Selesailah riwayat peristiwa itu di dalam ayat-ayat yang pendek ini. Peristiwa yang memenuhi hati dengan rasa kebencian yang dalam terhadap tindakan itu beserta para pelakunya. Hal itu sebagaimana ia juga menyimpan harapan di balik peristiwa ini beserta timbangannya di sisi Allah, dan keberhakan pelakunya terhadap kemurkaan dan kebencian Allah. Maka, ini adalah urusan yang tidak berhenti pada batas ini saja. Akan tetapi, di belakangnya akan ada hisab dari Allah dengan segala akibatnya.
Riwayat tentang peristiwa ini sudah selesai dan telah memenuhi hati dengan perasaan takut. Takut yang ditimbulkan oleh keimanan, yang mengunggul fitnah itu sendiri, dan ‘aqīdah yang mengalahkan keinginan hidup duniawi. Juga oleh kemerdekaan tulen yang membebaskannya dari tawanan fisik dan daya tarik duniawai. Karena ada orang-orang mu’min yang memiliki kemampuan untuk menyelamatkan kehidupannya di dalam menghadapi hal-hal yang merusak imannya. Tetapi, berapa banyak mereka yang merugikan diri sendiri dalam kehidupan dunia sebelum di akhirat nanti? Betapa banyak manusia mengalami kerugian? Berapa banyak mereka yang merugi ketika mereka memerangi ma‘na yang besar ini? Yaitu, ma‘na ketidakberartian kehidupan tanpa ‘aqīdah, dan buruknya kehidupan tanpa kemerdekaan, serta hinanya kehidupan ketika ruh mereka dikuasai oleh para diktator setelah fisik mereka dikuasainya!
Sungguh ini adalah ma‘na yang sangat mulia dan agung. Inilah keberuntungan yang mereka peroleh setelah mereka lepas dari kehidupan duniawi. Inilah keberuntungan yang mereka peroleh ketika mereka disentuh api yang membakar tubuhnya. Tetapi, mereka berhasil menyelamatkan dan mendapatkan ma‘na yang agung dan mulia ini yang dibersihkan oleh pembakaran api itu. Sesudah itu mereka akan dihisab di sisi Tuhannya, dan musuh-musuh mereka yang zhālim dan diktator itu pun akan dihisab. Dengan demikian, diakhirilah konteks ini.
إِنَّ الَّذِيْنَ فَتَنُوا الْمُؤْمِنِيْنَ وَ الْمُؤْمِنَاتِ ثُمَّ لَمْ يَتُوْبُوْا فَلَهُمْ عَذَابُ جَهَنَّمَ وَ لَهُمْ عَذَابُ الْحَرِيْقِ. إِنَّ الَّذِيْنَ آمَنُوْا وَ عَمِلُوا الصَّالِحَاتِ لَهُمْ جَنَّاتٌ تَجْرِيْ مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ ذلِكَ الْفَوْزُ الْكَبِيْرُ.
“Sesungguhnya orang-orang yang mendatangkan cobaan kepada orang-orang yang mu’min laki-laki dan wanita kemudian mereka tidak bertobat, maka bagi mereka ‘adzāb Jahannam dan bagi mereka ‘adzāb (neraka) yang membakar. Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan mengerjakan ‘amal-‘amal yang shāliḥ bagi mereka surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai; itulah keberuntungan yang besar” (al-Burūj: 10-11).
Sesungguhnya, peristiwa yang terjadi di bumi dalam kehidupan dunia ini, bukanlah akhir peristiwa dan akhir perjalanan, karena akibatnya akan diterima di sana, di akhirat nanti, dan akan diperoleh pembalasan yang setimpal dengan perbuatannya. Juga akan ada pemisahan antara orang-orang mu’min dan orang-orang yang zhālim. Ini dalah suatu ketetapan yang sudah ditegaskan oleh Allah dan pasti akan terjadi, sebagaimana dijelaskan dalam firman-Nya:
“Sesungguhnya orang-orang yang mendatangkan cobaan kepada orang-orang yang mu’min laki-laki dan wanita….”
Kemudian mereka terus saja berjalan dalam kesesatannya tanpa menyesali tindakan-tindakannya:
“….kemudian mereka tidak bertobat, maka bagi mereka ‘adzāb Jahannam dan bagi mereka ‘adzāb (neraka) yang membakar”
Dalam nash ini disebutkan kata sifat al-ḥarīq “yang membakar” yang merupakan pemahaman terhadap Jahannam. Akan tetapi, disebutkannya kata ini adalah untuk menjadi perimbangan bagi pembakaran di dalam parit dalam peristiwa yang mereka lakukan dahulu. Namun, bagaimana perbandingan antara pembakaran ini dan pembakaran itu? Bagaimana perbandingan tentang kerasnya dan lama masanya?
Pembakaran dunia yang dinyalakan oleh manusia dengan api dan pembakaran akhirat dengan api yang dinyalakan oleh Sang Maha Pencipta! Pembakaran dunia hanya sementara waktu dan segera berakhir, sedangkan pembakaran akhirat bersifat kekal dan tidak ada yang tahu masanya kecuali Allah. Keterbakaran orang-orang mu’min di dunia itu disertai dengan keridhaan Allah kepada mereka dan dimenangkannya nilai kemanusiaan yang mulia, sedangkan keterbakaran di akhirat bagi kaum kafir disertai dengan kemurkaan Allah, kerendahan dan kehinaan.
Keridhāan dan keni‘matan dari Allah kepada orang-orang mu’min dan ber‘amal shāliḥ di surga itu tercermin dalam firman-Nya:
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan mengerjakan ‘amal-‘amal yang shāliḥ bagi mereka surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai….”
Inilah keselamatan yang sebenarnya,
“…..Itulah keberuntungan yang besar.”
Al-fauz adalah keselamatan dan keberuntungan. Keselamatan dari ‘adzāb akhirat saja sudah merupakan keberuntungan. Nah, apalagi bila mendapatkan surga yang mengalir di bawanya sungai-sungai?
Dengan bagian akhir ini, mantaplah urusan itu secara proposional, yaitu kesudahan yang sebenarnya terhadap sikap dan tindakan manusia. Maka, apa saja yang terjadi darinya di dalam kehidupan dunia ini adalah bagian darinya, dan akan mendapat imbalan dengan lengkap dan sempurna. Ini adalah hakikat yang menjadi sasaran komentar pertama terhadap peristiwa itu. Tujuannya untuk memantapkan hati golongan minoritas mu’min di Makkah, dan memantapkan hati setiap kelompok orang beriman yang menghadapi fitnah pada saat kapan pun.
Kemudian dilanjutkan komentar-komentar berikutnya:
إِنَّ بَطْشَ رَبِّكَ لَشَدِيْدٌ.
“Sesungguhnya ‘adzāb Tuhanmu benar-benar keras” (al-Burūj: 12).
Disebutkannya dengan terus-terang ‘adzāb yang keras di sini selaras dengan peristiwa yang menampakkan kekerasan kecil dan hina yang oleh pelakunya dan semua manusia di dunia dianggap besar dan keras. Maka, siksaan yang benar-benar keras adalah siksaan Tuhan Yang Maha Perkasa, Yang mempunyai kerajaan langit dan bumi. Bukan siksaan makhlūq-makhlūq lemah dan kerdil yang berkuasa atas sejengkal wilayah di bumi dan dalam waktu yang terbatas.
Kalimat ini menampakkan hubungan antara lawan bicara – ya‘ni Rasūlullāh s.a.w. – dan yang berfirman, yaitu Allah ‘azza wa jalla, dalam firman-Nya: “Sesungguhnya ‘adzāb Tuhanmu….” Tuhanmu yang engkau menisbatkan diri kepada Rubūbiyyah-Nya, dan yang menjadi sandaranmu untuk mendapatkan pertolongan-Nya. Hubungan ini memiliki nilai tersendiri di saat orang-orang yang durhaka menyiksa orang-orang yang beriman.
إِنَّهُ هُوَ يُبْدِئُ وَ يُعِيْدُ.
“Sesungguhnya Dia-lah Yang menciptakan (makhlūq) dari permulaan dan menghidupkannya (kembali)” (al-Burūj: 13).
Memulai dan mengembalikan, meskipun ma‘nanya mengarah kepada penciptaan pertama dan terakhir, namun kedua peristiwa ini selalu terjadi setiap saat pada waktu malam atau siang, karena setiap saat terjadi permulaan dan penciptaan serta terjadi kebinasaan dan kematian. Sedangkan, alam semesta senantiasa berada dalam kebaruan yang terus-menerus dan terjadi kematian yang terus-menerus. Di bawah bayang-bayang gerakan yang terus-menerus dan menyeluruh yang berupa permulaan dan pengembalian (kematian) ini, tampaklah peristiwa pembakaran manusia beriman di dalam parit bersama akibat-akibat lahiriahnya itu sebagai suatu masalah yang telah berlalu dalam realitas dan hakikat. Maka, ia adalah permulaan yang akan berulang, atau pengulangan terhadap permulaan, dalam gerakan yang terus beredar dan berputar ini.
وَ هُوَ الْغَفُوْرُ الْوَدُوْدُ.
“Dia-lah Yang Maha Pengampun lagi Maha Pengasih” (al-Burūj: 14).
Pengampunan ini berkaitan dengan firman-Nya sebelumnya: “Kemudian mereka tidak bertobat.” Maha pengampunan itu termasuk rahmat dan karunia yang melimpah yang tak terbatas dan tak terikat. Pengampunan merupakan pintu terbuka yang tidak pernah tertutup bagi orang yang kembali bertobat, betapapun besarnya dosa dan kemaksiatannya.
Sedangkan, al-wudd “kepengasihan”, maka ia berhubungan dengan sikap orang-orang mu’min yang lebih memilih Tuhannya (keridhāan Tuhannya) daripada segala sesuatu yang lain. Al-wudd ini merupakan pemberian kesenangan yang halus, manis, dan mulia, ketika Allah mengangkat derajat hamba-hambaNya yang lebih mengutamakan keridhāan-Nya dan mencintai-Nya. Maka, sangat sulit pena melukiskannya apabila bukan karena karunia dan kemurahan Allah. Yaitu, derajat kedekatan antara Tuhan dan hamba, dan derajat kasih-sayang dari Allah kepada para kekasih dan orang-orang yang dicintai-Nya yang didekatkan kepada-Nya.
Kalau begitu, apakah arti kehidupan yang mereka korbankan, yang seandainya tidak mereka korbankan, maka kehidupan itu pun pasti berlalu? Apakah arti ‘adzāb yang mereka derita itu, sedangkan ‘adzāb itu hanya terbatas tetesan kasih-sayang yang manis ini? Juga apa artinya jika dibandingkan dengan kilatan cahaya kegembiraan yang penuh kasih-sayang?
Sesungguhnya, hamba-hamba dari budak-budak bumi ini adalah manusia yang notabene adalah hamba-hamba Allah Yang Maha Esa. Mereka mencampakkan diri mereka ke dalam kebinasaan karena termotivasi oleh kata-kata yang keluar dari mulutnya. Atau karena mengharapkan kilasan kerelaan yang tampak di wajahnya, padahal yang dipatuhi itu adalah seorang hamba dan mereka yang patuh itu pun adalah hamba juga. Maka, bagaimana dengan hamba-hamba Allah, yang dihibur oleh Allah dengan kasih-sayang-Nya yang mulia dan agung.
“Yang mempunyai ‘Arsy, lagi Maha Mulia.” (al-Burūj: 15).
Dia Yang Maha Luhur, Yang Maha Melindungi, dan Yang Maha Pengasih.
Dengan demikian, terasa kecillah kehidupan ini, terasa ringanlah penderitaan itu, dan terasa enteng ‘adzāb itu. Juga terasa hina segala yang dianggap mahal dan hebat, dibanding dengan cahaya keridhāan yang diberikan oleh Tuhan Yang Maha Pelindung dan Maha Pengasih, Yang memiliki ‘Arasy serta Maha Mulia.
فَعَّالٌ لِّمَا يُرِيْدُ.
“Maha Kuasa berbuat apa yang dikehendaki-Nya.” (al-Burūj: 16).
Ini adalah sifat Allah yang banyak realisasinya, yang terus beroperasi. Maha kuasa berbuat apa yang dikehendaki-Nya. Dia memiliki kehendak yang mutlak, memilih apa yang dikehendaki-Nya, dan berbuat apa yang dikehendaki dan dipilih-Nya, selamanya dan abadi, karena hal itu merupakan sifat Allah Yang Maha Suci.
Sekali tempo, Dia menghendaki kaum Mu’minīn mendapat kemenangan di muka bumi ini karena suatu hikmah yang dikehendaki-Nya. Pada kali lain, Dia menghendaki iman mendapat kemenangan di dalam menghadapi fitnah, tetapi jasad para pelakunya hancur binasa. Hal seperti itu pun karena suatu hikmah yang dikehendaki-Nya pula.
Suatu kali, Dia menghendaki menghukum para penguasa yang sombong itu di muka bumi. Namun, suatu kali dibiarkan-Nya mereka untuk dihukum-Nya pada hari yang dijanjikan. Semua itu karena suatu hikmah yang akan terwujud di sini dan di sana nanti, dalam ukuran yang telah ditentukan-Nya.
Inilah satu sisi dari perbuatan-Nya terhadap apa yang dikehendaki-Nya, yang sesuai dengan peristiwa yang terjadi. Juga sesuai dengan apa yang akan disebutkan berikut ini mengenai Fir‘aun dan kaum Tsamūd. Namun, tetaplah kehendak dan kekuasaan yang mutlak di belakang peristiwa-peristiwa ini dan di belakang kehidupan ini, sedangkan alam semesta melakukan aktivitasnya dalam dunia wujud ini.
Dia Maha Kuasa berbuat apa yang dikehendaki-Nya. Di sana sebuah contoh dari kemahakuasaan-Nya berbuat terhadap apa yang dikehendaki-Nya itu:
هَلْ أَتَاكَ حَدِيْثُ الْجُنُوْدِ. فِرْعَوْنَ وَ ثَمُوْدَ.
“Sudahkah datang kepadamu berita kaum-kaum penentang, (yaitu kaum) Fir‘aun dan (kaum) Tsamūd?” (al-Burūj: 17-18).
Ayat ini mengisyaratkan kepada dua buah kisah panjang, yang disebutkan sepintas kilas di sini karena sudah dimaklumi oleh orang-orang yang diajak bicara tentang urusan mereka, sesudah disebutkannya panjang lebar di dalam al-Qur’ān-ul-Karīm. Disebutkannya mereka (para penentang) dengan al-junūd “tentara” itu menunjukkan kepada kekuatan dan persiapan mereka. Sudahkan datang kepadamu berita mereka? Dan, bagaimana yang diperbuat Tuhanmu terhadap mereka sesuai dengan kehendak-Nya?
Ini adalah dua berita yang berbeda karakter dan akibatnya. Adapun berita tentang Fir‘aun, maka Allah telah membinasakannya beserta tentaranya. Dia menyelamatkan Bani Isrā’īl, dan menempatkan mereka di muka bumi sementara waktu, untuk merealisasikan pada mereka suatu ketentuan dari ketentuan-Nya dan suatu kehendak dari kehendak-Nya. Sedangkan berita kaum Tsamūd, maka Allah telah membinasakan mereka karena membunuh anak unta bapak mereka, Nabi Shāliḥ. Diselamatkan-Nya Nabi Shāliḥ dan segolongan minoritas yang ikut bersamanya, yang sesudah peristiwa itu mereka tidak lagi memiliki raja dan kekuasaan. Jadi, mereka hanya semata-mata diselamatkan dari kaum yang fāsiq.
Ini adalah dua buah contoh tentang berlakunya iradah Allah dan berjalannya kehendak-Nya. Ini juga merupakan dua buah gambaran dari gambaran-gambaran dakwah kepada agama Allah dengan segala konsekuensinya, di samping terjadinya kemungkinan ketiga seperti peristiwa parit itu. Semuanya ditampilkan oleh al-Qur’ān kepada golongan minoritas mu’min di Makkah, dan kepada semua genarasi orang-orang yang beriman.
Pada bagian penutup datanglah dua buah kesan yang kuat dan pasti, yang masing-masing berisi ketetapan, kata kepastian, dan hukum terakhir:
بَلِ الَّذِيْنَ كَفَرُوْا فِيْ تَكْذِيْبٍ. وَ اللهُ مِنْ وَرَائِهِمْ مُّحِيْطٌ.
“Sesungguhnya orang-orang kafir selalu mendustakan, padahal Allah mengepung mereka dari belakang mereka.” (al-Burūj: 19-20).
Urusan orang-orang kafir dan hakikat keadaan mereka adalah bahwa mereka selalu mendustakan. Pada petang hari mendustakan dan pada pagi hari juga mendustakan. “Padahal Allah mengepung mereka dari belakang mereka” Sedangkan, mereka lalai terhadap pengepungan Allah dengan kekuasaan dan terhadap pengepungan Allah dengan kekuasaan dan pengetahuan-Nya. Maka, mereka lebih lemah daripada tikus yang terkepung banjir yang merata.
بَلْ هُوَ قُرْآنٌ مَّجِيْدٌ. فِيْ لَوْحٍ مَّحْفُوْظٍ
“Bahkan yang didustakan mereka itu ialah al-Qur’ān yang mulia, yang (tersimpan) dalam Lauḥ maḥfūzh. (al-Burūj: 21-21).
Al-Qur’ān yang mulia, luhur, dan mengakar. Adakah sesuatu yang lebih mulia, lebih luhur, dan lebih mengakar daripada firman Allah Yang Maha Agung? Al-Qur’ān itu tersimpan di dalam Lauḥ-ul-Maḥfūzh, yang kita tidak mengetahui tabiatnya karena ia termasuk urusan ghaib yang hanya Allah Sendiri yang mengetahuinya.
Kita hanya mengambil manfaat dari bayang-bayang yang diberikan oleh ungkapan kalimat itu, dan kesan yang ditinggalkannya di dalam hati, yaitu bahwa al-Qur’ān itu berada dalam perlindungan yang kokoh, perkataannya menjadi rujukan terakhir, dalam semua urusan yang terjadi. Semua perkataan bisa saja lenyap, tetapi perkataan al-Qur’ān senantiasa terjaga dan terpelihara.
Al-Qur’ān telah mengucapkan perkataannya tentang peristiwa parit dan tentang hakikat yang ada di belakangnya. Al-Qur’ān merupakan perkataan pamungkas.