Surah al-‘Alaq 96 ~ Tafsir Syaikh Fadhlallah

Tafsir Juz ‘Amma
(Judul Asli: Beams of Illumination)
Oleh: Syaikh Fadhlallah Haeri

SURAH AL-‘ALAQ

“SEGUMPAL DARAH”

 

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ

Dengan Nama Allah, Yang Maha Pengasih, Lagi Maha Penyayang.

Lima ayat pertama surah ini umumnya dianggap sebagai ayat yang pertama diwahyukan kepada Nabi Muḥammad. Surah ini berkenaan dengan upaya pembangkitan kecerdasan dan pengetahuan yang sudah ada dalam diri si pembaca, dan menyangkut pengetahuan diri serta pembacaan catatan batin.

اِقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِيْ خَلَقَ

  1. Bacalah dengan nama Tuhanmu Yang menciptakan.

Iqra’ (dari qara’a, membaca) berarti ‘Bacalah!’ Ini adalah perintah yang datang kepada Nabi, yang disebut sebagai ummi (tidak belajar secara formal). Tapi penerjemahan kata ummi sebagai ‘buta aksara’ atau ‘tidak berpendidikan’ adalah bentuk penyalahartian yang umum. Kalau sekadar tidak berpendidikan maka tidaklah ada artinya, dan jika Nabi buta aksara maka akan ada sesuatu yang keliru. Nabi sendiri mendorong agar kaumnya melek aksara dan selalu terus didampingi oleh para ahli baca-tulis. Namun beliau tidak mendapat pendidikan atau pengajaran formal, karena pengetahuannya berasal dari sumber ‘batin’.

Ummi juga berarti ‘keibuan atau seperti ibu’. Umm berarti ‘ibu’ atau ‘sumber’. Pengetahuan beliau adalah dari Satu Sumber. Kalau kita mengatakan ummi maksudnya adalah bahwa diri beliau sendiri sudah merupakan catatan, dan berarti beliau membaca catatan dirinya sendiri.

Rabb (Tuhan) adalah entitas yang membesarkan kita, sebagai energi atau atribut Allah yang fungsinya adalah mendidik dan membesarkan setiap orang hingga mencapai potensi penuhnya. Itulah tujuan dari Penciptaan. Isi perintah adalah membaca dengan izin untuk mengenal tujuan penciptaan, memahami penciptaan secara keseluruhan, dan memahami realitas tunggal yang menjelma sebagai Rabb. Meskipun Rabb diterjemahkan sebagai ‘Tuhan’, namun memiliki makna yang banyak sekali. Ia berarti ‘Pemelihara’, dengan kerahman-rahiman-Nya manusia diberikan kesadaran dan ditopang dengan suplai udara.

Pada saat ayat-ayat ini diwahyukan kepadanya, Nabi sudah biasa menghabiskan berhari-hari, berminggu-minggu, bahkan berbulan-bulan bermeditasi dalam sebuah gua untuk menembus selubung eksistensi, dengan cara demikian beliau mengikuti jalan orang-orang sebelumnya yang mengikuti diktum, ‘Orang yang mengenal dirinya, mengenal Tuhannya’. Jalan menuju pengetahuan tentang ketuhanan, tentang kepemeliharaan, adalah dengan cara mengenal apa yang paling dekat kepada kita, yakni semua aspek yang berbeda dari diri kita.

Sebagaimana para pencari dari masa sebelum dan sesudah beliau, beliau pergi ke tempat-tempat terpencil menjalani masa-masa perenungannya. Bagi pencari sejati, ini bukanlah pelarian diri, melainkan suatu upaya langsung dan positif untuk mengungkapkan jatidirinya. Hal ini dilakukan dengan merenungkan dirinya. Akhirnya, beliau bisa mencapai suatu titik netralitas di mana hampir tidak ada lagi dari diri itu yang tertinggal karena ia sudah dikenal dalam segala aspeknya oleh si pencari. Ia akan melihat setiap sudut dari apa yang disebut persona (topeng, dalam bahasa Latin).

Bila ini sudah dipahami, si pencari dengan tulus-ikhlas terus berjalan menuju peniadaan, dilambangkan dengan Batu Hitam Ka‘bah. Ia bergerak menuju keadaan tanpa sifat. Kalau kata kaum sufi, ‘mencapai kedekatan pada pancaran cahaya hakikat, pergi dari bintang-bintang sifat’. Pertama-tama, ia menenangkan tindakan-tindakannya, selanjutnya, ia memasuki alam sifat yang lebih halus, kemudian ia melintasi perbatasan hakikat. Setelah itu, kemudian ia menjelajahi alam lain. Proses penjelajahan ini tidak dapat dilihat atau digambarkan secara langsung, dan di alam ini berlaku perangkat aturan lain. Itulah negeri tak berpenghuni di mana tak ada yang dapat menolong orang lain, selain membicarakan batas-batas lahiriahnya. Masing-masing orang menafsirkan pengalaman ini secara berbeda. Ia bagaikan sebuah peristiwa yang menyebabkan goncangan dahsyat dan yang berusaha digambarkan oleh setiap orang dengan bahasa yang berbeda. Ia adalah citarasa, citarasa yang lebih tinggi; ia adalah pembukaan yang hebat. Ia merupakan pengecambahan hati yang meledak.

Pembukaan ini, tentu saja, menghancurkan, sebagaimana kita saksikan pada kejadian yang menimpa Mūsā. Kejadian tersebut merupakan pengalaman yang menghancurkan; ia bukan sekadar pengalaman lain dari kehidupan ini, tapi malah merupakan pengalaman lain dari alam lain. Kita hanya dapat berjalan sejauh memahami pengetahuan dan informasi mengenai alam kesadaran kita, dan ini sebenarnya merupakan aspek kesadaran yang lebih tinggi. Bagaikan kisah seseorang yang hidup di bawah air. Ia sangat mengetahui apa yang ada di bawah air dan ia mengerti apa yang terjadi di sana. Ia mungkin juga sudah sering melihat sepintas apa yang ada di atas air. Tapi berada di atas air memang sebuah pengalaman yang berbeda. Tidak peduli berapa banyak ia dipersiapkan untuk berada di atas air, tetap saja berada di atas air merupakan goncangan. Nabi berada dalam keadaan terguncang sehingga sebagian orang bahkan mengatakan beliau menjadi gila.

خَلَقَ الْإِنْسَانَ مِنْ عَلَقٍ

  1. Dia menciptakan manusia dari segumpal darah.

Pembacaan itu—melalui ‘ilm-ul-ladunnī (intuisi, pengetahuan batin)—mengungkapkan kepada Nabi tentang mengapa dan bagaimana terjadinya realitas penciptaan. Dengan kata ‘alaq yang berarti ‘gumpalan darah’, kita diberitahu keseluruhan kisah tentang manusia di alam ini. Kata alaq juga berarti ‘lintah’, dari kata ‘aliqa yang berarti ‘menggantungkan, menempel, dilekatkan, menjadi hamil’. Kata ini menunjukkan bahwa Tuhan menciptakan manusia dari sesuatu yang menggantung, dari benda kecil sekali yang mengancing—sperma menyatu dengan ovum—dan kemudian stabil menjadi ‘alaq. Perkembangan hanya bisa terjadi jika ‘alaq itu menempel pada rahim. Jadi penciptaan dihasilkan hanya oleh sesuatu yang menggantung, bahkan seperti bumi yang tergantung pada orbitnya di dalam bintik alam semesta.

Secara biologis, penciptaan seperti yang kita pahami sekarang digambarkan secara sempurna dalam al-Qur’an. Kita hanya perlu keberanian untuk memperhatikan kata-kata ini secara cermat dan memahami makna batinnya, tanpa menyembunyikannya.

Kita harus membaca, melihat, dan memahami situasi manusia secara intuitif, melalui alam batin kita sendiri. Kita tidak terpisah dari alam ini. Manusia dan semua yang terjadi di dalam dan di luar alam ini berasal dari satu Realitas. Kita harus membaca berdasarkan sifat murah hati yang diberikan oleh Pemelihara dan Tuhan yang paling murah hati.

اِقْرَأْ وَ رَبُّكَ الْأَكْرَمُ

  1. Bacalah karena Tuhanmu adalah yang paling murah hati,

الَّذِيْ عَلَّمَ بِالْقَلَمِ

  1. Yang mengajarkan dengan [menggunakan] pena,

Qalama berarti ‘memotong’, dan qalam berarti ‘pena atau pensil’. Itu adalah alat yang digunakan orang untuk meninggalkan tanda; ia menuliskan sesuatu dan tercatat selamanya.

Qalam juga adalah pena yang telah mencatat tentang bagaimana penciptaan ini akan dipertahankan, dipelihara dan dikembalikan. Hukum yang berlaku di dalam penciptaan bekerja melalui energi halus yang ada di dalamnya dan yang mempedomaninya, yakni malaikat sebagaimana disebutkan dalam al-Qur’an. Meskipun disebut malaikat, yang pada kebanyakan orang menimbulkan imajinasi tentang makhluk bersayap, namun lebih tepat kalau mereka disebut sebagai kekuatan, tenaga, atau bentuk-bentuk energi. Mereka yakin bahwa apa yang telah tertulis, yakni, hukum yang mengatur segala aspek, nyata maupun tidak nyata, di alam semesta ini, adalah terintegrasi, termuat dan terpelihara, dan berada di jalannya.

Dikatakan dalam al-Qur’an bahwa jika semua pohon di dunia dijadikan pena dan semua lautan dijadikan tinta, maka semua ini pun tidak akan cukup untuk mencatat ciptaan, perintah atau kekuasaan Allah. Maknanya adalah bahwa setiap kemungkinan, setiap permutasi dan kombinasi dari berbagai kemungkinan ini selalu ada, baik dalam makna ataupun bentuk. Jumlah kemungkinannya tidak terhingga. Begitulah makna pena. Penalah yang menulisi lembaran penciptaan, qadhā’ wa qadar, ketentuan dan takdir. Ia memiliki tujuan, arah, akhir dan hasil, semuanya berada dalam satu komando penciptaan. Maka, inilah pena yang menulis.

Ketika hal ini terjadi pada Nabi, seakan-akan beliau dengan serta merta menyaksikan tulisan pena itu secara keseluruhan. Beliau mengalami kebenaran yang berlimpah dan ketika itu beliau melihat pencantuman kode sub-genetiknya. Apa pun yang dapat kita pahami dari kebenaran tersebut, semuanya sudah tertulis dalam diri kita.

عَلَّمَ الْإِنْسَانَ مَا لَمْ يَعْلَمْ

  1. Mengajarkan kepada manusia apa yang ia tidak tahu.

Dia mengajari manusia apa yang ia tidak tahu, karena manusia tidak menyadari akan potensi pengetahuannya. Dia mengajari manusia, yang hanya melihat apa yang ada di hadapannya, bahwa sebenarnya ia tidak mengetahui apa yang ada sebelumnya dan di belakangnya. Dia mengajari manusia keesaan (tauḥīd), Dia mengajarinya keterkaitan dengan masa lampau dan masa akan datang, karena tidak ada masa lampau maupun masa akan datang, Keduanya hanya ada dalam dimensi waktu kita yang menyesatkan, dan dari sudut pandang realitas, dimensi non-duniawi, masa lampau dan masa datang hanyalah aspek atau produk dari dimensi waktu. Ayat ini berkaitan dengan pengetahuan yang tidak bisa ditularkan dari satu orang ke orang lain, tapi hanya antara manusia dan sang Pencipta, di mana tidak ada pemisahan. Ketika manusia sepenuhnya menjadi sebuah non-entitas, maka sang Entitas Tunggal melakukan kehendaknya. Ini adalah ‘ilm-ul-ladunnī.

كَلَّا إِنَّ الْإِنْسَانَ لَيَطْغَى

  1. Tidak! Sesungguhnya manusia itu adalah pelanggar (melampaui batas),

Upaya untuk mendapatkan pengetahuan diri dimulai dengan melihat pada apa yang terdekat kepada kita, yakni sifat rendah manusia: rasa takut, nafsu syahwat, amarah, keputus-asaan dan kekurang percayaannya. Sifat rendah dan kesombongan manusia sedemikian rupa sehingga selalu menyebabkannya melampaui batas, yathghā. Ia menyandang salah satu Sifat Allah, sehingga ia menjadi arogan. Namun arogansi memang sifatnya karena secara otomatis dan spontan ia bergerak menuju Allah.

Hanya ada satu realitas dalam penciptaan, dan karenanya kita harus menerima al-Qur’an secara keseluruhan. Dalam al-Qur’an dikatakan bahwa sebagian ahli kitab—dari kitab-kitab wahyu lainnya, yang merupakan versi-versi dari Kitab yang satu—hanya menerima beberapa bagian Kitab saja. Mereka hanya mengambil bagian yang ingin mereka gunakan untuk kepentingan kekuasaan atau untuk tujuan lain, tapi hal ini tidak bisa dilakukan.

Dengan demikian, kita akan selalu menemukan permulaan pada apa yang terdekat kepada manusia sendiri, dan itulah yang berada di jalan kemudahan (yusr). Mengambil jalan mudah adalah mengikuti diri (nafs) kita. Maka, yang paling dekat kepada manusia adalah sifat rendahnya yang muncul dan menimpanya, yakni, kecemasan, rasa takut, amarah dan seterusnya yang muncul terutama karena arogansinya. Arogansi manusia mencuat dari pikiran yang keliru bahwa karena ia berada di sini di bumi ini maka ia harus menempatkannya dengan benar.

Tujuan sebenarnya dari keberadaan kita di sini adalah agar kita sepenuhnya mengetahui mengapa kita di sini. Begitu kita mengetahuinya, maka segala sesuatu lainnya akan mengikuti. Namun kita telah melupakan prioritas kita sehingga tidak ingin membicarakan persoalan sulit seperti itu. Persis seperti dongeng Mulla Nashruddīn yang mencari cincinnya yang hilang di bawah lampu jalan. Saat sedang mencari, datanglah orang lain untuk membantunya. Akhirnya, karena tak kunjung ketemu, orang itu bertanya kepada Mulla Nashruddīn apakah ia yakin telah menjatuhkannya di tempat itu. Ia menjawab bahwa hilangnya di tempat lain. Dengan ragu orang itu bertanya lagi, ‘Lantas mengapa engkau mencarinya di sini?’ ‘Karena di tempat saya kehilangan cincin keadaannya gelap, sedangkan di sini terang.’

Kecenderungan kita adalah ingin memusatkan perhatian hanya pada persoalan-persoalan sederhana yang sudah lazim. Kita tidak ingin bertanya kepada diri kita sendiri mengapa kita ada di sini. Itu adalah pertanyaan sulit yang memerlukan waktu, upaya dan perenungan untuk menjawabnya. Sifat manusia juga cenderung arogan dalam lebih dari satu pengertian, tidak hanya dalam pengertian membesar-besarkan diri saja. Arogansi itu akan dengan mudah dipelihara karena usia tua. Kita sedang membicarakan arogansi dalam pengertian sikap manusia yang tidak mempertanyakan keadaan, posisi dan tujuannya, tidak mempertanyakan ketidak ada apa-apaannya atau kenyataan bahwa paling banter ia hanya tergantung pada udara. Ketika dalam keadaan sangat sehat, manusia laksana sebuah balon yang mengembang dan mengempis sendiri, tidak mempertanyakan dirinya, lupa akan kenyataan bahwa napas adalah satu-satunya modal dia dan segala sesuatu lainnya hanya sepintas lalu saja. Tidak mempertanyakan: inilah thughyān (pelanggaran), thughyān batin. Pada suatu saat ia bisa jatuh mati. Akankah ia pergi dengan tenang? Akankah ia meninggalkan stasiun kereta api dengan hati yang terbuka untuk melakukan perjalanannya?

أَنْ رَّآهُ اسْتَغْنَى

  1. Karena ia melihat dirinya sudah bebas dari keinginan (serba cukup).

Salah satu penyebab arogansi kita adalah karena kita merasa sanggup mencukupi keperluan diri kita sendiri. Istaghnā di sini berarti menganggap diri tidak bergantung, kaya, mandiri. Keyakinan yang keliru bahwa kita bebas dari tuntutan kebutuhan akan membuat kita terputus, keluar dari tauhid dan lepas.

إِنَّ إِلَى رَبِّكَ الرُّجْعَى

  1. Sesungguhnya kepada Tuhanmulah [kamu] kembali.

Kepada Tuhanmu, kepada Pemeliharamu, kepada Realitas itulah kamu akan kembali. Segala sesuatu dipelihara oleh sang Maha Pemelihara.

أَرَأَيْتَ الَّذِيْ يَنْهَى

  1. Apakah engkau melihat orang yang melarang

عَبْدًا إِذَا صَلَّى

  1. Seorang hamba [Allah] dari melakukan salat?

Contoh yang diberikan di sini merujuk kepada situasi historis yang nyata, tapi berlaku sepanjang masa. Kita menyaksikan bagaimana orang yang melarang orang lain yang ingin beribadat dan mengerjakan salat—seperti terjadi pada Nabi, yang senantiasa menjadi target upaya Abū Jahal untuk melarangnya melakukan salat dekat Ka‘bah—benar-benar menderita rugi.

أَرَأَيْتَ إِنْ كَانَ عَلَى الْهُدَى

  1. Sudahkah kau perhatikan kalau-kalau ia di jalan yang benar,

أَوْ أَمَرَ بِالتَّقْوَى

  1. Atau menyuruh supaya bertakwa [kepada Allah]?

Ini berarti mereka benar-benar dalam keadaan berlawanan; mereka tidak berada di jalan yang benar dan tidak juga bertakwa. Karena tidak memiliki pengetahuan yang dalam maka mereka menyangkal dan berdusta. Berdusta adalah menutupi kebenaran. Kebenaran ada pada mereka tapi mereka tidak ingin terbuka kepada kebenaran itu karena bertentangan dengan nilai-nilai yang mereka junjung tinggi.

أَرَأَيْتَ إِنْ كَذَّبَ وَ تَوَلَّى

  1. Apakah engkau memperhatikan kalau mereka mendustakan kebenaran dan berpaling?

أَلَمْ يَعْلَمْ بِأَنَّ اللهَ يَرَى

  1. Apakah ia tidak tahu bahwa Allah melihat?

Di sinilah jawabannya. Dia mengetahui kebenaran dalam hati, tapi tidak bertindak sesuai dengan pengetahuan itu. Dia tidak menyadari bahwa apa pun yang dilakukannya, apa pun yang diniatkannya, di mana pun dan bagaimana pun ia bergerak, maka Realitas, yang menyerap dan menahan serta mengendalikan semua, mengetahuinya. Realitas adalah yang mengetahui segalanya. Hanya orang yang menderita rugi yang tidak mengetahui hal ini.

كَلَّا لَئِنْ لَّمْ يَنْتَهِ لَنَسْفَعًا بِالنَّاصِيَةِ

  1. Tidak! Jika ia tidak berhenti, Kami akan merenggutnya di ubun-ubunnya.

نَاصِيَةٍ كَاذِبَةٍ خَاطِئَةٍ

  1. Ubun-ubun yang berdusta, yang berdosa.

Nāshiyah adalah ubun-ubun. Dicengkeram dan diseret di bagian jambul berarti benar-benar dipermalukan. Siapa pun yang merugi, siapa pun yang mengingkari kebenaran di dalam dirinya, akan berakhir dalam keadaan dicengkeram seperti itu. Bagaikan gilingan adzab kehidupan, merugi di sini dan saat ini, dan juga di hari akhirat.

فَلْيَدْعُ نَادِيَهْ

  1. Lalu biarlah ia memanggil kawan-kawan segolongannya;

Biarlah dia memanggil orang yang telah menjadi gantungan dan andalannya. Maka ia akan mengetahui bahwa tidak ada bantuan selain dari Allah, dan dengan penyaksian itu ia akan menyadari bahwa ia telah bersandar pada kedustaan.

سَنَدْعُ الزَّبَانِيَةَ

  1. Kami akan memanggil mereka yang memasukkan [ke dalam neraka].

Ini berkenaan dengan kekuatan dan kekuasaan yang bermain dalam eksistensi ini. Zabāniyah di sini adalah kekuatan malaikat dan kelaziman mereka sebagai tenaga yang sepenuhnya dan secara langsung memberlakukan diktum takdir. Yakni, menerapkan, dalam pengertian yang disebutkan sebelumnya, apa yang telah ditulis oleh pena.

كَلَّا لَا تُطِعْهُ وَ اسْجُدْ وَ اقْتَرِبْ

  1. Tidak! Janganlah engkau taat kepadanya, tetapi bersujudlah dan mendekatlah [kepada Allah].

Jalan keluarnya adalah mendekat kepada Allah. Kedekatan kepada Allah adalah melalui sajdah (sujud), yakni bukti lahiriah dari keberserahan batin. Gerak sujud lahir adalah manifestasi dari keadaan batin, kalau tidak maka gerakan itu akan menjadi sekadar ritus hampa belaka. Sajada, akar dari sajdah, juga berarti ‘menaati’, maksudnya menaati tujuan eksistensi. Tujuan eksistensi adalah mengetahui sumber dari seluruh penciptaan, Allah Yang Mahakuasa.

Makna lain dari sajada adalah ‘tunduk’ dan melalui ketundukkan itu muncullah kebebasan. Kebebasan satu-satunya adalah pengakuan akan tiadanya kebebasan. Kebebasan satu-satunya adalah pengakuan batin langsung bahwa benar-benar tidak ada kemungkinan untuk kebebasan. Dari pengakuan tersebut muncullah kebebasan dan kelepasan yang pokok, yakni kebebasan yang nyata dan tak terbatas, kebebasan yang melampaui penciptaan kita dan setelah kematian kita. Tujuan kita adalah berada dalam kemabukan batin dan ketidakmabukan lahir, keterbebasan batin dan kesopanan serta kebaikan lahir. Dalam keadaan ini kita tidak menjadi sadar terhadap sesuatu, tapi menjadi kesadaran itu sendiri. Maka inilah manifestasi lahir dari sajdah, dari sujud, yang bersifat spontan. Itulah satu-satunya posisi manusia dan merupakan posisi yang terakhir dan juga yang pertama.

Setelah itu barulah kita dapat berbicara tentang pertanggungjawaban, karena dengan demikian kita memulai dari fondasi yang selalu tersedia. Dengan kata lain, jika kita ingin mengetahui apa yang benar atau salah, kita harus selalu sadar bahwa kita mati. Jika kita tidak berada dalam keterlepasan total, maka yang akan kita lakukan tak lebih dari membuat berbagai pertimbangan nilai dan membawa masa lalu kita ke masa sekarang.

Keterlepasan adalah kebebasan, dan dari kebebasan itu muncullah aksi yang bersih, yang jauh lebih dari sekadar reaksi. Namun pencarian kebebasan biasanya merupakan reaksi terhadap belenggu yang dipasang pada diri sendiri. Marilah terlebih dahulu kita berusaha membebaskan diri kita dari belenggu-belenggu individu ini sebelum mulai mencari kebebasan yang sejati.

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *