Diturunkan di Makkah
Jumlah Ayat: 8.
بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ
“Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang”
لَمْ يَكُنِ الَّذِيْنَ كَفَرُوْا مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ وَ الْمُشْرِكِيْنَ مُنفَكِّيْنَ حَتَّى تَأْتِيَهُمُ الْبَيِّنَةُ. رَسُوْلٌ مِّنَ اللهِ يَتْلُوْ صُحُفًا مُّطَهَّرَةً. فِيْهَا كُتُبٌ قَيِّمَةٌ. وَ مَا تَفَرَّقَ الَّذِيْنَ أُوتُوا الْكِتَابَ إِلَّا مِنْ بَعْدِ مَا جَاءَتْهُمُ الْبَيِّنَةُ. وَ مَا أُمِرُوْا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللهَ مُخْلِصِيْنَ لَهُ الدِّيْنَ حُنَفَاءَ وَ يُقِيْمُوا الصَّلاَةَ وَ يُؤْتُوا الزَّكَاةَ وَ ذلِكَ دِيْنُ الْقَيِّمَةِ. إِنَّ الَّذِيْنَ كَفَرُوْا مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ وَ الْمُشْرِكِيْنَ فِيْ نَارِ جَهَنَّمَ خَالِدِيْنَ فِيْهَا أُوْلئِكَ هُمْ شَرُّ الْبَرِيَّةِ. إِنَّ الَّذِيْنَ آمَنُوْا وَ عَمِلُوا الصَّالِحَاتِ أُوْلئِكَ هُمْ خَيْرُ الْبَرِيَّةِ. جَزَاؤُهُمْ عِنْدَ رَبِّهِمْ جَنَّاتُ عَدْنٍ تَجْرِيْ مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِيْنَ فِيْهَا أَبَدًا رَّضِيَ اللهُ عَنْهُمْ وَ رَضُوْا عَنْهُ ذلِكَ لِمَنْ خَشِيَ رَبَّهُ.
098:1. Orang-orang kafir ya‘ni Ahli Kitab dan orang-orang musyrik (mengatakan bahwa mereka) tidak akan meninggalkan (agamanya) sebelum datang kepada mereka bukti yang nyata,
098:2. (yaitu) seorang Rasūl dari Allah (Muḥammad) yang membacakan lembaran-lembaran yang disucikan (al-Qur’ān),
098:3. di dalamnya terdapat (isi) kitab-kitab yang lurus.
098:4. Tidaklah berpecah-belah orang-orang yang didatangkan al-Kitāb (kepada mereka) melainkan sesudah datang kepada mereka bukti yang nyata.
098:5. Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus.
098:6. Sesungguhnya orang-orang kafir ya‘ni Ahli Kitāb dan orang-orang musyrik (akan masuk) ke neraka Jahannam; mereka kekal di dalamnya. Mereka itu adalah seburuk-buruk makhlūq.
098:7. Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shāliḥ mereka itu adalah sebaik-baik makhlūq.
098:8. Balasan mereka di sisi Tuhan mereka ialah surga ‘Adn yang mengalir di bawahnya sungai-sungai. Mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Allah ridhā terhadap mereka dan mereka pun ridhā kepada-Nya. Yang demikian itu adalah (balasan) bagi orang yang takut kepada Tuhannya.
Surah ini tertulis dalam mushhaf dan dalam kebanyakan riwayat sebagai surah Madaniyyah (diturunkan di Madīnah). Terdapat beberapa riwayat yang mengatakannya sebagai surah Makkiyyah (diturunkan di Makkah). Dari segi riwayat, sangat kuat indikasi sebagai surah Madaniyyah. Tetapi, ditinjau dari segi metode pengungkapan, kalimatnya tidaklah jauh kemungkinannya sebagai surah Makkiyyah.
Disebutkannya zakat dan Ahli Kitāb dalam surah ini tidak dapat dianggap sebagai indikasi yang menutup kemungkinan surah ini sebagai surah Makkiyyah. Karena, penyebutan Ahli Kitāb juga terdapat dalam beberapa surah Makkiyyah yang pendek. Selain itu, di Makkah sendiri memang ada sebagian orang Ahli Kitāb yang beriman dan ada pula sebagian Ahli Kitāb yang tidak beriman. Sebagaimana halnya kaum Nasrani Najrān datang kepada Rasūlullāh s.a.w. di Makkah, lalu mereka beriman. Penyebutan zakat juga terdapat dalam surah-surah Makkiyyah.
Surah ini memaparkan beberapa hakikat sejarah dan keimanan dengan menggunakan metode penetapan yang memperkuat surah ini sebagai surah Madaniyyah, di samping adanya beberapa riwayat yang mengatakan begitu.
Hakikat pertama, pengtusan Rasūlullāh s.a.w. merupakan kebutuhan mendesak untuk mengubah persepsi sesat dan perselisihan orang-orang kafir dan orang-orang musyrik dari kalangan Ahli Kitāb. Mereka tidak akan dapat beralih dari hal ini tanpa diutusnya Rasūl (al-Bayyinah: 1-3).
Hakikat kedua, kaum Ahli Kitāb tidak berselisih dalam persoalan agama mereka bukan karena tidak mengerti dan tidak jelas, tetapi mereka berselisih setelah datangnya pengetahuan dan keterangan kepada mereka (al-Bayyinah: 4).
Hakikat ketiga, agama itu pada asalnya satu, dan kaidah-kaidahnya sederhana (mudah) dan jelas. Kaidah-kaidahnya tidak menyeru kepada perpecahan dan perselisihan mengenai ‘aqīdah dan tabiatnya yang lapang dan mudah itu (al-Bayyinah: 5).
Hakikat keempat, orang-orang kafir setelah datang keterangan kepada mereka, maka mereka menjadi makhlūq yang seburuk-buruknya. Sedang, orang-orang yang beriman datang keterangan kepada mereka, maka mereka menjadi makhlūq yang sebaik-baiknya. Karena itu, balasan yang akan mereka terima sudah tentu berbeda pula (al-Bayyinah: 6-8).
Keempat hakikat itu memiliki nilai yang penting di dalam memahami peranan ‘aqīdah islāmiyyah dan peranan risālah terakhir ini, demikian pula dalam tashawwur imānī. Untuk lebih jelasnya, marilah kita ikuti uraian berikut ini.
لَمْ يَكُنِ الَّذِيْنَ كَفَرُوْا مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ وَ الْمُشْرِكِيْنَ مُنفَكِّيْنَ حَتَّى تَأْتِيَهُمُ الْبَيِّنَةُ. رَسُوْلٌ مِّنَ اللهِ يَتْلُوْ صُحُفًا مُّطَهَّرَةً. فِيْهَا كُتُبٌ قَيِّمَةٌ.
“Orang-orang kafir ya‘ni Ahli Kitāb dan orang-orang musyrik (mengatakan bahwa mereka) tidak akan meninggalkan (agamanya) sebelum datang kepada mereka bukti yang nyata, (yaitu) seorang Rasūl dari Allah (Muḥammad) yang membacakan lembaran-lembaran yang disucikan (al-Qur’ān), di dalamnya terdapat (isi) kitab-kitab yang lurus” (al-Bayyinah: 1-3).
Sungguh dunia pada waktu itu sangat memerlukan risalah yang baru. Kerusakan telah merata ke semua penjurunya, yang tidak ada harapan untuk dapat diperbaiki kecuali dengan risālah, manhaj “sistem, aturan”, dan gerakan yang baru. Kekafiran waktu itu telah menembus ‘aqīdah seluruh pemeluknya, baik kalangan Ahli Kitāb yang mengaku telah memeluk agama samawi sebelumnya kemudian menyelewengkannya, maupun kaum musyirikīn yang ada di jazīrah ‘Arabiah atau di luarnya.
Mereka tidak akan meninggalkan dan berpindah dari kekafiran yang mereka peluk ini kecuali dengan adanya risālah yang baru, kecuali dengan adanya Rasūl yang baru, kecuali dengan adanya Rasūl yang dia sendiri adalah sebagai bukti yang nyata, jelas, dan membedakan antara yang hak dan yang batil.
“(yaitu) seorang Rasūl dari Allah (Muḥammad) yang membacakan lembaran-lembaran yang disucikan …..”
Disucikan dari kemusyrikīn dan kekufuran.
“…..di dalamnya terdapat (isi) kitab-kitab yang lurus…..”
Perkataan “kitāb” itu juga bisa dimaksudkan untuk tema, sebagaimana dikatakan Kitāb-uth-Thahārah “Kitab tentang bersuci”, Kitāb-ush-Shalāt “Kitab tentang shalat”, Kitāb-ul-Qadar “Kitab atau pembahasan tentang taqdir, dan Kitāb-ul-Qiyāmah “Kitab dan pembahasan tentang hari kiamat”. Lembaran-lembaran yang disucikan ini, ya‘ni al-Qur’ān, di dalamnya terkandung isi kitab-kitab yang lurus, ya‘ni tema-tema dan hakikat-hakikat yang lurus dan berharga.
Karena itu, kedatangan risālah ini tepat pada saatnya dan kedatangan Rasūl tepat pada waktunya. Datanglah kitab al-Qur’ān dengan hakikat-hakikat dan tema-tema yang dikandungnya untuk melakukan pembaharuan di seluruh penjuru bumi yang tidak mungkin dapat diperbaiki kecuali dengannya.
Adapun bagaimana keadaan dunia waktu itu yang sangat membutuhkan risālah dan Rasūl ini, maka untuk menjelaskannya cukuplah kita kutip beberapa paragraf buku yang ditulis oleh seorang ‘ulamā’ Islam bernama Sayyid Abū-l-Ḥasan ‘Alī al-Ḥasanī an-Nadawī dalam buku beliau yang berjudul: Mā dzā Khasir-al-‘Ālamu bi-Inḥithāth-il-Muslimīn “Apakah Kerugian Dunia dengan Kemunduran Kaum Muslimīn?” yang sangat jelas dan dapat sepanjang yang sudah kami baca. Pada pasal pertama dari bab pertama, disebutkan sebagai berikut: “Abad keenam dan ketujuh Masehi merupakan saat perputaran sejarah yang paling suram tanpa dapat diperdebatkan lagi. Nilai kemanusiaan sudah merosot sejak beberapa generasi. Tidak ada satu pun kekuatan di muka bumi yang dapat menahan dan mencegahnya dari kejatuhan yang mengerikan, bahkan kejatuhan itu semakin cepat dan memberat. Manusia pada masa itu sudah lupa kepada Penciptanya, lalu lupa kepada dirinya sendiri dan tempat kembalinya. Mereka telah kehilangan kontrol dan daya pembeda antara yang baik dan yang jahat, yang bagus dan yang buruk.
Dakwah para nabi telah hilang suaranya ditelan zaman. Lampu-lampu yang mereka nyalakan telah padam diembus badai. Atau, tinggal wujud lampu dengan cahaya yang amat lemah dan kecil yang tidak dapat menerangi kecuali beberapa hati saja dan tidak mampu menerangi keluarga, apalagi negara dan bangsa. Tokoh-tokoh agama sudah mengundurkan diri dari percaturan kehidupan dan berlindung di biara-biara, gereja-gereja, dan tempat-tempat pertapaan untuk menyelamatkan agamanya dari fitnah dan mengkhususkannya untuk dirinya sendiri. Atau, karena ingin bersantai-santai dan lepas dari beban-beban kehidupan yang dihadapi. Atau, karena sudah lelah menghadapi perseteruan antara agama dan politik, urusan ruhani dan materi. Dan yang masih tinggal dalam percaturan kehidupan justru berbaik-baikan dengan pihak penguasa dan konglomerat. Kemudian membantu mereka melakukan dosa dan permusuhan, serta memakan harta orang lain dengan cara yang bāthil.
Agama-agama besar menjadi sasaran terkaman orang-orang yang suka berbuat sia-sia dan bermain-main, dan menjadi permainan kaum pendosa dan munāfiq. Sehingga, kehilangan ruh dan bentuknya. Kalau pemeluk-pemeluknya terdahulu dibangkitkan, sudah tentu mereka tidak akan mengenalnya lagi. Peradaban, kebudayaan, hukum, dan politik menjadi seperti sandiwara, rusak, hancur, dan amburadul. Undang-undang sudah tidak karuan, dan penguasa-penguasa sangat kejam. Mereka sibuk mengurusi kepentingan dirinya sendiri. Dunia sudah lepas dari risalah. Umat tidak lagi mengenal dakwah. Tata nilai sudah hampa, dan sumber kehidupan sudah kering. Mereka tidak memiliki aturan yang jernih dari agama samawi, dan tidak memiliki undang-undang yang memadai dari buatan manusia.”
Keterangan singkat ini menggambarkan secara global keadaan manusia dan agama sebelum diutusnya Nabi Muḥammad s.a.w. Al-Qur’ān telah menunjukkan simbol-simbol kekafiran yang meliputi Ahli Kitab dan kaum musyrikin dalam beberapa tempat.
Di antaranya ialah firman Allah tentang kaum Yahudi dan Nasrani:
وَ قَالَ الْيَهُوْدُ عُزَيْرُ ابْنُ اللهِ وَ قَالَتِ النَّصَارَى الْمَسِيْحُ ابْنُ اللهِ….
“Orang-orang Yahudi berkata: “‘Uzair itu putra Allah”, dan orang Nasrani berkata: “al-Masīḥ itu putra Allah.” (at-Taubah: 30).
وَ قَالَتِ الْيَهُوْدُ لَيْسَتِ النَّصَارَى عَلَى شَيْءٍ وَ قَالَتِ النَّصَارَى لَيْسَتِ الْيَهُوْدُ عَلَى شَيْءٍ…..
“Dan orang-orang Yahudi berkata: “Orang-orang Nasrani itu tiak mempunya suatu pegangan,” dan orang-orang Nasrani berkata: “Orang-orang Yahudi tidak mempunyai sesuatu pegangan.” (al-Baqarah: 113).
Firman-Nya tentang Kaum Yahudi:
“Orang-orang Yahudi berakta: “Tangan Allah terbelenggu.” Sebenarnya tangan merekalah yang dibelenggu dan merekalah yang dilaknat disebabkan apa yang telah mereka lakukan itu. (Tidak demikian), tetapi kedua-dua tangan Allah terbuka. Dia menafkahkan sebagaimana Dia kehendaki.” (al-Mā’idah: 64).
“Sungguh-sungguh kafir orang-orang yang mengatakan: “Sesungguhnya Allah adalah yang ketiga (salah satu) dari tiga (oknum tuhan).” (al-Mā’idah: 73).
Dan, firman-Nya tentang kaum musyrikīn:
“Katakanlah: “Hai orang-orang yang kafir, aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah Dan kamu bukan penyembah Tuhan yang aku sembah. Dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah. Untukmulah agamamu dan untukkulah agamaku” (al-Kāfirūn: 1-6).
Di balik kekufuran ini terdapat kejahatan, kejatuhan, perpecahan, dan kehancuran yang melanda seluruh penjuru dunia. “Ringkasnya, di muka bumi pada waktu itu tidak ada umat yang baik pergaulannya. Tidak ada masyarakat yang berdiri di atas landasan akhlāq yang utama, tidak ada pemerintahan yang berdasarkan keadilan dan kasih-sayang, tidak ada kepemimpinan yang dibangun atas dasar ‘ilmu dan pengetahuan, dan tidak ada agama yang ditransfer dari para nabi.” (171).
Oleh karena itu, rahmat Allah kepada manusia menghendaki diutusnya Rasūl dari sisi-Nya yang akan membacakan lembaran-lembaran yang di dalamnya terkandung isi kitab-kitab yang lurus. Orang-orang kafir dari kalangan Ahli Kitāb dan kaum musyrikin tidak akan meminggalkan keburukan dan kerusakan itu kecuali dengan diutusnya Rasūl penyelamat dan pembawa petunjuk yang terang ini.
Setelah ditetapkannya hakikat ini pada permulaan surah, ditegaskan kembali bahwa golongan Ahli Kitāb secara khusus tidak berpecah-belah dan tidak bersilang sengketa tentang agama mereka karena tidak tahu atau karena samar dan ruwetnya agama itu. Akan tetapi, mereka berpecah-belah dan berselisih justru setelah datangnya ‘ilmu pengetahuan dan bukti nyata kepada mereka tentang agama mereka di tangan para rasūl.
وَ مَا تَفَرَّقَ الَّذِيْنَ أُوتُوا الْكِتَابَ إِلَّا مِنْ بَعْدِ مَا جَاءَتْهُمُ الْبَيِّنَةُ.
“Tidaklah berpecah-belah orang-orang yang didatangkan al-Kitāb (kepada mereka) melainkan sesudah datang kepada mereka bukti yang nyata” (al-Bayyinah: 4).
Perpecahan dan perselisihan itu mulai terjadi di antara kelompok-kelompok Yahudi sebelum diutusnya Nabi ‘Īsā a.s. Mereka terbagi-bagi menjadi beberapa kelompok dan golongan, padahal rasūl mereka sama yaitu Nabi Mūsā a.s. dan kitab mereka sama yaitu Taurat. Mereka terpecah menjadi lima golongan besar, yaitu golongan Shaduqi, golongan Farisi, golongan Asiyun, golongan Ghulat, dan golongan Samiriyyun. Masing-masing golongan memiliki ciri dan arah tersendiri.
Setelah itu, terjadi perpecahan antara Kaum Yahudi dan Kaum Nasrani, padahal Nabi ‘Īsā a.s. adalah seorang nabi Bani Israel dan merupakan nabi mereka yang terakhir, untuk membenarkan kitab Taurāt yang ada di depannya. Namun demikian, perselisihan dan perpecahan antara kaum Yahudi dan Nasrani sampai pada batas permusuhan yang sengit dan kebencian yang tercela. Sejarah mencatat pertumpahan darah antara kedua golongan ini yang menegakkan bulu roma.
Dalam kitab Mā dzā Khasir-al-‘Ālamu bi-Inḥithāth-il-Muslimīn disebutkan bahwa pada permulaan abad ketujuh, silih berganti peristiwa-peristiwa saling merendahkan martabat antara Kaum Yahudi dan Kaum Masehi, dan menghancurkan nama baik mereka. Pada tahun terakhir pemerintahan Vocas (610 M), kaum Yahudi menyerang kaum Masehi di Antakia. Kemudian kaisar mengutus panglima perangnya “Inosus” untuk memadamkan pemberontakan itu. Maka, dia laksanakan tugas itu dengan sangat kejam, dibunuhnya semua orang (pihak lawan) dengan pedang, dibelah-belah tubuhnya, ditenggelamkan, dibakar, ada yang disiksa dengan sadis, dan ada yang dilemparkan kepada binatang-binatang buas.
Hal itu silih berganti antara Kaum Yahudi dan Kaum Nasrani. Al-Maqrizī berkata dalam kitab al-Khuthāth: “Pada masa-masa kejayaan kerajaan Romawi, Kisra, Raja Persia mengirimkan tentaranya ke negeri Syām dan Mesir, lalu menghancurkan gereja-gereja al-Quds di Palestina dan seluruh negeri Syām. Mereka membunuh semua kaum Nasrani. Kemudian mereka datang ke Mesir dan membunuh sebagian besar bangsa Mesir, melawan mereka dalam jumlah tak terbatas. Mereka dibantu oleh Kaum Yahudi di dalam memerangi kaum Nasrani dan menghancurkan gereja-gereja mereka. Mereka menuju Iran dengan melewati Thairiah, Jabal-ul-Jalīl, desa Nashirah, kota Shur, dan kota al-Quds, lalu mereka lakukan tindakan yang sadis terhadap kaum Nasrani. Mereka merobohkan dua gereja di al-Quds. Mereka bakar rumah-rumah penduduk. Mereka ambil palang-palang salib, dan mereka tawan Wali Kota al-Quds dan kawan-kawannya.”
Hingga dikatakan, setelah penaklukan al-Quds ini: “Di tengah-tengah peristiwa itu, kaum Yahudi menyebar ke kota Shur. Kemudian mengirim utusan-utusan ke berbagai pelosok negeri dan menghasut penduduknya untuk memerangi dan membunu orang-orang Nasrani. Maka, berkecamuklah peperangan di antara mereka. Di san telah berkumpul orang Yahudi sebanyak 20.000 orang dan mereka menghancurkan gereja-gereja Nasrani yang ada di luar Shur. Tetapi, kaum Nasrani segera menghimpun kekuatan yang banyak dan mendahului menyerang mereka sehingga kaum Yahudi kalah telak dan banyak yang terbunuh.