Surah al-Buruj 85 ~ Tafsir Ibni Katsir (2/3)

Dari Buku:
Tafsir Ibnu Katsir, Juz 30
(An-Nabā’ s.d. An-Nās)
Oleh: Al-Imam Abu Fida’ Isma‘il Ibnu Katsir ad-Dimasyqi

Penerjemah: Bahrun Abu Bakar L.C.
Penerbit: Sinar Baru Algensindo Bandung

Rangkaian Pos: Surah al-Buruj 85 ~ Tafsir Ibni Katsir

Kemudian Allah s.w.t. berfirman:

الَّذِيْ لَهُ مُلْكُ السَّمَاوَاتِ وَ الْأَرْضِ

yang mempunyai kerajaan langit dan bumi. (al-Burūj: 9).

Termasuk sifat Allah yang sempurna ialah Dia memiliki semua alam langit dan alam bumi berikut apa yang ada di antara keduanya dan juga yang ada di dalam keduanya:

وَ اللهُ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ شَهِيْدٌ

dan Allah Maha menyaksikan segala sesuatu. (al-Burūj: 9).

Yakni tiada sesuatu pun yang tidak kelihatan bagi-Nya di langit dan di bumi, dan tiada sesuatu pun yang tersembunyi bagi-Nya.

Ulama tafsir berbeda pendapat mengenai orang-orang yang disebutkan dalam kisah ayat ini, siapakah mereka sebenarnya? Disebutkan dari sahabat ‘Alī r.a. bahwa mereka adalah penduduk negeri Persia ketika raja mereka ingin menghalalkan kawin dengan mahram, lalu ulama mereka menentang kehendak raja itu. Maka dengan sengaja si raja membuat parit dan melemparkan ke dalamnya setiap orang yang menentang keinginannya dari kalangan mereka; dan akhirnya menghalalkan kawin dengan mahram terus berlangsung sampai sekarang.

Menurut riwayat lain yang juga dari ‘Alī, mereka adalah suatu kaum di negeri Yaman. Orang-orang mukmin dari kalangan mereka berperang dengan orang-orang musyriknya, maka pada mulanya orang-orang mukmin menang atas orang-orang kafir, kemudian selang beberapa masa pertempuran di antara mereka kembali berkobar, dan kali ini orang-orang kafirlah yang menang atas orang-orang mukmin. Lalu orang-orang kafir membuat parit-parit dan para tawanan kaum mukmin dimasukkan ke dalamnya, kemudian dibakar di dalam parit itu. Diriwayatkan pula dari ‘Alī, bahwa mereka adalah penduduk negeri Habsyah (Etiopia sekarang).

Al-‘Aufī telah meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbās sehubungan dengan makna firman Allah s.w.t.:

قُتِلَ أَصْحَابُ الْأُخْدُوْدِ، النَّارِ ذَاتِ الْوَقُوْدِ

Binasa dan terlaknatlah orang-orang yang membuat parit, yang berapi (dinyalakan dengan) kayu bakar. (al-Burūj: 4-5).

Bahwa mereka adalah segolongan orang-orang dari kaum Bani Israil yang membuat parit-parit, kemudian dinyalakanlah api di dalam parti itu. Kemudian mereka membawa kaum laki-laki dan wanita yang beriman ke pinggir parit itu dan mereka dipaksa untuk kafir, tetapi mereka menolak, lalu mereka dimasukkan ke dalamnya. Menurut pendapat ulama, mereka adalah Nabi Dāniyāl dan para pengikutnya. Hal yang sama telah dikatakan oleh adh-Dhaḥḥāk ibnu Muzāḥim; menurut pendapat yang lainnya lagi menyebutkan selain itu. Imām Aḥmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami ‘Affān, telah menceritakan kepada kami Ḥammād ibnu Salamah, dari Tsābit, dari ‘Abd-ur-Raḥmān ibnu Abū Lailā, dari Shuhaib, bahwa Rasūlullāh s.a.w. pernah menceritakan kisah berikut. Dahulu kala di kalangan orang-orang sebelum kamu terdapat seorang raja yang mempunyai seorang tukang sihir. Ketika tukang sihir itu telah lanjut usia, ia berkata kepada rajanya: “Sesungguhnya usiaku telah lanjut dan tidak berapa lama lagi ajalku akan tiba, maka berikanlah kepadaku seorang pemuda yang akan kuajari ilmu sihir.”

Maka raja menyerahkan kepada tukang sihir itu seorang pemuda untuk diajarinya ilmu sihir. Dan tersebutlah di antara rumah penyihir dan raja terdapat seorang rahib; maka bila si pemuda akan pergi ke rumah penyihir, terlebih dahulu ia mampir ke rumah si rahib dan mendengarkan perkataannya yang memikat hati si pemuda itu. Tersebutlah pula bahwa apabila si pemuda itu datang ke tempat penyihir, maka penyihir memukulnya seraya berkata: “Apakah yang membuatmu datang terlambat?” Dan apabila pemuda itu pulang ke rumah keluarganya, maka mereka memukulnya pula seraya bertanya: “Mengapa kamu pulang terlambat?”

Kemudian si pemuda mengadukan hal tersebut kepada si rahib. Maka rahib memberinya petunjuk: “Apabila tukang sihir hendak memukulmu, katakanlah kepadanya bahwa keluargamu yang membuatmu datang terlambat. Dan apabila keluargamu hendak memukulmu, maka katakanlah kepada mereka bahwa si tukang sihirlah yang membuatmu pulang terlambat.”

Pada suatu hari si pemuda itu mendatangi seekor hewan yang besar lagi mengerikan, hewan itu menghalang-halangi jalan yang dilalui oleh manusia sehingga mereka tidak dapat melewatinya. Maka si pemuda itu berkata: “Pada hari ini aku akan mengetahui apakah perintah rahib yang lebih disukai oleh Allah ataukah perintah si tukang sihir.”

Si pemuda memungut sebuah batu dan berdoa: “Ya Allah, jika perintah rahib lebih disukai oleh Engkau dan lebih Engkau ridhai daripada perintah si tukang sihir, maka bunuhlah hewan yang mengerikan ini agar manusia dapat melalui jalannya,” lalu ia melemparkan batu itu ke arah hewan tersebut dan mengenainya sampai mati, maka orang-orang pun dapat melewati jalannya seperti biasa.

Pemuda itu menceritakan hal tersebut kepada si rahib, maka si rahib berkata: “Hai anakku, engkau lebih utama daripada aku, dan sesungguhnya engkau akan mendapat cobaan, maka jika engkau mendapat cobaan, janganlah engkau menunjukkan tempatku berada.”

Tersebutlah bahwa pemuda itu dapat menyembuhkan penyakit buta, penyakit supak, dan penyakit-penyakit lainnya yang sulit disembuhkan. Dan tersebutlah bahwa si raja mempunyai teman sekedudukan yang terkena penyakit kebutaan. Ketika teman raja itu mendengar perihal si pemuda yang dapat menyembuhkan segala penyakit, maka ia datang kepadanya dengan membawa banyak hadiah seraya berkata: “Sembuhkanlah aku dari penyakitku ini, maka aku akan memberimu segala sesuatu yang ada di sini.” Si pemuda menjawab: “Aku bukanlah orang yang dapat menyembuhkan melainkan yang menyembuhkan hanyalah Allah s.w.t. Maka jika engkau mau beriman kepada-Nya, aku akan mendoakanmu kepada-Nya, dan Dia akan menyembuhkanmu.”

Teman raja itu mau beriman, maka si pemuda berdoa kepada Allah, kemudian dengan serta merta teman raja itu sembuh saat itu juga. Lalu teman raja itu datang lagi kepada raja dan duduk bersamanya sebagaimana biasanya. Si raja merasa kaget dan bertanya: “Hai Fulan, siapakah yang mengembalikan pandangan matamu menjadi seperti sedia kala?” Teman raja menjawab: “Tuhanku.” Si raja bertanya: “Apakah itu aku?” Teman raja menjawab: “Bukan, Tuhanku dan Tuhanmu adalah Allah.” Raja bertanya: “Apakah engkau mempunyai tuhan lain selain aku?” Teman raja menjawab: “Ya, Tuhanku dan Tuhanmu adalah Allah.”

Maka raja terus-menerus menyiksa temannya itu, hingga pada akhirnya teman raja itu menunjukkan kepada si pemuda. Maka pemuda itu dipanggil menghadap kepada raja, dan raja berkata kepadanya: “Hai anakku, telah sampai kepadaku bahwa ilmu sihirmu mencapai tingkatan dapat menyembuhkan sakit buta, sakit supak, dan segala macam penyakit.” Si pemuda menjawab: “Aku tidak dapat menyembuhkan siapa pun, sesungguhnya yang menyembuhkan hanyalah Allah s.w.t.” Si raja bertanya: “Dia adalah aku bukan?” Si pemuda menjawab: “Bukan.” Raja bertanya: “Apakah engkau mempunyai tuhan selain aku?” Pemuda menjawab: “Tuhanku dan Tuhanmu adalah Allah.”

Maka si raja itu pun menyiksa si pemuda dan terus-menerus menginterogasinya hingga pada akhirnya terpaksa si pemuda menunjukkan kepada si rahib, maka si rahib ditangkap dan dihadapkan kepada raja. Raja berkata kepadanya: “Tinggalkanlah agamamu itu.” Si rahib menolak, maka raja meletakkan gergaji di tengah kepalanya dan membelah tubuhnya hingga terbelah.

Kemudian si raja berkata kepada temannya yang tadinya buta itu: “Tinggalkanlah agamamu!” Ia menolak, maka diletakkan pula gergaji di atas kepalanya, lalu tubuhnya dibelah menjadi dua dan jatuh ke tanah. Raja berkata kepada si pemuda: “Tinggalkanlah agamamu itu.” Si pemuda menolak, maka raja menyuruh sejumlah orang untuk membawanya ke atas sebuah gunung, dan berpesan kepada mereka: “Apabila kamu telah mencapai puncaknya, ancamlah dia. Maka jika dia mau meninggalkan agamanya, biarkanlah. Tetapi jika menolak, lemparkanlah ia dari puncaknya.”

Maka mereka membawa si pemuda itu. Dan ketika mereka telah sampai di puncak gunung tersebut bersama si pemuda itu, maka si pemuda berdoa: “Ya Allah, selamatkanlah aku dari mereka dengan cara yang Engkau kehendaki.” Maka dengan tiba-tiba bumi mengalami gempa sangat kuat mengguncangkan mereka, sehingga mereka semuanya terjatuh dari puncak gunung itu.

Kemudian si pemuda itu datang kembali kepada raja. Setelah mendapat izin masuk, lalu pemuda itu menemui raja, dan raja bertanya kepadanya: “Apakah yang telah dilakukan oleh orang-orang yang membawamu?” Si pemuda menjawab: “Allah s.w.t telah menyelamatkan aku dari mereka.” Lalu raja mengirim sejumlah orang untuk membawa pemuda itu ke laut, seraya berpesan kepada mereka: “Jika kalian telah sampai di tengah laut, dan ternyata dia mau meninggalkan agamanya, maka biarkanlah dia. Tetapi jika ia tetap membangkang, maka lemparkanlah dia ke laut.” Lalu mereka menempuh jalan laut dengan membawa si pemuda itu. Ketika sampai di tengah laut, si pemuda berdoa: “Ya Allah, selamatkanlah aku dari mereka dengan cara yang Engkau sukai.” Maka mereka semua tenggelam ke dalam laut itu.

Pemuda itu kembali datang dan menghadap kepada raja, dan raja bertanya: “Apakah yang telah dilakukan oleh orang-orang yang membawamu?” Pemuda itu menjawab: “Allah s.w.t. telah menyelamatkan diriku dari mereka.”

Kemudian si pemuda itu berkata lagi kepada si raja: “Sesungguhnya engkau tidak akan dapat membunuhku sebelum melakukan apa yang akan kuperintahkan kepadamu. Jika engkau lakukan apa yang kuperintahkan kepadamu, niscaya engkau dapat membunuhku; dan jika tidak, maka selamanya engkau tidak akan dapat membunuhku.”

Raja bertanya: “Bagaimanakah caranya?” Pemuda itu menjawab: “Engkau kumpulkan semua manusia di suatu lapangan, kemudian engkau salib aku di atas balok kayu dan engkau ambil sepucuk anak panah dari wadah anak panahku, kemudian ucapkanlah: “Dengan menyebut nama Allah, Tuhan si pemuda ini.” Maka sesungguhnya jika engkau lakukan hal itu, barulah engkau dapat membunuhku.”

Raja melakukan apa yang disarankan oleh si pemuda itu dan memasang anak panah pemuda itu di busurnya, kemudian ia bidikkan ke arah pemuda tersebut dengan mengucapkan: “Dengan menyebut nama Allah. Tuhan si pemuda ini.” Maka panah melesat dan mengenai pelipisnya, lalu si pemuda memegang pelipisnya yang terkena panah itu dan meninggal dunia saat itu juga.

Maka semua seorang yang hadir berkata: “Kami beriman kepada Allah, Tuhan si pemuda ini”. Dan dikatakan kepada raja: “Sekarang engkau baru menyaksikan apa yang engkau sangat mengkhawatirkannya. Sesungguhnya, demi Allah, kamu telah dikalahkan karena semua orang telah beriman.” Raja sangat berang, lalu ia memerintahkan agar di tengah jalan dibuat galian parit yang cukup dalam dan dinyalakanlah api di dalam parit itu. Lalu raja berkata: “Barang siapa yang mau meninggalkan agamanya, biarkanlah dia. Dan jika tidak ada, maka masukkanlah mereka semuanya ke dalam parit itu.”

Tersebutlah bahwa mereka berlari-lari menuju ke parit itu dan saling berdesakan untuk paling dahulu masuk ke dalamnya. Dan datanglah seorang ibu yang membawa anak laki-laki yang masih disusuinya, maka seakan-akan si ibu enggan untuk menjatuhkan dirinya ke dalam parit yang penuh dengan api itu. Maka bayi yang digendongnya itu berkata: “Hai Ibu, bersabarlah karena sesungguhnya engkau berada di jalan yang benar.”

Hal yang sama telah diriwayatkan oleh Imām Muslim di akhir kitab Shaḥīḥ-nya, dari Hudbah ibnu Khālid, dari Ḥammād ibnu Salamah dengan sanad dan lafaz yang semisal.

Imām Nasā’ī meriwayatkannya dari Aḥmad ibnu Salmān, dari ‘Utsmān ibnu Ḥammād ibnu Salamah dan melalui jalur Ḥammād ibnu Zaid; keduanya dari Tsābit dengan sanad yang sama, tetapi mereka meringkas bagian pertama hadis.

Al-Imām Abū ‘Īsā at-Tirmidzī telah meriwayatkannya dengan predikat yang baik di dalam tafsir surat ini dari Maḥmūd ibnu Ghailān dan ‘Abdu ibnu Ḥumaid – tetapi maknanya sama -, keduanya mengatakan bahwa telah menceritakan kepada kami ‘Abd-ur-Razzāq, dari Ma‘mar, dari Tsābit al-Bannānī, dari ‘Abd-ur-Raḥmān ibnu Abī Lailā, dari Shuhaib yang mengatakan bahwa Rasūlullāh s.a.w. bila telah shalat ‘Ashar kelihatan seakan-akan berbisik-bisik, yang menurut istilah sebagian dari mereka, makna yang dimaksud ialah beliau s.a.w. menggerak-gerakkan kedua bibirnya seakan-akan sedang berbicara. Maka ditanyakan kepada beliau: “Wahai Rasūlullāh, apabila engkau shalat ‘Ashar kelihatan engkau menggerakkan kedua bibirmu.” Rasūlullāh s.a.w. menjawab: “bahwa dahulu ada seorang nabi yang merasa bangga dengan umatnya, ia mengatakan: “Siapa yang dapat menandingi mereka?” Maka Allah menurunkan wahyu kepada nabi itu: “Suruhlah mereka untuk memilih apakah Aku yang mengazab mereka ataukah Aku jadikan mereka dikuasai oleh musuhnya?” Akhirnya mereka memilih lebih suka dihukum oleh Allah s.w.t. Maka Allah s.w.t. menguasakan kepada mereka kematian, sehingga matilah dari mereka dalam sehari sebanyak tujuh puluh ribu orang.

Shuhaib melanjutkan kisahnya, bahwa Rasūlullāh apabila menceritakan kisah ini, maka beliau mengisahkan pula kisah lainnya yang menyangkut pemuda itu. Rasūlullāh s.a.w. bersabda: “Dahulu ada seorang raja yang mempunyai seorang tukang tenung yang bekerja untuk raja dengan ilmu tenungnya. Maka tukang tenung itu berkata: “Berikanlah kepadaku seorang pemuda yang pandai atau cerdik dan cerdas, aku akan mengajarkan kepadanya ilmuku ini.”

Kemudian kisah ini disebutkan dengan lengkap yang di akhirnya disebutkan bahwa Allah s.w.t. berfirman:

قُتِلَ أَصْحَابُ الْأُخْدُوْدِ، النَّارِ ذَاتِ الْوَقُوْدِ

Binasa dan terlaknatlah orang-orang yang membuat parit, yang berapi (dinyalakan dengan) kayu bakar. (al-Burūj: 4-5).

Sampai dengan firman-Nya:

الْعَزِيْزِ الْحَمِيْدِ

Yang Maha Perkasa lagi Maha Terpuji. (al-Burūj: 8).

Adapun si pemuda itu telah dikebumikan, dan disebutkan bahwa di masa pemerintahan Khalīfah ‘Umar r.a. pemuda itu dikeluarkan dari kuburnya, sedangkan telunjuknya berada di pelipisnya seperti sedia kala saat dia terbunuh. Kemudian Imām Tirmidzī mengatakan bahwa hadis ini ḥasan gharīb, dan konteks hadis ini tidak mengandung keterangan yang jelas yang membuktikan bahwa konteks hadis ini dari perkataan Nabi s.a.w. Guru kami al-Ḥāfizh Abul-Ḥajjāj al-Mazī telah mengatakan bahwa barangkali lafaz ini dari perkataan Shuhaib ar-Rūmī, karena sesungguhnya dia mempunyai pengetahuan tentang berita-berita kaum Nashrani; hanya Allah-lah Yang Maha Mengetahui.

Muḥammad ibnu Isḥāq ibnu Yasār telah mengetengahkan kisah ini di dalam kitab Sīrah-nya dengan konteks yang lain yang berbeda dengan sebelumnya. Untuk itu dia mengatakan, telah menceritakan kepadaku Yazīd ibnu Ziyād, dari Muḥammad ibnu Ka‘b al-Qurazhī; telah menceritakan pula kepadaku sebagian ulama Najrān, dari pada pemilik kisah. Bahwa dahulu penduduk negeri Najrān adalah para penyembah berhala, yaitu ahli syirik. Dan tersebutlah bahwa di salah satu dari kawasan kota Najrān yang sangat besar itu lagi memiliki berbagai bagian kota, dan kepadanyalah dinisbatkan semua penduduk negeri itu, terdapat seorang tukang sihir yang mengajari sihir para pemuda Najrān.

Ketika Faimūn bermukim di Najrān – mereka tidak menyebutkan nama lelaki itu yang disebutkan namanya oleh Ibnu Munabbih, karena mereka hanya mengatakan bahwa Najrān kedatangan seorang lelaki – lalu ia membangun sebuah kemah yang terletak di antara Najrān dan kota tempat tinggal si penyihir itu.

Maka orang-orang Najrān mengirimkan anak-anak mereka untuk belajar kepada ahli sihir itu ilmu sihir yang dikuasainya. Dan tersebutlah bahwa at-Tsāmir mengirimkan anaknya yang bernama ‘Abdullāh ibn-uts-Tsāmir bersama-sama dengan anak-anak Najrān untuk belajar ilmu sihir kepada si penyihir itu.

Tersebutlah bahwa apabila ‘Abdullāh melewati penghuni kemah itu, ia merasa kagum dengan apa yang disaksikannya dari penghuni kemah itu yang banyak ibadah dan salatnya. Maka ia memberanikan diri untuk duduk di dekatnya dan mendengar darinya ajaran-ajarannya, pada akhirnya ia masuk Islam, mengesakan Allah dan menyembah-Nya. Lalu ia menanyakan kepada penghuni kemah itu tentang syariat-syariat Islam, dan setelah ia pandai tentang syariat-syariat Islam, lalu ia meminta kepadanya untuk diberi Ism-ul-A‘zham.

Tersebutlah bahwa lelaki penghuni kemah itu mengetahui Ism-ul-A‘zham, tetapi lelaki itu menyembunyikannya dari ‘Abdullāh dan menolak untuk mengajarkan Ism-ul-A‘zham kepadanya, seraya berkata: “Wahai anak saudaraku, engkau tidak akan mampu memikulnya dan aku merasa khawatir dengan kelemahanmu darinya.”

Sedangkan ayah ‘Abdullāh (yaitu ats-Tsāmir) hanya mengetahui bahwa anaknya berangkat hanyalah untuk belajar kepada tukang sihir tersebut.

Ketika ‘Abdullāh melihat bahwa gurunya tidak mau memberikan Ism-ul-A‘zham kepadanya karena takut akan kelemahannya, maka dengan sengaja ia mengambil banyak wadah, lalu ia kumpulkan, dan tiada suatu wadah pun melainkan ia menuliskan padanya tiap isim yang telah diajarkan oleh gurunya. Dan setelah semuanya tertulis, maka ia menyalakan api, kemudian melemparkan wadah-wadah itu ke dalam api satu per satu. Ketika sampai pada giliran wadah yang tertulis padanya Ism-ul-A‘zham (yang belum diketahuinya secara pasti), lalu ia melemparkan wadah itu. Maka tiba-tiba wadah itu terpental dari api dan keluar dari nyalanya tanpa mengalami suatu kerusakan pun, melainkan tetap utuh.

Kemudian ia mengambil wadah tersebut dan membawanya menghadap kepada gurunya, lalu ia berkata kepadanya bahwa dirinya telah mengetahui Ism-ul-A‘zham yang telah dia catat. Maka gurunya bertanya: “Coba sebutkan.” ‘Abdullāh menjawab: “bahwa Ism-ul-A‘zham itu adalah demikian dan demikian. Gurunya bertanya: “Bagaimana kamu mendapatkannya?” Maka ‘Abdullāh menceritakan kepada gurunya apa yang telah ia lakukan. Lalu gurunya berkata: “Wahai anak saudaraku, sesungguhnya engkau telah mendapatkannya, maka tahanlah dirimu, dan saya merasa yakin engkau tidak akan menyalahgunakannya.”

Maka jadilah ‘Abdullāh ibn-uts-Tsāmir apabila memasuki Najrān, tidak sekali-kali dia berdua dengan seseorang yang penyakitan melainkan ia mengatakan kepadanya: “Hai hamba Allah, maukah engkau mengesakan Allah dan masuk ke dalam agamaku, aku akan mendoakanmu kepada Allah agar disembuhkan, maka Dia pasti akan menyehatkanmu seperti sediakala?” Maka orang yang dijumpainya itu menjawab: “Ya,” dan ia pun mengesakan Allah dan masuk Islam, maka ‘Abdullāh berdoa untuk kesembuhannya, sehingga tiada seorang pun dari penduduk negeri Najrān yang penyakitan melainkan dia datangi, dan menaati perintahnya, lalu ia mendoakannya hingga sembuh.

Pada akhirnya perihal ‘Abdullāh ibn-uts-Tsāmir sampai kepada raja negeri Najrān, lalu raja mengundangnya dan berkata kepadanya: “Engkau telah merusak rakyat negeriku dan menentang agamaku, yaitu agama nenek moyangku. Maka sungguh aku akan mencingcangmu.” ‘Abdullāh menjawab: “Engkau tidak akan mampu melakukannya.”

Kemudian Raja Najrān mengirimkan ‘Abdullāh ke atas sebuah bukit yang tinggi sekali, lalu dijatuhkan dari atasnya dengan kepala di bawah. Maka jatuhlah ‘Abdullāh dari atasnya, tetapi tidak apa-apa. Lalu raja mengirimnya ke sebuah perairan di Najran yang berpusar, tiada suatu makhluk hidup pun yang dilemparkan ke dalamnya melainkan pasti mati. Maka ‘Abdullāh dilemparkan ke dalamnya, dan ternyata ia dapat keluar dari perairan itu dalam keadaan sehat walafiat dan segar bugar.

Setelah ‘Abdullāh dapat mengalahkan segala upaya Raja Najrān itu, maka ‘Abdullāh berkata kepadanya: “Sesungguhnya engkau, demi Allah, tidak akan mampu membunuhku sebelum engkau beriman kepada apa yang aku imani dan mengesakan Allah. Maka sesudah itu sesungguhnya jika engkau hendak meneruskan niatmu, kamu dapat menguasaiku dan membunuhku.”

Pada akhirnya si raja mau beriman dan mengesakan Allah serta mengucapkan kalimat persaksian seperti apa yang dikatakan oleh ‘Abdullāh ibn-uts-Tsāmir.

Kemudian si raja memukulnya dengan tongkat yang ada di tangannya pada bagian kepalanya dan sempat melukainya, tetapi tidak besar. Dari pukulan itu meninggal dunialah ‘Abdullāh ibn-uts-Tsāmir. Dan raja itu mati pula di tempatnya, sedangkan seluruh penduduk negeri Najrān telah memeluk agama ‘Abdullāh ibn-uts-Tsāmir. Tersebutlah bahwa ‘Abdullāh ibn-uts-Tsāmir berada dalam agama yang disampaikan oleh ‘Īsā putra Maryam a.s., yaitu berpegangan kepada kitab Injil dan hukumnya. Kemudian para pemeluk agamanya tertimpa oleh musibah-musibah yang menguji mereka; oleh karena itulah maka asal agama Nashrani itu dari Najrān.

Ibnu Isḥāq mengatakan bahwa demikianlah menurut hadis Muḥammad ibnu Ka‘b al-Qurazhī dan sebagian ulama Najrān, dari ‘Abdullāh ibn-uts-Tsāmir; hanya Allah-lah Yang Maha Mengetahui kebenarannya.

Kemudian dilanjutkan bahwa Dzū Nuwās membawa bala tentaranya menuju ke Najran dan menyeru penduduknya untuk memeluk agama Yahudi, dan memberikan kepada mereka pilihan antara memeluk agama Yahudi atau dibunuh. Ternyata mereka lebih memilih untuk dibunuh, maka Dzū Nuwās membuat galian parit dan di dalam parit dinyalakan api yang besar. Lalu mereka dimasukkan ke dalamnya, yang sebelumnya mereka dibunuh dengan pedang dan dicincang, sehingga terbunuhlah dari mereka kurang lebih sebanyak dua puluh ribu orang.

Berkenaan dengan kisah Dzū Nuwās dan bala tentaranya inilah Allah s.w.t. menurunkan firman-Nya kepada Rasul-Nya:

قُتِلَ أَصْحَابُ الْأُخْدُوْدِ، النَّارِ ذَاتِ الْوَقُوْدِ، إِذْ هُمْ عَلَيْهَا قُعُوْدٌ، وَ هُمْ عَلَى مَا يَفْعَلُوْنَ بِالْمُؤْمِنِيْنَ شُهُوْدٌ، وَ مَا نَقَمُوْا مِنْهُمْ إِلَّا أَنْ يُؤْمِنُوْا بِاللهِ الْعَزِيْزِ الْحَمِيْدِ، الَّذِيْ لَهُ مُلْكُ السَّمَاوَاتِ وَ الْأَرْضِ وَ اللهُ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ شَهِيْدٌ

Binasa dan terlaknatlah orang-orang yang membuat parit, yang berapi (dinyalakan dengan) kayu bakar, ketika mereka duduk di sekitarnya, sedang mereka menyaksikan apa yang mereka perbuat terhadap orang-orang yang beriman. Dan mereka tidak menyiksa orang-orang mukmin itu melainkan karena orang-orang mukmin itu beriman kepada Allah yang Maha Perkasa lagi Maha Terpuji. Yang mempunyai kerajaan langit dan bumi; dan Allah Maha menyaksikan segala sesuatu. (al-Burūj: 4-9).

Demikianlah menurut apa yang disebutkan oleh Muḥammad ibnu Isḥāq di dalam kitab Sīrah-nya, bahwa orang yang membunuh dan membantai mereka yang dimasukkan ke dalam parit yang berapi itu adalah Dzū Nuwās, yang nama aslinya ialah Zur‘ah. Dan di masa pemerintahannya ia dipanggil dengan sebutan Yūsuf, dia adalah Ibnu Tibyān alias As‘ad ibnu Abū Kuraib. Dan dia adalah salah seorang Tubba‘ yang memerangi Madinah dan memberi kain kelambu kepada Ka‘bah, serta membawa dua orang ulama Yahudi Madinah yang menjadi teman dekatnya. Tersebutlah bahwa dialah yang membawa agama Yahudi ke negeri Yaman sehingga ada sebagian dari negeri Yaman yang beragama Yahudi. Demikianlah menurut apa yang diterangkan oleh Ibnu Isḥāq dengan panjang lebar.

Dzū Nuwās dalam sehari membunuh dua puluh ribu orang dengan memasukkan mereka ke dalam parit-parit berapi. Dan tiada seorang pun dari mereka yang selamat kecuali seorang lelaki yang dikenal dengan nama Daus Dzū Tsa‘labān. Dia sempat melarikan diri dengan berkuda dan mereka mengejarnya, tetapi tidak dapat menangkapnya. Kemudian Daus pergi menemui kaisar raja negeri Syam meminta suaka padanya. Selanjutnya kaisar berkirim surat kepada Najasyi raja negeri Habsyah (Etiopia) untuk bertindak (karena lebih dekat), maka Raja Najasyi mengirimkan pasukan besar yang terdiri dari orang-orang Nasrani negeri Habsyah yang dipimpin oleh Aryath dan Abrahah, maka pasukan ini menyelamatkan negeri Yaman dari cengkeraman orang-orang yang beragama Yahudi. Sedangkan Dzū Nuwās sendiri melarikan diri melalui jalan laut, dan di laut ia tenggelam.

Kemudian negeri Yaman dikuasai oleh orang-orang Nasrani Habsyah selama tujuh puluh tahun, kemudian negeri Yaman diselamatkan oleh Saif ibnu Dzū Yazin al-Ḥimyarī dari tangan orang-orang Nasrani Habsyah. Hal ini terjadi ketika Saif bergabung dengan Kisra, Raja Persia. Maka Raja Persia mengirimnya bersama-sama dengan orang-orang yang dipenjara yang jumlah mereka kurang lebih tujuh ratus orang. Lalu Saif menaklukkan negeri Yaman dengan bala tentaranya, lalu dia sendiri pulang ke Ḥimyar. Dan kami akan mengetengahkan sekelumit kisahnya, in syā’ Allāh dalam tafsir firman-Nya:

اَلَمْ تَرَ كَيْفَ فَعَلَ رَبُّكَ بِأَصْحَابِ الْفِيْلِ.

Apakah kamu tidak memperhatikan bagaimana Tuhanmu telah bertindak terhadap tentara bergajah. (al-Fīl: 1)

Ibnu Isḥāq mengatakan, telah menceritakan kepadaku ‘Abdullāh ibnu Abī Bakar ibnu Muḥammad ibnu ‘Amr ibnu Ḥazm yang menceritakan bahwa pernah ada seorang lelaki dari kalangan penduduk Najrān di masa pemerintahan Khalīfah ‘Umar ibnul-Khaththāb r.a. menggali sebuah reruntuhan peninggalan zaman dahulu di negeri Najrān untuk suatu keperluannya. Maka ia menjumpai ‘Abdullāh ibn-uts-Tsāmir berada di dalam sebuah kuburan yang ia dikebumikan di dalamnya dalam kedaan duduk dan memegangkan tangannya pada bekas luka pukulan di kepalanya. Apabila ia mengangkat tangan ‘Abdullāh ibn-uts-Tsāmir, maka keluarlah dari lukanya darah yang mengalir; dan apabila dilepaskan, maka lukanya itu kembali tertutup dan tidak mengalirkan darah lagi. Di tangan ‘Abdullāh ibn-uts-Tsāmir (yakni jenazahnya) terdapat sebuah cincin yang bertuliskan sebuah prasasti yang artinya: “Tuhanku Allah.”

Kemudian lelaki itu berkirim surat kepada Khalīfah ‘Umar ibnul-Khaththāb untuk meminta saran dan pendapatnya tentang apa yang harus ia lakukan terhadap jenazah ‘Abdullāh ibn-uts-Tsāmir itu. Maka Khalīfah ‘Umar membalas suratnya seraya memerintahkan: “Tetapkanlah dia di tempat semula dan kembalikanlah kepadanya apa yang dijumpai ada bersamanya,” maka mereka melakukan perintah itu.

Abū Bakar alias ‘Abdullāh ibnu Muḥammad ibnu Abud-Duniā raḥimahullāh mengatakan: telah menceritakan kepada kami Abū Bilāl al-Asy‘arī, telah menceritakan kepada kami Ibrāhīm ibnu Muḥammad, dari ‘Abdullāh ibnu Ja‘far ibnu Abī Thālib, telah menceritakan kepadaku salah seorang ahlul-‘ilmi, bahwa ketika Abū Mūsā menaklukkan Asbahān, ia menjumpai suatu tembok dari tembok yang mengelilingi kota itu telah runtuh. Maka ia membangunnya kembali tetapi ternyata runtuh lagi kemudian ia bangun lagi, dan ternyata runtuh lagi.

Kemudian dikatakan kepadanya bahwa sesungguhnya di bawah fondasi tembok itu terdapat makam seorang lelaki yang saleh. Maka digalilah fondasinya, dan ternyata ia menjumpai jenazah seorang lelaki yang sedang berdiri dengan membawa sebilah pedang yang termaktub di dalam pedangnya tulisan yang berbunyi: “Aku adalah al-Ḥārits ibnu Madhādh, akulah yang membela orang-orang yang dimasukkan ke dalam parit.” Akhirnya Abū Mūsā mengeluarkan jenazah itu dan membangun tembok tersebut, maka ternyata tembok itu berdiri dengan kokohnya dan tidak runtuh lagi.

Menurutku jenazah tersebut adalah al-Ḥārits ibnu Madhādh ibnu ‘Amr ibnu Madhādh al-Jurhumī; salah seorang Raja Jurhum. Raja-raja Jurhumlah yang mengurus Ka‘bah sesudah anak-anak Tsābit ibnu Ismā‘īl ibnu Ibrāhīm. Dan keturunan al-Ḥārits ini (yakni ‘Amr ibn-ul-Ḥārits ibnu Madhādh) adalah Raja Jurhum terakhir di Mekkah sebelum mereka diusir oleh Khuzā‘ah dan memindahkan mereka ke negeri Yaman. Dialah orang yang mengatakan dalam syairnya yang dikutip oleh Ibnu Hisyām, bahwa berikut ini adalah bait syair yang mula-mula dikatakan oleh orang-orang ‘Arab, yaitu:

كَأَنْ لَمْ يَكُنْ بَيْنَ الْحُجُوْنِ إِلَى الصَّفَا
أَنِيْسٌ وَ لَمْ يُسَمِّرْ بِمَكَّةَ سَامِرُ
بَلَى نَحْنُ كُنَّا أَهْلُهَا فَأَبَادَنَا
صُرُوْفُ اللَّيَالِيْ وَ الْجُدُوْدُ الْعَوَاثِرُ

Seakan-akan antara Ḥujūn dan Shafā tidak ada lagi keramaian,
Dan di Makkah tidak ada lagi orang-orang yang begadang malam hari.
Tidak demikian, sebenarnya kami adalah penduduk aslinya, kami telah dibinasakan
oleh pergantian malam (zaman) dan kejadian-kejadian yang menimbulkan malapetaka.

Hal ini menunjukkan bahwa kisah ini terjadi di masa dahulu sesudah zaman Nabi Ismā‘īl a.s. dalam jarak masa kurang lebih lima ratus tahun. Sedangkan apa yang diketengahkan oleh Ibnu Ishaq memberikan pengertian bahwa kisah ini terjadi di masa fatrah (kekosongan kenabian) antara masa Nabi ‘Īsā dan Nabi Muḥammad s.a.w., tetapi pendapat yang kedua ini lebih mendekati kebenaran; hanya Allah sajalah Yang Maha Mengetahui.

Dapat pula dihipotesiskan bahwa peristiwa ini banyak terjadi di berbagai kawasan, sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu Abī Ḥātim, bahwa telah menceritakan kepada kami ayaku, telah menceritakan kepada kami Abul-Yamān, telah menceritakan kepada kami Shafwān, dari ‘Abd-ur-Raḥmān ibnu Jubair yang mengatakan bahwa peristiwa parit terjadi di negeri Yaman di masa Tubba‘, dan di Konstantinopel terjadi di masa Kaisar Konstantinopel, yaitu ketika kaum Nasrani dipaksa untuk berpaling dari kiblat mereka, yaitu agama al-Masīḥ dan ajaran tauhid. Maka kaisar membuat dapur besar, lalu orang-orang Nasrani yang berpegangan kepada agama al-Masīḥ dan ajaran tauhid dilemparkan ke dalamnya yang dipenuhi dengan api yang bergejolak.

Dan di negeri ‘Irāq peristiwa ini terjadi di negeri Babilonia yang rajanya bernama Bukhtanashar. Dia membuat patung dan memerintahkan kepada semua rakyatnya untuk bersujud menyembah patung itu. Tetapi Nabi Dāniyāl dan kedua sahabatnya yang bernama Ezriyā dan Misyā’īl menolak, maka dibuatkan bagi mereka tungku api yang besar, lalu dilemparkan ke dalam tungku itu kayu bakar dan api sehingga apinya besar sekali. Kemudian kedua sahabat Dāniyāl dilemparkan ke dalam tungku api itu. Maka Allah s.w.t. menjadikan tungku api itu terasa sejuk oleh keduanya dan menjadi keselamatan; Allah menyelamatkan keduanya dan sebaliknya orang-orang yang tadinya berbuat aniaya terhadap Dāniyāl dimasukkan ke dalam tungku api itu, mereka terdiri dari sembilan golongan yang semuanya mati terbakar oleh api.

Asbath telah meriwayatkan dari as-Suddī sehubungan dengan firman Allah s.w.t.:

قُتِلَ أَصْحَابُ الْأُخْدُوْدِ،

Binasa dan terlaknatlah orang-orang yang membuat parit, (al-Burūj: 4).

Bahwa parit itu di masa lalu ada tiga, yaitu di ‘Irāq, di Syam, dan di Yaman. Demikianlah menurut apa yang telah diriwayatkan oleh Ibnu Abī Ḥātim.

Diriwayatkan dari Muqātil bahwa peristiwa parit itu ada tiga, yaitu di Najrān di negeri Yaman, yang lainnya di negeri Syam, dan yang terakhir di Persia, mereka dibakar dengan api dalam parit-parit tersebut. Pelakunya yang di negeri Syam adalah Anthonius dan orang-orang Romawi; dan yang di negeri Persia adalah Bukhtanashar, sedangkan yang di negeri ‘Arab (yaitu negeri Yaman) adalah Yūsuf alias Dzū Nuwās. Adapun mengenai yang terjadi di negeri Persia dan negeri Syam, maka Allah s.w.t. tidak menyebutkannya di dalam al-Qur’ān, dan hanya menyebutkan apa yang terjadi di Najrān saja.

Ibnu Abī Ḥātim mengatakan: telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Aḥmad ibnu ‘Abd-ur-Raḥmān ad-Dusytukī, telah menceritakan kepada kami ‘Abdullāh ibnu Abī Ja‘far, dari ayahnya, dari ar-Rabī‘ ibnu Anas sehubungan dengan makna firman-Nya:

قُتِلَ أَصْحَابُ الْأُخْدُوْدِ،

Binasa dan terlaknatlah orang-orang yang membuat parit, (al-Burūj: 4).

Kami telah mendengar bahwa mereka adalah suatu kaum yang ada di masa fatrah. Ketika mereka melihat fitnah dan kejahatan yang melanda manusia di masa mereka yang membuat mereka menjadi bergolong-golongan, dan masing-masing golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada golongannya sendiri, maka mereka memisahkan diri ke sebuah kampung, lalu mereka di dalam kampung itu menegakkan ibadah kepada Allah dengan memurnikan ketaatan hanya kepada-Nya, mereka mendirikan salat dan menunaikan zakat.

Demikianlah yang mereka lakukan selama beberapa waktu hingga perihal mereka terdengar oleh seorang raja yang angkara murka dan sewenang-wenang. Maka terjadilah peristiwa yang menimpa mereka, yang bermula raja memanggil mereka dan memerintahkan kepada mereka untuk menyembah berhala-berhala yang disembah oleh raja dan orang-orangnya. Orang-orang yang beriman itu menolak dan mengatakan: “Kami tidak mau menyembah selain hanya kepada Allah semesta, tiada sekutu bagi-Nya.”

Raja berkata kepada mereka: “Jika kamu tidak mau menyembah sembahan-sembahan ini yang kami puja-puja, maka sesungguhnya aku akan membunuh kamu semuanya.” Mereka tetap menolak kehendak rajanya, maka raja itu membuat parit-parit yang di dalamnya dinyalakan api. Kemudian si raja berkata kepada para prajuritnya: “Perintahkanlah mereka supaya berdiri di pinggir parit itu dan suruhlah mereka memilih antara masuk ke dalam parit itu atau mau menyembah berhala-berhala kita.”

Orang-orang yang beriman itu menjawab: “Parit ini lebih kami sukai daripada menuruti kehendakmu.” Sedangkan di antara mereka terdapat kaum wanita dan anak-anak, maka anak-anak mereka merasa takut dengan api itu. Lalu orang-orang tua mereka berkata kepada mereka: “Hai anak-anakku, tiada api lagi sesudah hari ini.” Maka mereka memasukkan dirinya ke dalam parit itu yang penuh dengan api, dan arwah mereka telah dicabut sebelum tubuh mereka tersentuh oleh panasnya api.

Setelah itu api yang ada dalam parit itu keluar dari tempatnya dan mengamuk mengepung orang-orang yang sewenang-wenang tersebut dan Allah s.w.t. membakar mereka dengan api itu. Berkenaan dengan kisah inilah Allah s.w.t. menyebutkannya di dalam firman-Nya:

قُتِلَ أَصْحَابُ الْأُخْدُوْدِ، النَّارِ ذَاتِ الْوَقُوْدِ، إِذْ هُمْ عَلَيْهَا قُعُوْدٌ، وَ هُمْ عَلَى مَا يَفْعَلُوْنَ بِالْمُؤْمِنِيْنَ شُهُوْدٌ، وَ مَا نَقَمُوْا مِنْهُمْ إِلَّا أَنْ يُؤْمِنُوْا بِاللهِ الْعَزِيْزِ الْحَمِيْدِ، الَّذِيْ لَهُ مُلْكُ السَّمَاوَاتِ وَ الْأَرْضِ وَ اللهُ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ شَهِيْدٌ

Binasa dan terlaknatlah orang-orang yang membuat parit, yang berapi (dinyalakan dengan) kayu bakar, ketika mereka duduk di sekitarnya, sedang mereka menyaksikan apa yang mereka perbuat terhadap orang-orang yang beriman. Dan mereka tidak menyiksa orang-orang mukmin itu melainkan karena orang-orang mukmin itu beriman kepada Allah yang Maha Perkasa lagi Maha Terpuji. Yang mempunyai kerajaan langit dan bumi; dan Allah Maha menyaksikan segala sesuatu. (al-Burūj: 4-9).

Ibnu Jarīr meriwayatkannya dari ‘Ammār, dari ‘Abdullāh ibnu Abū Ja‘far dengan sanad dan lafaz yang semisal.

Firman Allah s.w.t.:

إِنَّ الَّذِيْنَ فَتَنُوا الْمُؤْمِنِيْنَ وَ الْمُؤْمِنَاتِ.

Sesungguhnya orang-orang yang mendatangkan cobaan kepada orang-orang yang mukmin laki-laki dan perempuan. (al-Burūj: 10)

Yakni yang membakar mereka, menurut Ibnu ‘Abbās, Mujāhid, Qatādah, adh-Dhaḥḥāk, serta Ibnu Abzā.

ثُمَّ لَمْ يَتُوْبُوْا.

kemudian mereka tidak bertaubat. (al-Burūj: 10)

Yaitu tidak mau menghentikan perbuatannya yang sewenang-wenang itu dan tidak menyesali apa yang telah mereka lakukan:

فَلَهُمْ عَذَابُ جَهَنَّمَ وَ لَهُمْ عَذَابُ الْحَرِيْقِ.

Maka bagi mereka adzab Jahannam dan bagi mereka adzab (neraka) yang membakar. (al-Burūj: 10)

Demikian itu karena pembalasan disesuaikan dengan jenis perbuatan (pelanggaran)nya. Al-Ḥasan al-Bashrī mengatakan bahwa perhatikanlah olehmu kemuliaan dan kemurahan ini, mereka telah membunuh kekasih-kekasihNya. Walaupun demikian, Dia menyeru mereka untuk bertobat dan meraih ampunan-Nya.

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *