Begitulah persoalan segmen pertama surah ini. Adapun ayat-ayat berikutnya tampak jelas turun sesudahnya, tidak bersamaan dengannya. Ia mengisyāratkan bahwa sikap-sikap yang diambil kaum musyrikīn dan peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam perjalanan hidup Rasūlullāh s.a.w. yang disebutkan dalam ayat-ayat itu, turunnya belakangan. Yaitu sesudah beliau menyampaikan dakwah, mengajak ber‘ibādah kepada Allah saja dengan terang-terangan, dan adanya tantangan dari kaum musyrikīn. Hal ini diisyaratkan oleh firman Allah s.w.t. dalam surah tersebut:
“Bagaimana pendapatmu tentang orang yang melarang, seorang hamba ketika dia mengerjakan shalat?” (al-‘Alaq: 9-10).
Akan tetapi, di sana terdapat relevansi yang sempurna antar-bagian-bagian surah. Juga terdapat kesinambungan tentang urutan hakikat yang dikandungnya sesudah segmen pertama, yang menjadikan surah ini sebagai satu kesatuan yang utuh dan teratur rapi.
اِقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِيْ خَلَقَ. خَلَقَ الْإِنْسَانَ مِنْ عَلَقٍ. اِقْرَأْ وَ رَبُّكَ الْأَكْرَمُ. الَّذِيْ عَلَّمَ بِالْقَلَمِ. عَلَّمَ الْإِنْسَانَ مَا لَمْ يَعْلَمْ.
“Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang Menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Paling Pemurah, Yang mengajar (manusia) dengan perantaraan qalam. Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.” (al-‘Alaq: 1-5)
Inilah surah yang pertama dari al-Qur’ān, yang dimulai dengan menyebut nama Allah. Kemudian memberikan pengarahan pertama kepada Rasūlullāh s.a.w., pada masa kali pertama berhubungan dengan alam tertinggi, dan pada langkah pertamanya di jalan dakwah yang dipilihkan untuknya. Diarahkannya beliau supaya membaca dengan menyebut nama Allah: “Bacalah dengan (menyebut) nama Allah….”
Penyebutan sifat-sifat Tuhan di sini dimulai dengan menyebutkan sifat yang dengannya dimulai penciptaan dan permulaan manusia, yaitu sifat Tuhan “Yang Menciptakan”. Kemudian penyebutan secara khusus tentang penciptaan manusia dan asal-usulnya: “Yang telah menciptakan manusia dari segumpal darah…..” Dari setitik darah beku yang melekat di dinding rahim, dari benih yang sangat kecil dan sederhana bentuknya.
Hal ini menunjukkan betapa Yang Maha Pencipta telah memuliakan manusia melebihi kodratnya. Di antara kemuliaan yang diberikan Allah kepada manusia, ialah Dia telah meningkatkan tingkat darah yang melekat di dinding ini ke tingkatan sebagai manusia yang memiliki potensi untuk mengetahui. Lantas ia belajar.
“Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Paling Pemurah, Yang mengajar (manusia) dengan perantaraan qalam. Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya” (al-‘Alaq: 3-5).
Ini adalah perpindahan yang sangat jauh antara asal-usul dan kejadiannya kelak, Akan tetapi, Allah Maha Kuasa, bahkan Allah itu Maha Pemurah. Karena itu, perpindahan ini memusingkan kepala.
Di samping hakikat ini, tampak jelas pula hakikat pengajaran Tuhan kepada manusia dengan perantaraan “qalam” (pena dan segala sesuatu yang sema‘na dengannya). Karena, qalam merupakan alat pengajaran yang paling luas dan paling dalam bekasnya di dalam kehidupan manusia. Hakikat ini pada waktu itu belum tampak sejelas seperti sekarang sebagaimana yang kita ketahui di dalam kehidupan manusia. Akan tetapi, Allah Yang Maha Suci mengetahui nilai qalam. Hal ini diisyāratkan pada masa pertama masa-masa risālah terakhir bagi umat manusia, di dalam surah pertama dari surah-surah al-Qur’ān yang mulia.
Demikianlah, padahal Rasūl yang membawa surah ini tidak dapat menulis dengan qalam. Sehingga, sudah tentu beliau tidak akan dapat memunculkan hakikat ini sejak awal kalau beliau sendiri yang mengarang al-Qur’ān. Dengan demikian, jelaslah bahwa al-Qur’ān adalah wahyu dan risālah.
Kemudian tampaklah sumber pengajaran dan ‘ilmu pengetahuan bahwa sumbernya adalah Allah. Dari-Nyalah manusia mengembangkan apa yang telah dan akan diketahuinya. Juga dari-Nyalah manusia mengembangkan apa yang dibukakan untuknya tentang rahasia-rahasia semesta, kehidupan, dan dirinya sendiri. Semua itu adalah dari sana, dari sumber satu-satunya itu, yang tidak ada sumber lain di sana selain Dia.
Dengan segmen pertama yang turun pada saat pertama terjadinya kontak antara Rasūlullāh s.a.w. dan alam tertinggi ini, maka diletakkanlah kaidah tashawwur īmānī “pandangan dan pola pikir yang berdasarkan iman” yang besar dan luas.
Semua urusan, gerak, langkah, dan perbuatan dengan menyebut nama Allah dan atas nama Allah. Dengan nama Allah segala sesuatu dimulai dan berjalan. Kepada Allah segala sesuatu menuju dan kembali.
Allah-lah yang telah menciptakan dan mengajarkan. Dari-Nya segala sesuatu dimulai dan diciptakan, dan dari-Nyalah timbul pengajaran dan ‘ilmu pengetahuan. Manusia mempelajari apa yang dipelajari, dan mengetahui apa yang diketahui. Maka, sumber semua ini adalah Allah Yang telah menciptakan dan mengajarkan:
“…..Mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya….”
Inilah hakikat al-Qur’āniyyah yang pertama, yang diterima oleh hati Rasūlullāh s.a.w. pada saat pertama. Inilah yang mengubah perasaan dan bicaranya. Juga mengubah pengetahuan dan arahnya sesudah itu sepanjang hidupnya, dengan menyifatinya sebagai kaidah iman yang pertama.
Imām Syams-ud-Dīn Abū ‘Abdillāh Muḥammad bin Qayyim al-Jauziyyah berkata di dalam kitab Zād-ul-Ma‘ādi fī Hadyi Khair-il-‘Ibād, yang meringkas petunjuk Rasūlullāh s.a.w. di dalam berdzikir dan mengingat Allah: “Rasūlullāh s.a.w. itu makhlūq yang paling sempurna dalam berdzikir kepada Allah ‘azza wa jalla. Bahkan, semua perkataan beliau adalah dalam rangka dzikir kepada Allah dan setia kepada-Nya. Perintah, larangan, dan penyarī‘atannya kepada umat adalah dalam rangka dzikir kepada Allah, sifat-sifatNya, hukum-hukumNya, perbuatan-perbuatanNya, janji-Nya, dan ancaman-Nya, juga dalam rangka berdzikir kepada Allah. Pujiannya atas dalam rangka berdzikir kepada Allah. Pujiannya atas ni‘mat-ni‘matNya, sanjungannya kepada-Nya, pemujaannya kepada-Nya, dan tasbīḥnya kepada-Nya, adalah dzikir kepada-Nya. Permohonannya kepada-Nya, doanya kepada-Nya, rindu dan takutnya kepada-Nya, adalah dzikir kepada-Nya. Diam dan tenangnya, adalah dzikir kepda-Nya dengan hatinya.
Beliau selalu berdzikir kepada Allah dalam semua kesempatan dan keadaannya. Dzikirnya kepada Allah berjalan seiring dengan napasnya, ketika berdiri, duduk, dan berbaring. Juga ketika berjalan kaki dan berkendaraan, ketika naik dan turun, ketika bepergian dan tinggal di rumah.
Apabila bangun tidur, beliau mengucapkan:
الْحَمْدُ للهِ الَّذِيْ أَحْيَانَا بَعْدَ مَا أَمَاتَنَا وَ إِلَيْهِ النُّشُوْرُ.
“Segala puji kepunyaan Allah yang telah menghidupkan kami setelah mematikan kami. Kepada-Nyalah kami akan kembali.”
‘Ā’isyah berkata: “Apabila bangun malam hari, beliau bertakbīr sepuluh kali, bertahlīl sepuluh kali, kemudian mengucapkan:
“Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari kesempitan (kehidupan) dunia dan kesempatan hari kiamat”, sepuluh kali. Kemudian beliau memulai shalat.”
Dalam riwayat Abū Dāwūd, ‘Ā’isyah berkata: “Apabila bangun malam, beliau mengucapkan:
“Tidak ada tuhan selain Engkau, Maha Suci Engkau. Ya Allah, aku memohon ampun kepada-Mu atas dosaku, dan aku memohon rahmat kepada-Mu. Ya Allah, tambahkanlah ‘ilmu kepadaku, janganlah Engkau sesatkan hatiku sesudah memberi petunjuk kepadaku, dan berilah aku rahmat dari sisi-Mu. Sesungguhnya Engkau adalah Maha Pemberi.”
Dalam riwayat Bukhārī, Rasūlullāh s.a.w. bersabda: “Barang siapa yang bangun malam, lalu mengucapkan:
“Tidak ada tuhan kecuali Allah Yang Maha Esa, tidak ada sekutu bagi-Nya. Kepunyaan-Nyalah segala kekuasaan, kepunyaan-Nyalah segala puji, dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu. Segala puji kepunyaan Allah, Maha Suci Allah, tidak ada tuhan kecuali Allah, dan Allah Maha Agung. Tidak ada daya dan tidak ada kekuatan kecuali dengan pertolongan Allah.”
Kemudian dia mengucapkan: “Ya Allah, ampunilah aku”, atau doa lain, niscaya akan dikabulkan. Jika dia berwudhū’ dan mengerjakan shalat, niscaya akan diterima shalatnya.”
Ibnu ‘Abbās menceritakan bahwa pada waktu dia bermalam di rumah Rasūlullāh s.a.w., beliau bangun malam. Kemudian beliau menengadahkan kepala ke langit, dan membaca sepuluh ayat terakhir surah Āli ‘Imrān, yaitu ayat: “Inna fī khalq-is-samāwāti wal-ardhi..…. dan seterusnya. Setelah itu beliau mengucapkan:
“Ya Allah, kepunyaan-Mulah segala puji. Engkau-lah Pemberi cahaya kepada langit, bumi, dan makhlūq yang ada padanya. Kepunyaan-Mulah segala puji. Engkau Pengatur langit, bumi, dan makhlūq yang ada padanya. Kepunyaan-Mulah segala puji. Engkaulah Yang Maha Benar, janji-Mu adalah benar, firman-Mu adalah benar, bertemu dengan-Mu adalah benar, surga adalah benar, neraka adalah benar, nabi-nabi adalah benar. Ya Allah, kepada-Mu aku berserah diri, kepada-Mu aku beriman, kepada-Mu aku bertawakkal, kepada-Mu aku kembali, dengan-Mu aku melawan musuh, dan kepada-Mu aku berhukum. Maka, ampunilah apa yang telah kulakukan dan kutinggalkan, yang kusembunyikan dan kuterangkan. Engkaulah Tuhanku, tidak ada tuhan selain Engkau, dan tidak ada daya dan kekuatan kecuali dengan pertolongan Allah Yang Maha Tinggi lagi Maha Agung.”
‘Ā’isyah r.a. berkata: “Rasūlullāh s.a.w. apabila bangun malam, beliau mengucapkan:
“Ya Allah, Tuhan bagi malaikat Jibrīl, Mīkā’īl, dan Isrāfīl, Yang Mengetahui yang tersembunyi dan yang terang. Engkau menghukumi di antara hamba-hambaMu mengenai apa yang mereka perselisihkan. Tunjukkanlah aku mengenai apa yang diperselisihkan itu kepada kebenaran dengan idzin-Mu. Sesungguhnya Engkaulah yang menunjukkan orang yang Engkau kehendaki ke jalan yang lurus.”
‘Ā’isyah juga pernah berkata: “Beliau sering membuka (membaca doa iftitāḥ) shalatnya dengan doa itu.”
Apabila beliau mengerjakan shalat witir, maka setelah selesai beliau mengucapkan:
“Maha Suci Allah Yang Maha Kuasa lagi Maha Suci dari segala kekurangan.” (Diucapkan tiga kali) dengan memanjangkan suaranya pada kali yang ketiga.
Apabila keluar dari rumah, beliau mengucapkan:
“Dengan menyebut nama Allah, aku bertawakkal kepada Allah. Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari tersesat atau disesatkan, tergelincir atau digelincirkan, menganiaya atau dianiaya, bertindak bodoh atau diperlakukan bodoh.” (Hadits Shaḥīḥ).
Beliau bersabda:
“Dengan menyebut nama Allah, aku bertawakkal kepada Allah, tidak ada daya dan kekuatan kecuali dengan pertolongan Allah”, maka dikatakanlah kepadanya: “Engkau diberi petunjuk, engkau dicukupi, dan engkau dilindungi,” dan syaithān menjauh darinya” (Hadits Ḥasan).
Ibnu ‘Abbās r.a. menceritakan bahwa ketika dia bermalam di rumah Rasūlullāh s.a.w., beliau pergi menunaikan shalat shubuḥ sambil mengucapkan:
“Ya Allah, jadikanlah di dalam hatiku cahaya; jadikanlah di dalam lisanku cahaya; jadikanlah di dalam pendengaranku cahaya; jadikanlah di dalam penglihatanku cahaya; jadikanlah di belakang dan di depanku cahaya; jadikanlah di atasku cahaya; dan jadikanlah di bawahku cahaya. Ya Allah, besarkanlah cahaya penerang untukku.”
Fadhl bin Marzūq meriwayatkan dari ‘Athiyyah al-Aufī, dari Abū Sa‘īd al-Khudrī, ia berkata: “Rasūlullāh s.a.w. bersabda:
“Tiada seorang pun yang keluar dari rumah menuju ke tempat shalat sembari mengucapkan: “Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepadamu dengan hak orang-orang yang memohon kepada-Mu dan dengan hak perjalananku kepada-Mu. Sesungguhnya aku tidak keluar dari rumah karena sombong dan tinggi hati, tidak ingin dipuji dan tidak memperdengar-dengarkan supaya disanjung orang. Tetapi, aku keluar hanya karena menjaga diri dari kemurkaan-Mu dan mencari ridah-Mu. Sesungguhnya aku memohon kepada-Mu agar Engkau selamatkan aku dari neraka dan Engkau ampuni dosa-dosaku, karena sesungguhnya tidak ada yang mengampuni dosa-dosa kecuali Engkau”, melainkan Allah akan menugaskan tujuh puluh ribu malaikat untuk memintakan ampun buatnya. Allah menghadapkan wajah-Nya (perhatian-Nya) kepadanya hingga selesai shalatnya”.”
Imām Abū Dāwūd meriwayatkan dari Nabi s.a.w., bahwa apabila masuk masjid beliau mengucapkan:
“Aku berlindung kepada Allah Yang Maha Agung, wajah-Nya yang mulia, dan kekuasaan-Nya yang sejak dahulu kala, dari godaan syaithan yang terkutuk.”
Kata beliau: “Apabila seseorang mengucapkan doa itu, maka syaithān berkata: “Dia dilindungi dari godaanku sepanjang hari ini”.”
Nabi s.a.w. bersabda:
“Apabila seseorang dari kamu masuk masjid, hendaklah ia bershalawat dan bersalam atas Nabi, dan hendaklah ia mengucapkan: “Ya Allah, bukakanlah untukku pintu-pintu rahmat-Mu” Apabila keluar, hendaklah ia mengucapkan: “Ya Allah, sesungguhnya aku memohon karunia-Mu”.”
Diriwayatkan juga dari beliau bahwa apabila masuk masjid, beliau mengucapkan shalawat dan salam atas Nabi Muḥammad dan keluarganya, kemudian mengucapkan:
“Ya Allah, ampunilah dosa-dosaku, dan bukakanlah untukku pintu-pintu rahmat-Mu.”
Ketika keluar dari masjid, beliau mengucapkan shalawat dan salam atas Nabi Muḥammad dan keluarganya, kemudian mengucapkan:
“Ya Allah, ampunilah dosa-dosaku, dan bukakanlah untukku pintu-pintu karunia-Mu.”
Apabila beliau selesai mengerjakan shalat shubuḥ, beliau duduk di tempat shalat beliau hingga terbit matahari, beliau berdzikir kepada Allah ‘azza wa jalla. Apabila telah memasuki waktu pagi, beliau mengucapkan:
“Ya Allah, dengan-Mu aku memasuki waktu pagi, dengan-Mu aku hidup, dengan kehendak-Mu aku mati, dan kepada-Mu aku akan kembali.” (Hadits Shaḥīḥ).