Surah al-Bayyinah 98 ~ Tafsir Sayyid Quthb (2/2)

Dari Buku:
Tafsīr fi Zhilāl-il-Qur’ān
Oleh: Sayyid Quthb
 
Penerbit: Gema Insani

Rangkaian Pos: Surah al-Bayyinah 98 ~ Tafsir Sayyid Quthb

Pada waktu itu Heraklius, Kaisar Romawi, berkuasa di Konstatinopel. Ia dapat mengalahkan Persia dengan tipu-dayanya sehinggga penguasa Persia hengkang dari sana. Kemudian dari Konstantinopel, dia menuju Kerajaan Syām dan Mesir, dan merenovasi apa yang telah dirusak oleh bangsa Persia. Maka orang-orang Yahudi dari Tahiriah dan lain-lainnya datang kepadanya sambil membawa hadiah-hadiah yang berharga dan meminta perlindungan keamanan kepadanya serta berjanji untuk setia. Kaisar memberikan perlindungan dan menerima janji setia mereka.

Kemudian ia masuk ke al-Quds, dan kaum Nasrani menyambut mereka dengan membawa kitab-kitab Injil, salib, dupa, dan lilin yang menyala. Maka, didapatinya kota itu dan gereja-gerejanya telah hancur berantakan. Kaisar merasa sedih dan berduka atas keadaan itu. Kaum Nasrani memberitahukan kepadanya bahwa semua itu terjadi karena serangan kaum Yahudi bersama bangsa Persia, yang telah menyerang kaum Nasrani dan menghancurkan gereja-gereja mereka. Bahkan, kaum Yahudi lebih sadis dan lebih kejam tindakannya daripada bangsa Persia.

Kaum Nasrani bersikeras untuk membunuh kaum Yahudi itu hingga yang terakhir. Mereka meminta kepada Heraklius untuk memerangi kaum Yahudi dengan mengemukakan alasan-alasan yang bagus. Heraklius mengemukakan alasan kepada mereka bahwa ia telah memberikan jaminan keamanan dan menerima janji setia kaum Yahudi itu. Maka, para rahib, pemimpin gereja, dan para pendeta memberi petuah kepada Heraklius bahwa tidak mengapa baginya membunuh kaum Yahudi, karena mereka telah melakukan tipu-daya terhadapnya untuk mendapatkan jaminan keamanan tanpa diketahuinya apa yang sebenarnya telah mereka lalukan.

Untuk menebus pembatalan sumpahnya itu, mereka akan melaksanakan dan menyuruh orang-orang Nasrani melaksanakan puasa Jumat setiap tahun sepanjang masa. Maka Heraklius pun condong kepada perkataan mereka. Lalu, dihancurkan dan dibinasakan semua orang Yahudi di sana sehingga tidak ada lagi tersisa di Kerajaan Romawi, Mesir, dan Syām kecuali orang yang melarikan diri atau bersembunyi.

Dengan riwayat-riwayat ini, dapatlah diketahui sejauh mana kekerasan dan kekejaman kedua golongan ini, Yahudi dan Nasrani, dalam hal saling menumpahkan darah, saling menyiksa terhadap musuh, yang di luar batas perikemanusiaan.” (181).

Kemudian, terdapat perpecahan dan perselisihan di kalangan kaum Nasrani sendiri, padahal kitab dan nabi mereka satu. Mereka berpecah-belah dan berselisih pertama-tama di bidang ‘aqīdah. Kemudian mereka berpecah-belah dan berselisih menjadi beberapa golongan yang saling bermusuhan, saling menjauhi, dan saling memerangi. Banyak terjadi perselisihan seputar tabiat al-Masīḥ s.a., tentang ketuhanan dan kemanusiaannya, tentang ibunya, Maryam, dan tentang Trinitas yang salah satu oknumnya – menurut anggapan mereka – adalah Allah. Al-Qur’ān menceritakan perselisihan mereka dalam kedua atau ketiga hal itu di dalam firman Allah:

Sesungguhnya telah kafirlah orang-orang yang berkata: “Sesungguhnya Allah adalah al-Masīḥ putra Maryam…..” (al-Mā’idah: 72).

Sesungguhnya kafirlah orang-orang yang mengatakan: “Sesungguhnya Allah adalah salah satu dari yang tiga (ya‘ni tiga oknum tuhan)…..” (al-Mā’idah: 73).

Ingatlah ketika Allah berfirman: “Hai ‘Īsā putra Maryam, adakah kamu mengatakan kepada manusia: “Jadikanlah aku dan ibuku dua orang tuhan selain Allah?” (al-Mā’idah: 116).

Fenomena pertentangan agama ini tampak sangat jelas antara kaum Nasrani Syām dan Imperium Romawi dengan Nasrani Mesir, atau antara aliran “Mulkaniyyah” dan “Manufusiyyah” dengan pernyataan-pernyataannya yang terang-terangan. Golongan Mulkaniyyah mengatakan bahwa pada diri al-Masīḥ terdapat aknum campuran sebagai tuhan dan manusia. Sedangkan, golongan manufusiyyah berkeyakinan bahwa al-Masīḥ hanya memiliki satu tabiat yaitu tuhan. Padanya telah meresap tabiat kemanusiaan al-Masīḥ seperti setetes cuka yang jatuh ke samudera yang tak terhingga dalamnya.

Pertentangan ini demikian sengit pada abad keenam dan ketujuh sehingga masing-masing golongan seolah-olah sebagai pembela dua agama yang saling berebut, atau seperti pertentangan antara golongan Yahudi dan Nasrani. Masing-masing golongan berkata kepada golongan lain sebagai golongan yang tidak berpegang pada kebenaran sama sekali.

Kaisar Heraklius (610-641) sesudah mengalahkan bangsa Persia (tahun 638) berusaha mengumpulkan dan mempersatukan aliran-aliran yang saling bertentangan itu dan hendak mengompromikannya. Ditetapkanlah bentuk komprominya itu dengan dilarangnya manusia membicarakan tentang substansi al-Masīḥ, apakah ia memiliki satu sifat (sebagai tuhan saja) atau dua sifat (sebagai tuhan dan sekaligus sebagai manusia). Akan tetapi, mereka wajib bersaksi bahwa irādah (kehendak) Allah hanya satu dan keputusan-Nya juga hanya satu.

Pada awal tahun 631, usaha kompromi itu berhasil, dan madzhab Munautsili menjadi madzhab resmi negara, yang menghimpun berbagai pengikut gereja Masehi. Heraklius mengambil keputusan untuk mengunggulkan madzhab yang baru itu atas madzhab-madzhab lain yang bertentangan dengannya dengan menggunakan berbagai cara. Akan tetapi, bangsa Qibthi menolak keras. Mereka melepaskan diri dari bid‘ah dan penyimpangan ini. Mereka bersikukuh dan rela mati membela ‘aqīdah mereka terdahulu.

Maka, kaisar berusaha untuk mempersatukan kembali berbagai aliran atau madzhab tersebut dan mengakhiri perselisihan. Ia merasa puas bila manusia mengakui bahwa kehendaki Allah itu hanya satu. Adapun masalah lain, yaitu bagaimana pelaksanaan kehendak itu dalam perbuatan, maka ia menunda pembahasan tentang masalah itu dan masyarakat dilarang memperdebatkannya. Untuk itu, ia membuat surat resmi dan dikirimnya ke seluruh kawasan dunia timur. Akan tetapi, surat itu tidak dapat meredakan angin pertentang dari Mesir.

Akibatnya, sebagaimana tertulis dalam kitab Mā dzā Khasir-al-‘Ālamu bi-Inḥithāth-il-Muslimīn hlm. 3-5, terjadilah pemaksaan dan penekanan oleh kaisar kepada penduduk Mesir yang berlangsung selama sepuluh tahun. Di sela-sela waktu itu terjadilah peristiwa-peristiwa yang membuat bulu roma berdiri. Banyak orang yang disiksa, kemudian dibunuh, ditenggelamkan ke laut, dan dinyalakan perapian bagi orang-orang yang dianggap sial (menentang), dengan dituangi minyak hingga ke tanah. Orang-orang ditahan, kemudian dimasukkan ke dalam karung yang penuh dengan pasir, lalu dilemparkan ke laut. Juga lain-lain tindakan yang amat kejam dan bengis.

Semua pertentangan antar-Ahli Kitāb ini terjadi “setelah datang kepada mereka bukti yang nyata”…..Maka, pengetahuan dan keterangan itu tidak mengurangi perseteruan mereka karena memang mereka dikendalikan oleh hawa-nafsu dan penyelewengannya.

Kesatuan Agama dengan ‘Aqīdah yang Mudah.

Pada dasarnya agama itu begitu jelas dan ‘aqīdahnya begitu mudah:

وَ مَا أُمِرُوْا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللهَ مُخْلِصِيْنَ لَهُ الدِّيْنَ حُنَفَاءَ وَ يُقِيْمُوا الصَّلاَةَ وَ يُؤْتُوا الزَّكَاةَ وَ ذلِكَ دِيْنُ الْقَيِّمَةِ.

Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus” (al-Bayyinah: 5).

Ini adalah kaidah bagi agama Allah secara mutlak, yaitu ber‘ibādah kepada Allah saja, ikhlas beragama karena Dia, menjauhi kemusyrikan dan orang musyrik, mengegakkan shalat, dan mengeluarkan zakat: “Dan yang demikian itulah agama yang lurus.” ‘Aqidah yang murni di dalam hati, ber‘ibadah hanya kepada Ilahi, dan menerjemahkan ‘aqīdah ini dengan melakukan shalat dan membelanjakan harta di jalan Allah yang disebut zakat.

Barang siapa yang merealisasikan kaidah-kaidah ini berarti ia telah merealisasikan iman sebagaimana yang diperintahkan kepada Ahli Kitāb. Juga sebagaimana yang diajarkan di dalam agama Allah secara mutlak, agama yang satu, ‘aqīdah yang satu, yang dibawa secara estafet lewat risālah-risālah dan dipenuhi oleh para rasūl. Agama yang tidak mengandung kesamaran dan keruwetan. ‘Aqīdah yang tidak menyeru kepada perpecahan dan pertentangan. Namun, ‘aqīdah yang menyeru dengan keindahan, kesederhanaan, dan kemudahannya. Maka, di manakah letak kesamaannya dengan pandangan-pandangan yang ruwet dari banyak pertentangan itu?

Jalan Bersimpang dan Tujuan yang Berbeda.

Sebelumnya telah datang kepada mereka bukti-bukti nyata yang dibawa oleh rasūl-rasūl mereka. Kemudian didatangkan kembali bukti-bukti itu dengan sosok yang hidup dalam bentuk seorang rasūl dari Allah yang membacakan kitab yang disucikan (dari segala kebāthilan dan campur tangan manusia). Kitab yang menghidangkan kepada mereka ‘aqīdah yang jelas, sederhana, dan mudah. Sehingga, teranglah jalan kehidupan bagi mereka, dan jelas pula tempat kembali yang akan diperoleh orang-orang yang kafir dan orang-orang yang beriman:

إِنَّ الَّذِيْنَ كَفَرُوْا مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ وَ الْمُشْرِكِيْنَ فِيْ نَارِ جَهَنَّمَ خَالِدِيْنَ فِيْهَا أُوْلئِكَ هُمْ شَرُّ الْبَرِيَّةِ. إِنَّ الَّذِيْنَ آمَنُوْا وَ عَمِلُوا الصَّالِحَاتِ أُوْلئِكَ هُمْ خَيْرُ الْبَرِيَّةِ. جَزَاؤُهُمْ عِنْدَ رَبِّهِمْ جَنَّاتُ عَدْنٍ تَجْرِيْ مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِيْنَ فِيْهَا أَبَدًا رَّضِيَ اللهُ عَنْهُمْ وَ رَضُوْا عَنْهُ ذلِكَ لِمَنْ خَشِيَ رَبَّهُ.

Sesungguhnya orang-orang kafir ya‘ni Ahli Kitāb dan orang-orang musyrik (akan masuk) ke neraka Jahannam; mereka kekal di dalamnya. Mereka itu adalah seburuk-buruk makhlūq. Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shāliḥ mereka itu adalah sebaik-baik makhlūq. Balasan mereka di sisi Tuhan mereka ialah surga ‘Adn yang mengalir di bawahnya sungai-sungai. Mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Allah ridhā terhadap mereka dan mereka pun ridhā kepada-Nya. Yang demikian itu adalah (balasan) bagi orang yang takut kepada Tuhannya.” (al-Bayyinah: 6-8).

Nabi Muḥammad s.a.w. adalah rasūl terakhir, dan Islam yang dibawanya adalah risālah terakhir. Sebelumnya, telah datang para rasūl secara beruntun setiap kali terjadi kerusakan di bumi untuk mengembalikan manusia kepada kebaikan. Di sana masih ada kesempatan-kesempatan bagi orang-orang yang ingin menyimpang dari jalan yang benar.

Namun, setelah Allah berkehendak untuk mengakhiri risālah-risālah ke bumi dengan risālah terakhir yang lengkap dan sempurna, maka sudah terbataslah kesempatan terakhir ini. Barang siapa yang beriman akan selamat, dan barang siapa yang kufur akan binasa. Karena kekufuran pada waktu itu sudah menunjukkan indikasi keburukan yang tak terbatas. Sedangkan, keimanan sebagai indikasi yang menunjukkan kebaikan yang amat luas jangkauannya.

Sesungguhnya orang-orang kafir ya‘ni Ahli Kitāb dan orang-orang musyrik (akan masuk) ke neraka Jahannam; mereka kekal di dalamnya. Mereka itu adalah seburuk-buruk makhlūq” (al-Bayyinah: 6).

Ini adalah hukum pasti yang tidak dapat dibantah lagi, meskipun ada sebagian perbuatan, kesopanan, dan tata aturannya yang baik. Pasalnya, semua itu tidak didasarkan pada keimanan kepada risālah dan rasul terakhir ini. Tidak dapat diragukan lagi keputusan ini bagi setiap bentuk kebaikan yang terputus hubungannya dari manhaj Allah yang lurus.

Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shāliḥ mereka itu adalah sebaik-baik makhlūq.” (al-Bayyinah: 7).

Hukum ini pun adalah keputusan pasti yang tak terbantahkan lagi. Akan tetapi, syaratnya juga jelas, tidak samar, dan tidak kabur, yaitu iman. Bukan hanya dilahirkan di negeri yang disebut Islam atau dari keluarga yang mengatakan dirinya keluarga Muslim. Juga bukan semata-mata dengan perkataan yang diucapkan dengan muluk-muluk. Tetapi, ia adalah iman yang menimbulkan bekas di dalam realitas kehidupan.

“Mengerjakan ‘amal shāliḥ.” Namun, bukan perkataan yang hanya sebagai hiasan bibir. Karena ‘amal shāliḥ ialah semua yang diperintahkan Allah baik berupa ‘ibādah ritual, akhlāq, tindakan, maupun pergaulan. Dan yang pertama kali sudah tentu menegakkan syarī‘at Allah di muka bumi dan memutuskan perkara di antara manusia dengan apa yang disyarī‘atkan-Nya. Barang siapa yang demikian keadaannya maka dialah sebaik-baik makhlūq.

Balasan mereka di sisi Tuhan mereka ialah surga ‘Adn yang mengalir di bawahnya sungai-sungai. Mereka kekal di dalamnya selama-lamanya….” (al-Bayyinah: 8).

Surga untuk tempat kediaman yang abadi, dalam keni‘matan yang dilukiskan dengan aman dari kelenyapan dan kesirnaan. Juga tenang dari goncangan yang mengeruhkan dan mengotori segala yang baik di bumi. Hal ini sebagaimana digambarkan dengan aliran sungai di bawahnya, yang memberikan bayang-bayang keteduhan, kehidupan, dan keindahan.

Setelah itu, kalimat berikutnya meningkat ke tingkatan yang lebih tinggi lagi di dalam melukiskan keni‘matan yang abadi ini:

Allah ridhā terhadap mereka dan mereka pun ridhā kepada-Nya” (al-Bayyinah: 8).

Keridhāan dari hal itu merupakan keni‘matan yang paling tinggi dan paling teduh. Keridhāan jiwa mereka kepadaTuhan mereka, ridhā kepada qadar-Nya terhadap mereka, ridhā terhadap ni‘mat yang diberikan-Nya kepada mereka, dan ridhā terhadap hubungan antara Dia dan mereka. Keridhāan yang memenuhi hati dengan ketenangan, ketenteraman, dan kegembiraan yang tulus dan dalam.

Ungkapan ini memberikan bayang-bayang tersendiri: “Allah ridhā terhadap mereka dan mereka pun ridhā kepada-Nya”, yang sangat sulit bagi manusia untuk membuat ungkapan lain dengan bayang-bayang yang seperti ini.

Yang demikian itu adalah (balasan) bagi orang yang takut kepada Tuhannya” (al-Bayyinah: 8).

Ini adalah penegasan terakhir. Penegasan bahwa semua ini bergantung pada hubungan hati dengan Allah, jenis hubungan, dan perasaan takut yang mendorongnya melakukan semua bentuk kebaikan dan mencegahnya dari semua penyimpangan. Perasaan yang menghilangkan sekat-sekat, mengangkat tabir-tabir penghalang, dan menjadikan hati langsung menghadap kepada Tuhan Yang Maha Esa lagi Maha Perkasa. Perasaan yang membersihkan ‘ibadah dan ‘amalan dari noda-noda riyā’ dan syirik dalam semua bentuknya.

Karena itu, orang yang benar-benar takut kepada Tuhannya tidak akan ada bayang-bayang makhlūq lagi di dalam hatinya. Ia mengerti bahwa Allah pasti akan menolak setiap ‘amalan yang di dalam pelaksanaannya si pelaku masih mencari perhatian selain-Nya. Karena, Dia sama sekali tidak membutuhkan sekutu. Maka kemungkinan ‘amal itu ialah tulus karena Dia, atau tidak ikhlas yang demikian akan ditolak-Nya.

 

Demikianlah empat macam hakikat besar yang ditetapkan dalam surah yang pendek ini. Hakikat yang dipaparkan oleh al-Qur’ān dengan uslubnya yang khas, yang tampak jelas dengan sifat kekhasannya di dalam surah yang pendek ini.

Catatan:

  1. 18). Dari kitab Mā dzā Khasir-al-‘Ālamu bi-Inḥithāth-il-Muslimīn, hal. 9-11, cetakan pertama.