرْصَادِ. فَأَمَّا الْإِنْسَانُ إِذَا مَا ابْتَلَاهُ رَبُّهُ فَأَكْرَمَهُ وَ نَعَّمَهُ فَيَقُوْلُ رَبِّيْ أَكْرَمَنِ. وَ أَمَّا إِذَا مَا ابْتَلَاهُ فَقَدَرَ عَلَيْهِ رِزْقَهُ فَيَقُوْلُ رَبِّيْ أَهَانَنِ. كَلَّا بَلْ لَا تُكْرِمُوْنَ الْيَتِيْمَ. وَ لَا تَحَاضُّوْنَ عَلَى طَعَامِ الْمِسْكِيْنِ. وَ تَأْكُلُوْنَ التُّرَاثَ أَكْلًا لَّمًّا. وَ تُحِبُّوْنَ الْمَالَ حُبًّا جَمًّا. كَلَّا إِذَا دُكَّتِ الْأَرْضُ دَكًّا دَكًّا. وَ جَاءَ رَبُّكَ وَ الْمَلَكُ صَفًّا صَفًّا. وَ جِيْءَ يَوْمَئِذٍ بِجَهَنَّمَ يَوْمَئِذٍ يَتَذَكَّرُ الْإِنْسَانُ وَ أَنَّى لَهُ الذِّكْرَى. يَقُوْلُ يَا لَيْتَنِيْ قَدَّمْتُ لِحَيَاتِيْ. فَيَوْمَئِذٍ لَّا يُعَذِّبُ عَذَابَهُ أَحَدٌ. وَ لَا يُوْثِقُ وَثَاقَهُ أَحَدٌ. يَا أَيَّتُهَا النَّفْسُ الْمُطْمَئِنَّةُ. ارْجِعِيْ إِلَى رَبِّكِ رَاضِيَةً مَّرْضِيَّةً. فَادْخُلِيْ فِيْ عِبَادِيْ. وَ ادْخُلِيْ جَنَّتِيْ

089:1. Demi fajar,
089:2. dan malam yang sepuluh,
089:3. dan yang genap dan yang ganjil,
089:4. dan malam bila berlalu.
089:5. Pada yang demikian itu terdapat sumpah (yang dapat diterima) oleh orang-orang yang berakal.
089:6. Apakah kamu tidak memperhatikan bagaimana Tuhanmu berbuat terhadap kaum ‘Ād?,
089:7. (yaitu) penduduk Iram yang mempunyai bangunan-bangunan yang tinggi,
089:8. yang belum pernah dibangun (suatu kota) seperti itu, di negeri-negeri lain,
089:9. dan kaum Tsamūd yang memotong batu-batu besar di lembah,
089:10. dan kaum Fir‘aun yang mempunyai pasak-pasak (tentara yang banyak),
089:11. yang berbuat sewenang-wenang dalam negeri,
089:12. lalu mereka berbuat banyak kerusakan dalam negeri itu,
089:13. karena itu Tuhanmu menimpakan kepada mereka cemeti azab,
089:14. sesungguhnya Tuhanmu benar-benar mengawasi.
089:15. Adapun manusia apabila Tuhannya mengujinya lalu dimuliakan-Nya dan diberi-Nya kesenangan, maka dia berkata: “Tuhanku telah memuliakanku”.
089:16. Adapun bila Tuhannya mengujinya lalu membatasi rezekinya maka dia berkata: “Tuhanku menghinakanku”.
089:17. Sekali-kali tidak (demikian), sebenarnya kamu tidak memuliakan anak yatim,
089:18. dan kamu tidak saling mengajak memberi makan orang miskin,
089:19. dan kamu memakan harta pusaka dengan cara mencampur baurkan (yang halal dan yang batil),
089:20. dan kamu mencintai harta benda dengan kecintaan yang berlebihan.
089:21. Jangan (berbuat demikian). Apabila bumi digoncangkan berturut-turut,
089:22. dan datanglah Tuhanmu; sedang malaikat berbaris-baris.
089:23. dan pada hari itu diperlihatkan neraka Jahanam; dan pada hari itu ingatlah manusia akan tetapi tidak berguna lagi mengingat itu baginya.
089:24. Dia mengatakan: “Alangkah baiknya kiranya aku dahulu mengerjakan (amal saleh) untuk hidupku ini.”
089:25. Maka pada hari itu tiada seorang pun yang menyiksa seperti siksa-Nya,
089:26. dan tiada seorang pun yang mengikat seperti ikatan-Nya.
089:27. Hai jiwa yang tenang.
089:28. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridai-Nya.
089:29. Maka masuklah ke dalam jemaah hamba-hambaKu,
089:30. dan masuklah ke dalam surga-Ku.

 

Ayat yang pertama adalah Allah menyuruh perhatikan fajar. Yaitu cahaya matahari yang mulai membayang di sebelah Timur, kira-kira satu jam lagi lebih kurang sebelum matahari itu sendiri terbit. Di waktu itulah kita diwajibkan Tuhan mengerjakan sembahyang Subuh, dan habis pula waktu Subuh itu apabila matahari telah terbit. “Demi fajar.” (ayat 1).

Saat fajar menyingsing itulah waktu yang amat penting bagi manusia, karena setelah selesai beribadat kepada Tuhan dengan sembahyang Subuh, mulailah mereka bergerak menghadapi hari yang mulai siang buat mencari rezeki di muka bumi Allah. Di saat itu pula Allah memberikan modal, sehari semalam penuh untuk hari yang baru, agar diisi dengan ibadat kepada Allah dan amal yang shalih. Janganlah hendaknya hari itu pergi dengan percuma tidak berisi. Karena masa yang telah lampau tidak dapat diulang lagi.

“Demi malam yang sepuluh.” (ayat 2).

Menurut suatu riwayat daripada Ibnu Abbas dan Mujahid, yang dimaksud dengan malam yang sepuluh ialah sejak satu haribulan Dzul Hijjah sampai 10 hari bulannya. Karena sejak tanggal 1 itu adalah persiapan buat mengerjakan haji. Hari kedelapan ialah tarwiyah, persiapan berangkat ke Arafah. Hari kesembilan ialah hari wuquf, yaitu berhenti di padang Arafah, yang menjadi pusat inti dari amalan haji itu. Dan setelah selesai wuquf, turun lagi ke Mina, dengan singgah dulu ke Muzdalifah berhenti sebentar memilih batu buat melontar Jumrah di Mina itu. Selesai melontar Jumratul-‘Aqabah di pagi hari kesepuluh di Mina itu, dinamailah hari kesepuluh itu Yaumun-Nahry hari menyembelih kurban. Dengan demikian pekerjaan haji yang penting telah selesai dikerjakan. Sehingga pada hari itu juga dapat diselesaikan sekaligus Thawaf Ifadhah dan Sa’I, sehingga selesai seluruh rukun dan syarat dan wajib haji sehari itu juga.

Pendapat Ibnu Abbas ini dikuatkan oleh sebuah Hadis:

“Daripada Ibnu Abbas, bersabda Nabi SAW: “Tidak ada hari-hari beramal yang shalih yang lebih disukai oleh Allah padanya, melebihi hari ini yaitu 10 Dzul Hijjah.”

Tetapi ada juga tafsiran tentang “Malam yang sepuluh” itu. Ibnu Jarir menerangkan dalam tafsirnya ialah 10 haribulan Muharram. Dan sebuah tafsir lagi dari Ar-Razi, ialah 10 hari yang terakhir dari bulan Ramadhan, karena Nabi SAW lebih tekun beribadat di malam 10 yang terakhir dari Ramadhan itu, di seluruh malamnya beliau lebih banyak bangun dan dibangunkannya pula kaum keluarganya.

Dan ada pula riwayat yang mengatakan “Malam yang sepuluh” ialah lima malam di awal bulan dan lima malam di akhir bulan karena di malam-malam begitu lebih banyak gelap malamnya dari terangnya, karena bulan masih kecil.

Tafsir-tafsir ini boleh dipakai dan dikenal semua; karena rahasia yang sebenarnya adalah pada Yang Empunya Firman sendiri; Allah.

“Demi genap, demi ganjil.” (ayat 3).

Segala perhitungan terdiri daripada genap dan ganjil. Yang ganjil dicukupkan oleh yang genap. Mujahid mengatakan: “Segala makhluk yang dijadikan Allah ini adalah genap; Ada darat ada laut. Ada jin ada manusia. Ada matahari ada bulan. Ada kufur ada iman. Ada bahagia ada sengsara. Ada petunjuk ada kesesatan. Ada malam dan ada siang.

Tafsiran dari Mujahid ini dapatlah diperluas lagi; Ada bumi ada langit. Ada permulaan ada kesudahan. Ada lahir ada batin. Ada laki-laki dan ada perempuan.

Adapun yang tetap ganjil atau tunggal tak ada pasangannya ialah yang Maha Esa, berdiri sendirinya, yang tiada bersekutu dengan yang lain, yaitu Allah Tuhan kita; – Qul Huwallaahu Ahad! – Katakanlah; Allah itu Esa!

Ibnu Jarir menjelaskan lagi dalam tafsirnya, bahwa Allah telah mengambil seumpah dengan yang genap dan yang ganjil. Namun Allah sendiri tidaklah menentukan yang mana genap itu dan yang mana ganjil itu. Sebab itu bolehlah kita merenungkan sendiri.

Dan boleh juga kita jadikan peringatan Allah tentang genap dan ganjil ini merenungkan betapa pentingnya hisab, atau hitungan; sejak dari hitungan biasa sampai kepada mathematik atau wijskunde tertinggi yang selalu menjadi turutan dari yang ganjil dan yang genap, dan dengan ilmu hitung yang tinggi itu sampailah kita kepada kesimpulan, bahwa hanya ganjil juga permulaan hitungan, baik dipandang dari segi ilmu hitung, ataupun dari segi ilmu ukur. Dan pada SATU juga penutupnya. Dari Satu dimulai dengan SATU disudahi.

“Demi malam apabila dia telah berjalan.” (ayat 4). Atau telah berlalu. Samasekali bertali dan bersambung. Mulanya fajar menyingsing, kemudian matahari pun terbit dan hari pun siang. Akhirnya matahari tenggelam dan malam pun tiba. Bartambah lama bertambah larut malam. Akhirnya dia pun berlalu atau berjalan. Berputarlah roda kehidupan kita dalam putaran bumi mengelilingi matahari atau matahari menerangi cakrawala atas kehendak Tuhan.

Kemudian datanglah ayat 5 menjadi patri dari alam yang telah dijadikan sumpah peringatan oleh Tuhan itu:.

“Adakah pada yang demikian itu suatu sumpah bagi yang berakal?”. (ayat 5).

Di dalam ayat ini tersebut hijr, yang diartikan dengan akal. Sebab arti asal dari kalimat hijr itu ialah penghambat. Dan akal adalah yang selalu menghambat manusia akan berlaku semau-maunya saja dalam alam ini. Al-‘Aql artinya yang asal ialah ikatan.

Ayat 5 ini bersifat pertanyaan, yang dapat diuraikan; “Apakah kamu perhatikan semuanya itu wahai orang yang mempunyai akal budi? Adakah kamu perhatikan fajar menyingsing, malam sepuluh, bilangan genap bilangan ganjil dan malam pun berlalu, hari pun berganti; Adakah kamu perhatikan semuanya itu, untuk melihat betapa besarnya kuasa Tuhanmu dan betapa pula hidup dirimu dalam lindungan Tuhan yang Esa itu”

Maka dapatlah disimpulkan bahwa sumpah-sumpah Ilahi dengan memakai makhluk yang Ia jadikan itu, adalah merangsang akal manusia agar berfikir.

CUBA PERHATIKAN!

“Apakah tidak engkau perhatikan bagaimana perbuatan Tuhanmu dengan kaum ‘Aad?” (ayat 6).

Ayat ini bersifat pertanyaan Tuhan kepada Rasul-Nya, memperingatkan betapa hebatnya azab dan kutuk Tuhan terhadap kaum ‘Aad, salah satu kabilah Arab zaman purbakala yang telah punah. Di dalam ayat-ayat dan Surat-surat yang lain, baik yang dahulu dari Surat ini atau yang kemudian daripadanya telah diterangkan bahwa kepada mereka Nabi Hud telah diutus oleh Allah.

Diterangkanlah pada ayat sambungannya betapa keadaan kaum ‘Aad itu; “(Yaitu) Iram yang empunya kemegahan.” (ayat 7). Karena mereka adalah satu kaum yang besar, kuat lagi gagah. Di dalam Surat Al-A’raf (Surat 7; 69) diterangkan bahwa sesudah zaman Nuh, kaum ‘Aad itulah kaum yang paling gagah dan kuat-kuat dan tinggi besar badan mereka, sihat tubuhnya. Dan disebutkan dalam Surat 41, Fushshilat ayat 15, bahwa karena merasa diri telah mencapai puncak kemegahan, mereka pun berlaku sewenang-wenang di muka bumi. “Yang belum pernah diadakan bandingannya di negeri-negeri itu.” (ayat 8). Mereka merasa merekalah yang paling kuat, paling gagah, paling kaya dan paling ditakuti di zaman itu Al-‘Imaad yang kita artikan kemegahan, berarti juga tonggak-tonggak tengah khemah yang besar-besar dan teguh seketika kaum ‘Aad itu datang menjarah dan menaklukkan negeri dan kabilah lain.

“Dan kaum Tsamud yang mengangkat batu gunung ke lembah itu.” (ayat 9).

Kaum Tsamud kabilah Arab purbakala juga, yang telah punah. Diutus Tuhan kepada mereka Nabi Shalih. Mereka pun kaya dan megah; saking kaya dan megahnya, mereka sanggup menakik batu-batu gunung buat mendirikan rumah-rumah yang besar dan megah. Bahkan di dalam Surat 15, Al-Hijr, ayat 82 diterangkan pula bahwa mereka pahat gunung-gunung dan di sana mereka dirikan rumah-rumah yang jadi tempat mereka istirahat.

“Dan Fir’aun yang mempunyai bangunan-bangunan teguh.” (ayat 10). Sampai kepada zaman kita sekarang ini masih dapat kita lihat bekas-bekas bangunan-bangunan yang didirikan oleh Fir’aun-fir’aun Mesir yang telah lalu berabad-abad itu. Baik di tanah rendah Mesir atau di Mesir Ulu, sebagai Luxor di Asouan ataupun Pyramide di tepi kota Cairo sekarang.

“Yang berbuat sewenang-wenang di negeri-negeri itu.” (ayat 11). Berbuat sesuka hatinya, sampai mengaku diri menjadi Tuhan yang maha kuasa pula di atas dunia ini, rakyat ditindasnya, hukum berlaku menurut kehendaknya, tidak siapa yang berani menyanggah, karena menyanggah artinya mati. “Maka mereka perbanyaklah di dalamnya kerusakan.” (ayat 12).

Dalam ayat ini dapatlah kita menemui suatu rahasia pembangunan yang akan kita jadikan i’tibar di zaman kita ini. Yaitu, baik kaum ‘Aad, atau kaum Tsamud, Fir’aun-fir’aun di Mesir di zaman dahulu itu telah membangun. Malahan ada yang sanggup mendirikan rumah-rumah indah dengan memahat gunung, rupanya kepandaian insinyur dan arsitek telah ada waktu itu. Sampai sekarang kita lihat bekas bangunan Fir’aun yang telah beribu tahun yang sangat menakjubkan. Tetapi untuk membangunkan batu dan bata, pyramide dan patung, tetapi yang mereka runtuhkan ialah budi; Keadilan mereka tukar dengan kezaliman. Kebenaran mereka tukar dengan kebatilan. Sehingga segala pembangunan lahir itu tegak di atas kehancuran nilai perikemanusiaan.

Betapa jadinya?

Datanglah hukum yang pasti dari Tuhan; “Maka dicurahkanlah oleh Tuhanmu kepada mereka cambuk siksaan.” (ayat 13).

Binasa kaum itu semuanya; Kaum ‘Aad dibinasakan dengan angin punting beliung yang menghancurkan negeri mereka dahsyat pasir, dan kaum Tsamud dibinasakan dengan pekikan yang dahsyat memecahkan anak telinga, sehingga habis mati semuanya. Dan Fir’aun-fir’aun yang berkuasa itu, terutama Fir’aun yang didatangi Musa, tenggelam dalam lautan Qulzum seketika mengejar Musa.

Di akhir langgam susunan ayat ini bertemulah firman Tuhan; “Sesungguhnya Tuhanmu tetap di tempat pengawasan.” (ayat 14). Artinya, selama manusia masih bergiat dan hidup dalam alam dunia ini, di muka bumi ini, namun kezaliman, kebatilan, kemegahan yang menimbulkan sombong dan angkuh, tidaklah lepas dari pengawasan Allah. Satu waktu Dia akan memukulkan azab-Nya pula, sebagaimana telah dipukulkan-Nya ummat yang telah terdahulu itu.

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *