Surah al-Buruj 85 ~ Tafsir Sayyid Quthb (1/2)

Dari Buku:
Tafsīr fi Zhilāl-il-Qur’ān
Oleh: Sayyid Quthb
 
Penerbit: Gema Insani

Rangkaian Pos: Surah al-Buruj 85 ~ Tafsir Sayyid Quthb

SURAH AL-BURŪJ

Diturunkan di Makkah
Jumlah Ayat: 22.

 

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ

Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang

 

وَ السَّمَاءِ ذَاتِ الْبُرُوْجِ. وَ الْيَوْمِ الْمَوْعُوْدِ. وَ شَاهِدٍ وَ مَشْهُوْدٍ. قُتِلَ أَصْحَابُ الْأُخْدُوْدِ. النَّارِ ذَاتِ الْوَقُوْدِ. إِذْ هُمْ عَلَيْهَا قُعُوْدٌ. وَ هُمْ عَلَى مَا يَفْعَلُوْنَ بِالْمُؤْمِنِيْنَ شُهُوْدٌ. وَ مَا نَقَمُوْا مِنْهُمْ إِلَّا أَنْ يُؤْمِنُوْا بِاللهِ الْعَزِيْزِ الْحَمِيْدِ. الَّذِيْ لَهُ مُلْكُ السَّمَاوَاتِ وَ الْأَرْضِ وَ اللهُ عَلى كُلِّ شَيْءٍ شَهِيْدٌ. إِنَّ الَّذِيْنَ فَتَنُوا الْمُؤْمِنِيْنَ وَ الْمُؤْمِنَاتِ ثُمَّ لَمْ يَتُوْبُوْا فَلَهُمْ عَذَابُ جَهَنَّمَ وَ لَهُمْ عَذَابُ الْحَرِيْقِ. إِنَّ الَّذِيْنَ آمَنُوْا وَ عَمِلُوا الصَّالِحَاتِ لَهُمْ جَنَّاتٌ تَجْرِيْ مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ ذلِكَ الْفَوْزُ الْكَبِيْرُ. إِنَّ بَطْشَ رَبِّكَ لَشَدِيْدٌ. إِنَّهُ هُوَ يُبْدِئُ وَ يُعِيْدُ. وَ هُوَ الْغَفُوْرُ الْوَدُوْدُ. ذُو الْعَرْشِ الْمَجِيْدُ. فَعَّالٌ لِّمَا يُرِيْدُ. هَلْ أَتَاكَ حَدِيْثُ الْجُنُوْدِ. فِرْعَوْنَ وَ ثَمُوْدَ. بَلِ الَّذِيْنَ كَفَرُوْا فِيْ تَكْذِيْبٍ. وَ اللهُ مِنْ وَرَائِهِمْ مُّحِيْطٌ. بَلْ هُوَ قُرْآنٌ مَّجِيْدٌ. فِيْ لَوْحٍ مَّحْفُوْظٍ

85: 1. Demi langit yang mempunyai gugusan bintang,
85: 2. dan hari yang dijanjikan,
85: 3. serta yang menyaksikan dan yang disaksikan.
85: 4. Binasa dan terlaknatlah orang-orang yang membuat parit,
85: 5. yang berapi (dinyalakan dengan) kayu bakar,
85: 6. ketika mereka duduk di sekitarnya,
85: 7. sedangkan, mereka menyaksikan apa yang mereka perbuat terhadap orang-orang yang beriman.
85: 8. Mereka tidak menyiksa orang-orang mu’min itu melainkan karena orang-orang mu’min itu beriman kepada Allah Yang Maha Perkasa lagi Maha Terpuji,
85: 9. Yang mempunyai kerajaan langit dan bumi. Allah Maha Menyaksikan segala sesuatu.
85: 10. Sesungguhnya orang-orang yang mendatangkan cobaan kepada orang-orang yang mu’min laki-laki dan wanita kemudian mereka tidak bertobat, maka bagi mereka ‘adzāb Jahannam dan bagi mereka ‘adzāb (neraka) yang membakar.
85: 11. Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan mengerjakan ‘amal-‘amal yang shāliḥ bagi mereka surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai; itulah keberuntungan yang besar.
85: 12. Sesungguhnya ‘adzāb Tuhanmu benar-benar keras.
85: 13. Sesungguhnya Dia-lah Yang menciptakan (makhlūq) dari permulaan dan menghidupkannya (kembali).
85: 14. Dia-lah Yang Maha Pengampun lagi Maha Pengasih,
85: 15. yang mempunyai ‘Arasy lagi Maha Mulia,
85: 16. Maha Kuasa berbuat apa yang dikehendaki-Nya.
85: 17. Sudahkah datang kepadamu berita kaum-kaum penentang,
85: 18. (yaitu kaum) Fir‘aun dan (kaum) Tsamūd?
85: 19. Sesungguhnya orang-orang kafir selalu mendustakan,
85: 20. padahal Allah mengepung mereka dari belakang mereka.
85: 21. Bahkan yang didustakan mereka itu ialah al-Qur’ān yang mulia,
85: 22. yang (tersimpan) dalam Lauḥ maḥfūzh.

Pengantar.

Surah yang pendek ini memaparkan beberapa hakikat ‘aqīdah dan kaidah-kaidah tashawwur īmānī “cara pandang yang berdasarkan iman”, dan beberapa persoalan besar. Di sekitarnya memancar cahaya-cahaya yang kuat dan jauh jangkauannya, ya‘ni di belakang ma‘na-ma‘na dan hakikat-hakikat yang diungkapkan secara langsung oleh nash-nashnya. Sehingga, hampir setiap ayatnya, dan kadang-kadang setiap katanya, membuka lubang angin (jendela) terhadap suatu alam yang sangat luas jangkauannya mengenai suatu hakikat.

Topik masalah yang dibicarakan secara langsung oleh surah ini adalah peristiwa Ashḥāb-ul-Ukhdūd. Topiknya adalah segolongan orang beriman tempo dulu sebelum datangnya agama Islam yang dibawa Nabi Muḥammad s.a.w., golongan Nashara yang bertauhid sebagaimana tercantum dalam surah al-Burūj ayat 8, mendapat perlakuan sadis dari musuh-musuh mereka, yaitu para penguasa diktator yang keras kepala dan sangat jahat.

Penguasa itu menghendaki agar mereka yang beriman meninggalkan ‘aqīdahnya dan murtad dari agamanya, tetapi mereka tidak mau dan tetap mempertahankan ‘aqīdahnya. Maka, sang penguasa lantas menggali parit di tanah dan menyalakan api di dalamnya, kemudian dibenamkannya ke dalamnya kelompok yang beriman itu sehingga mereka mati, terbakar. Hal itu dilakukan di hadapan masyarakat yang telah dikumpulkan oleh sang diktator supaya mereka dapat menyaksikan penderitaan golongan beriman yang disiksa dengan cara yang sangat kejam ini. Juga supaya para penguasa tiran ini dapat bermain-main dengan menyaksikan pembakaran itu, ya‘ni membakar anak-anak manusia yang beriman.

Surah ini dimulai dengan sumpah dari ayat 1-4. Maka, dirangkaikanlah di sini antara langit yang memiliki gugusan bintang-bintang yang besar, dan hari yang dijanjikan beserta peristiwa-peristiwanya yang besar. Juga pengumpulan manusia oleh penguasa diktator untuk menyaksikan penyiksaan kaum yang beriman dan peristiwa-peristiwa yang disaksikan. Dirangkaikan semua ini dengan peristiwa itu, serta siksaan dari langit kepada pelaku-pelaku kezhāliman tersebut.

Kemudian dibentangkanlah pemandangan yang menakutkan sepintas kilas. Dibiarkannya perasaan manusia merasakan kejamnya peristiwa itu tanpa penjelasan rinci dan keterangan panjang lebar. Dibiarkan perasaan mereka sambil mengisyaratkan betapa agungnya ‘aqīdah yang dipertahankan oleh segolongan manusia beriman meski dengan risiko yang amat berat. Sehingga, mereka mempertahankannya meski harus melawan api yang bergejolak. Mereka lebih mementingkannya daripada kehidupan duniawinya sendiri. Dengan demikian, mereka mencapai titik puncak kemuliaan di seluruh generasi manusia.

Diisyāratkan juga busuknya tindakan kaum yang zhālim itu dengan segala kezhāliman, kejahatan, dan kehinaan yang tersembunyi di dalamnya. Di samping itu, ditunjukkan ketinggian, kemerdekaan, dan kesucian jiwa orang-orang yang beriman. Hal demikian sebagaimana tercantum pada ayat 6-8 surah al-Burūj.

Setelah itu, datanglah komentar-komentar singkat secara berturut-turut yang mengandung perkara-perkara besar mengenai persoalan dakwah, ‘aqīdah, dan tashawwur īmānī yang mendasar. Komentar-komentar yang mengisyāratkan kepada kekuasaan Allah di langit dan di bumi, kesaksian-Nya, dan kehadiran-Nya pada setiap peristiwa yang terjadi di langit dan di bumi. Hal ini tercantum pada surah al-Burūj ayat 9.

Isyārat yang menunjuk kepada ‘adzāb Jahannam dan ‘adzāb pembakaran yang telah menantikan kedatangan para penguasa zhālim, durhaka, dan bermoral rendah. Juga isyārat yang menunjuk kepada keni‘matan surga. Ya‘ni, suatu keberuntungan besar yang telah menantikan kedatangan orang-orang Mu’min yang lebih memilih ‘aqīdah daripada kehidupan duniawinya. Mereka menjunjung tinggi ‘aqīdah itu meskipun harus disiksa dengan dibakar di dalam api. Lihatlah mengenai hal ini pada surah al-Burūj ayat 10-11.

Kemudian ditunjukkanlah pada ayat 12-13 bahwa ‘adzāb Allah itu benar-benar keras, Dia Yang menciptakan makhlūq dari permulaan dan menghidupkannya kembali.

Ini adalah suatu hakikat yang berhubungan secara langsung dengan kehidupan yang hendak dilenyapkan dalam peristiwa itu. Di balik peristiwa itu, terpancarlah cahaya-cahaya yang jauh jangkauannya.

Setelah itu, disebutkan beberapa sifat Allah ta‘ālā pada ayat 14, dan tiap-tiap sifat bermaksudkan suatu urusan.

Pada ayat 15-16 disebutkan bahwa Allah Maha Pengampun terhadap orang-orang yang bertobat dari dosa-dosa betapapun besar dan buruknya dosa itu. Maha Pengasih kepada hamba-hambaNya yang lebih mengutamakan keridhāan-Nya daripada segala sesuatu. Penyebutan kasih-sayang ini di sini merupakan salep untuk mengobati luka-luka itu.

Ini adalah sifat yang menggambarkan perlindungan, kekuasaan, dan kehendak yang mutlak. Semuanya mempunyai hubungan dengan peristiwa itu. Di samping itu, dipancarkan cahaya secara mutlak di balik itu dengan jangkauannya yang amat jauh.

Kemudian pada ayat 17-18 diisyāratkan sepintas kilas terhadap masa-masa lampau, yaitu disiksanya para penguasa tiran, padahal mereka bersenjatakan lengkap.

Keduanya merupakan dua macam peninggalan sejarah yang berbeda karakter dan dampaknya. Di belakang itu, di samping peristiwa Ashḥāb-ul-Ukhdūd, terdapat pancaran pelajaran yang banyak.

Pada bagian akhir surah, ayat 19-20, ditetapkanlah keadaan orang-orang kafir dan peliputan Allah terhadap mereka sedangkan mereka tidak menyadarinya.

Ditetapkanlah hakikat al-Qur’ān, tentang keaslian dan keterpeliharaannya, seperti yang tercantum pada ayat 21-22.

Ayat ini mengisyāratkan bahwa apa yang ditetapkan Allah itu adalah perkataan yang pasti dan rujukan terakhir dalam semua urusan.

Itulah beberapa isyārat global dari pancaran surah ini dan medannya yang lapang dan jauh. Demikianlah pengantar dari pemaparan pancaran-pancaran surah ini. Adapun pemaparannya secara rinci adalah sebagai berikut.

Langit dengan Gugusan Bintangnya, Hari yang Dijanjikan, dan Yang Menyaksikan dan Yang Disaksikan.

وَ السَّمَاءِ ذَاتِ الْبُرُوْجِ. وَ الْيَوْمِ الْمَوْعُوْدِ. وَ شَاهِدٍ وَ مَشْهُوْدٍ.

Demi langit yang mempunyai gugusan bintang, dan hari yang dijanjikan, serta yang menyaksikan dan yang disaksikan.” (al-Buruj: 1-3).

Surah ini – sebelum membicarakan peristiwa ukhdūd – dimulai dengan sumpah ini, ya‘ni dengan langit yang mempunyai gugusan bintang, yang sangat besar. Ia seakan-akan semua gugusan bintang langit yang besar, ya‘ni bangunannya yang kokoh, sebagaimana firman Allah:

Langit itu Kami bangun dengan kekuasaan (Kami) dan sesungguhnya Kami benar-benar meluaskannya.” (adz-Dzāriyāt: 47).

Apakah kamu yang lebih sulit penciptaannya ataukah langit? Allah telah membangunnya.” (an-Nāzi‘āt: 27).

Mungkin yang dimaksud adalah manzilah-manzilah tempat beralihnya bintang-bintang itu di tengah-tengah peredarannya. Manzilah-manzilah yang merupakan medannya yang tidak akan dia melampauinya di dalam peredarannya di langit. Isyārat ini menunjukkan betapa besarnya benda-benda itu. Inilah bayangan yang hendak disampaikan dalam nuansa itu.

“…. Dan hari yang dijanjikan…..” ya‘ni hari keputusan mengenai peristiwa-peristiwa yang terjadi di dunia dan perhitungan yang jernih tentang dunia dengan segala isinya. Ini adalah hari yang dijanjikan Allah akan kedatangannya, dijanjikan hisab dan pembalasan padanya, dan dikesampingkan semua orang yang membantah dan menentang. Ini adalah hari besar yang akan dilihat oleh semua makhlūq dan dinantikannya, untuk mengetahui bagaimana kembalinya dan pertanggungjawab semua urusan.

“…. Demi yang menyaksikan dan yang disaksikan….” Pada hari ketika ditampakkannya semua ‘amal perbuatan dan digelarnya semua makhlūq. Sehingga, masing-masing tersaksikan dan semuanya menyaksikan. Diketahuilah setiap sesuatu dan terungkapkan. Tidak ada seorang pun yang dapat menutup sesuatu dari hati dan mata.

Bertemulah langit yang mempunyai gugusan bintang dengan hari yang dijanjikan, dan yang menyaksikan dan yang disaksikan. Semuanya bertemu di bawah bayang-bayang perhatian dan perhelatan serta perkumpulan besar dalam suasana digelarnya peristiwa ukhdūd setelah itu. Paparan ini juga mengesankan keluasan lapangan yang menyeluruh yang di situlah digelar peristiwa ini, ditimbang hakikatnya, dan dijernihkan perhitungannya. Lapangan (hari yang dijanjikan/akhirat) ini lebih luas daripada lapangan bumi, dan lebih jauh jangkauannya daripada kehidupan dunia dan waktunya yang terbatas.

Peristiwa Ashḥāb-ul-Ukhdūd.

Setelah melukiskan suasana ini dan dibukanya lapangan ini, datanglah isyārat yang menunjuk kepada peristiwa itu dengan beberapa sentuhannya:

قُتِلَ أَصْحَابُ الْأُخْدُوْدِ. النَّارِ ذَاتِ الْوَقُوْدِ. إِذْ هُمْ عَلَيْهَا قُعُوْدٌ. وَ هُمْ عَلَى مَا يَفْعَلُوْنَ بِالْمُؤْمِنِيْنَ شُهُوْدٌ. وَ مَا نَقَمُوْا مِنْهُمْ إِلَّا أَنْ يُؤْمِنُوْا بِاللهِ الْعَزِيْزِ الْحَمِيْدِ. الَّذِيْ لَهُ مُلْكُ السَّمَاوَاتِ وَ الْأَرْضِ وَ اللهُ عَلى كُلِّ شَيْءٍ شَهِيْدٌ.

Binasa dan terlaknatlah orang-orang yang membuat parit, yang berapi (dinyalakan dengan) kayu bakar, ketika mereka duduk di sekitarnya, sedangkan, mereka menyaksikan apa yang mereka perbuat terhadap orang-orang yang beriman. Mereka tidak menyiksa orang-orang mu’min itu melainkan karena orang-orang mu’min itu beriman kepada Allah Yang Maha Perkasa lagi Maha Terpuji, Yang mempunyai kerajaan langit dan bumi. Allah Maha Menyaksikan segala sesuatu.” (al-Burūj: 4-9).

Isyarat kepada peristiwa ini dimulai dengan mengumumkan pelaknatan terhadap Ashḥāb-ul-Ukhdūd “orang-orang yang membuat parit berapi”, “binasa dan terlaknatlah orang-orang yang membuat parit!” Ini adalah perkataan yang menunjukkan kemurkaan Allah terhadap perbuatan itu dan pelakunya. Kalimat ini juga menunjukkan buruknya dosa yang membangkitkan kemarahan, kemurkaan, dan ancaman Tuhan Yang Maha Penyantun untuk membinasakan para pelakunya.

Kemudian, datanglah penafsiran tentang ukhdūd berarti galian di dalam tanah. Para pelakunya memang telah menggalinya dan menyalakan api di dalamnya, sehingga lubang atau parit itu penuh dengan api. Oleh karan itu, api inilah yang menjadi badal (pengganti) di dalam pernyataan tentang ukhdūd itu, untuk menunjukkan bergejolak dan nyala api di dalamnya.

Binasa dan terlaknatlah para pembuat parit. Mereka memang layak mendapatkan kemurkaan dan kebencian seperti ini. Karena, mereka telah melakukan tindakan dosa sedemikian rupa dan tak henti-hentinya melakukan kejahatan itu:

“….Ketika mereka duduk di sekitarnya. Sedangkan, mereka menyaksikan apa yang mereka perbuat terhadap orang-orang yang beriman…..”

Ini adalah kalimat yang melukiskan sikap dan pemandangan mereka, ya‘ni ketika mereka menyalakan api dan melemparkan orang-orang beriman baik laki-laki maupun wanita, sedangkan mereka duduk di dekat api yang menjadi tempat penyiksaan yang sangat keji. Mereka menyaksikan perkembangan penyiksaan itu, dan apa yang dilakukan api itu terhadap jasad-jasad tersebut dengan jilatan dan nyalanya. Dengan tindakan itu, seakan-akan mereka menetapkan di dalam perasaannya pemandangan yang sangat buruk dan busuk ini!

Tidak ada dosa dan kesalahan yang dilakukan kaum mu’minīn terhadap mereka:

Mereka tidak menyiksa orang-orang mu’min itu melainkan karena orang-orang mu’min itu beriman kepada Allah Yang Maha Perkasa lagi Maha Terpuji, Yang mempunyai kerajaan langit dan bumi. Allah Maha Menyaksikan segala sesuatu” (al-Burūj: 8-9).

Itulah kesalahan orang-orang mu’min, yaitu beriman kepada Allah Yang Maha Perkasa, Yang berkuasa melakukan apa saja yang dikehendaki-Nya, Yang Maha Terpuji, Yang berhak mendapatkan pujian dalam semua keadaan, dan memang Dia sudah Maha Terpuji meskipun orang-orang jahil tidak memuji-Nya! Dialah yang layak untuk diimani dan diibadahi. Hanya Dia sajalah yang memiliki kerajaan langit dan bumi. Dia menyaksikan segala sesuatu. Kehendak-Nya berhubungan dengannya bagaikan berhubungan dengan sesuatu yang sedang terjadi.

Kemudian, Dia pulalah yang menyakiskan urusan kaum mu’minīn dengan Ashḥāb-ul-Ukhdūd. Ini merupakan suatu sentuhan yang menenangkan hati orang-orang yang beriman dan menakut-nakuti orang-orang yang zhālim dan sombong. Maka, Allah selalu menyaksikan, dan cukuplah Allah sebagai yang menyaksikan.