Surah al-‘Ashr 103 ~ Tafsir Sayyid Quthb (2/3)

Dari Buku:
Tafsīr fi Zhilāl-il-Qur’ān
Oleh: Sayyid Quthb
 
Penerbit: Gema Insani

Iman adalah manhaj yang menyatukan berbagai macam ‘amal dan perbuatan. Ia mengembalikannya kepada sistem yang sesuai dengannya, saling membantu, dan berjalan bersamanya pada satu jalur. Semua itu dilakukan dalam gerakan yang sama, dengan motivasi yang sudah dimaklumi, dan dengan tujuan yang pasti.

Karena itu, al-Qur’ān mengabaikan setiap amalan yang tidak berpedoman pada prinsip ini, tidak bertambat pada pelabuhan ini, dan tidak bersumber dari manhaj ini. Pandangan Islam sudaah sangat jelas dan tegas mengenai semua persoalan ini. Al-Qur’ān mengatakan:

Orang-orang yang kafir kepada Tuhannya, ‘amalan-‘amalan mereka adalah seperti abu yang ditiup angin dengan keras pada suatu hari yang berangin kencang. Mereka tidak dapat mengambil manfaat sedikit pun dari apa yang telah mereka usahakan (di dunia).” (Ibrāhīm: 18).

Dan orang-orang yang kafir ‘amal-‘amal mereka laksana fatamorgana di tanah yang datar, yang disangka air oleh orang-orang yang dahaga, tetapi bila didatanginya air itu dia tidak mendapatinya sesuatu apa pun.” (an-Nūr: 39).

Ini adalah nash-nash yang jelas dan terang mengenai persoalan tersia-sianya nilai semua ‘amalan jika tidak berdasarkan keimanan yang menjadi motivator sekaligus penghubungnya dengan sumber segala yang wujud, dan menjadikan tujuan ‘amalannya selaras dengan tujuan penciptaan itu sendiri. Inilah pandangan yang logis bagi ‘aqīdah yang mengembalikan semua urusan kepada Allah. Barang siapa yang terputus hubungannya dari keimanan dan dari Allah, maka terputus dan hilanglah hakikat ma‘nanya. (231)

Iman adalah indikasi yang menunjukkan sehatnya fitrah dan selamatnya eksistensi manusia. Juga menunjukkan keselarasannya dengan fitrah alam semesta, dan menunjukkan adanya interaksi manusia dengan alam sekitarnya. Ia hidup di alam semesta, dan eksistensinya berinteraksi dengan alam ini. Interaksi itu harusnya berujung pada iman, berdasarkan indikasi-indikasi dan isyārat-isyārat di alam semesta yang menunjukkan adanya kekuasaan mutlak yang telah menciptakannya dengan keserasian dan keselarasannya. Apabila interaksi ini hilang atau terabaikan, maka hal itu sudah menunjukkan rusak dan tidak sempurnanya perangkat yang digunakan untuk berinteraksi. Ya‘ni, eksistensi manusia itu sendiri yang berpedoman pada pola pikir yang salah. Ini sekaligus sebagai indikasi yang menunjukkan kepada kerusakan yang membawa kerugian. Tidak sah ‘amalan yang dilakukannya meskipun secara lahiriah bersentuhan dengan kebaikan.

Dunia orang beriman itu luas, lengkap, lapang, tinggi, indah, dan membahagiakan. Sedangkan, dunia orang nonmu’min tampak kecil, kerdil, rendah, hina, membingungkan, menyengsarakan, dan sangat merugikan!

‘Amal Shāliḥ.

‘Amal shāliḥ merupakan buah alami bagi iman, dan gerakan yang didorong oleh adanya hakikat iman yang mantap di dalam hati. Jadi, iman merupakan hakikat yang aktif dan dinamis. Apabila sudah mantap di dalam hati, maka ia akan berusaha merealisasikan diri di luar dalam bentuk ‘amal shāliḥ. Inilah iman Islami, yang tidak mungkin stagnan (mandek) tanpa bergerak, dan tidak mungkin hanya bersembunyi tanpa menampakkan diri dalam bentuk yang hidup di luar diri orang yang beriman. Apabila ia tidak bergerak dengan gerakan yang otomatis ini, maka, iman itu palsu atau telah mati. Keadaannya seperti bunga yang tidak dapat menahan bau harumnya. Ia menjadi sumber otomatis. Kalau tidak, berarti ia tidak ada wujudnya.

Dari sinilah tampak nilai iman bahwa ia adalah ḥarakah (gerakan), ‘amal, pembangunan, dan pemakmuran yang menuju Allah. Iman bukan sekadar lintasan, dan bukan sesuatu yang pasif yang tersimpan di dalam hati. Ia juga bukan sekadar niat-niat baik yang tidak terwujud dalam gerakan nyata. Ini adalah karakter Islam yang menonjol yang menjadi kekuatan pembangunan yang sangat besar di dalam kehidupan.

Inilah pengertiannya, selama iman itu sebagai ikatan dengan manhaj Rabbānī. Manhaj ini adalah gerakan yang konstan dan berkesinambungan di dalam wujud semesta, yang bersumber dari suatu perencanaan dan menuju tujuan. Sedangkan, panduan iman kepada manusia merupakan panduan untuk merealisasikan gerakan yang merupakan karakter semesta. Yaitu, gerakan yang baik, bersih, konstruktif, dan sesuai dengan manhaj yang bersumbar dari Allah.

Saling Menasihat untuk Menaati Kebenaran dan Bersabar.

Saling menasihati untuk menaati kebenaran dan menetapi kesabaran ini terlukis dalam keberadaan umat Islam dengan bentuknya yang khas, ikatannya yang istimewa, dan arahnya yang sama. Ya‘ni, umat yang merasakan keberadaannya sebagaimana mereka merasakan kewajibannya. Juga mengerti hakikat sesuatu yang harus diutamakan, yang bersumber dari iman dan ‘amal shāliḥ, yang meliputi masalah kepemimpinan manusia di jalan iman dan ‘amal shāliḥ. Lantas, saling menasihati dengan nasihat yang dapat membangkitkan semangatnya untuk mengemban amānat terbesar ini.

Dari celah-celah lafal tawāshi “saling menasihati” dengan ma‘na, tabiat, dan hakikatnya, tampaklah potret umat yang kompak dan saling bertanggungjawab. Umat pilihan, umat yang baik, umat yang penuh pengertian, dan umat yang bermutu di muka bumi dengan berpegang pada dan menegakkan kebenaran, keadilan, dan kebaikan. Ini merupakan gambaran paling tinggi dan paling indah bagi umat pilihan. Demikianlah yang dikehendaki Islam terhadap umatnya. Ia menghendaki umat Islam sebagai umat terbaik, kuat, penuh pengertian, tanggap, sensitif terhadap kebenaran dan kebaikan, dan saling menasihati untuk menaati kebenaran dan menetapi kesabaran. Semuanya dilakukan dengan penuh kasih-sayang, penuh solidaritas, tolong-menolong, dan penuh rasa persaudaraan, yang selalu disiram dengan kata “tawāshi” dalam al-Qur’ān.

Saling menasihati untuk menaati kebenaran” ini adalah sesuatu yang sangat vital. Karena, melaksanakan kebenaran itu sulit dan hambatannya banyak, seperti hawa-nafsu, logika kepentingan, pola pikir lingkungan, kezhāliman penguasa, kezhāliman orang-orang yang zhālim, dan penganiayaan para penyeleweng. Tawāshi adalah mengingatkan, memberi semangat, menyadarkan betapa dekatnya tujuan dan sasaran yang hendak dicapai, dan mengingatkan akan perlunya persaudaraan di dalam memikul beban dan mengemban amānat.

Dengan demikian, ia akan menambah dan menguatkan arahan dan kesadaran pribadinya, akan saling meningkatkan dan menguatkan, dan akan timbul kerja sama yang baik. Juga akan menambah sensitivitas terhadap setiap penjaga kebenaran bahwa di samping dirinya terdapat juga orang lain yang selalu memberi nasihat kepadanya, memberi semangat kepadanya, yang berdiri bersamanya, serta mencintainya dan tidak merendahkannya. Agama Islam ini yang notabene adalah kebenaran, tidak akan dapat tegak berdiri kecuali dengan penjagaan umat yang bekerja sama, tolong-menolong, bantu-membantu, saling menjamin, dan saling bertanggungjawab untuk melaksanakan tugas-tugas seperti ini.

Saling menasihati untuk menetapi kesabaran” juga merupakan sesuatu yang vital. Karena, menegakkan keimanan dan ‘amal shāliḥ, dan menjaga kebenaran dan keadilan, merupakan sesuatu yang amat sulit yang dihadapi oleh perorangan dan jamā‘ah. Karena itu, diperlukan kesabaran untuk berjihad melawan hawa-nafsu dan berjihad terhadap orang lain yang memusuhi kebenaran. Sabar di dalam menghadapi gangguan dan penderitaan, gelombang kebatilan dan merebaknya kejahatan, serta menempuh jalan yang panjang. Juga sabar terhadap lambatnya pecapaian tahapan-tahapannya, redupnya rambu-rambu di jalan, dan jauhnya ujung jalannya.

Saling berwasiat untuk bersabar ini akan dapat meningkatkan kekuatan. Karena, dapat membangkitkan kesadaran akan kesamaan tujuan, kesatuan arah dan saling mendukungnya antara yang satu dan yang lain; dan membekali mereka dengan kecintaan, keteguhan, dan kebersambungan. Juga dengan lain-lain ma‘na jamā‘ah yang hakikat Islam tidak dapat hidup kecuali di bawah udaranya, dan tidak akan muncul kecuali dari celah-celahnya. Kalau tidak demikian, maka yang ada hanya kerugian dan kesia-siaan.

Kepemimpinan Kaum Muslimīn.

Nah sekarang, kita lihat dari celah-celah dustur (aturan pokok) yang dilukiskan oleh al-Qur’ān bagi kehidupan golongan yang beruntung dan selamat dari kerugian ini. Kita akan terperanjat karena melihat kerugian (pandangan, sikap, dan praktik hidup yang merugikan) sedang mengepung manusia di semua tempat di muka bumi tanpa kecuali. Kita merasa ngeri terhadap kesia-siaan hidup yang dialami manusia di dunia, sebelum di akhirat nanti. Kita merasa takut melihat manusia sudah berpaling sedemikian jauh dari kebaikan yang dilimpahkan Allah kepada mereka, di samping telah hilangnya pemerintahan yang baik dan beriman yang menegakkan kebenaran di muka bumi.

Kaum Muslimīn sendiri atau orang-orang yang mengaku beragama Islam dengan pernyataan yang lembut, telah begitu jauh dari kebaikan ini. Mereka jauh berpaling dari manhaj yang dipilihkan Allah buat mereka, dan jauh berpaling dari dustur (aturan pokok) yang disyarī‘atkan-Nya bagi umat mereka. Juga jauh dari jalan satu-satunya yang dapat menyelamatkan mereka dari kerugian dan kesia-siaan.

Kawasan tempat munculnya kebaikan ini pertama kali telah meninggalkan bendera yang dipancangkan oleh Allah, yaitu bendera iman. Karena, mereka bergantung pada bendera-bendera kesukuan dan kebangsaan yang dengan bernaung di bawah kibarannya tidak diperoleh lagi kebaikan di dalam sejarahnya secara total. Mereka tidak lagi mendapat sebutan di bumi dan di langit, sehingga datang Islam dan mengibarkan buat mereka bendera yang dinisbatkan kepada Allah, yaitu bendera yang diberi nama dan tanda dengan nama dan tanda Allah yang tiada sekutu bagi-Nya. Bendera yang di bawah kibarannya bangsa ‘Arab mendapat kemenangan; memandu dan memimpin kemanusiaan dengan kepemimpinan yang baik, kokoh, dan tangkas; dan membawa keselamatan untuk pertama kali dalam sejarah mereka dan sejarah kemanusiaan yang panjang.

Ustadz Abul-Ḥasan an-Nadawī berkata di dalam bukunya yang sangat berharga Mā Dzā Khasir-al-‘Ālam bi Inhithāth-il-Muslimīn tentang kepemimpinan yang baik dan jitu dalam sejarah ini, di bawah judul “‘Ahd-ul-Qiyādat-il-Islāmiyyah: Al-Aimmat-ul-Muslimūna wa Khasha’ishuhum.

“Kaum Muslimīn telah lahir dan memimpin dunia serta melepaskan bangsa-bangsa yang tertipu dari kepemimpinan manusia yang mengeksploitasinya dan bertindak buruk terhadapnya. Mereka memandu manusia untuk menempuh jalan kehidupan dengan cepat, seimbang, dan adil.

Banyak sekali sifat yang mereka miliki yang menjadikan mereka layak memimpin bangsa-bangsa ini. Juga dapat menjamin kebahagiaan dan keberuntungan mereka di bawah naungan dan kepemimpinannya.

Pertama, mereka memiliki kitab dan syarī‘at yang diturunkan dari Tuhan. Mereka tidak membuat undang-undang dan syarī‘at berdasarkan keinginan hawa-nafsu, karena nafsu itu merupakan sumber kejahilan, kekeliruan, dan kezhāliman. Mereka tidak meraba-raba di dalam menempuh perjalanan hidup, di dalam berpolitik, dan di dalam bermu‘āmalah dengan sesama manusia. Karena, Allah telah menciptakan cahaya bagi mereka untuk berjalan di tengah-tengah masyarakat manusia, dan telah menjadikan untuk mereka syarī‘at yang mereka jadikan hukum untuk mengatur masyarakat:

Apakah orang yang sudah mati kemudian dia Kami hidupkan dan Kami berikan kepadanya cahaya yang terang, yang dengan cahaya itu dia dapat berjalan di tengah-tengah masyarakat manusia, serupa dengan orang yang keadaannya berada dalam gelap gulita yang sekali-kali tidak dapat keluar darinya?” (al-An‘ām: 122).

Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada taqwā. Bertaqwālah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (al-Mā’idah: 8).

Catatan:

  1. 23). Syaikh al-Ustadz Muḥammad ‘Abduh di dalam menafsirkan firman Allah “Fa man ya‘mal mitsqāla dzarratin khairan yarah, wa man ya‘mal mitsqāla dzarratin syarran yarah” mengatakan: “Apa yang dikutip oleh sebagian orang bahwa terdapat ijma‘ yang mengatakan bahwa kebaikan orang kafir tidak bermanfaat sedikit pun baginya di akhirat dan tidak dapat mengurangi ‘adzābnya sedikit pun, maka apa yang mereka kutip itu tidak ada dasarnya sama sekali.” Akan tetapi, saya (Sayyid Quthb) berpendapat bahwa apa yang dikatakan para mufassir itu bukan cuma dari ijma‘, melainkan dari nash-nash al-Qur’ān yang jelas dan tegas, yang menjadi dasarnya.

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *