Hati Senang

Surah al-‘Alaq 96 ~ Tafsir Ibni Katsir

Tafsir Ibnu Katsir

Dari Buku:
Tafsir Ibnu Katsir, Juz 30
(An-Nabā’ s.d. An-Nās)
Oleh: Al-Imam Abu Fida’ Isma‘il Ibnu Katsir ad-Dimasyqi

Penerjemah: Bahrun Abu Bakar L.C.
Penerbit: Sinar Baru Algensindo Bandung

SŪRAT-UL-‘ALAQ
(Segumpal Darah)

Makkiyyah, 19 ayat
Ayat 1-5 yang pertama kali diturunkan

 

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ

Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang

 

al-‘Alaq, ayat: 1-5

اِقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِيْ خَلَقَ. خَلَقَ الْإِنْسَانَ مِنْ عَلَقٍ. اقْرَأْ وَ رَبُّكَ الْأَكْرَمُ. الَّذِيْ عَلَّمَ بِالْقَلَمِ. عَلَّمَ الْإِنْسَانَ مَا لَمْ يَعْلَمْ.

096:1. Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang Menciptakan.
096:2. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah.
096:3. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah,
096:4. Yang mengajar (manusia) dengan (perantaraan) qalam.
096:5. Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.

 

Imām Aḥmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami ‘Abd-ur-Razzāq, telah menceritakan kepada kami Ma‘mar, dari az-Zuhrī, dari ‘Urwah, dari ‘Ā’isyah yang menceritakan bahwa permulaan wahyu yang disampaikan kepada Rasūlullāh s.a.w. berupa mimpi yang benar dalam tidurnya. Dan beliau tidak sekali-kali melihat suatu mimpi, melainkan datangnya mimpi itu bagaikan sinar pagi hari.

Kemudian dijadikan baginya suka menyendiri, dan beliau sering datang ke Gua Hira’, lalu melakukan ibadah di dalamnya selama beberapa malam yang berbilang dan untuk itu beliau membawa perbekalan secukupnya. Kemudian beliau pulang ke rumah Khadījah (istrinya) dan mengambil bekal lagi untuk melakukan hal yang sama.

Pada suatu hari ia dikejutkan dengan datangnya wahyu saat berada di Gua Hira’. Malaikat pembawa wahyu masuk ke dalam gua menemuinya, lalu berkata: “Bacalah!” Rasūlullāh s.a.w. melanjutkan kisahnya, bahwa ia menjawabnya: “Aku bukanlah orang yang pandai membaca.” Maka malaikat itu memegangku dan mendekapku sehingga aku benar-benar kepayahan olehnya, setelah itu ia melepaskan diriku dan berkata lagi: “Bacalah!” Nabi s.a.w. menjawab: “Aku bukanlah orang yang (pandai) membaca.” Malaikat itu kembali mendekapku untuk kedua kalinya hingga benar-benar aku kepayahan, lalu melepaskan aku dan berkata: “Bacalah!” Aku menjawab: “Aku bukanlah orang yang (pandai) membaca.” Malaikat itu kembali mendekapku untuk ketiga kalinya hingga aku benar-benar kepayahan, lalu dia melepaskan aku dan berkata:

اِقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِيْ خَلَقَ.

Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang Menciptakan (al-‘Alaq: 1).

Sampai dengan firman-Nya:

مَا لَمْ يَعْلَمْ.

Apa yang tidak diketahuinya. (al-‘Alaq: 5)

Maka setelah itu Nabi s.a.w. pulang dengan hati yang gemetar hingga masuk menemui Khadījah, lalu berkata:

زَمِّلُوْنِيْ زَمِّلُوْنِيْ.

Selimutilah aku, selimutilah aku!

Maka mereka menyelimutinya hingga rasa takutnya lenyap. Lalu setelah rasa takutnya lenyap, Khadījah bertanya: “Mengapa engkau?” Maka Nabi s.a.w. menceritakan kepadanya kejadian yang baru dialaminya dan bersabda: “Sesunguhnya aku merasa takut terhadap (keselamatan) diriku.” Khadījah berkata: “Tidak demikian, bergembiralah engkau, maka demi Allah, Dia tidak akan mengecewakanmu selama-lamanya. Sesungguhnya engkau adalah orang yang suka bersilaturahmi, benar dalam berbicara, suka menolong orang yang kesusahan, gemar menghormati tamu, dan membantu orang-orang yang tertimpa musibah.”

Kemudian Khadījah membawanya kepada Waraqah ibnu Naufal ibnu Asad ibnu ‘Abd-ul-‘Uzza ibnu Qusyay. Waraqah adalah saudara sepupu Khadījah dari pihak ayahnya, dan dia adalah seorang yang telah masuk agama Nasrani di masa Jahiliah dan pandai menulis ‘Arab, lalu ia menerjemahkan kitab Injil ke dalam bahasa ‘Arab seperti apa yang telah ditakdirkan oleh Allah, dan dia adalah seorang yang telah lanjut usia dan tuna netra.

Khadījah bertanya: “Hai anak pamanku, dengarlah apa yang dikatakan oleh anak saudaramu ini.” Waraqah bertanya: “Hai anak saudaraku, apakah yang telah engkau lihat?” Maka Nabi s.a.w. menceritakan kepadanya apa yang telah dialami dan dilihatnya. Setelah itu Waraqah berkata: “Dialah Namus (Malaikat Jibril) yang pernah turun kepada Mūsā. Aduhai, sekiranya diriku masih muda. Dan aduhai, sekiranya diriku masih hidup di saat kaummu mengusirmu.”

Rasūlullāh s.a.w. memotong pembicaraan: “Apakah benar mereka akan mengusirku?” Waraqah menjawab: “Ya, tidak sekali-kali ada seseorang lelaki yang mendatangkan hal seperti apa yang engkau sampaikan, melainkan ia pasti dimusuhi. Dan jika aku dapat menjumpai harimu itu, maka aku akan menolongmu dengan pertolongan yang sekuat-kuatnya.” Tidak lama kemudian Waraqah wafat, dan wahyu pun terhenti untuk sementara waktu hingga Rasūlullāh s.a.w. merasa sangat sedih.

Menurut berita yang sampai kepada kami, karena kesedihannya yang sangat, maka berulang kali ia mencoba untuk menjatuhkan dirinya dari puncak bukit yang tinggi. Akan tetapi, setiap kali beliau sampai di puncak bukit untuk menjatuhkan dirinya dari atasnya, maka Jibril menampakkan dirinya dan berkata kepadanya: “Hai Muḥammad, sesungguhnya engkau adalah utusan Allah yang sebenarnya,” maka tenanglah hati beliau karena berita itu, lalu kembali pulang ke rumah keluarganya.

Dan manakala wahyu datang terlambat lagi, maka beliau berangkat untuk melakukan hal yang sama. Tetapi bila telah sampai di puncak bukit, kembali Malaikat Jibril menampakkan diri kepadanya dan mengatakan kepadanya hal yang sama.

Hadis ini diketengahkan di dalam kitab Shaḥīḥain melalui az-Zuhrī; dan kami telah membicarakan tentang hadis ini ditinjau dari segi sanad, matan, dan maknanya pada permulaan kitab syarah kami, yaitu Syaraḥ Bukhārī dengan pembahasan yang lengkap. Maka bagi yang ingin mendapatkan keterangan lebih lanjut, dipersilakan untuk merujuk kepada kitab itu, semuanya tertulis di sana.

Mula-mula wahyu al-Qur’ān yang diturunkan adalah ayat-ayat ini yang mulia lagi diberkati, ayat-ayat ini merupakan permulaan rahmat yang diturunkan oleh Allah karena kasih sayang kepada hamba-hambaNya, dan merupakan nikmat yang mula-mula diberikan oleh Allah kepada mereka. Di dalam surat ini terkandung peringatan yang menggugah manusia kepada asal mula penciptaan manusia, yaitu dari ‘alaqah. Dan bahwa di antara kemurahan Allah s.w.t. ialah Dia telah mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya. Hal ini berarti Allah telah memuliakan dan menghormati manusia dengan ilmu. Dan ilmu merupakan bobot tersendiri yang membedakan antara Abul-Basyar (Ādam) dengan malaikat. Ilmu itu adakalanya berada di hati, adakalanya berada di lisan, adakalanya pula berada di dalam tulisan tangan. Berarti ilmu itu mencakup tiga aspek, yaitu di hati, di lisan, dan di tulisan. Sedangkan yang di tulisan membuktikan adanya penguasaan pada kedua aspek lainnya, tetapi tidak sebaliknya. Karena itulah disebutkan dalam firman-Nya:

اِقْرَأْ وَ رَبُّكَ الْأَكْرَمُ. الَّذِيْ عَلَّمَ بِالْقَلَمِ. عَلَّمَ الْإِنْسَانَ مَا لَمْ يَعْلَمْ.

Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah, Yang mengajar (manusia) dengan (perantaraan) qalam. Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya. (al-‘Alaq: 3-5)

Di dalam sebuah atsar disebutkan: “Ikatlah ilmu dengan tulisan.” Dan masih disebutkan pula dalam atsar, bahwa barang siapa yang mengamalkan ilmu yang dikuasainya, maka Allah akan memberikan kepadanya ilmu yang belum diketahuinya.

 

Al-‘Alaq, ayat: 6-19

كَلَّا إِنَّ الْإِنْسَانَ لَيَطْغَى. أَنْ رَّآهُ اسْتَغْنَى. إِنَّ إِلَى رَبِّكَ الرُّجْعَى. أَرَأَيْتَ الَّذِيْ يَنْهَى. عَبْدًا إِذَا صَلَّى. أَرَأَيْتَ إِنْ كَانَ عَلَى الْهُدَى. أَوْ أَمَرَ بِالتَّقْوَى. أَرَأَيْتَ إِنْ كَذَّبَ وَ تَوَلَّى. أَلَمْ يَعْلَمْ بِأَنَّ اللهَ يَرَى. كَلَّا لَئِنْ لَّمْ يَنْتَهِ لَنَسْفَعًا بِالنَّاصِيَةِ. نَاصِيَةٍ كَاذِبَةٍ خَاطِئَةٍ. فَلْيَدْعُ نَادِيَه. سَنَدْعُ الزَّبَانِيَةَ. كَلَّا لَا تُطِعْهُ وَ اسْجُدْ وَ اقْتَرِبْ.

096:6. Ketahuilah! Sesungguhnya manusia benar-benar melampaui batas,
096:7. karena dia melihat dirinya serba cukup.
096:8. Sesungguhnya hanya kepada Tuhanmulah kembali (mu).
096:9. Bagaimana pendapatmu tentang orang yang melarang,
096:10. seorang hamba ketika dia mengerjakan salat,
096:11. bagaimana pendapatmu jika orang yang dilarang itu berada di atas kebenaran,
096:12. atau dia menyuruh bertakwa (kepada Allah)?
096:13. Bagaimana pendapatmu jika orang yang melarang itu mendustakan dan berpaling?
096:14. Tidakkah dia mengetahui bahwa sesungguhnya Allah melihat segala perbuatannya?
096:15. Ketahuilah, sungguh jika dia tidak berhenti (berbuat demikian) niscaya Kami tarik ubun-ubunnya,
096:16. (yaitu) ubun-ubun orang yang mendustakan lagi durhaka.
096:17. Maka biarlah dia memanggil golongannya (untuk menolongnya),
096:18. kelak Kami akan memanggil malaikat Zabāniyah,
096:19. sekali-kali jangan, janganlah kamu patuh kepadanya; dan sujudlah dan dekatkanlah (dirimu kepada Tuhan).

 

Allah s.w.t. menceritakan perihal manusia, bahwa manusia itu adalah makhluk yang mempunyai kesenangan, jahat, angkuh, dan melampaui batas apabila ia melihat dirinya telah berkecukupan dan banyak hartanya. Kemudian Allah mengancamnya dan memperingatkan kepadanya melalui firman beriktunya:

إِنَّ إِلَى رَبِّكَ الرُّجْعَى.

Sesungguhnya hanya kepada Tuhanmulah kembali(mu). (al-‘Alaq: 8)

Yakni hanya kepada Allah-lah kamu kembali dan berpulang, lalu Dia akan mengadakan perhitungan terhadap hartamu dari manakah kamu hasilkan dan ke manakah kamu belanjakan?

Ibnu Abī Ḥātim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Zaid ibnu Ismā’īl ash-Sha’igh, telah menceritakan kepada kami Ja‘far ibnu ‘Aun, telah menceritakan kepada kami Abū Umais, dari ‘Aun yang telah mengatakan bahwa ‘Abdullāh ibnu Mas‘ūd pernah mengatakan bahwa ada dua orang yang haus dan tidak pernah merasa kenyang, yaitu orang yang berilmu dan orang yang memiliki harta; tetapi keduanya tidak sama. Adapun orang yang berilmu, maka bertambahlah ridha Tuhan Yang Maha Pemurah kepadanya. Adapun orang yang berharta, maka dia makin tenggelam di dalam kesesatannya (sikap melampaui batasnya). Kemudian ‘Abdullāh ibnu Mas‘ūd membacakan firman-Nya:

كَلَّا إِنَّ الْإِنْسَانَ لَيَطْغَى. أَنْ رَّآهُ اسْتَغْنَى

Sesungguhnya manusia benar-benar melampaui batas, karena dia melihat dirinya serba cukup. (al-‘Alaq: 6-7)

Dan terhadap orang yang berilmu, ‘Abdullāh ibnu Mas‘ūd membacakan firman Allah s.w.t.:

إِنَّمَا يَخْشَى اللهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ.

Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hambaNya hanyalah ulama. (Fāthir: 28)

Hal yang semakna telah diriwayatkan pula secara marfū‘ sampai kepada Rasūlullāh s.a.w., yaitu:

مَنْهُوْمَانِ لَا يَشْبَعَانِ طَالِبُ عِلْمٍ وَ طَالِبُ دُنْيًا.

Ada dua macam orang yang rakus selalu tidak merasa kenyang, yaitu penuntut ilmu dan pemburu duniawi.

Kemudian disebutkan dalam firman selanjutnya:

أَرَأَيْتَ الَّذِيْ يَنْهَى. عَبْدًا إِذَا صَلَّى.

Bagaimana pendapatmu tentang orang yang melarang, seorang hamba ketika dia mengerjakan salat. (al-‘Alaq: 9-10)

Bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan sikap Abū Jahal la‘natullāh. Dia mengancam Nabi s.a.w. bila melakukan salat di Baitullāh. Maka Allah s.w.t. pada mulanya menasihati Abū Jahal dengan cara yang terbaik, untuk itu Allah s.w.t. berfirman:

أَرَأَيْتَ إِنْ كَانَ عَلَى الْهُدَى.

Bagaimana pendapatmu jika orang yang dilarang itu berada di atas kebenaran (al-‘Alaq: 11).

Yakni bagaimanakah menurut pendapatmu jika orang yang kamu larang ini berada di jalan yang lurus dalam sepak terjangnya.

أَوْ أَمَرَ بِالتَّقْوَى.

Atau dia menyuruh bertakwa (al-‘Alaq: 12)

Melalui ucapannya, sedangkan engkau menghardiknya dan mengancamnya bila ia mengerjakan salatnya. Karena itulah disebutkan dalam firman berikutnya:

أَلَمْ يَعْلَمْ بِأَنَّ اللهَ يَرَى.

Tidakkah dia mengetahui bahwa sesungguhnya Allah melihat segala perbuatannya (al-‘Alaq: 14)

Artinya, tidakkah orang yang melarang orang yang mendapat petunjuk itu mengetahui bahwa Allah melihatnya dan mendengar pembicaraannya, dan kelak Dia akan membalas perbuatannya itu dengan balasan yang setimpal. Selanjutnya Allah s.w.t. memperingatkan dan mengancam dengan ancaman yang keras:

كَلَّا لَئِنْ لَّمْ يَنْتَهِ

Ketahuilah, sungguh jika dia tidak berhenti. (al-‘Alaq: 15)

Yaitu tidak lagi menghentikan perbuatannya yang selalu bermusuhan dan ingkar.

لَنَسْفَعًا بِالنَّاصِيَةِ.

Niscaya Kami tarik ubun-ubunnya. (al-‘Alaq: 15)

Yakni niscaya Kami benar-benar akan memberinya tanda hitam kelak di hari kiamat. Kemudian disebutkan dalam firman berikutnya:

نَاصِيَةٍ كَاذِبَةٍ خَاطِئَةٍ.

(yaitu) ubun-ubun orang yang mendustakan lagi durhaka. (al-‘Alaq: 16).

Maksudnya, ubun-ubun Abū Jahal yang pendusta dalam ucapannya lagi durhaka dalam perbuatannya.

فَلْيَدْعُ نَادِيَه.

Maka biarlah dia memanggil golongannya. (al-‘Alaq: 17)

Yakni kaumnya dan kerabatnya, biarlah dia memanggil mereka untuk menolongnya.

سَنَدْعُ الزَّبَانِيَةَ.

Kelak Kami akan memanggil Malaikat Zabāniyah. (al-‘Alaq: 18)

Mereka adalah malaikat juru siksa; sehingga dia mengetahui siapakah yang menang, apakah golongan Kami ataukah golongan dia?

Imām Bukhārī mengatakan, telah menceritakan kepada kami Yaḥyā, telah menceritakan kepada kami ‘Abd-ur-Razzāq, dari Ma‘mar, dari ‘Abd-ul-Karīm al-Jazarī, dari ‘Ikrimah, dari Ibnu ‘Abbās yang menceritakan bahwa Abū Jahal berkata: “Sesungguhnya jika aku melihat Muḥammad sedang salat di dekat Ka‘bah, aku benar-benar akan menginjak lehernya.” Maka ancaman itu sampai kepada Nabi s.a.w., lalu beliau s.a.w. bersabda:

لَئِنْ فَعَلَ لَأَخَذَتْهُ الْمَلَائِكَةُ

Sesungguhnya jika dia melakukan niatnya, benar-benar malaikat akan mengambilnya (menghukumnya).

Kemudian Imām Bukhārī mengatakan bahwa periwayatan hadis ini diikuti oleh ‘Amr ibnu Khālid, dari ‘Ubaidillāh ibnu ‘Amr, dari ‘Abd-ul-Karīm. Hal yang sama telah diriwayatkan oleh Imām Tirmidzī dan Imām Nasā’i di dalam kitab tafsir masing-masing melalui jalur ‘Abd-ur-Razzāq dengan sanad yang sama. Hal yang sama telah diriwayatkan oleh Ibnu Jarīr, dari Abū Kuraib, dari Zakariyā ibnu ‘Addī, dari ‘Ubaidillāh ibnu ‘Amr dengan sanad yang sama.

Imām Aḥmad dan Imām Tirmidzī serta Imām Nasā’i dan Ibnu Jarīr telah meriwayatkannya, yang hadis berikut berdasarkan lafaz yang ada pada Ibnu Jarīr, melalui jalur Dāūd ibnu Abū Hindun, dair ‘Ikrimah, dari Ibnu ‘Abbās yang mengatakan bahwa dahulu Rasulullah s.a.w. sering melakukan salat di dekat maqām Ibrāhīm. Maka lewatlah kepadanya Abū Jahal ibnu Hisyām, lalu berkata: “Hai Muḥammad, dengan apakah engkau mengancamku? Ketahuilah, demi Allah, sesungguhnya aku adalah penduduk lembah ini yang paling banyak pendukungnya.” Maka Allah s.w.t. menurunkan firman-Nya:

فَلْيَدْعُ نَادِيَه. سَنَدْعُ الزَّبَانِيَةَ.

Maka biarlah dia memanggil golongannya (untuk menolongnya) kelak Kami akan memanggil Malaikat Zabāniyah. (al-‘Alaq: 17-18)

Ibnu ‘Abbās mengatakan bahwa seandainya Abū Jahal memanggil golongannya (para pendukungnya), niscaya saat itu juga malaikat adzab akan mengambilnya. Imām Tirmidzī mengatakan bahwa hadis ini kalau tidak ḥasan, shaḥīḥ.

Imām Aḥmad mengatakan pula, telah menceritakan kepada kami Ismā‘īl ibnu Yazīd alias Abū Yazīd, telah menceritakan kepada kami Furāt, dari ‘Abd-ul-Karīm, dari ‘Ikrimah, dari Ibnu ‘Abbās yang mengatakan bahwa Abū Jahal pernah berkata: “Sesungguhnya jika aku melihat Rasūlullāh s.a.w. sedang mengerjakan salat di dekat Ka‘bah, benar-benar aku akan menginjak lehernya (saat ia sujud).” Ibnu ‘Abbās melanjutkan kisahnya, bahwa lalu Nabi s.a.w. bersabda:

لَوْ فَعَلَ لَأَخَذَتْهُ الْمَلَائِكَةُ عِيَانًا، وَ لَوْ أَنَّ الْيَهُوْدَ تَمَنَّوُا الْمَوْتَ لَمَاتُوْا وَ رَأَوْا مَقَاعِدَهُمْ مِنَ النَّارِ، وَ لَوْ خَرَجَ الَّذِيْنَ يُبَاهِلُوْنَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ لَرَجَعُوْا لَا يَجِدُوْنَ مَالًا وَ لَا أَهْلًا.

Seandainya dia melakukan niatnya itu, niscaya malaikat akan mengambilnya secara terang-terangan. Dan seandainya orang-orang Yahudi mengharapkan mati, niscaya mereka benar-benar mati dan akan melihat tempat kedudukan mereka di dalam neraka. Dan seandainya orang-orang yang bermubahalah dengan Rasūlullāh s.a.w. keluar (untuk melakukannya), niscaya saat mereka pulang ke rumahnya, mereka tidak akan menjumpai harta dan juga keluarga (mereka).

Ibnu Jarīr mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ibnu Ḥumaid, telah menceritakan kepada kami Yūnus ibnu Abū Isḥāq, dari al-Walīd ibn-ul-Aizar, dari Ibnu ‘Abbās yang mengatakan bahwa Abū Jahal pernah mengatakan bahwa sesungguhnya jika Muḥammad kembali ke maqām Ibrāhīm untuk melakukan salat, aku benar-benar akan membunuhnya. Maka Allah menurunkan firman-Nya:

اِقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِيْ خَلَقَ.

Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang Menciptakan (al-‘Alaq: 1).

Sampai dengan firman-Nya:

لَنَسْفَعًا بِالنَّاصِيَةِ. نَاصِيَةٍ كَاذِبَةٍ خَاطِئَةٍ. فَلْيَدْعُ نَادِيَه. سَنَدْعُ الزَّبَانِيَةَ.

niscaya Kami tarik ubun-ubunnya, (yaitu) ubun-ubun orang yang mendustakan lagi durhaka. Maka biarlah dia memanggil golongannya (untuk menolongnya), kelak Kami akan memanggil Malaikat Zabāniyah. (al-‘Alaq: 15-18)

Maka Nabi s.a.w. datang dan melakukan salatnya. Lalu dikatakan kepada Abū Jahal: “Mengapa engkau mengurungkan niatmu dan tidak melakukannya?” Abū Jahal menjawab: “Sesungguhnya ada bala tentara yang banyak sekali yang menghalang-halangi antara aku dengan dia.”

Ibnu ‘Abbās mengatakan bahwa demi Allah, seandainya Abū Jahal bergerak, benar-benar malaikat akan mengambilnya dengan terang-terangan, sedangkan orang-orang menyaksikannya.

Ibnu Jarīr mengatakan pula bahwa telah menceritakan kepada kami Ibnu ‘Abd-ul-A‘lā, telah menceritakan kepada kami al-Mu‘tamir, dari ayahnya, telah menceritakan kepada kami Na‘īm ibnu Abū Hindun, dari Abū Ḥāzim, dari Abū Hurairah r.a. yang mengatakan bahwa Abū Jahal pernah berkata: “Maukah kalian melihat wajah Muḥammad ditaburi dengan debu di hadapan kalian?” Mereka menjawab: “Ya.”

Abū Hurairah melanjutkan, bahwa lalu Abū Jahal mengatakan: “Demi Lata dan ‘Uzza, sesungguhnya jika aku melihat Muḥammad sedang salat seperti ini (sujud), aku benar-benar akan menginjak lehernya dan benar-benar akan menaburkan debu ke mukanya.” Maka datanglah Abū Jahal kepada Rasūlullāh s.a.w. yang sedang mengerjakan salat dengan maksud akan menginjak lehernya.

Abū Hurairah melanjutkan kisahnya, bahwa maka tiada yang mengejutkan mereka yang menyaksikan Abū Jahal melainkan karena mereka melihat Abū Jahal surut mundur ke belakang dan melindungi wajahnya dengan kedua tangannya. Ketika ditanyakan kepadanya: “Mengapa engkau?” Abū Jahal menjawab: “Sesungguhnya antara aku dan dia terdapat parit api dan pemandangan yang sangat menakutkan serta banyak sayap.”

Abū Hurairah melanjutkan, bahwa lalu Rasūlullāh s.a.w. bersabda:

لَوْ دَنَى مِنِّيْ لَاخْتَطَفَتْهُ الْمَلَائِكَةُ عُضْوًا عُضْوًا.

Seandainya dia mendekat kepadaku, niscaya malaikat akan mencabik-cabik tubuhnya anggota demi anggota.

Perawi mengatakan bahwa lalu Allah menurunkan firman-Nya – apakah hal ini terdapat di dalam hadis Abū Hurairah ataukah tidak? Saya tidak mengetahui – , yaitu:

كَلَّا إِنَّ الْإِنْسَانَ لَيَطْغَى.

Sesungguhnya manusia benar-benar melampaui batas. (al-‘Alaq: 6), hingga akhir ayat.

Imām Aḥmad ibnu Ḥanbal, Imām Muslim, Imām Nasā’i, dan Ibnu Abī Ḥātim telah meriwayatkannya melalui Mu‘tamir ibnu Sulaimān dengan sanad yang sama.

Firman Allah s.w.t.:

كَلَّا لَا تُطِعْهُ.

Sekali-kali jangan, janganlah kamu patuh kepadanya. (al-‘Alaq: 18)

Yakni hai Muḥammad, janganlah kamu patuh kepada orang itu yang melarang kamu melakukan rutinitas ibadahmu, melainkan teruskanlah salatmu menurut yang kamu sukai. Janganlah engkau pedulikan dia, karena sesungguhnya Allah-lah yang memeliharamu dan menolongmu, dan Dia akan memelihara kamu dari gangguan orang lain.

وَ اسْجُدْ وَ اقْتَرِبْ.

Dan sujudlah dan dekatkanlah (dirimu kepada Tuhan). (al-‘Alaq: 19)

Sebagaimana yang telah disebutkan di dalam hadis shaḥīḥ yang ada pada Imām Muslim melalui jalur ‘Abdullāh ibnu Wahb, dari ‘Amr ibnul Ḥārits, dari ‘Imārah ibnu Gazyah, dari Samiy, dari Abū Shāliḥ, dari Abū Hurairah, bahwa Rasulullah s.a.w. telah bersabda:

أَقْرَبُ مَا يَكُوْنُ الْعَبْدُ مِنْ رَبِّهِ وَ هُوَ سَاجِدٌ فَأَكْثِرُوا الدُّعَاءَ.

Tempat yang paling dekat bagi seorang hamba kepada Tuhannya ialah saat ia sedang sujud, maka perbanyaklah berdoa (padanya).

Dan dalam hadis terdahulu telah disebutkan pula bahwa Rasūlullāh s.a.w. melakukan sujud tilawah pada sūratu Insyiqāq dan al-‘Alaq. Demikianlah akhir tafsir surat-ul-‘Alaq, segala puji bagi Allah atas karunia-Nya.

Alamat Kami
Jl. Zawiyah, No. 121, Rumah Botol Majlis Dzikir Hati Senang,
RT 06 RW 04, Kp. Tajur, Desa Pamegarsari, Parung, Jawa Barat. 16330.