Surah al-Buruj 85 ~ Tafsir al-Azhar (1/3)

Dari Buku:
Tafsir al-Azhar
Oleh: Prof. Dr. HAMKA

Penerbit: PT. Pustaka Islam Surabaya

Rangkaian Pos: Surah al-Buruj 85 ~ Tafsir al-Azhar

Sūrat-ul-Buruj
(Bintang-bintang)

Surat ke-85, 22 Ayat
Diturunkan di Makkah

 

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ

Dengan Nama Allah, Maha Pengasih, Maha Penyayang

 

وَ السَّمَاءِ ذَاتِ الْبُرُوْجِ. وَ الْيَوْمِ الْمَوْعُوْدِ. وَ شَاهِدٍ وَ مَشْهُوْدٍ. قُتِلَ أَصْحَابُ الْأُخْدُوْدِ. النَّارِ ذَاتِ الْوَقُوْدِ. إِذْ هُمْ عَلَيْهَا قُعُوْدٌ. وَ هُمْ عَلَى مَا يَفْعَلُوْنَ بِالْمُؤْمِنِيْنَ شُهُوْدٌ. وَ مَا نَقَمُوْا مِنْهُمْ إِلَّا أَنْ يُؤْمِنُوْا بِاللهِ الْعَزِيْزِ الْحَمِيْدِ. الَّذِيْ لَهُ مُلْكُ السَّمَاوَاتِ وَ الْأَرْضِ وَ اللهُ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ شَهِيْدٌ. إِنَّ الَّذِيْنَ فَتَنُوا الْمُؤْمِنِيْنَ وَ الْمُؤْمِنَاتِ ثُمَّ لَمْ يَتُوْبُوْا فَلَهُمْ عَذَابُ جَهَنَّمَ وَ لَهُمْ عَذَابُ الْحَرِيْقِ. إِنَّ الَّذِيْنَ آمَنُوْا وَ عَمِلُوا الصَّالِحَاتِ لَهُمْ جَنَّاتٌ تَجْرِيْ مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ ذلِكَ الْفَوْزُ الْكَبِيْرُ. إِنَّ بَطْشَ رَبِّكَ لَشَدِيْدٌ. إِنَّهُ هُوَ يُبْدِئُ وَ يُعِيْدُ. وَ هُوَ الْغَفُوْرُ الْوَدُوْدُ. ذُو الْعَرْشِ الْمَجِيْدُ. فَعَّالٌ لِّمَا يُرِيْدُ. هَلْ أَتَاكَ حَدِيْثُ الْجُنُوْدِ. فِرْعَوْنَ وَ ثَمُوْدَ. بَلِ الَّذِيْنَ كَفَرُوْا فِيْ تَكْذِيْبٍ. وَ اللهُ مِنْ وَرَائِهِمْ مُّحِيْطٌ. بَلْ هُوَ قُرْآنٌ مَّجِيْدٌ. فِيْ لَوْحٍ مَّحْفُوْظٍ.

85: 1. Demi langit yang mempunyai gugusan bintang,
85: 2. dan hari yang dijanjikan,
85: 3. dan yang menyaksikan dan yang disaksikan.
85: 4. Binasa dan terlaknatlah orang-orang yang membuat parit,
85: 5. yang berapi (dinyalakan dengan) kayu bakar,
85: 6. ketika mereka duduk di sekitarnya,
85: 7. sedang mereka menyaksikan apa yang mereka perbuat terhadap orang-orang yang beriman.
85: 8. Dan mereka tidak menyiksa orang-orang mu’min itu melainkan karena orang-orang mu’min itu beriman kepada Allah Yang Maha Perkasa lagi Maha Terpuji,
85: 9. Yang mempunyai kerajaan langit dan bumi dan Allah Maha Menyaksikan segala sesuatu.
85: 10. Sesungguhnya orang-orang yang mendatangkan cobaan kepada orang-orang yang mu’min laki-laki dan perempuan kemudian mereka tidak bertobat, maka bagi mereka adzab Jahannam dan bagi mereka adzab (neraka) yang membakar.
85: 11. Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal-amal yang saleh bagi mereka surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai; itulah keberuntungan yang besar.
85: 12. Sesungguhnya adzab Tuhanmu benar-benar keras.
85: 13. Sesungguhnya Dia-lah Yang menciptakan (makhluk) dari permulaan dan menghidupkannya (kembali).
85: 14. Dia-lah Yang Maha Pengampun lagi Maha Pengasih,
85: 15. yang mempunyai ‘Arasy lagi Maha Mulia,
85: 16. Maha Kuasa berbuat apa yang dikehendaki-Nya.
85: 17. Sudahkah datang kepadamu berita kaum-kaum penentang,
85: 18. (yaitu kaum) Fir‘aun dan (kaum) Tsamūd?
85: 19. Sesungguhnya orang-orang kafir selalu mendustakan,
85: 20. padahal Allah mengepung mereka dari belakang mereka.
85: 21. Bahkan yang didustakan mereka itu ialah Al-Qur’an yang mulia,
85: 22. yang (tersimpan) dalam Lauḥ maḥfūzh.

CERITERA DAN PERISTIWA

Tuhan Allah memulai lagi suatu hal yang hendak dititahkannya dengan memakai sumpah. Allah bersumpah: “Demi langit yang mempunyai bintang-bintang.” (ayat 1). Artinya, perhatikanlah olehmu langit yang mempunyai bintang-bintang itu, alangkah besar, alangkah luas dan alangkah jauh, entah di mana batasnya. Di sana terdapat bintang-bintang berjuta-juta banyaknya. Di antara bintang-bintang yang banyak itu ada yang dianggap sebagai perhentian tempat singgah, atau manaazil. 12 bilangan bintang-bintang menurut letak bulan tiap-tiap tahun bergilir keadaannya. Itulah bintang-bintang yang bernama (1) Capriconus, (2) Aquarius, (3) Pisces, (4) Aries, (5) Taurus, (6) Gemini, (7) Cancer, (8) Leo, (9) Virgo, (10) Libra, (11) Scorpio, (12) Sagitarius. Dalam bahasa Arab ke 12 bintang tersebut disebut “Buruj” yang dapat juga diartikan sebagai puri atau benteng tertinggi, tempat persinggahan perjalanan bulan dalam giliran setahun.

Tuhan mengambil sumpah dengan keindahan dan kehebatan “organisasi” atau peraturan perjalanan makhluk di langit, yang dapat juga dinamai “Kerajaan langit”, agar kita meletakkan perhatian kepadanya.

“Demi hari yang telah dijanjikan.” (ayat 2). Sesudah Allah menyuruh kita memperhatikan langit dengan keadaannya yang terbuka, maka pada yang kedua Tuhan mengambil sumpah dengan hari yang telah dijanjikan, yaitu pada suatu masa semuanya itu akan berakhir; langit akan runtuh dan bumi akan tenggelam, dan gunung-gunung akan menjadi rata dan air laut akan melimpah dan meluap, menggelegak.

“Demi penyaksi, demi yang disaksikan.” (ayat 3). Berbagai-bagai pendapat ahli-ahli tafsir tentang syahid dan masyhud, tentang penyaksi dan yang disaksikan. Menurut suatu penafsiran yang dinukilkan oleh Imam Ahmad dari Abu Hurairah ialah bahwa hari yang dijanjikan (Al-Mau’ud) ialah hari kiamat. Syahid ialah hari Jum’at dan masyhud ialah hari wuquf di padang Arafah.

Menurut suatu tafsiran dari Ikrimah: “Syahid ialah Nabi Muhammad SAW dan masyhud ialah hari Jum’at.” Dan menurut satu tafsiran pula dari Ibnu Abbas: “Syahid itu ialah Allah sendiri dan masyhud ialah hari kiamat.” Ada pula: “Syahid itu ialah Insan, masyhud ialah haru Jum’at.”

Tetapi barangkali tidak pula ada salahnya kalau kita katakan bahwa “Syahid” itu ialah Insan dan yang masyhud itu ialah Allah “sebagai pencipta alam ini.” Sebab dari permulaan ayat Allah sudah mengambil sumpah dengan langit beserta bintang-bintang burujnya. Maka kita manusia penyelidik dan penilik kekayaan Allah pada alam ini. Dengan melihat kebesaran dan kekayaan Allah itu dapatlah kita percaya akan adanya Allah. Kita tidak akan dapat mengetahui betapa zat Allah. Kalau itu yang kita cari, kita akan celaka. Tetapi saksikanlah adanya Allah pada alam yang Dia ciptakan.

Sesudah mengemukakan sumpah tiga patah yang begitu hebat: sumpah kebesaran langit dengan bintang-bintang burujnya. Sumpah tentang hari yang dijanjikan, kemudian itu sumpah tentang penyaksi dengan yang disaksikan, barulah Tuhan masuk kepada apa yang dituju dengan persumpahan itu: “Binasalah orang-orang yang empunya lobang parit.” (ayat 4).

Binasalah, atau celakalah atau kena kutuk laknatlah orang-orang yang telah sengaja menggali lobang atau parit yang dalam, yang mereka pergunakan untuk membakar orang-orang yang berkeras mempertahankan imannya kepada Allah Yang Maha Esa: “Dari api yang bernyala-nyala.” (ayat 5).

Mereka gali lobang lalu mereka lemparkan orang-orang yang beriman kepada Allah ke dalam lobang itu, lalu mereka bakar, sehingga api bernyala. “Ketika mereka duduk didekatnya.” (ayat 6). Yaitu mereka menggali lobang buat membakar orang-orang yang beriman itu sambil membakar telah duduk di dekat lobang parit tersebut beramai-ramai, “Dan mereka, terhadap apa yang mereka perbuat atas orang-orang yang beriman itu, adalah menyaksikan.” (ayat 7).

Dengan urutan ayat ini dapatlah kita fahamkan bahwasanya pernah terjadi orang menggali lobang yang dalam untuk dilemparkan ke dalamnya orang-orang yang dipaksa meninggalkan keyakinan dan imannya kepada Allah Yang Maha Esa. Orang-orang yang beriman itu tidak mau berganjak dari pendiriannya, sehingga pihak yang berkuasa menggali lobang untuk memasukkan mereka ke dalam, dan setelah mereka berada di dalamnya dinyalakanlah api, dan orang-orang yang membakar itu duduk di keliling lobang itu menyaksikan orang-orang beriman itu jadi abu.

“Dan tidaklah mereka berlaku kejam kepada orang-orang itu, melainkan karena orang-orang itu percaya kepada Allah.” (pangkal ayat 8). Kesalahan orang-orang yang digalikan lobang lalu dibakar itu hanya itulah; mereka percaya kepada Allah, mereka tidak mau menukar kepercayaan itu dengan yang lain. Baik terhadap atas adanya Allah itu, ataupun terhadap perintah dan larangan Allah. Tidak ada perintah lain yang mereka junjung tinggi melainkan perintah Allah. Tidak ada peraturan manusia yang mereka hormati sama dengan penghormatan kepada peraturan Allah: “Yang Maha Gagah Perkasa, Yang Maha Terpuji.” (ujung ayat 8).

Ajaran Tauhid menyebabkan keyakinan kepada Allah itu tidak dapat berbelah bagi. Manusia beriman tidak akan tunduk kepada sesama manusia sama dengan ketundukan kepada Allah. Dengan keyakinan Tauhid manusia sampai kepada kesimpulan bahwa yang gagah perkasa itu hanya Allah; adapun manusia itu tidaklah gagah perkasa. Manusia tidak sanggup melawan penyakit, melawan tua dan melawan maut. Allah itu Maha Terpuji, karena hanya Dia sajalah yang sebenar berjasa atas alam ini dan tidak pernah bersalah. Mutlak Dia dalam kepujian-Nya.

“Yang bagi-Nya-lah kerajaan di semua langit dan bumi.” (pangkal ayat 9). Keyakinan Tauhid pun sampai kepada satu kesimpulan bahwa sesungguhnya kekuasaan yang Maha Tinggi, Maha Luas meliputi seluruh alam hanya kekuasaan Allah sahaja. Kekuasaan manusia tidak ada. Kalau ada sangatlah terbatas. Karena kekuasaan manusia yang terbatas itu hanya pinjaman sementara belaka dari Allah. Tidak ada satu kerajaan yang meliputi seluruh permukaan bumi ini, baik dahulu ataupun sekarang, ataupun kelak di kemudian hari. Seorang Kepala Negara dinaikkan dan kemudian diturunkan, atau seorang Raja naik tahta kemudian mangkat, lalu digantikan oleh puteranya, dan dia tidak dapat mencapai kekuasaan kalau tidak diakui oleh rakyatnya dan dibantu oleh para menterinya. Dan kekuasaan tersebut hanya sekeliling batas sepanjang negerinya dengan negeri tetangganya. Sedang kekuasaan Allah meliputi seluruh langit, meliputi semua langit yang disebutkan tujuh lapis itu dengan bintang-gemintangnya dan meliputi juga seluruh bumi sejak dari puncak gunung paling tinggi sampai ke dasar laut paling rendah. Oleh sebab itu maka orang-orang yang bertauhid tidaklah dapat ditundukkan oleh kekuasaan lain, kecuali oleh kekuasaan Allah itu. “Dan Allah, atas tiap-tiap sesuatu, adalah jadi penyaksi.” (ujung ayat 9).

Dia menyaksikan apa yang dibelakang kita dan apa yang berada di muka kita. Yang tersembunyi ataupun yang nyata. Dan tiadalah Allah itu pelupa. Segala sesuatu tiadalah yang lepas dari ingatan-Nya.

Berbagai penafsiran telah dinyatakan oleh ahlinya berkenaan dengan apa yang disebut “yang empunya lobang parit” itu, siapakah mereka itu? Menurut suatu tafsiran dari Saiyidina Ali bin Abu Thalib, yang empunya lobang parit ialah salah seorang daripada raja-raja Parsi di zaman purbakala, yang mendesak kepada ulama-ulama supaya menghalalkan orang mengawini mahramnya. Namun ulama-ulama itu tidak mau menghalalkan perkara yang haram itu. Sebab yang empunya peraturan demikian bukan mereka, melainkan Allah jua. Oleh karena ulama-ulama itu tidak mau berbuat demikian maka murkalah raja. Lalu baginda menitahkan orang menggali lobang dalam dan dinyalakan api padanya, lalu dilemparkanlah ulama-ulama itu ke dalam, satu demi satu. Maka habislah ulama-ulama yang mempertahankan kebenaran itu mati terbakar.

Menurut satu riwayat pula dari Sayidina Ali juga, di zaman purbakala pernah terjadi di Yaman peperangan di antara kaum yang beriman kepada Allah Yang Tunggal dengan golongan kaum yang mempersekutukan Allah (musyrikin). Oleh karena golongan beriman sedikit dan golongan musyrik banyak, kalahlah yang beriman. Lalu dengan kejamnya golongan musyrikin itu menangkapi, menawan dan menghukum ummat yang bertauhid itu; mereka gali lobang, mereka nyalakan api di dalamnya dan mereka lemparkan yang beriman itu satu demi satu ke dalamnya.

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *