Kepribadian yang mulia dan dicintai serta dimudahkan kepada jalan kemudahan ini, juga supaya menyampaikan dakwah ini kepada manusia. Sehingga, tabiatnya menjadi tabiatnya, hakikatnya menjadi hakikatnya, dan mumpuni untuk mengemban amanat yang sangat besar yang dipikulnya – dengan adanya pemberian kemudahan dan pertolongan dari Allah – meski tugas itu besar. Dengan kemudahan ini, risālah yang sulit dan berat itu menjadi mudah dan disukai, penuh semangat dan indah, menyenangkan dan lapang.
Mengenai sifat Nabi Muḥammad s.a.w. dan sifat tugas yang diembannya, maka al-Qur’ān banyak membicarakannya:
“Tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk menjadi rahmat bagi semesta alam.” (al-Anbiyā’: 107).
“Orang-orang yang mengikut Rasūl, Nabi yang ummi yang (namanya) mereka dapati tertulis di dalam Taurāt dan Injīl yang ada di sisi mereka, yang menyuruh mereka mengerjakan yang ma‘rūf dan melarang mereka dari mengerjakan yang mungkar dan mengḥalālkan bagi mereka segala yang baik dan mengḥarāmkan bagi mereka segala yang buruk dan membuang dari mereka beban-beban dan belenggu-belenggu yang ada pada mereka.” (al-A‘rāf: 157).
Nabi s.a.w. datang sebagai rahmat bagi umat manusia. Beliau datang untuk memberi kemudahan dan melepaskan dari pundak manusia beban-beban berat dan belenggu-belenggu yang memberatkan mereka. Ya‘ni, ketika mereka memberat-beratkan diri lantas diberatkan atas mereka (melakukan hal-hal yang memberatkan mereka, yang kemudian diwajibkan atas mereka gara-gara sikap mereka itu – penj.).
Mengenai sifat risālah yang beliau bawa, al-Qur’ān mengatakan:
“Sesungguhnya telah Kami mudahkan al-Qur’ān untuk pelajaran, maka adakah orang yang mengambil pelajaran?” (al-Qamar: 22).
“Sekali-kali Allah tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan” (al-Ḥajj: 78).
“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya” (al-Baqarah: 286).
“Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu.” (al-Mā’idah: 6).
Maka, risālah ini datang dengan memberikan kemudahan sesuai dengan batas-batas kemampuan manusia. Ia tidak membebani kesulitan dan kerepotan bagi mereka. Kemudahan ini terdapat di dalam ruh risālah, juga di dalam tugas-tugas yang diberikannya:
“(Tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu.” (ar-Rūm: 30).
Di mana saja manusia berjalan bersama ‘aqīdah ini, niscaya dia akan menjumpai kemudahan dan pemeliharaan terhadap kemampuan manusia. Juga akan menjumpai keadaan yang berbeda-beda bagi manusia, bahkan akan menjumpai kondisi-kondisi yang berbenturan dengan ‘aqīdah ini dalam semua lingkungan dan keadaan. ‘Aqīdah yang mudah pola pandangnya. Tuhan Yang Maha Esa, yang tidak ada sesuatu pun yang sama dengan-Nya, yang menciptakan segala sesuatu, dan membimbingnya untuk mencapai tujuan keberadaannya. Dia telah mengutus para rasūl untuk mengingatkan manusia terhadap tujuan keberadaan mereka. Juga untuk mengembalikan mereka kepada Allah yang telah menciptakan mereka. Tugas-tugas sesudahnya bersumber dari ‘aqīdah ini secara serasi, mutlak, dan tanpa ada kebengkokan padanya. Manusia berkewajiban melaksanakannya sesuai dengan kemampuannya, tanpa diberi kesulitan dan kesukaran:
إِذَا أَمَرْتُكُمْ بِأَمْرٍ فَأْتُوْا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ، وَ مَا نَهَيْتُكُمْ عَنْهُ فَاجْتَنِبُوْهُ.
“Apabila aku memerintahkan kamu tentang suatu hal, maka laksanakanlah semampu kamu. Apa yang aku larang kamu darinya, maka jauhilah!” (H.R. Bukhārī dan Muslim).
Dan apa yang dilarang itu pun tidak mengapa dilanggar apabila dalam keadaan terpaksa:
“Kecuali apa yang kamu terpaksa terhadapnya.” (al-An‘ām: 119).
Nah, di antara batas-batas yang luas ini terangkumlah semua taklīf (tugas keagamaan).
Di sana bertemulah tabiat Rasūl dengan tabiat risālah, bertemu pula tabiat dai dengan tabiat dakwah, di dalam ciri pokok yang menonjol ini. Demikian pula yang dibawakan risālah yang mudah ini oleh Rasūl. Maka, mereka adalah ummatan wasathan “ummat yang moderat, yang tengah-tengah”, ummat yang dirahmati sekaligus pembawa rahmat, ummat yang diberi kemudahan dan membawa kemudahan, yang fitrahnya selaras dengan fitrah alam semesta yang besar ini.
Alam semesta dengan kerapian dan kelancaran geraknya ini, mencerminkan penciptaan Allah yang penuh kemudahan dan kelancaran, tidak berbenturan dan tidak kacau-balau. Berjuta-juta bintang berenang di angkasa ciptaan Allah dan berjalan pada garis edarnya dengan teratur dan rapi, tidak berbenturan, tidak bergoncang, dan tidak hilang lenyap. Berjuta-juta makhlūq yang dekat dan yang jauh, dengan rapi dan teratur. Masing-masing dimudahkan untuk apa ia diciptakan, dan berjalan di jalannya menuju sasaran. Berjuta-juta gerakan, peristiwa, dan keadaan berkumpul dan berpisah. Masing-masing berjalan di jalannya bagai menyenandungkan lagu perpisahan dengan menggunakan peralatan yang beraneka macam, untuk berkumpul semuanya dalam sebuah irama yang panjang.
Ini adalah keserasian yang mutlak antara tabiat semesta dengan tabiat risālah, tabiat rasūl, dan tabiat umat Islam, sebagai ciptaan Allah Yang Maha Esa, fitrah Maha Pencipta Yang Bijaksana.
“Oleh sebab itu, berilah peringatan, karena peringatan itu bermanfaat.” (al-A‘lā: 9).
Peringatan Itu Bermanfaat.
Allah telah membacakan al-Qur’ān kepada Rasūlullāh, maka beliau tidak pernah lupa (kecuali kalau Allah menghendaki), dan memberinya taufīq kepada kemudahan untuk mengemban amanat yang sangat besar untuk memberi peringatan. Maka, untuk inilah beliau disiapkan dan diberi kabar gembira. Karena itu, berilah peringatan setiap kali kamu mendapatkan kesempatan untuk memberi peringatan. Yaitu, dengan peringatan yang dapat menembus hati dan dengan menggunakan sarana yang dapat menyampaikan kepada sasaran.
Berilah peringatan: “karena peringatan itu bermanfaat”. Peringatan itu selamanya memberi manfaat. Engkau tidak akan kehilangan orang yang mau mengambil manfaat darinya, banyak ataupun sedikit. Tidak akan ada suatu generasi dan tidak akan ada tanah yang sunyi dari orang yang mau mengambil manfaat, meski bagaimanapun manusia sudah rusak, hati sudah keras, dan dinding penghalang begitu kotor.
Ketika kita renungkan urutan ayat-ayat ini, maka kita akan mengetahui betapa agungnya risālah dan besarnya amanat yang memerlukan pemudahan kepada jalan yang mudah untuk mengembannya. Juga memerlukan pembacaan dan penghafalan yang dijamin oleh Allah itu, supaya Rasūlullāh s.a.w. siap mengemban tugas memberi peringatan itu, dengan dibekali bekal yang besar ini.
Apabila Rasūlullāh s.a.w. telah bangkit mengemban tugas ini, berarti beliau telah menunaikan kewajibannya. Sedangkan, urusan dan tanggapan masyarakat sesudah itu adalah urusan mereka sendiri. Berbeda-beda jalan hidup yang mereka tempuh, dan berbeda pula tempat kembali yang akan mereka dapati. Allah memperlakukan mereka menurut kehendak-Nya, sesuai dengan tanggapan mereka terhadap peringatan ini:
سَيَذَّكَّرُ مَنْ يَخْشَى. وَ يَتَجَنَّبُهَا الْأَشْقَى. الَّذِيْ يَصْلَى النَّارَ الْكُبْرَى. ثُمَّ لَا يَمُوْتُ فِيْهَا وَ لَا يَحْيَى. قَدْ أَفْلَحَ مَنْ تَزَكَّى. وَ ذَكَرَ اسْمَ رَبِّهِ فَصَلَّى.
“Orang yang takut (kepada Allah) akan mendapat pelajaran. Orang-orang yang celaka (kafir) akan menjauhinya. (Yaitu) orang yang akan memasuki api yang besar (neraka). Kemudian dia tidak mati di dalamnya dan tidak (pula) hidup. Sesungguhnya beruntunglah orang yang membersihkan diri (dengan beriman), dan dia ingat nama Tuhannya, lalu dia sembahyang.” (al-A‘lā: 10-15).
Maka, berilah peringatan dan akan mendapat pelajaran: “Orang yang takut (kepada Allah)”. Yaitu, orang yang hatinya merasa takut akan kemurkaan Allah dan siksa-Nya. Hati yang hidup akan senantiasa merasa takut, sejak ia mengetahui bahwa semesta ini mempunyai Tuhan yang telah menciptakan dan menyempurnakan penciptaan-Nya, yang telah menentukan kadar masing-masing dan memberi petunjuk. Sehingga, Dia tidak membiarkan manusia tersia-sia dan terabaikan. Dia sudah tentu akan menghisabnya atas kebaikan dan keburukannya, dan akan membalasnya dengan seadil-adilnya. Oleh karena itu, ia takut kepada-Nya, Maka, apabila diperingatkan, ia sadar; apabila diberi petunjuk, ia menerima; dan apabila diberi pelajaran, ia mau mengambil pelajaran.
“Orang-orang yang celaka akan menjauhinya…..”
Menjauhi peringatan, tidak mau mendengar dan mengambil manfaat darinya. Oleh karena itu, dia “celaka” dalam arti kata yang sebenar-benarnya, celaka secara mutlak dan menyeluruh. Orang celaka yang mencerminkan puncak kecelakaan. Celaka di dunia dengan ruhnya yang hampa, mati, tebal, dan keras. Sehingga, tidak merasakan hakikat-hakikat alam wujud, tidak mau mendengarkan kesaksiannya yang jujur, dan tidak terkesan oleh isyārat-isyārat dan kesan-kesannya yang dalam. Ia hidup dengan jiwa yang bergoncang dan bergolak serta susah payah di muka bumi dengan urusannya yang kecil ini. Juga celaka di akhirat dengan mendapatkan ‘adzābnya yang tidak diketahui ujungnya.
“….Yang akan memasuki api yang besar (neraka). Kemudian dia tidak mati di dalamnya dan tidak (pula) hidup….”
“Api yang besar” adalah api neraka. Besar dengan kepedihannya, besar dengan jangkauannya, dan besar dengan ukuran besarnya, yang terus berkembang dan memanjang. Maka, dia tidak mati untuk merasakan istirahat, dan tidak pula hidup untuk merasakan kesenangan dan kegembiraan. Sesungguhnya ‘adzāb neraka itu adalah ‘adzāb yang sangat besar. Penghuninya selalu menghadapi kematian dan bencana besar, namun tidak juga mati!
Di balik itu, kita jumpai keselamatan dan keberuntungan yang dibarengi dengan kesucian dan kesadaran:
“…..Sesungguhnya beruntunglah orang yang membersihkan diri (dengan beriman), dan dia ingat nama Tuhannya, lalu mengerjakan sembahyang.”
Tazakkī adalah membersihkan diri dari semua kotoran. Allah menetapkan bahwa orang ini membersihkan diri, mengingat nama Tuhannya, lantas menghadirkan keagungan-Nya di dalam hatinya dengan “mengerjakan shalat”. Shalat ini boleh jadi berma‘na khusyū‘ dan tunduk, dan boleh jadi berma‘na shalat secara istilahi. Karena, keduanya dapat menimbulkan ingatan dan penghadiran keagungan Allah di dalam hati dan merasakan kehebatan-Nya di dalam qalbu.
Orang yang membersihkan diri, mengingat nama Tuhannya, dan mengerjakan shalat ini benar-benar “beruntung” di dunianya. Sehingga, hidup dengan hati yang selalu berhubungan dengan Allah dengan hati yang hidup, merasakan manisnya dzikir, dan merasa tenang dengannya. Juga beruntung di akhiratnya, dengan selamat dari api yang besar dan mendapatkan keni‘matan dan keridhāan Allah.
Nah, alangkah berbedanya akibat orang itu dengan orang ini? Alangkah berbedanya tempat kembali orang yang celaka dan orang yang berbahagia ini!
Orang Kafir Memilih Kehidupan Dunia.
Di bawah bayang-bayang pemandangan api yang besar bagi orang-orang yang celaka, dan keselamatan dan kebahagiaan bagi orang-orang yang membersihkan diri, maka orang-orang yang diajak bicara oleh al-Qur’ān ini ditunjukkan kepada sebab kecelakaan mereka. Ditunjukkan kepada pangkal kelalaian mereka, dan apa yang memalingkan mereka dari mengingat Allah, dari membersihkan diri, dari keselamatan dan keberuntungan. Juga ditunjukkan kepada yang membawa mereka ke neraka dengan api dan kesengsaraannya yang teramat besar:
بَلْ تُؤْثِرُوْنَ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا. وَ الْآخِرَةُ خَيْرٌ وَ أَبْقَى.
“Tetapi, kamu (orang-orang kafir) memilih kehidupan duniawi. Sedangkan, kehidupan akhirat adalah lebih baik dan lebih kekal”. (al-A‘lā: 16-17).
Memilih kehidupan duniawi inilah yang menjadi pangkal segala bencana. Karena sikap inilah, seseorang lantas berpaling dari peringatan. Pasalnya, peringatan itu menuntut mereka supaya memperhitungkan akhirat dan mengutamakannya. Namun, mereka menghendaki kehidupan duniawi dan mengutamakannya.
Penyebutan “dunia” ini tidaklah kontradiktif, karena ia berarti rendah di samping hanya sementara waktu, lekas lenyap. “Sedangkan, kehidupan akhirat adalah lebih baik dan lebih kekal”, lebih baik jenisnya, lebih kekal waktunya.
Di bawah bayang-bayang hakikat ini, tampaklah bahwa memilih kehidupan dunia daripada akhirat itu adalah tindakan bodoh dan perhitungan yang jelek. Pilihan yang tidak akan dilakukan oleh orang yang berakal sehat dan berpandangan jernih.
Khātimah.
Pada bagian penutup, datanglah isyārat yang menunjukkan keterdahuluan dakwah ini, mendasarnya bangunannya, serta mengakarnya akar-akarnya di semua zaman. Juga kesatuan asal-usul dan prinsip-prinsipnya di belakang masa dan tempat:
إِنَّ هذَا لَفِي الصُّحُفِ الْأُوْلَى. صُحُفِ إِبْرَاهِيْمَ وَ مُوْسَى.
“Sesungguhnya ini benar-benar terdapat dalam kitab-kitab yang dahulu, (yaitu) kitāb-kitāb Ibrāhīm dan Mūsā. (al-A‘lā: 18-19).
Apa yang tersebut dalam surah ini mengandung pokok-pokok ‘aqīdah yang besar. Inilah kebenaran yang pokok dan mendasar. Inilah yang bercantum di dalam kitab-kitab terdahulu, yaitu kitab-kitab Ibrāhīm dan Mūsā.
Kesatuan kebenaran dan ‘aqīdah inilah kesatuan arah yang ditujukan. Inilah kesatuan kehendak yang menghendaki diutusnya para rasūl kepada manusia. Sesungguhnya itu adalah kebenaran satu-satunya. Ya‘ni, kembali kepada asal yang satu, yang berbeda-beda bagian-bagian dan rincian-rinciannya sesuai dengan perbedaan kebutuhan yang terus berkembang. Akan tetapi, semuanya bertemu pada pokok yang satu, yang bersumber dari sumber yang satu. Yaitu, dari Tuhanmu Yang Maha Tinggi, yang telah menciptakan dan menyempurnakan penciptaan-Nya, yang telah menentukan kadar masing-masing dan memberi petunjuk.