Surah al-Bayyinah 98 ~ Tafsir al-Azhar (1/2)

Dari Buku:
Tafsir al-Azhar
Oleh: Prof. Dr. HAMKA

Penerbit: PT. Pustaka Islam Surabaya

Rangkaian Pos: Surah al-Bayyinah 98 ~ Tafsir al-Azhar

Sūrat-ul-Bayyinah
(Bukti)

Surat ke-98, 8 Ayat
Diturunkan di Madinah

 

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ

Dengan Nama Allah, Maha Pengasih, Maha Penyayang

 

لَمْ يَكُنِ الَّذِيْنَ كَفَرُوْا مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ وَ الْمُشْرِكِيْنَ مُنفَكِّيْنَ حَتَّى تَأْتِيَهُمُ الْبَيِّنَةُ. رَسُوْلٌ مِّنَ اللهِ يَتْلُوْ صُحُفًا مُّطَهَّرَةً. فِيْهَا كُتُبٌ قَيِّمَةٌ.

098:1. Orang-orang kafir yakni ahli kitab dan orang-orang musyrik (mengatakan bahwa mereka) tidak akan meninggalkan (agamanya) sebelum datang kepada mereka bukti yang nyata,
098:2. (yaitu) seorang Rasul dari Allah (Muḥammad) yang membacakan lembaran-lembaran yang disucikan (al-Qur’ān),
098:3. di dalamnya terdapat (isi) kitab-kitab yang lurus.

 

Tidaklah orang-orang yang kafir dari ahli-kitab dan musyrikin itu.” (pangkal ayat 1).

Kāfir di sini ialah orang-orang yang menolak, yang tidak mau percaya, tidak mau menerima kebenaran yang dibawa Rasūl s.a.w.. Mereka itu sendiri daripada ahlul-kitab, yaitu Yahudi dan Nasrani, dan kaum musyrikin yang masih menyembah berhala. Artinya tidaklah: “Akan meninggalkan (pendirian mereka), sampai datang bukti kepada mereka.” (ujung ayat 1).

Arti ayat ini ialah bahwasanya ahlul-kitab (Yahudi dan Nasrani), demikian juga kaum musyrikin, baik berada di Makkah atau di luar Makkah, akan tetaplah memegang teguh pendirian mereka, kepercayaan yang mereka terima dari nenek-moyang turun-temurun, sampai satu waktu datang kepada mereka keterangan yang penuh dengan bukti-bukti kebenaran.

(Yaitu) Rasul dari Allah.” (pangkal ayat 2). Yakni Nabi Muḥammad s.a.w. yang telah diutus Tuhan menyampaikan seruan kebenaran: “Yang membacakan lembaran-lembaran yang suci.” (ujung ayat 2). Lembaran-lembaran yang suci itu ialah catatan-catatan al-Qur’ān yang telah mulai ada pada waktu itu. Meskipun beliau tidak pandai menulis dan membaca, namun oleh karena ayat-ayat Tuhan itu telah hapal oleh beliau sejak ia diturunkan, mudahlah bagi beliau membacakan di hadapan mereka. Dijelaskan di dalam ayat ini bahwa dia tertulis dalam lembaran-lembaran yang suci: Suci dari campuran tangan manusia, tidak diselipkan di dalamnya kata-kata orang lain walaupun kata Muḥammad sendiri. Bersih suci daripada keraguan, suci daripada sikap munafik dan suci daripada kesesatan. Kata Qatādah: “Suci dari Batil”. Kata yang lain: “Suci daripada dusta, syubuhat dan kufur.”

Di dalamnya ada kitab-kitab yang lurus.” (ayat 3). Arti kitab-kitab di sini ialah peraturan atau perintah. Di dalam al-Qur’ān memang bertemu beberapa perintah yang disebut kitab: “kutiba ‘alaikum”, diperintahkan ke atas diri kamu. Di dalam lembaran yang suci itu termaktublah peraturan-peraturan perintah dan larangan yang dipikulkan ke atas pundak manusia, untuk keselamatan mereka dunia dan akhirat. Peraturan itu adalah lurus, tegas dan kokoh.

Kitab-kitab yang lurus, Al-Kutub-ul-qayyimah itu ialah al-Qur’ān.

Makna urutan ketiga ayat ini ialah bahwa ahlul-kitab, Yahudi dan Nasrani, ditambah dengan kaum musyrikin memegang teguh pendirian mereka, tidak mau meninggalkan pendirian itu, tidak mau berkisar. Tetapi setelah datang keterangan dan bukti-bukti yang dibawa oleh Nabi s.a.w. mulailah kepercayaan yang dipegang teguh itu bergoncang.

Segala kepercayaan yang selama ini dipegang sebagai pusaka, laksana “barang larangan” yang tidak boleh dibongkar dan diutik-utik, semua sekarang telah mendapat bandingan. Wahyu yang dibawa oleh Muḥammad mengetuk hati sanubari dan mengajak akal supaya berfikir. Itu semuanya membawa kegoncangan. Di antara mereka tentu saja ada yang ragu akan sesuatu yang dipegang teguh selama ini.

 

وَ مَا تَفَرَّقَ الَّذِيْنَ أُوتُوا الْكِتَابَ إِلَّا مِنْ بَعْدِ مَا جَاءَتْهُمُ الْبَيِّنَةُ. وَ مَا أُمِرُوْا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللهَ مُخْلِصِيْنَ لَهُ الدِّيْنَ حُنَفَاءَ وَ يُقِيْمُوا الصَّلاَةَ وَ يُؤْتُوا الزَّكَاةَ وَ ذلِكَ دِيْنُ الْقَيِّمَةِ.

098:4. Dan tidaklah berpecah belah orang-orang yang didatangkan Al-Kitāb (kepada mereka) melainkan sesudah datang kepada mereka bukti yang nyata.
098:5. Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus, dan supaya mereka mendirikan salat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus.

 

Dan tidaklah berpecah-belah orang-orang yang diberi kitab itu, melainkan sesudah datang kepada mereka pembuktian itu.” (ayat 4).

Seyogianya bila keterangan dan pembuktian telah datang tunduklah mereka kepada kebenaran. Tetapi setelah pembuktian dan penerangan itu datang, bukanlah mereka segera tunduk, melainkan mereka menjadi berpecah-belah, bermusuh-musuhan, yang satu menyalahkan yang lain. Dan tidak satu jua pun yang sudi menerima kebenaran. Terutama terhadap diri Nabi Muḥammad s.a.w.. Di dalam kitab-kitab suci yang telah terdahulu telah ada isyarat akan kedatangannya. Mūsā telah menjanjikan, ‘Īsā pun telah menyebutkan dan mereka sendiri pun percaya akan ada lagi Nabi Akhir Zaman yang akan menggenapkan seruan Rasūl yang telah terdahulu.

Tetapi setelah Rasūl itu datang dengan nyata dan tak dapat dibantah lagi kebenarannya, mereka pun berpecah.

Pada ayat yang pertama disebut ahlul-kitab dan musyrikin. Pada ayat 4 ini ditonjolkan ahlul-kitab saja. Dapatlah kita mengambil perbandingan, sedangkan ahli-kitab yang telah pernah kedatangan Rasul lagi membantah dan berpecah-belah menerima Rasul, apatah lagi kaum musyrikin.

Apakah sebab timbul perpecahan itu? Ditilik dari ilmu kemasyarakatan dapat diambil kesimpulan bahwa mereka berpecah karena soal ini telah dipersangkutkan dengan kepentingan pribadi dan kedudukan “Bayyinah” atau pembuktian yang dibawakan Nabi Muḥammad s.a.w. di dalam al-Qur’ān itu tidaklah selisih dengan isi kitab mereka, dan mereka pun telah diberitahu dalam kitab-kitab itu bahwa Nabi itu akan datang. Tetapi setelah beliau betul-betul datang, mereka tidak mau lagi, mereka berpecah. Ada yang menerima dalam hati, tetapi takut kepada masyarakatnya sendiri akan dibenci oleh mereka. Dan ada juga yang didorong menolaknya oleh rasa benci dan dengki.

Padahal tidaklah mereka itu diperintah, melainkan supaya mereka menyembah kepada Allah.” (pangkal ayat 5). Kepada Allah sahaja, tidak dipersekutukan yang lain dengan Allah: “Dengan mengikhlaskan agama karena-Nya”. Segala amal dan ibadat, pendeknya segala apa jua pun perbuatan yang bersangkutan dengan agama, yang dikerjakan dengan kesadaran, hendaklah ikhlas karena Allah belaka, bersih daripada pengaruh yang lain: “Dengan menjauhkan diri dari kesesatan.” Itulah yang dinamai ḥanīf, jama‘-nya ḥunafā’a. Yaitu condong kepada kebenaran, laksana jarum kompas (pedoman), ke mana pun dia diputarkan, namun jarumnya selalu condong ke Utara. Demikianlah hendaknya hidup manusia, condong kepada yang benar, tidak dapat dipalingkan kepada yang salah: “Dan supaya mendirikan sembahyang,” yaitu dengan gerak-gerik tubuh tertentu, dengan berdiri dan ruku’ dan sujud mengingat Allah, membuktikan ketundukan kepada Allah: “Dan mengeluarkan zakat,” yaitu mengeluarkan sebahagian dari hartabenda buat membantu hidup fakir miskin, atau untuk menegakkan jalan Allah di dalam masyarakat yang luas, sehingga dengan sembahyang terbuktilah hubungan kokoh dengan Allah dan dengan zakat terbuktilah hubungan yang kokoh dengan sesama manusia.

Dan yang demikian itulah agama yang lurus.” (ujung ayat 5).

Tidaklah mereka itu dijatuhi perintah melainkan dengan segala yang telah diuraikan itu: menyembah Allah, ikhlas beribadat, condong kepada berbuat baik, sembahyang dan berzakat. Itulah dia inti agama. Itulah yang dibawa oleh Nabi-nabi sejak syariat diturunkan di zaman Nabi Nūḥ, sampai kepada Nabi yang sekarang ini, Muḥammad s.a.w.. Maka kalau hendak dihimpunkan sekalian perintah agama yang dibawa Nabi-nabi, inilah dia himpunan perintah itu. Kontak dengan Allah, mengakui Keesaan Allah, beribadat kepada-Nya sahaja, tidak kepada yang lain, sembahyang dan berzakat. Maka kalau mereka itu tidak menurutkan kehendak hawa nafsu, patutlah mereka menerima menyambutnya. Karena isi ajaran tidaklah merobah isi kitab yang mereka pegang, melainkan melengkapinya.

Syaikh Muḥammad ‘Abduh di dalam tafsir Juzu’ ‘Ammanya memberi peringatan, bahwa meskipun ayat ini turun mengkisahkan sikap ahlul-kitab, namun penyakit semacam ini telah banyak bertemu dalam kalangan kaum Muslimin. Meskipun Firman Ilahi dan Sabda Rasūlullāh s.a.w. telah terang benderang dan jelas isinya, masih pula terdapat perpecahan di kalangan kaum Muslimin, ta’ashshub mempertahankan golongan masing-masing, sehingga di antara Muslimin sesama Muslimin pun terjadi perpecahan. Beliau berkata: “Bagaimana pendapatmu tentang keadaan kita (kaum Muslimin)? Bukankah hal ini telah diingatkan oleh Kitab suci kita sendiri, yang telah membuktikan buruknya amal-amal kita, sehingga kita pecah-berpecah dalam hal agama, sampai bergolong-golong, sampai amalan kita penuh dengan perbuatan baru yang diada-adakan dan perbuatan bid‘ah?”

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *