Surah al-Balad 90 ~ Tafsir Sayyid Quthb (1/3)

Dari Buku:
Tafsīr fi Zhilāl-il-Qur’ān
Oleh: Sayyid Quthb
 
Penerbit: Gema Insani

Rangkaian Pos: Surah al-Balad 90 ~ Tafsir Sayyid Quthb

SURAH AL-BALAD

Diturunkan di Makkah
Jumlah Ayat: 20.

 

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ

Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang

 

لَا أُقْسِمُ بِهذَا الْبَلَدِ. وَ أَنْتَ حِلٌّ بِهذَا الْبَلَدِ. وَ وَالِدٍ وَ مَا وَلَدَ. لَقَدْ خَلَقْنَا الْإِنْسَانَ فِيْ كَبَدٍ. أَيَحْسَبُ أَنْ لَّنْ يَقْدِرَ عَلَيْهِ أَحَدٌ. يَقُوْلُ أَهْلَكْتُ مَالًا لُّبَدًا. أَيَحْسَبُ أَنْ لَّمْ يَرَهُ أَحَدٌ. أَلَمْ نَجْعَلْ لَّهُ عَيْنَيْنِ. وَ لِسَانًا وَ شَفَتَيْنِ. وَ هَدَيْنَاهُ النَّجْدَيْنِ. فَلَا اقْتَحَمَ الْعَقَبَةَ. وَ مَا أَدْرَاكَ مَا الْعَقَبَةُ. فَكُّ رَقَبَةٍ. أَوْ إِطْعَامٌ فِيْ يَوْمٍ ذِيْ مَسْغَبَةٍ. يَتِيْمًا ذَا مَقْرَبَةٍ. أَوْ مِسْكِيْنًا ذَا مَتْرَبَةٍ. ثُمَّ كَانَ مِنَ الَّذِيْنَ آمَنُوْا وَ تَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ وَ تَوَاصَوْا بِالْمَرْحَمَةِ. أُولئِكَ أَصْحَابُ الْمَيْمَنَةِ. وَ الَّذِيْنَ كَفَرُوْا بِآيَاتِنَا هُمْ أَصْحَابُ الْمَشْأَمَةِ. عَلَيْهِمْ نَارٌ مُّؤْصَدَةٌ

090:1. Aku benar-benar bersumpah dengan kota ini (Makkah).
090:2. dan kamu (Muḥammad) bertempat di kota ini,
090:3. dan demi bapak dan anaknya.
090:4. Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia berada dalam susah payah.
090:5. Apakah manusia itu menyangka bahwa sekali-kali tiada seorang pun yang berkuasa atasnya?
090:6. Dia mengatakan: “Aku telah menghabiskan harta yang banyak”.
090:7. Apakah dia menyangka bahwa tiada seorang pun yang melihatnya?
090:8. Bukankah Kami telah memberikan kepadanya dua buah mata,
090:9. lidah dan dua buah bibir.
090:10. Kami telah menunjukkan kepadanya dua jalan.
090:11. Maka, tidakkah sebaiknya (dengan hartanya itu) ia menempuh jalan yang mendaki lagi sukar?.
090:12. Tahukah kamu apakah jalan yang mendaki lagi sukar itu?
090:13. (Yaitu) melepaskan budak dari perbudakan,
090:14. atau memberi makan pada hari kelaparan,
090:15. kepada anak yatim yang ada hubungan kerabat,
090:16. atau orang miskin yang sangat fakir.
090:17. Dan, dia termasuk orang-orang yang beriman dan saling berpesan untuk bersabar dan saling berpesan untuk berkasih-sayang.
090:18. Mereka (orang-orang yang beriman dan saling berpesan itu) adalah golongan kanan.
090:19. Orang-orang yang kafir kepada ayat-ayat Kami, mereka itu adalah golongan kiri.
090:20. Mereka berada dalam neraka yang ditutup rapat.

Pengantar.

Surah yang pendek kedua sayapnya ini mengandung sejumlah hakikat pokok dalam kehidupan manusia. Juga mengandung isyārat-isyārat yang sarat dengan motivasi dan sentuhan-sentuhan yang mengesankan. Sejumlah persoalan yang sulit, dihimpun secara ringkas dalam al-Qur’ān-ul-Karīm dengan uslubnya yang unik dan menggetarkan qalbu manusia dengan sentuhan-sentuhannya yang cepat dan mendalam seperti ini.

Kehidupan yang Penuh Kesusahpayahan.

Surah ini dimulai dengan mengemukakan sumpah yang agung terhadap hakikat yang tetap dalam kehidupan manusia:

لَا أُقْسِمُ بِهذَا الْبَلَدِ. وَ أَنْتَ حِلٌّ بِهذَا الْبَلَدِ. وَ وَالِدٍ وَ مَا وَلَدَ. لَقَدْ خَلَقْنَا الْإِنْسَانَ فِيْ كَبَدٍ.

Aku benar-benar bersumpah dengan kota ini (Makkah), dan kamu (Muḥammad) bertempat di kota ini, dan demi bapak dan anaknya. Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia berada dalam susah payah.” (al-Balad: 1-4).

Yang dimaksud dengan kota ini adalah Makkah, Baitullāh al-Ḥarām, rumah per‘ibādatan yang pertama kali dibangun untuk manusia, untuk menjadi tempat berkumpul manusia dan tempat yang aman. Di rumah ini, mereka meletakkan senjata mereka, serta melepaskan pertengkaran dan permusuhan mereka. Di sana mereka bertemu dan berdamai. Haram atas sebagian mereka berbuat aniaya terhadap sebagian yang lain, sebagaimana rumah itu sendiri, pohonnya, burungnya, dan segala makhlūq yang hidup di dalamnya adalah haram diburu. Kemudian, ia adalah rumah Ibrāhīm, ayah Ismā‘īl, bapak bangsa ‘Arab dan seluruh kaum Muslimīn.

Allah memuliakan Nabi-Nya, Muḥammad s.a.w. Karena itu, disebtunya dan disebut tempat tinggalnya serta berdomisilinya, dengan memberikan sifat yang menambah kemuliaan, keagungan, dan kebesaran kota Makkah. Ini adalah isyārat yang mengandung petunjuk yang dalam terhadap kedudukan itu. Sedangkan, orang-orang musyrik juga menempati daerah Bait-ul-Ḥarām ini, namun mereka menyakiti Nabi dan kaum Muslimīn di sana. Padahal, rumah itu mulia dan bertambah mulia lagi dengan berdomisilinya Nabi s.a.w. di sana.

Ketika Allah s.w.t. bersumpah dengan kota ini dan Nabi s.a.w. yang berdomisili di sana, maka lepaslah semua bentuk keagungan dan penghormatan selain yang diberikan Allah itu. Tampaklah kedudukan orang-orang musyrik yang mengaku pemangku Bait-ul-Ḥarām dan putra-putra Ismā‘īl serta sebagai pemuluk agama Ibrāhīm itu sebagai sesuatu yang mungkar dan buruk dilihat dari semua segi.

Barangkali ma‘na inilah yang dimaksud dalam kalimat: “Dan demi bapak dan anaknya….” Kalimat itu sebagai isyārat khusus terhadap Nabi Ibrāhīm atau Nabi Ismā‘īl a.s., dan di-idhāfah-kan hal ini kepada sumpah dengan Kota Makkah dan Nabi s.a.w. yang menempatinya, serta putranya yang pertama dan keturunannya. Meskipun hal ini tidak menolak kemungkinan maksud kalimat: “Demi bapak dan anaknya”, secara mutlak. Juga kemungkinannya sebagai isyārat yang menunjukkan tabiat penciptaan manusia dan perkembangannya dengan beranak-pinak, sebagai pendahuluan bagi pembicaraan tentang hakikat manusia yang merupakan materi pokok surah ini.

Ustādz al-Imām Syaikh Muḥammad ‘Abduh membicarakan tema surah ini di dalam Tafsīr Juz ‘Amma secara halus, yang ruhnya sesuai dengan ruh “azh-Zhilāl” ini. Karena itu, kami kutip di sini. Ia berkata: “Kemudian Allah bersumpah dengan menyebut “Demi bapak dan anaknya”, untuk memalingkan pandangan kita kepada ketinggian nilai perkembangan dari perkembangan-perkembangan wujud ini, yaitu perkembangan anak-pinak. Juga kepada hikmah yang tinggi padanya serta kerapian penciptaan ini, memalingkan perhatian kita kepada bapak dan anak dalam permulaan penciptaan dan penyempurnaan kejadiannya, hingga batas tertentu perkembangan yang ditetapkan untuknya.

Apabila anda bayangkan dalam benak anda mengenai tumbuh-tumbuhan – bagaimana proses perkembangan suatu benih sejak kerjanya unsur-unsur udara, penghisapan unsur-unsur makanan dari sekitarnya, hingga tegak menjadi pohon dengan dahan-dahan dan rantingnya, dan siap melahirkan benih-benih lain dengan kerjanya masing-masing, dan menghiasi alam wujud dengan keindahan pemandangannyaa – dan anda palingkan perhatian anda kepada makhlūq-makhlūq lain yang melebihi tumbuh-tumbuhan, seperti binatang dan manusia, maka akan terbayang oleh anda sesuatu yang lebih agung lagi dalam persoalan bapak dan anak. Anda akan mendapati adanya kesulitan dan penderitaan yang dijumpai oleh masing-masing bapak dan anak (induk dan anak) di dalam menjaga spesiesnya. Juga dalam melestarikan keindahan alam dengan lukisan-lukisannya yang lebih terang dan jelas.”

Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia berada dalam susah payah.” (al-Balad: 4).

Dalam kemelaratan dan kesulitan, kepayahan dan keletihan, perjuangan dan kerja keras, sebagaimana dikatakan dalam surah lain:

Hai manusia, sesungguhnya kamu telah bekerja dengan sungguh-sungguh menuju Tuhanmu, maka pasti kamu akan menemui-Nya.” (al-Insyiqāq: 6).

Sel pertama tidaklah menetap di dalam rahim sehingga dimulai dalam kesulitan dan kerja keras serta berpayah-payah untuk menyempurnakan bagi dirinya keadaan-keadaan yang sesuai untuk hidup dan menyerap makanan – dengan idzin Tuhannya. Ia akan terus mengalami hal seperti itu hingga sampai waktunya untuk keluar. Maka, terasalah masa melahirkan sebagaimana yang dirasakan oleh ibu. Janin hampir tidak melihat cahaya sehingga ia menekan dan mendorong sampai terbuka jalan keluarnya dari rahim.

Sejak saat itu dimulailah kerja yang lebih berat dan sulit. Janin mulai bernapas dengan menghirup udara yang belum pernah ia kenal sebelumnya. Ia membuka mulut dan kedua rahangnya pertama kali untuk berteriak dan menarik napas panjang dengan permulaan yang menyengsarakan. Pencernaan dan peredaran darahnya mulai bekerja tidak sebagaimana biasanya. Ia harus bersusah-payah mengeluarkan sisa-sia makanan sehingga ia harus melatih ususnya untuk melakukan kerja yang baru ini.

Setiap langkah dan geraknya sesudah itu adalah dengan susah-payah. Orang yang mau memperhatikan anak kecil ketika hendak merangkak atau ketika ingin berjalan, niscaya dia akan tahu betapa si anak harus berusaha keras untuk melakukan gerakan yang sederhana.

Ketika gigi mulai tumbuh; hal itu terjadi dengan susah-payah. Ketika punggung mulai tegak, terasa susah-payah. Ketika mulai melangkah, terasa susah dan menyengsarakan. Bahkan, ketika sudah terbiasa melangkah (berjalan), maka berjalan itu pun terasa menyengsarakan. Ketika menuntut ‘ilmu, maka menuntut ‘ilmu itu pun menyengsara. Ketika berpikir, maka memikirkan sesuatu itu pun harus dengan susah-payah. Setiap melakukan percobaan yang baru, maka percobaan baru itu pun terasa susah-payah dan menyengsarakan seperti ketika baru belajar merangkak dan berjalan.

Kemudian, jalan hidup yang ditempuhnya bersimpang, dan kesulitannya beraneka ragam. Yang ini bekerja keras dengan ototnya, yang ini bekerja keras dengan pikirannya; yang ini bekerja keras dengan ruhnya; dan yang ini bekerja keras untuk mendapatkan sesuap nasi buat mempertahankan hidupnya dan mendapatkan sesobek pakaian. Kemudian yang ini bekerja keras agar uangnya yang seribu menjadi dua ribu dan sepuluh ribu; yang ini bersusah-payah berjuang fī sabīlillāh; serta yang ini bersusah-payah untuk mendapatkan kesenangan dan keinginannya. Selain itu, yang ini bekerja keras menuju ke neraka; dan yang ini bekerja keras menuju ke surga.

Masing-masing memikul bebannya sendiri-sendiri dan mendaki jalan dengan bekerja keras menuju Tuhannya, dan kelak akan bertemu dengan-Nya. Di sana, di hari kiamat nanti, terdapat penderitaan terbesar bagi orang-orang yang celaka. Juga terdapat peristirahatan yang paling agung bagi orang-orang yang berbahagia.

Kesengsaraan dan kesulitan adalah watak kehidupan dunia. Meskipun berbeda-beda bentuknya dan sebab-sebabnya, pada akhirnya ia adalah kesusahpayahan. Maka, orang yang paling merugi ialah orang yang berpayah-payah menempuh kemelaratan kehidupan dunia untuk mendapatkan kemelaratan yang lebih berat dan lebih pahit di akhirat nanti. Orang yang paling berbahagia ialah orang yang bekerja keras menempuh jalan kepada Tuhannya untuk bertemu dengan-Nya. Ya‘ni, dengan mengakhiri kesulitan hidup duniawi dan untuk mendapatkan peristirahatan teragung di bawah naungan Allah.

Akan tetapi, di dunia ini sendiri sudah ada sebagian balasan atas aneka macam kerja keras dan jerih-payah yang dilakukan. Orang yang bekerja keras untuk urusan yang luhur tidak sama dengan orang yang bekerja keras untuk urusan yang hina. Tidak sama ketenangan hati yang diperolehnya dan kegembiraan atas jerih-payahnya, serta kepuasan terhadap pengorbanannya. Orang yang bekerja keras untuk membebaskan diri dari beban tanah, tidak sama dengan orang yang bekerja keras untuk berkubang dalam lumpur dan melekat di bumi bagaikan serangga dan cacing. Orang yang gugur di jalan dakwah tidak sama dengan orang yang mati memperturutkan keinginan nafusnya. Tidaklah sama perasaannya terhadap usaha dan jerih-payah yang didapatinya.

Lupa Diri.

Setelah menetapkan hakikat tentang tabiat kehidupan manusia ini, maka disanggahlah sebagian dari anggapan-anggapan manusia dan pandangan-pandangannya dengan segala implikasinya:

أَيَحْسَبُ أَنْ لَّنْ يَقْدِرَ عَلَيْهِ أَحَدٌ. يَقُوْلُ أَهْلَكْتُ مَالًا لُّبَدًا. أَيَحْسَبُ أَنْ لَّمْ يَرَهُ أَحَدٌ.

Apakah manusia itu menyangka bahwa sekali-kali tiada seorang pun yang berkuasa atasnya? Dia mengatakan: “Aku telah menghabiskan harta yang banyak”. Apakah dia menyangka bahwa tiada seorang pun yang melihatnya?” (al-Balad: 5-7).

Sesungguhnya “manusia” yang diciptakan dalam keadaan serba susah-payah ini, yang tidak lepas dari derita kerja keras dan jerih-payah, benar-benar melupakan keadaannya yang sebenarnya. Mereka tertipu dengan apa yang diberikan oleh Penciptanya yang berupa sedikit kekuatan, kekuasaan, penghasilan, dan kekayaan. Lalu, ia berbuat seperti perbuatan orang yang tidak memperhitungkan bahwa dia akan ditindak sesuai perbuatannya. Ia tidak mengira bahwa ada Tuhan Yang Maha Kuasa yang berkuasa atas dirinya dan akan memeriksanya. Sehingga, ia berbuat sewenang-wenang, kejam, merusak, merampas, mengumpulkan dan memperbanyak harta, fāsiq dan durhaka, tanpa ada perasaan khawatir dan prihatin. Inilah sifat manusia yang hatinya kosong dari iman.

Kemudian, apabila ia diseru kepada kebaikan dan untuk berkorban (seperti pada tempat-tempat yang disebutkan dalam surah): “Aku telah menghabiskan harta yang banyak.” Aku telah banyak berinfāq, karenanya cukuplah apa yang sudah kuinfāqkan dan kukorbankan itu. “Apakah dia menyangka bahwa tiada seorang pun yang melihatnya?”Apakah ia lupa bahwa Allah selalu mengawasinya, bahwa ‘amalnya selalu diliputi pengawasan-Nya, yang karenanya Dia mengetahui apa yang diinfāqkannya dan karena apa dia berinfāq? Tetapi, ia seakan-akan lupa terhadap hakikat ini, dan ia mengira dapat bersembunyi dari pengawasan Allah.