Setelah Tuhan memberi pujiannya kepada orang-orang yang teguh pendirian dan iman, yaitu mereka disiksa dan dibakar dalam lobang yang disediakan buat menyiksa mereka, tidak lain hanyalah karena mereka teguh beriman kepada Allah, maka ayat yang selanjutnya ini menerangkan akibat yang akan diterima oleh orang-orang kafir yang telah menindas dan memfitnah kaum yang beriman itu. Bagaimanapun besarnya kekuasaan mereka di dunia ini, namun mereka akan hina di hadapan Allah: “Sesungguhnya orang-orang yang melakukan tindasan kepada orang Mu’min dan Mu’minat.” (pangkal ayat 10). Memfitnah, menyiksa, dan menindas dan menimpakan berbagai ragam kesusahan kepada orang yang telah beriman kepada Allah, baik laki-laki ataupun perempuan: “kemudian tidak mereka taubat” tidak sedikit pun ada penyesalan dalam hatinya atas perbuatannya yang kejam itu: “Maka bagi mereka adalah Jahannam, dan bagi mereka adalah siksa bakaran.” (ujung ayat 10).
Artinya Tuhan akan membalas kekejamannya kepada orang yang beriman itu dengan siksa berlipat-ganda. Jika dahulu mereka telah menggali lobang untuk menyiksa orang yang beriman, lalu membakar, maka dalam neraka jahanam itu siksa yang akan didapatnya pun pembakaran jua adanya.
Orang yang digoyangkan imannya oleh propaganda agama lain, yaitu Agama Nasrani yang mengadakan Zending dan Missi ke tanah air orang Islam mengatakan bahwa ancaman Tuhan kepada orang yang salah yang tersebut di dalam Al-Qur’an adalah sangat kejam, seakan-akan tidak mengandung belas kasihan. Padahal kalau diperhatikan ayat ini dengan seksama akan kelihatan nyata sekali kasih sayang Allah. Yaitu sesudah mereka itu berlaku kejam, menindas dan menganiaya, padahal yang ditindas dianiaya itu ialah orang yang beriman, bagi mereka masih dibukakan pintu untuk taubat. Tepat sekali apa yang dikatakan oleh Imam Hasan Al-Bishri: “Alangkah pemurahnya Allah Ta’ala itu. Sesudah mereka bunuhi, mereka galikan lobang dan mereka bakar orang-orang yang dikasihi oleh Allah, namun mereka masih diseru buat taubat. Dan bila taubat kesalahan besar itu diampuni.”
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan beramal shalih, bagi mereka adalah syurga-syurga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai.” (pangkal ayat 11). Meskipun di dunia ini orang-orang Mu’minin dan Mu’minat ini mungkin dianiaya dan disiksa, disakiti dan ditindas, karena teguhnya mereka dengan iman dan diiringi oleh amal yang shalih, bagi mereka telah disediakan syurga, taman-taman yang indah, yang penuh dengan nikmat, dengan air yang selalu mengalir membawa kesejukan dan nyaman, sehingga kesakitan yang diderita sementara waktu di dunia itu telah mendapat balasan yang mulia di sisi Allah: “Yang demikian itu adalah kemenangan yang besar.” (ujung ayat 11).
Memang, itulah dia kemenangan yang besar. Menang jiwa Mu’minin dan Mu’minat mengatasi cobaan di kala hidup; memang Mu’minin dan Mu’minat mengatasi debar-debar jantungnya karena ketakutan, lalu dipadukannyalah takutnya itu, hanya kepada Allah. Lalu dia pun menutup mata dengan meninggalkan teladan yang baik bagi anak-cucu yang datang di belakang. Dan di akhirat menang pulalah dia, kemenangan yang besar dan agung, karena iman dan amalnya disambut mesra di sisi Allah.
Lalu Allah memberi peringatan:
“Sesungguhnya pembalasan Tuhan engkau itu adalah amat sangat.” (ayat 12).
Orang yang mencoba menentang Allah, jika pada akhirnya lehernya dikeripukkan Tuhan, amatlah seram pembalasan itu. Sedang di puncak, dia jatuh dihinakan ke bawah. Sedang mulia dan ditakuti, dihinakannya dan tersungkur lalu diinjak-injak orang.
Fir’aun mati tenggelam di tengah laut. Dan berpuluh bahkan beratus Fir’aun lagi menerima pembalasan yang kejam sekali, yang dia tidak menyangka.
Inilah peringatan Allah yang selalu mesti diperhatikan oleh orang yang berlaku zalim; sebab pembalasan yang sangat dahsyat dari Tuhan itu adalah tersebab salah orang itu sendiri. Dia sendiri yang menempuh jalan yang menyampaikannya kepada azab siksaan yang pedih itu. Laksana budak bermain api, telah berkali-kali ditegur tidak juga mau melihatnya tidak dapat berkata lain: “Bukankah sudah aku katakan.”
“Sesungguhnya Dialah yang memulai.” (pangkal ayat 13). Artinya Allah dengan sendiri-Nya, tiada dengan pertolongan yang lain yang telah memulai menjadikan dan menciptakan sesuatu, “Dan Dia yang mengulang kembali.” (ujung ayat 13). Misalnya Allah menciptakan dari buah-buahan, seumpama mangga dan durian dari bijinya sebuah, dilemparkan dengan tak sengaja ke bumi atau ditanam dan dipupuk dengan sesungguh-sungguh. Lalu tumbuhlah dia; mulanya berdaun dua helai saja, lama-lama tumbuh dengan suburnya sejak dari daun dua helai lalu rimbun rampak berdahan, bercabang dan beranting, berdaun dan berbungan, berputik dan berbuah. Begitulah keadaannya dimulai sejak dari sebuah biji mangga sampai kelaknya berbuah beribu-ribu pada tiap musim. Maka tiap-tiap biji dari buahnya tadi, bila datang waktunya, dia pun akan mengulang lagi tugas yang telah diterimanya sebagai lanjutan daripada tugas yang mula ditanamkan dahulu; mulai lagi dan ulang lagi.
Demikianlah segala-galanya ini; bermulai dan berulang dalam keadaan yang baru pula. Seorang manusia lahir ke dunia, berasal dari setetes mani yang menjadi nuthfah, ‘alaqah dan mudhghah, lalu menjelma jadi manusia lengkap. Kemudian itu mati, lalu dikuburkan ke dalam perut bumi. Hancurlah daging yang memalut tulang, kembali kepada asal mulanya, yaitu bingkah bungkahan tanah. Maka tumbuhlah sesuatu tumbuhan di atas kubur itu, entah pohon kamboja entah pohon puding yang bernama “cucuk-kerah”. Urat-urat pohon tadu meresapkan sari tanah. Sebahagian dari tanah yang berasal dari daging tubuh manusia tadi, timbul kembali dalam bentuk lain. Sampai Failasuf Islam Iran yang terkenal, Omar Khayam dalam Robayatnya yang terkenal mengatakan bahwa mungkin saja tembikar pecahan periuk yang terinjak oleh kakimu, adalah bahagian tubuh dari nenek-moyangmu.
“Dan Dia adalah Maha Pengampun.” (pangkal ayat 14). Maha Pengampun atas dosa dan kesalahan yang kita perbuat di dalam hidup kita, karena kedatangan sekali ke atas dunia ini, dan belum pernah datang sebelumnya menyebabkan kita belum berpengalaman. Niscaya akan terdapat jua kesalahan dalam menempuh jalan hidup itu. Akan tetapi kita insaf dan sadar, lalu kita memohonkan ampun dan kurnia Ilahi, niscaya akan diberinya ampun: “Maha Penyayang.” (ujung ayat 14). Artinya bahwa Allah itu Penyayang, Pengasih dan sangat Cinta akan hamba-Nya. Dituntun-Nya hamba-Nya itu, diutus-Nya Rasul-rasul-Nya untuk menunjukkan jalan. Diperingatkan-Nya dengan wahyu-wahyu berulang-ulang agar manusia jangan menempuh jalan yang salah.
“Yang empunya Arsy.” (pangkal ayat 15). ‘Arsy berarti Mahligai, atau Takhta, atau Singgasana tempat duduk bersemayam. Dia adalah perlambang daripada kekuasaan yang mutlak. Apakah ‘Arsy Tuhan itu sesuatu benda, atau diartikan perlambang semata-mata, tidaklah perlu kita perbincangkan. Karena tidaklah ada kemampuan manusia dalam daerah hidup yang terbatas ini akan mengetahui keadaannya yang sebenarnya. Apakah dia hanya perlambang, ataukah dia bersifat benda, namun dalam keduanya itu jelas tidak diragukan lagi, bahwa telah terkandung arti kekuasaan: “Yang Maha Terpuji.” (ujung ayat 15). Dengan sendirinya timbullah pujian kepada Allah Tuhan Sarwa Sekalian Alam bilamana telah dilihat dan dirasakan betapa luas dan teraturnya kekuasaan itu. Bertambah halus perasaan manusia, bertambah tajam daya pengenalan pancaindera terhadap keindahan alam ini, bertambah terlompatlah dari dalam lubuk hati sanubari puji dan puja kepada Allah Maha Kuasa. “Yang berbuat apa yang Dia kehendaki.” (ayat 16). Artinya, apabila Dia berkehendak sesuatu diperbuatnyalah. Tak ada yang dapat menghalangi. Dalam sekejap mata kemegahan si manusia yang telah merasa dirinya sampai di puncak, dapat saja diturunkannya ke bawah dan hancur. Dan dalam sekejap mata itu pula orang yang tadinya tidak penting, bisa naik.
Sebab kekuasaan-Nya adalah meliputi langit dan bumi. Kekayaan dan kekuasaan yang didapat oleh manusia yang disangka telah kokoh, kelemahannya terletak di dalam sendinya sendiri, yang manusia tidak tahu, dan baru dia tahu kelak kesalahan dan kelemahan itu setelah dia jatuh.
“Adakah sudah datang kepada engkau berita tentara-tentara?” (ayat 17). “Fir’aun dan Tsamud?” (ayat 18).
Ayat-ayat ini berupa pertanyaan. Kita pun sudah tahu bahwa dahulu dari Surat Al-Buruuj ini sudah banyak ayat menerangkan tentang Fir’aun dan Tsamud, dan setelah ini akan datang lagi ayat yang lain. Lantaran itu ayat dimulai dengan pertanyaan adalah semata untuk mengingatkan kejadian itu. Kita pun tahu bahwasanya yang dimaksud dengan tentara ialah kekuatan tersusun, atau organisasi yang teratur. Bukan saja Fir’aun dan Tsamud, bahkan yang lain pun demikian juga halnya. Dengan secara tentara yang teratur mereka mencoba menantang Nabi-nabi dan Rasul-Rasul Allah. Ada Fir’aun, ada Tsamud, ada ‘Aad, ada penduduk Sadum dan Gamurrah dan ada Madyan dan Ash-habul Aikah dan lain-lain. Dengan tentara teratur, secara perlambang ataupun secara kenyataan mereka semua mencoba menantang kebenaran yang dibawa oleh Nabi-nabi Allah.
“Bahkan orang-orang yang kafir itu dalam keadaan mendustakan.” (ayat 19).
Dimulai dengan kata Bal, yang berarti bahkan! Untuk menjelaskan bahwasanya orang-orang yang kafir itu selama-lamanya akan tetap mendustakan, baik di zaman Fir’aun atau di zaman Tsamud, ataupun di zaman Muhammad Saw. Dengan susunan seakan-akan teratur mereka menantang dan mendustakan apa yang dibawa oleh Rasul.
Tetapi apakah mereka berhasil? Baik mereka di zaman lampau atau di zaman ini, ataupun di zaman nanti? Sehingga manakah batas kekuatan mereka? Adakah yang batil akan menang menantang yang hak?
“Padahal Allah dari belakang mereka, selalu mengepung.” (ayat 20). Tegasnya, bagaimanapun gagah perkasa mereka sebagai Fir’aun dan Tsamud itu bahkan walaupun mereka menyusun kekuatan sebagai tentara, namun mereka sadari atau tidak sebenarnya sejak mereka memulai langkah, Allah telah mengepung mereka dari kiri-kanan, muka-belakang, atas dan bawah.
Satu di antara alat pengepung kepunyaan Allah itu ialah maut! Adakah pada mereka kekuatan buat menantang maut? Yang kedua ialah oleh karena yang mereka pertahankan itu ialah hal yang batil, misalnya menyembah berhala, taqlid kepada nenek-moyang, atau kedudukan dan kemegahan dalam masyarakat, maka tidaklah semuanya itu akan tahan bila beradu dengan yang hak. Apabila berlawanan iman dengan kufur, pastilah kufur jua yang akan kalah. Mereka dikepung Tuhan dari segala penjuru.
Yang penting dalam hal ini ialah keteguhan hati para pejuang yang menuruti jejak Rasul mempertahankan dan memperjuangkan Kebenaran itu. Dan intisari Kebenaran yang hendak diperjuangkan itu sudah termaktub di dalam Al-Qur’an.
“Bahkan, dia adalah Al-Qur’an yang tinggi mulia.” (ayat 21). Sebab kata-kata yang termaktub di dalamnya adalah sabda Ilahi. Sebab itu sucilah sifatnya. Mengatasi undang-undang dan percikan permenungan manusia: “Di dalam LUH yang terpelihara.” (ayat 22).
Luh yang terpelihara, atau Luh Mahfuzh. Di sanalah kata asli atau original Al-Qur’an itu tersimpan. Qaul itu sendiri qadim sifatnya, kekal selama ada alam semesta. Karena Kebenaran itu tidaklah dapat dingaruhi oleh ruang dan waktu. Asal arti kata LUH ialah batu picak tipis, laksana batu tulis anak sekolah atau batu lain yang di sana dapat dipahatkan satu tulisan. Apakah sifat LUH MAHFUZH yang dalam ayat ini sebagai batu tulis pula? Itu pun tak usah mengganggu fikiran kita. Jangan bertengkar lagi Mu’tazilah Moden dengan Ahlus-Sunnah Moden. Yang terang ialah bahwa kebenaran itu tetap terlukis dan terpahat di dalam Alam Cakrawala ini. Dan Al-Qur’an sendiri sebagai wahyu Ilahi tidaklah pernah berobah; terpelihara dia daripada tahrif, yaitu diobah-obah titik atau barisnya atau kalimatnya oleh tangan manusia, sehingga bisa pula berobah artinya, sebagaimana yang telah berlaku pada kitab-kitab Nabi-nabi yang terdahulu.
Oleh karena telah demikian terjaminnya kesucian Al-Qur’an, tidaklah akan dapat meruntuhkannya usaha dari orang-orang yang kafir itu. Malahan merekalah yang selalu dalam terkepung oleh kebesaran Allah.