“Atau memberi makan pada hari kelaparan, kepada anak yatim yang ada hubungan kerabat, atau orang miskin yang sangat fakir” (al-Balad: 14-16).
Masghabah berarti majā‘ah “kelaparan”, dan pada hari kelaparan makanan menjadi sangat berharga dan ini menjadi barometer hakikat iman. Anak yatim di lingkungan jahiliyyah ini selalu menemui kekerasan dan tekanan, walaupun ia masih mempunyai kerabat. Al-Qur’ān banyak berpesan untuk berbuat baik kepada anak yatim. Hal ini menunjukkan kerasnya lingkungan yang ada di sekitar anak-anak yatim itu. Pesan-pesan ini terus-menerus dilakukan hingga dalam surah-surah al-Qur’ān periode Madīnah dalam membicarakan pensyarī‘atan warisan, wasiat, dan perkawinan. Hal ini banyak dibicarakan dalam surah an-Nisā’ khususnya, surah al-Baqarah, dan lain-lainnya.
Memberi makan kepada orang miskin yang sangat fakir – yang bergelut dengan tanah karena kemelaratan dan kesengsaraan hidupnya – pada hari kelaparan, juga didahulukan oleh al-Qur’ān dalam langkah menempuh jalan mendaki lagi sukar itu. Karena, hal ini merupakan tolok ukur pula terhadap rasa keimanan seperti kasih-sayang, lemah-lembut, solidaritas sosial, mengalah kepada orang lain, dan merasa diawasi oleh Allah di dalam mengurusi keluarganya, pada hari kemelaratan, kelaparan, dan membutuhkan pertolongan. Kedua langkah ini, yaitu orang miskin, mengindikasikan kondisi lingkungan Makkah pada waktu itu, meskipun ayat ini bersifat umum. Karena itulah, kedua macam ‘amalan itu didahulukan penyebutannya dalam ayat ini. Kemudian diiringi dengan lompatan besar yang bersifat menyeluruh:
“Dia termasuk orang-orang yang beriman dan saling berpesan untuk bersabar dan saling berpesan untuk berkasih-sayang” (al-Balad: 17).
Kata (ثُمَّ) “kemudian” di sini bukan untuk menunjukkan tenggang waktu, tetapi hanya untuk menunjukkan ketenggangan yang bersifat ma‘nawi (immateriil) untuk menganggap langkah ini sebagai yang paling komplit dan paling luas jangkauannya serta paling tinggi ufuknya. Jika tidak begitu, maka tidak ada manfaatnya memerdekakan budak dan memberi makan yang tidak didasari iman. Karenanya, iman itu sudah diharuskan ada terlebih dahulu sebelum memerdekakan budak dan memberi makan orang miskin. Iman inilah yang menjadikan suatu ‘amalan memiliki bobot di dalam timbangan Allah. Karena, ia selalu berhubungan dengan manhaj yang mantap dan berlaku. Maka, kebaikan itu bukan bersifat temporal dan insidental, atau untuk mendapat pujian dari lingkungan atau demi kepentingan lingkungan. Namun, kebaikan itu berangkat dari iman.
Seakan-akan Allah berfirman: “Memerdekakan budak, atau memberi makan pada hari kelaparan kepada anak yatim yang masih kerabat atau orang miskin dan sangat fakir….. Dan lebih dari itu, dia termasuk orang-orang yang beriman dan saling berpesan untuk bersabar dan saling berpesan untuk berkasih-sayang.” Jadi, kata “tsumma” di sini berfungsi untuk menunjukkan ma‘na keutamaan dan ketinggian (lebih utama dan lebih tinggi).
“Sabar” merupakan unsur yang vital bagi iman secara umum, dan untuk menempuh jalan mendaki dan sukar secara khusus. “Saling berpesan untuk bersabar” menetapkan suatu tingkatan di balik tingkatan sabar itu sendiri, yaitu tingkat kesatuan jamā‘ah dan saling menolong dan bantu-membantu sama lain sebagai konsekuensi iman. Maka, mereka merupakan anggota-anggota jamā‘ah yang saling merespons satu sama lain, yang memiliki perasaan yang sama terhadap beratnya perjuangan untuk mengimplementasikan ma‘na iman di muka bumi dan memikul tanggungjawabnya.
Karena itu, satu sama lain saling berpesan untuk bersabar menanggung beban bersama, saling memantapkan sehingga tidak amburadul, dan saling menguatkan sehingga tidak hancur. Ini bukan sekadar kesabaran individu, meskipun bertumpu pada kesabaran individu. Maka, hal ini juga mengisyaratkan terhadap kewajiban setiap mu’min dalam jamā‘ah masyarakat beriman. Yaitu, bahwa ia bukan menjadi unsur untuk menghinakan melainkan unsur untuk menguatkan, bukan unsur yang menyerukan kehancuran melainkan unsur yang menyerukan pelaksanaan program, dan bukan menebarkan keluh-kesah dan kesedihan melainkan menjadi landasan ketenangan dan ketenteraman.
Demikian juga dengan persoalan saling berpesan untuk berkasih-sayang bahwa ia memiliki nilai tambah daripada sekadar berkasih-sayang. Ia menebarkan perasaan wajib saling berkasih-sayang di dalam barisan kaum Muslimīn dengan cara saling berpesan untuk berkasih-sayang menganjurkannya. Juga menjadikannya sebagai kewajiban sosial sekaligus individual, yang semuanya saling mengenal dan saling membantu.
Maka ma‘na jamā‘ah bisa berdiri tegak dalam arahan ini. Ma‘na inilah yang ditonjolkan oleh al-Qur’ān sebagaimana ditonjolkan oleh hadits-hadits Rasūlullāh s.a.w., karena pentingnya di dalam mengimplementasikan hakikat agama Islam. Karena Islam adalah agama jamā‘ah dan manhaj umat, di samping adanya tanggungjawab pribadi dan perhitungan individual yang jelas dan terang.
Orang-orang yang menempuh jalan yang mendaki lagi sukar, sebagaimana yang diterangkan dan diidentifikasi oleh al-Qur’ān, itu adalah “golongan kanan.”
“Mereka itu adalah golongan kanan.” (al-Balad: 18).
Mereka adalah golongan kanan sebagaimana disebutkan dalam ayat-ayat lain. Atau, mereka adalah golongan kanan, yang beruntung, dan berbahagia. Kedua ma‘na ini berkaitan dengan mafhūm imani.
وَ الَّذِيْنَ كَفَرُوْا بِآيَاتِنَا هُمْ أَصْحَابُ الْمَشْأَمَةِ. عَلَيْهِمْ نَارٌ مُّؤْصَدَةٌ
“Orang-orang yang kafir kepada ayat-ayat Kami, mereka itu adalah golongan kiri. Mereka berada dalam neraka yang ditutup rapat. (al-Balad: 19-20)
Di sini tidak disebutkan sifat lain bagi golongan kiri ini selain menyebutkan: “Orang-orang yang kafir kepada ayat-ayat Kami…..” Karena, sifat kafir merupakan sikap puncak. Tidak ada kebaikan sama sekali bersama dengan kekafiran. Tidak ada kejelekan melainkan telah dikandung di dalam kekafiran. Karena itu, tidak perlu lagi mengatakan bahwa mereka adalah orang-orang yang tidak memerdekakan budak dan tidak memberi makan kepada anak-anak yatim dan orang-orang miskin, kemudian mereka kafir kepada ayat-ayat Kami. Apabila mereka kafir, maka tidak ada sesuatu pun dari semua itu yang bermanfaat baginya, hingga kalau mereka melakukannya sekalipun.
Mereka adalah golongan kiri, atau orang-orang yang sial dan menderita. Kedua ma‘na ini juga dekat dengan mafhūm imani. Mereka itulah yang diam saja di belakang jalan yang mendaki lagi sukar itu, tidak mau menempuhnya!
“Mereka berada dalam neraka yang ditutup rapat.” (al-Balad: 20).
Ditutup rapat, mungkin yang dimaksud oleh ayat ini adalah ma‘nanya yang dekat. Ya‘ni, pintu-pintu neraka itu ditutup rapat atas mereka, sedangkan mereka ditahan di dalam ‘adzāb. Mungkin yang dimaksud adalah kelaziman ma‘na yang dekat ini, yaitu mereka tidak dapat keluar darinya. Nah, dengan ditutupnya neraka ini, maka tidak mungkin mereka dapat lepas dari ‘adzāb neraka. Kedua ma‘na ini saling melengkapi.
Demikianlah beberapa hakikat pokok di dalam kehidupan manusia dan di dalam pola pikir imani, yang dipaparkan dalam paparan yang ringkas sekali, dengan kekuatan dan kejelasannya. Ini merupakan keistimewaan penungkapan al-Qur’ān yang unik.