SURAH AL-‘ASHR
Diturunkan di Makkah
Jumlah Ayat: 3.
بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ
“Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang”
وَ الْعَصْرِ. إِنَّ الْإِنْسَانَ لَفِيْ خُسْرٍ. إِلَّا الَّذِيْنَ آمَنُوْا وَ عَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَ تَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَ تَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ
103:1. Demi masa.
103:2. Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian,
103:3. kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan ‘amal shāliḥ dan nasihat-menasihati supaya menaati kebenaran dan nasihat-menasihati supaya menetapi kesabaran.
Pengantar
Dalam surah pendek yang hanya terdiri atas tiga ayat ini, tercermin manhaj yang lengkap bagi kehidupan manusia sebagaimana yang dikehendaki Islam. Tampaklah rambu-rambu tashawwur imānī dengan hakikatnya yang besar dan lengkap dalam bentuk yang sejelas-jelasnya dan secermat-cermatnya.
Surah ini meletakkan dustur (aturan pokok) islāmī secara menyeluruh dalam kalimat-kalimat pendek. Juga mengidentifikasi umat Islam dengan hakikat dan aktivitasnya dalam sebuah ayat, yaitu ayat ketiga dari surah ini. Hal ini adalah sebuah paparan singkat yang tidak mungkin dapat dilakukan oleh selain Allah.
Hakikat besar yang ditetapkan surah ini secara total adalah bahwa dalam semua rentangan zaman dan perkembangan manusia sepanjang masa, hanya ada satu manhaj yang menguntungkan dan satu jalan yang menyelamatkan, yaitu manhaj yang dilukiskan batas-batasnya dan diterangkan rambu-rambu jalannya oleh surah ini. Adapun yang berada di luar dan bertentangan dengannya adalah kesia-siaan dan kerugian.
Manhaj itu adalah iman, ‘amal shāliḥ, saling menasihati untuk menaati kebenaran dan saling menasihati untuk menetapi kesabaran.
Apakah Iman Itu?
Kami tidak mendefinisikan iman di sini dengan definisi fikih, tetapi kami membicarakan tentang tabiat dan nilainya dalam kehidupan.
Iman adalah hubungan wujud insani yang fanā’, kecil, dan terbatas dengan asal yang mutlak dan azali serta abadi yang menjadi sumber semesta. Karena itu, ia berhubungan dengan wujud yang berasal dari sumber itu, aturan-aturan yang mengatur alam semesta ini, dan kekuatan-kekuatan beserta potensi-potensi yang tersimpan di dalamnya. Dengan demikian, ia bisa terlepas dari kungkungan dirinya sendiri yang kecil ke lapangan semesta yang besar. Juga dari kekuatannya yang kecil kepada potensi-potensi alam yang tak diketahui, dan dari keterbatasan usianya kepada masa berabad-abad yang hanya diketahui oleh Allah s.w.t.
Lebih dari itu, hubungan iman dengan wujud insani ini memberikan kepadanya kekuatan, perkembangan, dan kebebasan. Karena, di samping semua ini, iman memberikan kesenangan terhadap wujud semesta dengan segala keindahan yang terkandung di dalamnya. Juga dengan semua makhlūq yang ruhnya berlemah-lembut dan saling berkasih-sayang dengan ruhnya sendiri. Dengan demikian, kehidupan adalah sebuah wisata dalam festival Ilahi yang memberikan posisi kepada manusia dalam semua tempat dan kesempatan.
Kehidupan imani adalah suatu kebahagiaan yang tinggi, dan kegembiraan yang indah. Ia juga merupakan kemesraan terhadap kehidupan dan alam semesta ini seperti kemesraan seseorang dengan kekasihnya. Karena itu, kehidupan imani ini adalah sebuah keberuntungan yang tiada bandingnya, dan kehidupan tanpa iman adalah kerugian yang tiada bandingnya pula. Pasalnya, unsur-unsur iman itu sendiri merupakan unsur-unsur kemanusiaan yang tinggi dan mulia.
Ber‘ibādah kepada Tuhan Yang Maha Esa membebaskan manusia dari penyembahan kepada selain-Nya. Juga akan menanamkan di dalam jiwanya rasa kesamaan dengan semua hamba Allah. Karena itu, ia tidak merendahkan dirinya kepada seorang pun, dan tidak menundukkan kepalanya kepada selain Tuhan Yang Maha Esa lagi Maha Perkasa. Sehingga, ia merasakan kebebasan dan kemerdekaan yang hakiki sebagai manusia. Ya‘ni, kebebasan yang bersumber dari hati nurani dan dari pandangannya terhadap hakikat yang realitas pada alam semesta. Sesungguhnya hanya satu kekuatan dan sesembahan. Maka, kebebasan dan kemerdekaan yang bersumber dari tashawwur “pola pandang” demikian adalah kemerdekaan diri yang sebenarnya karena sangat logis dan rasional.
Rasa ketuhanan membingkai arahan yang darinya manusia menerima pandangan-pandangan, tata nilai, timbangan-timbangan, norma-norma, syarī‘at, dan undang-undangNya. Juga segala sesuatu yang menghubungkannya dengan Allah, lalu dengan alam semesta atau sesama manusia. Dengan demikian, hawa nafsu dan kepentingan pribadi tersingkir dari kehidupannya, lalu digantikan dengan syarī‘at dan keadilan.
Selain itu, rasa ketuhanan akan meninggikan perasaan manusia untuk beriman dengan nilai manhaj-Nya. Kemudian ia mengunggulkannya atas pola pandang jahiliyyah, tata nilai, dan norma-normanya. Juga atas semua tata nilai yang dikembangkan dari ikatan-ikatan dunia nyata walaupun ia hanya seorang diri yang bersikap begitu. Karena ia menghadapi semuanya dengan pola pandang, tata nilai, dan norma-norma yang bersumber dari Allah secara langsung. Karena itu, apa yang dari Allah inilah yang lebih tinggi, lebih kuat, serta lebih patut diikuti dan dihormati. (201).
Kejelasan hubungan al-Khāliq dengan makhlūq, dan kejelasan posisi ulūhiyyah dan posisi ‘ubūdiyyah atas hakikatnya yang indah, dapat menjalinkan hubungan antara makhlūq yang fanā’ ini dan hakikat yang abadi tanpa keruwetan dan perantaraan siapa pun di dalam menempuh jalannya. Ia memberikan cahaya dalam hati, ketenteraman dalam ruh, dan ketenangan dan kemantapan dalam jiwa. Juga menghilangkan kebimbangan, ketakutan, kegoncangan, dan kelabilan, sebagaimana dapat menghilangkan sikap takabbur dan congkak di muka bumi secara tidak benar. Selain itu, ia pun menghilangkan sikap kesombongan dan tinggi hati terhadap sesama hamba Allah dengan cara yang bāthil dan mengada-ada.
Istiqāmah (konsisten) pada manhaj yang dikehendaki Allah karena kebaikan itu tidak datang dengan sendirinya. Ia tidak datang dengan gerak refleks yang timbul begitu saja dan bukan peristiwa yang berdiri sendiri. Semuanya terjadi karena tujuan yang hendak dicapai. Setiap anggota yang saling terikat, bekerja sama dan bantu-membantu karena mencari keridhāan Allah. Maka berdirilah kaum Muslimīn dengan satu tujuan yang jelas, dan dengan sebuah panji-panji yang khusus. Hal demikian sebagaimana generasi yang datang silih berganti dan terikat dengan tali yang kuat ini, saling menjaga kelestariannya.
Percaya pada kemuliaan manusia dalam pandangan Allah, akan dapat mengangkat pandangan manusia terhadap dirinya sendiri. Juga akan menebarkan dalam hatinya perasaan malu untuk melakukan sesuatu yang dapat merendahkan dirinya dari martabat yang tinggi itu. Ini adalah pandangan tertinggi manusia terhadap dirinya bahwa ia adalah makhlūq yang mulia di sisi Allah.
Semua aliran atau pandangan yang merendahkan derajat manusia di dalam memandang dirinya sendiri, mengembalikannya ke dasar tanah yang rendah, dan memisahkannya dari alam tertinggi, adalah pandangan atau aliran yang menyerunya kepada kehinaan dan kerendahan, meskipun mereka tidak menyatakannya secara terus-terang. Karena itu, teori-teori Darwinisme, Fruedianisme, dan Marxisme merupakan bencana amat buruk yang menimpa fitrah manusia dan arah kehidupannya. Semua itu menyiratkan ajaran bahwa semua kerendahan, kekotoran, dan kehinaan adalah persoalan alamiah yang realitas. Sehingga, tidak ada yang perlu dianggap aneh, dan tidak ada yang dianggap memalukan. Padahal, pandangan ini merupakan kejahatan terhadap nilai kemanusian yang layak mendapatkan kemarahan dan penghinaan. (212).
Bersihnya perasaan itu datang sebagai akibat langsung dari perasaan terhadap kemuliaan manusia dalam pandangan Allah. Juga dari perasaan dan kesadaran akan adanya pengawasan Allah terhadap hati, dan pengetahuan-Nya terhadap segala rahasia. Dengan demikian, orang normal yang tidak dirusak oleh pandangan dan teori Frued, Karl Marx, dan orang-orang yang sejenisnya, akan merasa malu kalau keburukan-keburukan dirinya dan pengkhianatan perasaannya diketahui orang lain. Orang yang beriman akan merasakan dan menyadari adanya pengawasan Allah Yang Maha Suci kepada semua sudut perasaannya yang menjadikannya merinding dan bergetar. Karena itu, ia lebih patut mensucikan dan membersihkan perasaannya!
Kesadaran berakhlāq adalah buah yang otomatis dan alami dari keimanan kepada Tuhan Yang Maha Adil, Maha Penyayang, Maha Mulia, Maha Pengasih, lagi Maha Penyantun. Tuhan yang benci kepada keburukan dan cinta kepada kebaikan, dan mengetahui pengkhianatan pandangan dan apa yang disembunyikan oleh hati.
Di sana tentu ada pertanggungjawaban sebagai konsekuensi logis dari kebebasan berkehendak dan adanya pengawasan yang meliputi, serta kesadaran dan sensitivitas orang yang beriman. Ini bukan hanya tanggungjawab pribadi an sich (“di dalam” atau “oleh dirinya sendiri”), tetapi juga tanggungjawab sosial, tanggungjawab terhadap kebaikan sendiri dan semua manusia di hadapan Allah. Ketika seorang mu’min bergerak dengan suatu gerakan atau akitvitas, ia merasakan semua ini. Karena itu, terasalah semuanya sebagai sesuatu yang amat bersar dalam pandangan batinnya. Sehingga, ia akan memperhitungkan akibat-akibat perbuatannya sebelum melangkahkan kakinya. Ia memandang bahwa segala sesuatu itu ada bernilai di alam semesta ini, dan akan dimintai pertanggungjawabannya.
Dengan demikian, seorang mu’min akan melepaskan diri dari bersusah payah terhadap kekayaan dunia, ini merupakan salah satu arahan iman. Ia memilih apa yang ada di sisi Allah, karena itulah yang lebih baik dan lebih kekal.
“Dan untuk itulah hendaknya manusia berlomba-lomba.” (al-Muthaffifīn: 26).
Berlomba-lomba untuk mendapatkan apa yang ada di sisi Allah, akan dapat meninggikan derajat seseorang dan akan membersihkan serta menyucikan hati dan pikirannya. Hal ini akan membantu melapangkan medan gerak seorang mu’min antara dunia dan akhirat, antara bumi dan alam yang tinggi (alam ruhani, alam malaikat). Juga akan dapat menerangkan hati dari goncangan untuk segera mendapatkan hasil dan buahnya. Maka, ia melakukan kebaikan karena apa yang dilakukannya itu adalah baik, dan karena Allah menghendakinya.
Ia tidak hanya mengharapkan cucuran kebaikan menurut pandangan mata dalam usianya yang terbatas ini. Karena, Allah tidak akan pernah meninggal dunia – Maha Suci Allah dari yang demikian itu – dan tidak akan pernah lupa, serta tidak akan pernah melalaikan ‘amalannya sedikit pun. Sedangkan, bumi bukan negeri tempat menerima balasan dan kehidupan dunia bukan akhir perjalanan.
Oleh karena itu, dikembangkanlah kemampuan untuk menjaga kesinambungan kebaikan dari sumber yang tak pernah kering. Dialah yang menjamin keberadaan kebaikan sebagai manhaj yang berkesinambungan, bukan sekali gebrak dan setelah itu terputus. Inilah yang harus dikembangkan seorang mu’min dengan kekuatan yang besar itu di dalam menghadapi dan mempergauli manusia, baik di dalam menghadapi kezhāliman penguasa yang zhālim, tekanan sistem jahiliyyah, maupun ambisi-ambisi manusia yang menekan kehendak bebasnya. Tekanan yang dipicu oleh perasaan diri yang terbatas usianya hingga tidak mampu meraih semua kesenangan dan ambisinya. Juga karena ketidakmampuannya melihat hasil-hasil kebaikan yang jauh jangkauannya, dan karena menyaksikan menangnya kebenaran atas kebatilan. Keimanan akan dapat mengobati perasaan ini secara mendasar dan sempurna. (223)
Iman merupakan pokok kehidupan yang besar, yang menjadi sumber segala cabang kebaikan, dan menjadi tali pergantungan buah-buahannya. Kalau kebaikan tidak bersumber pada iman, maka ia merupakan cabang yang terputus dari batangnya, yang akan layu dan kering. Kalau tidak begitu, yang ada hanyalah sistem syaithān, yang tidak memiliki keteguhan dan kelanggengan.
Iman merupakan poros tempat bertambatnya semua rajutan kehidupan yang tinggi. Kalau tidak berporoskan iman, maka rajutan kehidupan akan berantakan, tidak memiliki tambahan, dan akan berserakan bersama hawa-nafsu dan keinginan-keinginan.