Surah al-Balad 90 ~ Tafsir Sayyid Quthb (2/3)

Dari Buku:
Tafsīr fi Zhilāl-il-Qur’ān
Oleh: Sayyid Quthb
 
Penerbit: Gema Insani

Rangkaian Pos: Surah al-Balad 90 ~ Tafsir Sayyid Quthb

Di depan tipuan yang menjadikan manusia mengkhayal bahwa ia memiliki benteng dan kekuatan, dan di depan kekikirannya untuk menginfāqkan harta dan anggapannya bahwa dirinya telah banyak berkorban, maka al-Qur’ān menghadapkan kepadanya limpahan karunia Allah terhadapnya. Khususnya tentang dirinya, kerapian dan kekokohan bangunan fisiknya, tabiat-tabiat khususnya, dan potensi-potensinya, yang ni‘mat-ni‘mat itu tidak disyukurinya dan tidak dipenuhi haknya di sisi-Nya:

أَلَمْ نَجْعَلْ لَّهُ عَيْنَيْنِ. وَ لِسَانًا وَ شَفَتَيْنِ. وَ هَدَيْنَاهُ النَّجْدَيْنِ.

Bukankah Kami telah memberikan kepadanya dua buah mata, lidah dan dua buah bibir. Dan Kami telah menunjukkan kepadanya dua jalan” (al-Balad: 8-10).

Manusia ini terpedaya dengan kekuatannya, padahal Allah-lah yang memberikan kepadanya ni‘mat kekuatan dalam batas-batasnya. Ia sangat bakhil untuk mengorbankan harta, padahal Allah-lah yang mengaruniakan harta ini kepadanya. Ia tidak mau menggunakan petunjuk Allah dan tidak mau bersyukur, padahal Allah telah menjadikan untuknya pancaindra yang menjadi petunjuk baginya di alam lahiriah yang terasakan.

Dia telah menjadikan untuknya dua buah mata yang demikian jelimet dan rumit susunannya agar mampu untuk melihat. Diberi-Nya keistimewaan untuk dapat berbicara, dan diberi-Nya alat bicara yang bagus: “Lidah dan dua bibir…..” Kemudian diberi-Nya potensi-potensi khusus untuk mengetahui kebaikan dan keburukan, petunjuk dan kesesatan, kebenaran dan kebāthilan. “Kami telah menunjukkan kepadanya dua jalan….” supaya dia memilih mana yang dikehendakinya. Maka, pada tabiatnya terdapat dua macam potensi pada dirinya untuk menempuh jalan yang mana saja dari kedua jalan itu.

An-najd adalah jalan mendaki. Allah berkehendak memberinya kemampuan untuk menempuh jalan-jalan mana yang dikehendakinya. Diciptakan-Nya dengan pencampuran potensi-potensi ini untuk menerapkan hikmah Allah di dalam menciptakan. Juga dalam memberikan potensi kepada segala sesuatu yang diciptakan-Nya dan memudahkannya untuk melaksanakan tugas dan fungsinya di alam semesta.

Ayat ini mengungkap hakikat karakteristik manusia, sebagaimana ia juga mencerminkan kaidah: “Nazhariyyah Nafsiyyah Islāmiyyah” bersama ayat-ayat lain dalam surah asy-Syams ayat 7-10: “Demi jiwa serta penyempurnaannya (penciptaannya), maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketaqwāannya. Sesungguhnya beruntunglah orang yang menyucikan jiwa itu, dan merugilah orang yang mengotorinya” Masalah ini akan dijelaskan lebih rinci dan lebih luas di dalam menafsirkan surah asy-Syams nanti.

Jalan yang Mendaki lagi Sukar.

Allah s.w.t. telah melimpahkan ni‘mat-ni‘mat yang berupa keistimewaan khusus pada dirinya, bangunan tubuhnya, dan organ-organ lain yang membantunya untuk mendapatkan dan mengetahui petunjuk. Ya‘ni, dua buah mata yang dapat memandang lembaran-lembaran alam semesta yang menunjukkan adanya kekuasaan Allah dan mengarahkannya kepada keimanan. Semuanya terhampar di lembaran dan tersebar di seluruh penjurunya. Lidah dan bibirnya yang merupakan alat untuk menjelaskan dan mengungkapkan sesuatu. Dengan kedua organ ini, manusia dapat melakukan sesuatu yang banyak. Perkataan kadang-kadang bisa menjadi seperti pedang, peluru, dan seterusnya. Kadang-kadang juga bisa menjerumuskan pelakunya ke dalam neraka, sebagaimana ia juga dapat mengangkat derajat pemiliknya atau justru merendahkannya.

Mu‘ādz bin Jabal r.a. mengatakan bahwa ia pernah bersama-sama Nabi s.a.w. dalam suatu bepergian. Pada suatu hari ia berdekatan dengan beliau dalam perjalanan. Lalu ia berkata:

يَا رَسُوْلَ اللهِ، أَخْبِرْنِيْ بِعَمَلٍ يُدْخِلُنِي الْجَنَّةَ وَ يُبَاعِدْنِييْ عَنِ النَّارِ. قَالَ: سَأَلْتَ عَنْ عَظِيْمٍ وَ إِنَّهُ لَيَسِيْرٌ عَلَى مَنْ يَسَّرَهُ اللهُ عَلَيْهِ: تَعْبُدُ اللهَ وَ لَا تُشْرِكُ بِهِ شَيئًا، وَ تُقِيْمُ الصَّلَاةَ، وَ تُؤْتِي الزَّكَاةَ، وَ تَصُوْمُ رَمَضَانَ، وَ تَحُجُّ الْبَيْتَ. ثُمَّ قَالَ: أَلَا أَدُلُّكَ عَلَى أَبْوَابِ الْخَيْرِ؟ قُلْتُ: بَلَى، يَا رَسُوْلَ اللهِ. قَالَ: الصَّوْمُ جُنَّةٌ، وَ الصَّدَقَةُ تُطْفِئُ الْخَطِيْئَةَ كَمَا يُطْفِئُ الْمَاءُ النَّارَ، وَ صَلَاةُ الرَّجُلِ فِيْ جَوْفِ اللَّيْلِ شَعَارُ الصَّالِحِيْنَ ثُمَّ تَلَا قَوْلَهُ تَعَالَى: “تَتَجَافَى جُنُوْبُهُمْ عَنِ الْمَضَاجِعِ…..” ثُمَّ قَالَ: أَلَا أُخْبِرُكَ بِرَأْسِ الْأَمْرِ وَ عَمُوْدِهِ وَ ذِرْوَةِ سَنَامِهِ؟ قُلْتُ: بَلَى، يَا رَسُوْلَ اللهِ. قَالَ: رَأْسُ الْأَمْرِ الْإِسْلَامُ، وَ عُمُوْدُهُ الصَّلَاةُ، وَ ذِرْوَةُ سَنَامِهِ الْجِهَادُ. ثُمَّ قَالَ: أَلَا أُخْبِرُكَ بِمَلَاكِ ذلِكَ كُلَّهُ؟ قُلْتُ: بَلَى يَا رَسُوْلَ اللهِ. قَالَ: كُفَّ عَلَيْكَ هذَا، وَ أَشَارَ إِلَى لِسَانِهِ قُلْتُ: يَا نَبِيَّ اللهِ، وَ إِنَّا لَمُؤَاخَذُوْنَ بِمَا نَتَكَلَّمُ بِهِ؟ قَالَ: ثَكِلَتْكَ أُمُّكَّ! وَ هَلْ يُكَبُّ النَّاسُ فِي النَّارِ عَلَى وُجُوْهِهِمْ – أَوْ قَالَ: عَلَى مَنَاخِرِهِمْ – إِلَّا حَصَائِدُ أَلْسِنَتِهِمْ؟

Wahai Rasūlullāh, beritahukanlah kepadaku tentang ‘amalan yang dapat memasukkanku ke surga dan menjauhkanku dari neraka.” Beliau menjawab: “Engkau telah bertanya tentang persoalan yang besar. Sesungguhnya hal itu mudah bagi orang yang dimudahkan oleh Allah, yaitu engkau ber‘ibādah kepada Alla dan tidak mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun, engkau dirikan shalat, engkau tunaikan zakat, engkau laksanakan puasa Ramadhān, dan engkau tunaikan haji ke Baitullāh.” Kemudian beliau melanjutkan sabdanya: “Maukah kutunjukkan kamu kepada pintu-pintu kebaikan?” Ia menjawab: “Mau, wahai Rasūlullāh.” Beliau bersabda: “Puasa itu adalah perisai, sedekah itu memadamkan (menghapus) kesalahan bagaikan air mendamkan api, dan shalat di tengah malam adalah lambang orang-orang yang shāliḥ.” Kemudian beliau membaca ayat (yang artinya): “Lambung mereka terjauh dari tempat tidur….” Lalu beliau bertanya: “Maukah kuberitahu kepadamu tentang kepala urusan (usuran paling utama), pilarnya, dan puncaknya ketinggiannya?” Ia menjawab: “Mau, ya Rasūlullāh.” Beliau bersabda: “Pokok urusan adalah Islam, pilarnya adalah shalat, dan puncak ketinggiannya adalah jihad.” Kemudian beliau bertanya lagi: “Maukah kutunjukkan kepadamu pilar semua itu?” Ia menjawab: “Mau, ya Rasūlullāh.” Beliau bersabda: “Tahanlah ini”, dan beliau berisyārat ke lisan beliau. Ia bertanya: “Ya Rasūlullāh, apakah kami akan dihukum karena perkataan kami?” Beliau bersabda: “Aduh kasihan kamu! Bukankah tidak ada yang membenamkan muka (hidung) manusia ke dalam neraka selain karena akibat ucapan lidahnya?” (HR. Aḥmad, Tirmidzī, Nasā’ī, dan Ibnu Mājah).

Ditunjukkan-Nya manusia untuk mengetahui kebaikan dan keburukan, mengetahui jalan ke surga dan jalan ke neraka, dan dibantu untuk mendapatkan kebaikan dengan petunjuk ini.

Semua ni‘mat ini tidak mendorong “manusia” tersebut untuk menempuh jalan yang mendaki lagi sukar yang berada di antara dia dan surga, ya‘ni jalan ke surga. Jalan yang mendaki lagi sulit itu dijelaskan oleh Allah kepadanya di dalam ayat-ayat berikut ini:

فَلَا اقْتَحَمَ الْعَقَبَةَ. وَ مَا أَدْرَاكَ مَا الْعَقَبَةُ. فَكُّ رَقَبَةٍ. أَوْ إِطْعَامٌ فِيْ يَوْمٍ ذِيْ مَسْغَبَةٍ. يَتِيْمًا ذَا مَقْرَبَةٍ. أَوْ مِسْكِيْنًا ذَا مَتْرَبَةٍ. ثُمَّ كَانَ مِنَ الَّذِيْنَ آمَنُوْا وَ تَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ وَ تَوَاصَوْا بِالْمَرْحَمَةِ. أُولئِكَ أَصْحَابُ الْمَيْمَنَةِ.

Maka, tidakkah sebaiknya (dengan hartanya itu) ia menempuh jalan yang mendaki lagi sukar?. Tahukah kamu apakah jalan yang mendaki lagi sukar itu? (Yaitu) melepaskan budak dari perbudakan, atau memberi makan pada hari kelaparan, kepada anak yatim yang ada hubungan kerabat, atau orang miskin yang sangat fakir. Dan, dia termasuk orang-orang yang beriman dan saling berpesan untuk bersabar dan saling berpesan untuk berkasih-sayang. Mereka (orang-orang yang beriman dan saling berpesan itu) adalah golongan kanan” (al-Balad: 11-18).

Inilah jalan yang mendaki lagi sukar yang harus ditempuh oleh manusia sehingga perlu dukungan iman. Yaitu, jalan mendaki dan sukar yang ada di antara dia dan surga, yang kalau dia mau menempuhnya, niscaya akan sampai ke sana. Pelukisannya yang demikian itu memberikan dorongan yang kuat, memotivasi hati manusia, dan menggerakkannya untuk menempuh jalan yang mendaki lagi sukar itu. Padahal, sudah jelas jalan itu dan jelas pula bahwa ia merupakan penghalang baginya untuk mendapatkan keberuntungan besar (surga) kecuali kalau dia mau menempuhnya:

Maka, tidakkah sebaiknya (dengan hartanya itu) ia menempuh jalan yang mendaki lagi sukar?.” (al-Balad: 11).

Ayat ini mengandung anjuran, dorongan, dan motivasi!

Kemudian, ditunjukkanlah bahwa persoalan ini begitu besar dan agung, dengan dilontarkannya kalimat tanya berikut:

Tahukah kamu apakah jalan yang mendaki lagi sukar itu?” (al-Balad: 12).

Sesungguhnya bukan pendakian dan kesukarannya yang besar, tetapi nilainya di sisi Allah, untuk memotivasi manusia agar mau menempuh dan menjalaninya, meskipun memerlukan perjuangan dan jerih-payah. Maka, kepayahan itu adalah realitas yang pasti terjadi. Akan tetapi, ketika seseorang menempuh jalan mendaki dan sukar itu, maka dia akan memetik buahnya yang dapat menggantikan semua kesukaran dan jerih-payahnya. Tidak ada satu pun jerih-payah yang tersia-sia, dalam semua keadaannya!

Penjelasan tentang jalan mendaki yang sukar beserta tabiatnya dimulai dengan kondisi khusus yang dihadapi dakwah Islam dan amat membutuhkan pemecahan. Yaitu, membebaskan perbudakan yang menyengsarakan, memberi makan kepada orang-orang lemah yang sangat membutuhkan dan terhimpit oleh linkungan yang keras. Kemudian diakhiri persoalan yang tidak berhubungan dengan lingkungan dan waktu tertentu, dan dihadapi oleh seluruh jiwa manusia. Yaitu, menempuh jalan yang mendaki lagi sukar hingga mencapai keselamatan:

Dia termasuk orang-orang yang beriman dan saling berpesan untuk bersabar dan saling berpesan untuk berkasih-sayang” (al-Balad: 17).

Ada pendapat yang mengatakan bahwa fakku raqabah adalah turut serta membebaskannya, dan membebaskannya berarti memerdekakannya dengan menggunakan harta ini. Apa pun yang dimaksud, maka hasilnya adalah sama.

Nash ini turun ketika Islam di Makkah masih terkepung, dan ia belum memiliki kedaulatan untuk menegakkan syarī‘atnya. Pada waktu itu perbudakan merupakan fenomena umum di Jazīrah ‘Arabiah dan sekitarnya, dan budak-budak itu diperlakukan dengan kasar. Ketika sebagian budak memeluk Islam, seperti ‘Ammār bin Yāsir dan keluarganya, Bilāl bin Rabāḥ, Shuhaib, dan lain-lainnya – semoga Allah meridhāi mereka – sangat beratlah bencana yang ditimpakan kepada mereka oleh majikan-majikan yang keras kepala. Juga ditimpakanlah kepada mereka siksaan yang tak terperikan. Tampaklah bahwa jalan untuk melepaskan mereka dari kekejaman dan penderitaan ini adalah dengan memerdekakan mereka dengan menebus dari majikan-majikan mereka yang kasar-kasar itu. Maka, Abū Bakarlah orang yang berada di garis depan – sebagaimana kebiasaannya – untuk menyambut dan melaksanakan anjuran ini dengan hati yang mantap, tenang, dan istiqāmah.

Ibnu Isḥāq meriwayatkan bahwa Bilāl mantan budak Abū Bakar, semoga Allah meridhāi mereka, dahulu adalah budak sebagian anak-anak Jumuh. Bilāl itu benar dalam Islam, suci hatinya. Umayyah bin Khalaf bin Wahab bin Ḥudzafah bin Jumuh mengeluarkan dia apabila hari sangat terik, lalu ditelentangkannya di padang pasir Makkah. Kemudian menyuruh diletakkan batu besar di atas dadanya, seraya berkata kepadanya: “Demikianlah yang akan senantiasa kamu rasakan sampai kamu mati atau kamu ingkar kepada Muḥammad dan menyembah kepada Lāta dan ‘Uzzā.” Maka Bilāl berkata dalam kondisinya yang seperti ini: “Aḥad, Aḥad, Allah itu Maha Esa, Maha Esa.”

Pada suatu hari Abū Bakar ash-Shiddīq lewat ketika mereka sedang melakukan perbuatan itu, rumah Abū Bakar berada di kalangan Bani Jumuh. Kemudian Abū Bakar berkata kepada Umayyah: “Apakah anda tidak takut kepada Allah karena tindakan anda terhadap orang miskin ini? Sampai kapan? Umayyah menjawab: “Andalah yang telah merusaknya (dengan mengislamkannya), maka selamatkanlah dia dari apa yang anda lihat ini.” Abū Bakar menyahut: “Akan saya lakukan. Saya mempunyai seorang budak hitam yang lebih perkasa dan lebih kuat daripada dia, yang seagama dengan anda, saya akan menukarkannya kepadamu.” Umayyah menjawab: “Saya terima.” Abū Bakar berkata: “Dia menjadi milikmu.” Lalu Abū Bakar r.a. memberikan budaknya itu kepada Umayyah, dan mengambil Bilāl darinya, lantas memerdekakannya.

Kemudian Abū Bakar bersama Bilāl itu enam orang budak atas keislamannya sebelum hijrah ke Madīnah, dan Bilāl adalah yang ketujuh. Mereka itu adalah ‘Āmir bin Fuhairah (dia turut dalam Perang Badar, dan mati syahid dalam Perang Bi‘r Ma‘ūnah), Ummu Ubais, dan Zunairah (ketika dimerdekakan itu mata Zunairah buta, lalu orang-orang Quraisy berkata: “Tidak ada yang bisa menyembuhkan matanya kecuali Lāta dan ‘Uzzā.” Kemudian Zunairah berkata: “Mereka berdusta. Demi Baitullāh, Lāta dan ‘Uzzā tidak dapat memberi mudharat dan tidak dapat memberi manfaat.” Lalu Allah menyembuhkan matanya).

Abū Bakar juga memerdekakan Nahdiyah dan anak wanitanya, keduanya adalah budak seorang wanita Bani ‘Abd-id-Dār. Saat itu Abū Bakar melewati mereka ketika mereka disuruh majikan mereka mengayak tepung, dan majikan itu berkata: “Demi Allah, aku tidak akan memerdekakan kamu selama-lamanya.” Lalu Abū Bakar berkata: “Lepaskanlah sumpahmu, wahai ibu si Fulan!” Wanita itu menjawab: “Bebaskan sendiri! Anda telah merusak keduanya, karena itu merdekakanlah mereka!” Abū Bakar berkata: “Berapa harga keduanya?” Wanita itu menjawab: “Sekian dan sekian.” Abū Bakar menjawab: “Saya tebus mereka, dan saya merdekakan mereka. Kembalikanlah tepungnya kepadanya.” Kedua wanita itu berkata: “Apakah tidak kami selesaikan dulu wahai Abū Bakar, kemudian setelah itu kami kembalikan kepadanya?” Abū Bakar berkata: “Terserah kamu.”

Abū Bakar melewati seorang budak wanita Bani Mu‘ammal, wanita itu dari Bani ‘Adī, dan sudah memeluk Islam. ‘Umar ibn-ul-Khaththāb ketika masih musyrik biasa menyiksanya agar dia meninggalkan Islam seraya memukulnya. Sehingga, ketika sudah bosan, ‘Umar berkata: “Aku minta maaf kepadamu, sesungguhnya aku tidak ingin membiarkanmu melainkan karena aku sudah bosan.” Budak itu menjawab: “Begitulah yang diperbuat Allah terhadap dirimu.” Kemudian Abū Bakar menebusnya, lalu memerdekakannya.

Ibnu Isḥāq meriwayatkan bahwa telah diceritakan kepadaku oleh Muḥammad bin ‘Abdillāh bin Abī ‘Atīq, dari ‘Āmir bin ‘Abdillāh bin Zubair dari salah seorang keluarganya. Dia berkata: “Abū Quḥāfah berkata kepada Abū Bakar: “Hai anakku, aku tahu bahwa engkau telah memerdekakan beberapa orang budak yang lemah. Alangkah baiknya kalau yang Engkau merdekakan itu adalah laki-laki perkasa yang dapat melindungimu dari orang yang mengganggumu.” Abū Bakar menjawab: “Wahai ayah, sesungguhnya aku hanya menginginkan keridhāan Allah.”

Abū Bakar r.a. menempuh jalan yang mendaki dan sukar itu, yaitu memerdekakan budak-budak yang melarat, karena Allah. Kondisi lingkungan tersebut ketika itu menghendaki ‘amalan ini disebutkan pada urutan pertama pelaksanaan program jalan mendaki dan sukar di jalan Allah.

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *