Surah al-‘Alaq 96 ~ Tafsir Sayyid Quthb (1/3)

Dari Buku:
Tafsīr fi Zhilāl-il-Qur’ān
Oleh: Sayyid Quthb
 
Penerbit: Gema Insani

Rangkaian Pos: Surah al-'Alaq 96 ~ Tafsir Sayyid Quthb

SURAH AL-‘ALAQ

Diturunkan di Makkah
Jumlah Ayat: 19.

 

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ

Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang

 

اِقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِيْ خَلَقَ. خَلَقَ الْإِنْسَانَ مِنْ عَلَقٍ. اِقْرَأْ وَ رَبُّكَ الْأَكْرَمُ. الَّذِيْ عَلَّمَ بِالْقَلَمِ. عَلَّمَ الْإِنْسَانَ مَا لَمْ يَعْلَمْ. كَلَّا إِنَّ الْإِنْسَانَ لَيَطْغَى. أَنْ رَّآهُ اسْتَغْنَى. إِنَّ إِلَى رَبِّكَ الرُّجْعَى. أَرَأَيْتَ الَّذِيْ يَنْهَى. عَبْدًا إِذَا صَلَّى. أَرَأَيْتَ إِنْ كَانَ عَلَى الْهُدَى. أَوْ أَمَرَ بِالتَّقْوَى. أَرَأَيْتَ إِنْ كَذَّبَ وَ تَوَلَّى. أَلَمْ يَعْلَمْ بِأَنَّ اللهَ يَرَى. كَلَّا لَئِنْ لَّمْ يَنْتَهِ لَنَسْفَعًا بِالنَّاصِيَةِ. نَاصِيَةٍ كَاذِبَةٍ خَاطِئَةٍ. فَلْيَدْعُ نَادِيَهُ. سَنَدْعُ الزَّبَانِيَةَ. كَلَّا لَا تُطِعْهُ وَ اسْجُدْ وَ اقْتَرِبْ

096:1. Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan.
096:2. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah.
096:3. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Paling Pemurah,
096:4. Yang mengajar (manusia) dengan perantaraan qalam.
096:5. Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.
096:6. Ketahuilah! Sesungguhnya manusia benar-benar melampaui batas,
096:7. karena dia melihat dirinya serba cukup.
096:8. Sesungguhnya hanya kepada Tuhanmulah kembali (mu).
096:9. Bagaimana pendapatmu tentang orang yang melarang,
096:10. seorang hamba ketika dia mengerjakan shalat?
096:11. Bagaimana pendapatmu jika orang yang dilarang itu berada di atas kebenaran,
096:12. atau dia menyuruh bertaqwā (kepada Allah)?
096:13. Bagaimana pendapatmu jika orang yang melarang itu mendustakan dan berpaling?
096:14. Tidakkah dia mengetahui bahwa Allah melihat segala perbuatannya?
096:15. Ketahuilah, sungguh jika dia tidak berhenti (berbuat demikian) niscaya Kami tarik ubun-ubunnya,
096:16. (yaitu) ubun-ubun orang yang mendustakan lagi durhaka.
096:17. Maka, biarlah dia memanggil golongannya (untuk menolongnya),
096:18. Kelak Kami akan memanggil malaikat Zabāniyah.
096:19. Sekali-kali jangan, janganlah kamu patuh kepadanya. Sujudlah dan dekatkanlah (dirimu kepada Tuhan).

Pengantar.

Permulaan surah ini sudah disepakati oleh para ‘ulamā’ sebagai ayat al-Qur’ān yang turun kali pertama. Sedangkan, riwayat-riwayat yang menyebutkan bahwa ayat-ayat lain diturunkan kali pertama, maka riwayat tersebut tidak dapat dipercaya.

Imām Aḥmad meriwayatkan bahwa telah diceritakan kepadanya oleh ‘Abd-ur-Razzāq, dari Ma‘mar ibn-uz-Zuhrī, dari ‘Urwah, dari ‘Ā’isyah r.a., bahwa ia berkata: “Wahyu yang pertama kali diturunkan kepada Rasūlullāh s.a.w. ialah mimpi yang benar di dalam tidur. Beliau tidak bermimpi dengan suatu mimpi melainkan menjadi kenyataan seperti menyingsingnya shubuḥ. Kemudian beliau suka menyendiri. Beliau biasa menyepi dan ber-taḥannuts di Gua Ḥirā’ pada malam-malam tertentu, sebelum rindu kepada keluarganya. Kemudian beliau pulang kepada Khadījah dan meminta bekal sebagaimana biasanya.

Sehingga, datanglah kebenaran kepada beliau ketika beliau berada di Gua Ḥirā’, yaitu beliau didatangi malaikat (Jibrīl). Maka, Jibrīl berkata kepada beliau: “Bacalah!” Beliau menjawab: “Saya tidak bisa membaca.” Beliau berkata: “Lalu dia memegang saya dan mendekap saya hingga saya kelelahan. Kemudian melepaskan saya seraya berkata: “Bacalah!” Saya menjawab: “Saya tidak bisa membaca.” Lalu dia memegang dan mendekap saya untuk kedua kalinya hingga saya kelelahan. Kemudian dia melepaskan saya seraya berkata: “Bacalah!” Saya menjawab: “Saya tidak bisa membaca.” Kemudian dia memegang dan mendekap saya lagi untuk kali ketiga, lalu dia mengucapkan:

اِقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِيْ خَلَقَ. خَلَقَ الْإِنْسَانَ مِنْ عَلَقٍ. اِقْرَأْ وَ رَبُّكَ الْأَكْرَمُ. الَّذِيْ عَلَّمَ بِالْقَلَمِ. عَلَّمَ الْإِنْسَانَ مَا لَمْ يَعْلَمْ.

Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah, Yang mengajar (manusia) dengan perantaraan kalam. Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.

Rasūlullāh s.a.w. pulang dengan ketakutan hingga masuk ke rumah Khadījah, lalu berkata: “Selimuti aku, selimuti aku!” Kemudian Khadījah menyelimuti beliau hingga hilang rasa takut beliau, lalu beliau berkata: “Wahai Khadījah, mengapa saya ini?” Lalu beliau ceritakan apa yang beliau alami itu kepada Khadījah, dan beliau berkata: “Saya khawatir terjadi apa-apa atas diri saya.” Khadījah menimpali: Tidak, bergembiralah. Demi Allah, Dia tidak akan menyusahkanmu sama sekali. Karena engkau suka menyambung kekeluargaan, berkata jujur, suka memikul beban kesulitan orang lain, suka menghormati tamu, dan suka membantu orang-orang yang haknya dirampas.”

Kemudian Khadījah membawa beliau kepada Waraqah bin Naufal bin Asad bin ‘Abd-il-‘Uzzā bin Qushai, yaitu anak paman Khadījah, anak saudara lelaki ayahnya. Naufal itu adalah orang yang telah memeluk agama Nasrani pada zaman jahiliyyah. Dia bisa menulis kitab berbahasa ‘Arab dan menulis Injīl berbahasa Ibrani. Dia sudah tua dan tunanetra.

Khadījah berkata: “Wahai anak paman, dengarkanlah apa yang akan dikatakan anak saudaramu ini.” Waraqah berkata: “Wahai anak saudaraku, apakah yang engkau lihat?” Lalu Rasūlullāh s.a.w. menceritakan apa yang beliau lihat itu. Kemudian Waraqah berkata: “Ini adalah wahyu seperti yang diturunkan kepada Mūsā. Alangkah bahagianya kalau aku masih hidup sewaktu kaummu mengusirmu.” Rasūlullāh s.a.w. bertanya: “Apakah mereka akan mengusirku?” Waraqah menjawab: “Ya. Tidak seorang pun yang membawa ajaran sepertimu melainkan akan dimusuhi. Kalau aku masih mendapati harimu itu, niscaya aku akan membantumu dengan sekuat tenagaku.” Tetapi tidak lama kemudian Waraqah meninggal dunia.” Hadits ini juga diriwayatkan di dalam Shaḥīḥ Bukhārī dan Muslim dari hadits az-Zuhrī.

Imām ath-Thabrānī meriwayatkan dengan isnadnya dari ‘Abdullāh bin Zubair, bahwa Rasūlullāh s.a.w. berkata: “Maka, datanglah dia kepadaku ketika aku sedang tidur, dengan membawa sehelai sutra yang ada tulisannya, lalu dia berkata: “Bacalah.” Aku menjawab: “Aku tidak dapat membaca.” Lalu dia mencekikku sehingga kukira aku mati. Kemudian dia melepaskanku seraya berkata: “Bacalah.” Aku menjawab: “Apa yang harus aku baca?” Aku berkata seperti itu karena takut dia berbuat begitu lagi kepadaku. Dia mengucapkan: “Iqra’ bismi Rabbik-al-ladzī khalaqa”, hingga firman Allah: “‘Allam-al-insāna mā lam ya‘lam.” Lalu aku membacanya hingga selesai, dan kemudian dia pergi. Setelah itu aku terbangun dari tidur, dan seakan-akan di hatiku tertulis sebuah kitab.”

Beliau berkata: “Padahal tidak ada makhlūq Allah yang lebih saya benci daripada penyair atau orang gila. Saya tidak kuat memandang mereka. Sesungguhnya dia, ya‘ni jiwa belia, sangat jauh terhadap penyair atau orang gila. Jangan sampai kaum Quraisy mengatakan bahwa saya sebagai seorang penyair atau orang gila. Sungguh saya ingin naik ke puncak gunung, dan menjatuhkan diri supaya mati. Setelah itu saya akan istirahat.”

Kata beliau: “Kemudian saya keluar untuk melakukan hal itu. Sehingga, ketika sampai di tengah-tengah gunung, saya mendengar suara dari langit yang berkata: “Hai Muḥammad, engkau adalah utusan Allah dan aku adalah malaikat Jibrīl.” Lalu saya berhenti dan memandang kepadanya. Hal itu menjadikan saya lalai terhadap apa yang saja inginkan tadi. Karena itu, saya tidak maju dan tidak mundur. Saya memalingkan wajah saya darinya ke ufuk langit. Maka, saya tidak memandang ke arah mana pun kecuali saya melihatnya seperti itu. Saya tetap berhenti dengan tidak maju ke depan atau mundur ke belakang. Sehingga, Khadījah menugaskan utusan untuk mencari saya. Mereka sampai ke Makkah dan kembali lagi ke sana, sendang saya masih berhenti di tempat saya. Kemudian Jibrīl pergi dan saya pun pulang kepada keluarga saya.”

Ibnu Isḥāq juga meriwayatkannya dengan panjang lebar dari Wahab bin Kīsān dari ‘Ubaid.

Merenungkan Peristiwa Turunnya Wahyu yang Pertama.

Saya berhenti di hadapan peristiwa ini sewaktu saya membacanya di dalam kitab-kitab sīrāh (sejarah) dan kitab-kitab tafsir. Kemudian saya lewati dan saya tinggalkan, atau saya berhenti sebentar kemudian saya lewati.

Sesungguhnya ini adalah peristiwa yang sangat besar dan tak terbatas. Bagaimanapun kami berusaha meliput kebesarannya, karena sisi-sisinya amat banyak, maka ia tetap di luar gambaran kami.

Peristiwa ini adalah peristiwa yang besar dengan hakikatnya, petunjuknya, dan dampaknya terhadap kehidupan manusia secara keseluruhan. Saat terjadinya peristiwa itu, tanpa melebih-lebihkan, dapat dipandang sebagai saat terpenting yang terjadi di bumi dan dalam sejarahnya yang panjang.

Nah, hakikat apakah yang terdapat pada peristiwa yang terjadi saat itu?

Hakikatnya adalah bahwa Allah Yang Maha Luhur, Maha Agung, Maha Perkasa, Maha Kuasa, Maha Memiliki segala kebesaran, dan Maha Mulia dengan segala keluhuran-Nya, telah mengarahkan perhatian kepada makhlūq yang bernama manusia. Makhlūq yang tinggal pada salah satu pilar alam semesta yang hampir tidak dikenal namanya oleh bumi. Dimuliakan-Nya makhlūq ini dengan dipilih-Nya salah seorang dari mereka menerima cahaya Ilahi, untuk menampung hikmah-Nya, dan untuk mencerminkan qadar yang dikehendaki-Nya buat makhlūq ini.

Ini adalah hakikat yang besar tanpa batas. Hakikat yang dari sisi-sisi kebesarannya ketika manusia merenungkannya, menurut kemampuannya, tersingkap hakikat ulūhiyyah yang mutlak, azali, dan abadi. Di bawah bayang-bayang, manusia juga dapat memandang hakikat kehambaan (keberadaan dirinya sebagai hamba) yang terbatas, baru, dan fanā’. Kemudian merasakan adanya pertolongan Tuhan terhadap makhlūq yang bernama manusia, dan merasakan manisnya perasaan itu. Lalu, menerimanya dengan khusyū‘, gembira, dan penuh ketundukan. Setelah itu, membayangkan kalimat-kalimat Allah yang saling merespons dengan seluruh sisi semesta, dengan menempatkan manusia ini pada salah satu pilar dari pilar-pilar alam semesta yang lemah.

Apakah petunjuk yang terkandung dalam peristiwa itu?

Petunjuknya pada sisi Allah ialah menunjukkan bahwa Dia itu Pemilik karunia yang luas dan rahmat yang sempurna, Maha Mulia, Maha Penyayang, Maha Pemberi ni‘mat. Karunia dan rahmat-Nya melimpah tanpa sebab dan tanpa ‘illat. Penimpahan dan pemberia karunia itu merupakan sebagian dari sifat-sifat dzātiyyah yang mulia.

Sedangkan, petunjuknya pada sisi manusia adalah bahwa Allah s.w.t. telah memuliakannya dengan kemuliaan yang hampir tak terbayangkan dan manusia tidak mampu mensyukurinya. Terhadap ni‘mat ini saja manusia tidak mampu mensyukurinya, meskipun dia menghabiskan umurnya rukū‘ dan sujūd. Demikianlah, Allah menyebut, memperhatikan, dan menghubunginya. Juga memilih salah seorang dari mereka sebagai rasūl untuk menerima wahyu berupa kalimat-kalimatNya. Bumi menjadi tempat tinggalnya, tempat turunnya kalimat-kalimat ini yang sisi-sisi alam semesta meresponsnya dengan khusyū‘ dan tunduk.

Adapun dampak peristiwa besar ini bagi kehidupan manusia telah dimulai sejak saat pertama. Ya‘ni, dimulai dengan pemindahan garis sejarah dan dimulai sejak pemindahan garis hati nurani insani. Juga dimulai sejak dibatasinya arah pandangan manusia dengan menerima pandangan hidup dari Allah, tata nilai dan tata norma dari-Nya. Pandangan yang bukan bumi dan hawa-nafsu, tetapi langit dan wahyu Ilahi.

Sejak saat itu, hiduplah penghuni bumi yang hakikat ini telah mantap di dalam jiwanya. Mereka berada di dalam lindungan dan pemeliharaan Allah secara langsung dan jelas. Mereka hidup dengan dapat secara langsung, baik dalam urusan besar maupun kecil. Mereka merasa dan bergerak di bawah pengawasan Allah. Mereka mengharapkan uluran tangan-Nya untuk membimbing langkah mereka di jalan selangkah demi selangkah, mengembalikan dari kesalahan dan membimbing mereka kepada kebenaran. Setiap malam mereka menunggu datangnya wahyu dari Allah kepada mereka. Wahyu yang berbicara kepada mereka tentang diri mereka, memecahkan problematika mereka, dan berkata kepada mereka: “Ambillah ini, dan tinggalkanlah itu!”

Sungguh ini merupakan masa yang menakjubkan. Hanya selama 23 tahun, berlangsung hubungan secara langsung antara manusia dan alam tertinggi. Masa yang tidak dapat dibayangkan hakikatnya kecuali oleh orang-orang yang hidup pada zaman itu. Ya‘ni, mereka yang merasakannya, menyaksikan permulaan dan kesudahannya, dan merasakan manisnya hubungan ini. Juga merasakan adanya tangan Allah yang membimbing langkah mereka di jalan kehidupan, dan melihat dari mana mereka memulai dan ke mana tujuannya.

Ini adalah jarak jauh yang tidak dapat diukur dengan ukuran apa pun dari ukuran bumi. Ini adalah jarak hati nurani yang tidak dapat dibandingkan dengan jarak apa pun di alam nyata, tidak ada padanannya antara benda dan benda lainnya. Jarak antara penerimaan dari bumi dan penerimaan dari langit, antara pengembangan dari nafsu dan pengembangan dari wahyu, antara jahiliyyah dan Islam, dan antara basyariyyah dan Rabbāniyyah, yang lebih jauh daripada antara bumi dan langit dalam alam fisik.

Mereka sudah mengetahui rasanya, mengetahui manisnya, merasakan nilainya, dan merasa sangat kehilangan ketika Rasūlullāh s.a.w. berpulang ke ar-Rafīq-ul-A‘lā. Masa yang menakjubkan ini telah berlalu. Akal manusia hampir tidak dapat membayangkannya seandainya hal itu tidak benar-benar terjadi.

Dari Anas r.a., ia berkata: “Abū Bakar berkata kepada ‘Umar r.a. sesudah Rasūlullāh s.a.w. wafat: “Marilah kita berkunjung kepada Ummu Aimān r.a., sebagaimana Rasūlullāh biasa berkunjung kepadanya.” Ketika keduanya sampai kepadanya, maka menangislah Ummu Aiman. Lantas Abū Bakar dan ‘Umar bertanya kepadanya: “Mengapa engkau menangis? Apakah engkau tidak mengetahui bahwa apa yang ada di sisi Allah lebih baik bagi Rasūlullāh s.a.w.?” Ummu Aimān menjawab: “Ya, sungguh saya mengetahui apa yang ada di sisi Allah lebih baik bagi Rasūlullāh s.a.w. Akan tetapi, saya menangis karena wahyu telah terputus dari langit.” Maka, Abū Bakar dan ‘Umar terharu, lantas keduanya menangis pula.” (HR. Muslim).

Pengaruh zaman itu beroperasi di dalam kehidupan manusia sejak saat itu hingga sekarang. Juga hingga Allah mewarisi bumi dan penghuninya. Sungguh manusia dilahirkan kembali dengan mendapatkan nilai-nilainya dari langit, bukan dari bumi; dan mendapatkan syarī‘at dari wahyu, bukan dari hawa-nafsu. (141).

Garis sejarah mengalami perubahan yang tidak pernah terjadi sebelum dan sesudahnya. Perkara baru ini merupakan persimpangan jalan. Terpampanglah rambu-rambu di jalan kehidupan dengan terang dan tinggi, yang tidak dapat dipadamkan oleh zaman dan peristiwa-peristiwa. Selain itu, mantaplah di dalam hati nurani manusia pandangan terhadap alam semesta, kehidupan, dan tata nilai, dengan gambaran dan pandangan jelas yang belum pernah terjadi sebelumnya. Juga tidak pernah datang sesudahnya pandangan yang begitu lengkap dan indahnya, dan pandangan yang begitu bebas dari ajaran-ajaran dunia, tetapi realitis dan cocok bagi kehidupan manusia. Sungguh manhaj Ilahi ini telah mantap di bumi, dan telah jelas langkah-langkah dan rambu-rambunya:

Agar orang yang binasa itu binasanya dengan keterangan yang nyata, dan agar orang yang hidup itu hidupnya dengan keterangan yang nyata.” (al-Anfāl: 42).

Tidak ada kekaburan dan kesamaran. Yang sesat itu adalah sesat dengan sadar, yang menyimpang itu menyimpang dengan sengaja, dan yang berpaling itu pun berpaling dengan kemauan hatinya.

Sungguh ini peristiwa unik yang terjadi pada saat yang unik pula. Peristiwa alam yang terjadi di bumi, yang bermula dari saat itu dan berakhir pada masa itu pula. Peristiwa yang menjadi garis pembeda di dalam sejarah manusia, bukan hanya sejarah suatu umat atau suatu generasi. Peristiwa yang direkam dan dicatat oleh semua sisi semesta yang meresponsnya, dan dicatat oleh hati nurani manusia. Tinggallah hati ini sekarang mengingat peringatan besar itu dan jangan sampai melupakannya. Dengan demikian, dia selalu ingat bahwa itu adalah kelahiran baru bagi kemanusiaan yang tidak terjadi kecuali hanya sekali saja sepanjang masa.

Catatan:

  1. 14). Silakan periksa penafsiran surah ‘Abasa dalam juz ini.

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *