Surah al-‘Ashr 103 ~ Tafsir Sayyid Quthb (3/3)

Dari Buku:
Tafsīr fi Zhilāl-il-Qur’ān
Oleh: Sayyid Quthb
 
Penerbit: Gema Insani

Kedua, mereka tidak mengendalikan pemerintahan dan kepemimpinan tanpa pendidikan akhlāq dan membersihkan jiwanya. Berbeda dengan bangsa-bangsa lain pada umumnya, pribadi-pribadi, maupun tokoh-tokoh pemerintahan dahulu dan sekarang. Bahkan, mereka telah hidup dalam masa yang panjang di bawah asuhan Nabi Muḥammad s.a.w. dengan bimbingannya yang cermat. Beliau selalu membersihkan jiwa dan mendidik moral mereka. Juga mendidik mereka dengan zuhud, wara‘, menjaga kesucian diri, amānah, mementingkan orang lain, takut kepada Allah, dan tidak berkeinginan dan berambisi kepada jabatan. Beliau bersabda:

إِنَّا، وَ اللهِ، لَا نُوَلِّيْ هذَا الْعَمَلَ أَحَدًا سَأَلَهُ، أَوْ أَحَدًا حَرَصَ عَلَيْهِ.

Sesungguhnya kami, demi Allah, tidak akan memberikan jabatan ini kepada seseorang yang memintanya, atau seseorang yang berambisi kepadanya.” (HR. Muttafaq ‘alaih).

Pendengaran mereka selalu terketuk oleh firman Allah:

Negeri akhirat itu, Kami jadikan untuk orang-orang yang tidak ingin menyombongkan diri dan berbuat kerusakan di (muka) bumi. Dan kesudahan (yang baik) itu adalah bagi orang-orang yang bertaqwā.” (al-Qashash: 83).

Mereka tidak berebut untuk mendapatkan posisi dan jabatan, apalagi mencalonkan dirinya untuk menjadi pemimpin. Mereka senantiasa menyucikan jiwa, selalu menyerukan kebersihan jiwa, dan menafkahkan hartanya untuk mendanai keperluan-keperluan itu dari belakang. Kalau mereka mendapatkan jabatan untuk memimpin masyarakat, maka mereka tidak menganggap jabatan itu sebagai kemenangan, kesenangan, atau sebagai imbalan atas nafkah dan perjuangannya. Akan tetapi, mereka menganggapnya sebagai amānat di atas pundak mereka dan sebagai ujian dari Allah. Mereka menyadari bahwa mereka akan diajukan ke hadapan Tuhan dan akan dimintai pertanggungjawaban tentang semua perkara yang diembannya, yang kecil ataupun besar. Mereka senantiasa ingat firman Allah:

Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (an-Nisā’: 58).

Dan Dialah yang menjadikan kamu penguasa-penguasa di bumi dan Dia meninggikan sebahagian kamu atas sebahagian (yang lain) beberapa derajat, untuk mengujimu tentang apa yang diberikan-Nya kepadamu.” (al-An‘ām: 165).

Ketiga, mereka bukan pelayan suku tertentu, dan bukan utusan bangsa atau negeri tertentu, yang mengusahakan kemakmuran dan memenuhi kepentingannya saja. Juga bukan hanya untuk mengamankan kelebihan dan keunggulannya atas bangsa-bangsa dan negara-negara lain. Mereka tidak beranggapan bahwa mereka diciptakan untuk menjadi pemimpin dan tidak beranggapan bahwa manusia tidak diciptakan kecuali untuk dipimpin olehnya. Mereka tidak dilahirkan untuk membangun imperium ‘Arabia yang mereka dapat bersenang-senang dan berkuasa di bawah naungannya, congkak dan menyombongkan diri di bawah bentengnya, dan membebaskan manusia dari pemerintahan Romawi dan Persia untuk tunduk di bawah pemerintahan ‘Arab dan kekuasaan dirinya. Bukan, bukan demikian!

Mereka hanya ditugaskan untuk membebaskan manusia dari menyembah sesama manusia kepada menyembah Allah saja. Dalam kitab al-Bidāyatu wan-Nihāyah karya Ibn-ul-Atsīr disebutkan bahwa Rib‘ī bin ‘Āmir utusan kaum Muslimīn di majlis Yazdajird berkata: “Allah telah mengutus kami untuk membebaskan manusia dari menyembah sesamanya kepada menyembah Allah saja dari kesempitan dunia kepada kelapangannya, dan membebaskan mereka dari kezhāliman agama-agama lain kepada keadilan Islam.”

Maka, semua bangsa dan semua manusia menurut mereka sama saja. Semuanya berasal dari Ādam, sedang Ādam berasal dari tanah. Tidak ada kelebihan bagi bangsa ‘Arab atas bangsa ‘Ajam (non-‘Arab), dan tidak ada kelebihan bagi bangsa ‘Ajam atas bangsa ‘Arab kecuali dengan taqwā.

Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang wanita dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertaqwā di antara kamu.” (al-Ḥujurāt: 13).

‘Umar ibn-ul-Khaththāb pernah berkata kepada ‘Amr bin ‘Āsh, Gubernur Mesir, ketika putra ‘Amr memukul seorang Mesir sambil membanggakan kedudukan bapaknya seraya berkata: “Ambillah ia dari anak orang-orang terhormat.” Lalu ‘Umar menghukumnya seraya berkata: “Sejak kapan kamu memperbudak manusia yang dilahirkan oleh ibunya dalam keadaan merdeka?”

Karena itu, kaum Muslimīn tidak pelit memberlakukan agama dan ‘ilmu pengetahuannya, dan di dalam memberikan pendidikan kepada seseorang. Dalam memelihara kekuasaan, pemerintahan demi menjaga nasab, ras, dan kebangsaan. Tetapi, hanya semata-mata agar seluruh negara menjadi teratur, keadilan merata kepada semua hamba Allah, dan kemakmuran juga merata kepada semua warga, baik di dataran rendah maupun dataran tinggi. Seluruh negara dan semua hamba Allah dapat memperoleh manfaat dan kemaslahatannya dengan menerima kehadirannya.

Di bawah naungan dan pemerintahan mereka, umat-umat dan bangsa-bangsa – hingga yang dulu menjadi penjajah pun – dapat memperoleh bagiannya dari agama, ‘ilmu, pendidikan, dan pemerintahan, serta turut andil bersama bangsa ‘Arab untuk membangun dunia baru. Bahkan, banyak di antara personal mereka yang mengungguli bangsa ‘Arab dalam beberapa bidang. Ada pula di antara mereka yang menjadi imam-imam yang menjembatani bangsa ‘Arab dengan tokoh-tokoh Muslimīn dari kalangan fuqahā’ dan ahli hadits.

Keempat, manusia itu terdiri jasmani dan ruhani. Ia memiliki hati, pikiran, perasaan, dan anggota badan. Ia tidak akan dapat mencapai kebahagiaan, kesenangan, dan kemajuan yang seimbang dan adil sehingga seluruh potensi ini tumbuh dengan serasi dan seimbang, dan diberi makan dengan makanan yang baik. Tidak akan dijumpai peradaban yang baik dan shalih kecuali bila dibimbing oleh keseimbangan beragama, moral, dan pikiran dengan fisik, yang dengannya manusia dapat dengan mudah mencapai kesempurnaan kemanusiaannya. Pengalaman menunjukkan bahwa hal itu tidak mungkin dapat dicapai kecuali dengan mantannya (mantapnya atau matangnya? MS) kepemimpinan hidup dan teraturnya sisi-sisi peradaban di antara orang-orang yang percaya kepada ruh dan materi. Ya‘ni, memadukan unsur-unsur ruhani dan materi. Orang-orang yang menjadi teladan yang sempurna dalam kehidupan beragama dan berakhlāq, dan memiliki pikiran yang sehat dan cerdas, serta memiliki ‘ilmu-‘ilmu yang benar dan bermanfaat.”

Selanjutnya, Ustadz an-Nawawī menulis di bawah judul “Daur-ul-Khilāfat-ir-Rāsyidah Mitsl-al-Madaniyyat-ish-Shāliḥah” “Peranan Khalīfah Rāsyidah terhadap Peradaban yang Shāliḥ.”

Demikian juga, kita tidak melihat peranan dalam putaran sejarah yang lebih sempurna, lebih indah, dan lebih cemerlang dalam semua seginya daripada peranan Khilāfah Rāsyidah (Khulafū’-ur-Rāsyidīn) ini. Pada masanya, terjadi kerja sama antara kekuatan ruhaniah, akhlāq, agama, ‘ilmu pengetahuan, dan sarana-sarana materiil di dalam membangun manusia yang sempurna dan melahirkan peradaban yang shāliḥ. Pemerintahan mereka adalah pemerintahan terbesar dibandingkan pemerintahan manapun di dunia saat itu. Kekuatan politiknya mengungguli semua kekuatan pada waktu itu. Akhlāq yang luhur dan ideal mengedepan, sehingga nilai-nilai akhlāq yang utama selalu memandu kehidupan manusia dan sistem hukum. Akhlāq yang utama juga menyebar ke sektor dan lalu lintas perdagangan dan perusahaan. Ketinggian akhlāq dan ruhaniah berjalan bersama dengan perluasan wilayah dan peningkatan peradaban.

Dengan demikian, kejahatan-kejahatan berkurang dan kriminalitas jarang sekali terjadi, bila dibandingkan dengan luasnya wilayah kekuasaan dan banyaknya jumlah penduduk, meski unsur-unsur pemicu dan alasan-alasan untuk melakukannya tetap ada. Hubungan antarindividu berjalan dengan baik, demikian pula hubungan individu dengan jamā‘ah, dan jamā‘ah dengan individu. Inilah peranan sempurna yang manusia tidak pernah memimpikan adanya kemajuan yang lebih tinggi daripada itu, dan tidak ada yang dapat membayangkan kapan lahir masa kecemerlangan yang melebihinya.”

Inilah sebagian dari masa-masa bahagia yang dialami manusia di bawah naungan dustur (aturan pokok) islami yang fondasinya telah dipasang oleh surah al-‘Ashr. Juga di bawah bendera keimanan yang dikibarkan oleh jamā‘ah yang beriman, ber‘amal shāliḥ, saling menasihat untuk menaati kebenaran dan saling menasihati untuk menetapi kesabaran.

Nah, ke manakah hilangnya semua itu sebagaimana yang dialami manusia sekarang di semua tempat? Mereka mengalami kerugian dalam peperangan antara kebaikan dan kejahatan. Mereka buta dari kebaikan besar yang dulu dibawa oleh bangsa ‘Arab untuk semua manusia ketika mereka mengarak panji-panji Islam dan hidup di bawah kepemimpinannya. Kemudian bendera itu diturunkan, dan tiba-tiba saja ia berada di belakang kafilah yang berjalan menuju kehampaan dan kerugian.

Sesudah itu, semua bendera dan panji-panji menjadi milik syaithān, tidak ada satu pun bendera untuk Allah. Semuanya untuk kebatilan, tidak ada satu pun bendera kebenaran. Semuanya untuk kebutaan dan kesesatan, tidak ada satu pun bendera petunjuk dan cahaya. Semuanya untuk kerugian dan tidak ada satu pun bendera (sepertinya ada yang kurang di sini MS) dan panji-panji Allah senantiasa ada. Ia menantikan tangan yang dapat mengangkat dan mengibarkannya. Juga menantikan umat yang mau berjalan di bawah kibarannya menuju kebaikan, petunjuk, keshāliḥan, dan kebahagiaan.

Begitulah persoalan keberuntungan dan kerugian di dunia ini, yang bagaimanapun besarnya bila dibandingkan dengan akhirat terasa kecil. Di sana terdapat keberuntungan dan kerugian yang sebenarnya. Di sana, waktunya amat panjang (tidak berkesudahan), kehidupannya abadi, dan alamnya hakiki. Di sana, ada keberuntungan dan kerugian – keberuntungan yang berupa surga dan kepuasan, atau kerugian dengan sepuas-puasnya. Di sana, manusia mencapai kesempurnaan puncak yang ditentukan untuknya. Atau, mengalami kejatuhan yang serendah-rendahnya hingga lenyap kemanusiaannya, hingga nilainya seperti batu atau di bawah batu:

“… pada hari manusia melihat apa yang telah diperbuat oleh kedua tangannya dan orang kafir berkata: “Alangkah baiknya sekiranya aku dahulu adalah tanah” (an-Naba’: 40).

Surah ini memastikan batas jalan bahwa jalan kehidupan itu menuju kerugian: “kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan ‘amal shāliḥ dan nasihat-menasihati supaya menaati kebenaran dan nasihat-menasihati supaya menetapi kesabaran”.

Hanya ada satu jalan keberuntungan, keselamatan, dan kebahagiaan, yang tidak berbilang dan tidak terbagi-bagi, yaitu jalan iman dan ‘amal shāliḥ. Jalan untuk menegakkan kaum Muslimīn yang saling menasihati untuk menaati kebenaran dan saling menasihati untuk menetapi kesabaran. Juga saling menjaga dan mendukung untuk memelihara kebenaran dengan berbekal kesabaran.

Hanya ada satu jalan. Karena itu, ada dua orang sahabat Rasūlullāh s.a.w. yang bertemu, mereka tidak berpisah sebelum salah satunya membacakan kepada yang lain surah al-‘Ashr. Kemudian yang satu memberi salam kepada yang lain. Keduanya saling berjanji untuk terikat pada dustur (aturan pokok) Ilahi ini, berpegang teguh pada keimanan dan ‘amal shāliḥ, saling menasihati untuk menaati kebenaran dan menetapi kesabaran. Keduanya saling berjanji dan saling terikat bahwa mereka adalah pemelihara dan penjaga dustur (aturan pokok) Ilahi ini. Keduanya saling berjanji setia bahwa mereka termasuk golongan umat yang menegakkan dustur (aturan pokok) ini.

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *