“BUKTI YANG TERANG”
بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ
Dengan nama Allah, Yang Maha Pengasih, Lagi Maha Penyayang.
لَمْ يَكُنِ الَّذِيْنَ كَفَرُوْا مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ وَ الْمُشْرِكِيْنَ مُنفَكِّيْنَ حَتَّى تَأْتِيَهُمُ الْبَيِّنَةُ
Bila ada petunjuk historis mengenai berbagai peristiwa khusus dalam al-Qur’ān, kita selalu bisa menerimanya sebagai berlaku juga bagi kita di zaman modern ini. Di antara orang-orang yang menganggap dirinya sebagai ‘ahli kitab’, tapi mengingkari dan menutupi kebenaran, akan terus dalam kesangsian dan penyangkalan sampai bukti yang terang datang kepada mereka. Namun ketika bukti itu benar-benar datang pun, mereka akan tetap dalam pengingkarannya. Orang-orang yang ingin ingkar akan terus berbuat begitu, demikian juga mereka yang ingin menyangsikan.
رَسُوْلٌ مِّنَ اللهِ يَتْلُوْ صُحُفًا مُّطَهَّرَةً
Pengertiannya di sini adalah bahwa sebagian dari kitab-kitab tercatat yang telah diturunkan sebelum Nabi Muḥammad sudah tidak utuh lagi, sudah berubah atau, kalau tidak, bentuknya menjadi tidak lengkap lagi. Ini adalah salah satu dari makna muthahharah (suci). Nabi Muḥammad menegaskan semua nabi sebelum beliau; ia tidak membawa hal-hal baru selain syariat yang disempurnakan. Al-Qur’ān berulang kali menceritakan kejadian yang menimpa para nabi sebelumnya seperti Mūsā, ‘Īsā, dan lain-lainnya. Beberapa kejadian yang sama senantiasa terulang kembali, dengan beberapa perbedaan hanya pada lingkungan dan warna masyarakatnya. Pada pokoknya, sifat rendah dan tinggi manusia adalah sama sepanjang masa.
فِيْهَا كُتُبٌ قَيِّمَةٌ
وَ مَا تَفَرَّقَ الَّذِيْنَ أُوتُوا الْكِتَابَ إِلاَّ مِنْ بَعْدِ مَا جَاءَتْهُمُ الْبَيِّنَةُ
Al-bayyinah (dari bana, jelas, terang) adalah bukti dari Nabi yang terakhir, yakni kitabnya. Tafarraqa, dari faraqa, berarti ‘menjadi terpisah, terpencar-pencar, terbelah dan dibeda-bedakan’. Dalam hal ini berkenaan dengan kaum yang terpecah ketika menerima pesan Nabi Muḥammad. Ketika datang bukti kepada mereka, yang mempertegas apa yang ada di tangan mereka dan menyucikannya dari interpretasi yang salah, sebagian menerimanya dan sebagian menolaknya.
وَ مَا أُمِرُوْا إِلاَّ لِيَعْبُدُوا اللهَ مُخْلِصِيْنَ لَهُ الدِّيْنَ حُنَفَاءَ وَ يُقِيْمُوا الصَّلاةَ وَ يُؤْتُوا الزَّكَاةَ وَ ذلِكَ دِيْنُ الْقَيِّمَةِ
Perintah Allah, perintah Realitas, tak lain hanyalah ikhlas dalam menyembah Allah, Sang Pencipta. Ḥunafā’ adalah orang yang mendirikan salat secara lengkap, menegakkan dīn, dan melaksanakan penyucian serta bederma. Perintah sang Pencipta hanyalah menyembah dan beribadat kepada-Nya.
إِنَّ الَّذِيْنَ كَفَرُوْا مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ وَ الْمُشْرِكِيْنَ فِيْ نَارِ جَهَنَّمَ خَالِدِيْنَ فِيْهَا أُوْلئِكَ هُمْ شَرُّ الْبَرِيَّةِ
Jika kita mengingkari satu-satunya pesan yang berulangkali disampaikan yang memberitahu kita bagaimana agar selamat, bagaimana berperilaku dan bagaimana mencapai potensi kita yang paling maksimal dalam eksistensi ini melalui salat dan zakat (untuk membersihkan diri), maka kita akan mengalami kerugian dan melakukan perbuatan syirk (menyekutukan Allah). Orang-orang yang mengingkari pesan dan kemurnian turunnya, yang muncul dalam bentuk nyata, yakni kitab-kitab wahyu, maka mereka sudah berada dalam suasana neraka, dalam suasana jahanam yang bergolak. Ini adalah lubang tak berujung yang di dalamnya tidak ada stabilitas maupun kedamaian, tak ada kehidupan maupun kematian. Sebaliknya, yang ada adalah pergolakan dan kekacauan yang tiada henti. Manusia senantiasa mencari kestabilan, karena memang itulah sifatnya. Salat ritual harus dilaksanakan di atas dasar yang kokoh karena dalam salat-salat tersebut kita mencari pengetahuan tentang Allah, Yang Kekal dan Tak Berakhir, Yang tidak stabil bukanlah kebenaran, karena kebenaran hanya sekadar informasi.
إِنَّ الَّذِيْنَ آمَنُوْا وَ عَمِلُوا الصَّالِحَاتِ أُوْلئِكَ هُمْ خَيْرُ الْبَرِيَّةِ
جَزَاؤُهُمْ عِنْدَ رَبِّهِمْ جَنَّاتُ عَدْنٍ تَجْرِيْ مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِيْنَ فِيْهَا أَبَدًا رَّضِيَ اللهُ عَنْهُمْ وَ رَضُوْا عَنْهُ ذلِكَ لِمَنْ خَشِيَ رَبَّهُ
Di lain pihak, mereka yang percaya pada Realitas (āmanū, dari amana, mempercayai, menerima), yang ada kedamaian dan keamanan dalam dirinya, yang percaya bahwa mereka akan mengetahui, yang telah percaya bahwa yang terkandung dalam kitab-kitab wahyu adalah kebenaran mutlak yang memancar dari Wujud Mutlak, dan yang mewujudkan kepercayaan itu ke dalam berbagai perbuatan yang benar, mereka adalah sebaik-baiknya ciptaan. Keadaan batin yang percaya pada rahmat Allah yang meliputi segala hal harus diwujudkan ke dalam tindakan, kalau tidak maka akan tetap menjadi hal yang abstrak.
Jazā’uhum berarti ‘ganjaran mereka’, dan ganjaran dari sang Pemberi ini muncul dalam bentuk taman-taman yang diairi oleh mata air-mata air dan sungai-sungai yang airnya mengalir dari bawah. Ini menunjukkan bahwa mereka disuburkan oleh energi-energi yang tidak nampak. Sungai-sungai atau energi-energi ini berupa sifat manusia yang luhur, seperti suka memaafkan, dermawan dan bermartabat. Kaum beriman selamanya dalam keadaan itu, karena, begitu seseorang mengalami keadaan tersebut, atau sekalipun melihatnya sekilas saja, ia akan semakin membelok ke arah tersebut.
Al-Qur’an berulang kali mengingatkan kita bahwa dasar dari Jalan ini adalah kesabaran. Kesabaran adalah akal sekat. Ini adalah keadaan seseorang yang percaya bahwa akalnya akan lebih tajam. Ia akan sampai pada pengetahuan dengan cara yang akan membuat kehidupan, perilaku dan lingkungannya lebih baik. Ini adalah iman positif yang diwujudkan ke dalam tindakan. Orang-orang yang mencapai kepercayaan sempurna lalu mempraktekkannya di dunia ini dengan segala kendala dan batasannya, mereka dijanjikan taman-taman abadi. Mereka akan berada dalam keadaan yang menurut anggapan orang lain sudah memiliki unsur-unsur surga. Namun, mereka tidak akan dikucilkan dari yang lain, tidak juga pura-pura dilindungi. Tidak ada perlindungan dan juga pemisahan.
‘Allah ridha kepada mereka dan mereka ridha kepada-Nya‘. Mereka dalam keadaan ridha (puas), keadaan yang muncul dari pengetahuan dan bukan optimisme pura-pura atau sekadar berpikir positif. Kepuasan yang datang melalui pengetahuan merupakan aspek kesempurnaan. Apa pun yang terjadi selalu sempurna, dan jika kita tidak memberikan penilaian tentang berbagai peristiwa maka kita akan melihat kesempurnaan di dalamnya. Namun, jika kita sudah berprasangka terhadap suatu keadaan dan sudah sepenuhnya berseberangan, maka kita akan melihatnya hanya dari perspektif dangkal kita.
Umpamanya, ambil saja contoh komedi. Penonton menyaksikan apa yang terjadi pada si pelawak dan tertawa, tapi si pelawak tidak tahu bahwa ember yang ditelungkupkannya penuh dengan cat. Dari sudut pandang si pelawak ini adalah sebuah tragedi. Tapi jika kita mengambil sudut pandang syāhid (yang menyaksikan), maka kita akhirnya akan mencapai keadaan yang positif yakni rasa puas terhadap pengetahuan. Bila kita melihat sebuah gelas yang separuh kosong, tentu saja kita tidak memperhatikan separuh penuh dan berkata, ‘Bagus sekali! Separuhnya adalah penuh!’ Manusia sudah sifatnya tidak menyukai hal yang setengah-setengah; kita menginginkan semuanya penuh. Bagaimana pun, separuh gelas adalah kosong karena separuh isinya telah diminum. Oleh karena itu, kita harus menerima keadaan dalam kesempurnaannya. Bagaimana pun keadaan itu menampakkan diri pada kita, kita harus menerimanya dengan ilmu pengetahuan, dengan hati dan kepala. Bila penerimaan itu terjadi, ‘Allah puas pada mereka dan mereka puas pada-Nya.‘ Realitas puas pada kita, dan kita puas pada Realitas; dengan demikian, segala sesuatu dalam eksistensi akan puas pada kita karena kita benar-benar seirama.
‘Yakni bagi orang yang takut kepada Tuhannya‘; pintu menuju ridha, pintu menuju kepuasan adalah khasyyah, yang berarti ‘perasaan takut yang positif. Perasaan takut tersebut adalah rasa takut melanggar, takut mengemban tugas yang secara lahiriah kita tidak dapat melangkah dengan benar, apalagi secara batiniah, suatu tugas yang ketika mengembannya kita tidak mempunyai tujuan yang jelas. Sebelum kita melangkah lagi, hendaknya kita bertanya mengapa. Ketika kita mengatakan Bismillāh, maka kita melaksanakan perbuatan kita dengan Nama Allah, dan dengan cara demikian kita memohon rahmat-Nya. Mereka akan berhasil atau gagal dan apa pun hasilnya kita mengatakan, al-ḥamdu lillāh, ‘Puji bagi Allah’. Kita beramal karena Allah, dan jika kita tidak berhasil maka itu karena Allah tidak menghendakinya, meskipun kita sudah berusaha sebaik-baiknya.
Khasyyah adalah tahap pertama sebelum takwa. Orang yang memiliki rasa takut akan memperhitungkan akibat yang mungkin dari mengikuti jalan tertentu yang bersifat merusak dan karena itu ia tidak mau menempuhnya. Khasyyah berarti waspada jangan sampai melanggar, takut pelanggaran itu akan menimpa kita. Itulah sebabnya mengapa kita mengatakan astaghfirullāh, dan dengan ungkapan ini kita memohon ghufrān Allah, tidak hanya berarti ‘ampunan’. Tidak bisa begitu saja. Hanya ada satu Realitas tunggal, maka siapa dapat memaafkan siapa? Ghufrān berarti terlindung baik dari segala perbuatan yang diakibatkan oleh kita tanpa niat yang benar atau pengetahuan yang benar, dan dari apa yang pernah kita lakukan di waktu lampau yang tidak dilakukan atas nama Allah, yang efeknya akan kembali pada kita. Inilah pengampunan yang dimaksud itu. Pengampunan bukanlah dialog antara dua orang, karena hal itu adalah syirk, yakni dualitas. Yang kita kehendaki adalah realisasi penuh dari ketauhidan kita; kita menghendaki kemanunggalan, tanpa pemisahan.