Surah al-A’la 87 ~ Tafsir Sayyid Quthb (1/4)

Dari Buku:
Tafsīr fi Zhilāl-il-Qur’ān
Oleh: Sayyid Quthb
 
Penerbit: Gema Insani

Rangkaian Pos: Surah al-A'la 87 ~ Tafsir Sayyid Quthb

SURAH AL-A‘LĀ

Diturunkan di Makkah
Jumlah Ayat: 19.

 

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ

Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang

 

سَبِّحِ اسْمَ رَبِّكَ الْأَعْلَى. الَّذِيْ خَلَقَ فَسَوَّى. وَ الَّذِيْ قَدَّرَ فَهَدَى. وَ الَّذِيْ أَخْرَجَ الْمَرْعَى. فَجَعَلَهُ غُثَاءً أَحْوَى. سَنُقْرِؤُكَ فَلَا تَنْسَى. إِلَّا مَا شَاءَ اللهُ إِنَّهُ يَعْلَمُ الْجَهْرَ وَ مَا يَخْفَى. وَ نُيَسِّرُكَ لِلْيُسْرَى. فَذَكِّرْ إِنْ نَّفَعَتِ الذِّكْرَى. سَيَذَّكَّرُ مَنْ يَخْشَى. وَ يَتَجَنَّبُهَا الْأَشْقَى. الَّذِيْ يَصْلَى النَّارَ الْكُبْرَى. ثُمَّ لَا يَمُوْتُ فِيْهَا وَ لَا يَحْيَى. قَدْ أَفْلَحَ مَنْ تَزَكَّى. وَ ذَكَرَ اسْمَ رَبِّهِ فَصَلَّى. بَلْ تُؤْثِرُوْنَ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا. وَ الْآخِرَةُ خَيْرٌ وَ أَبْقَى. إِنَّ هذَا لَفِي الصُّحُفِ الْأُوْلَى. صُحُفِ إِبْرَاهِيْمَ وَ مُوْسَى.

087: 1. Sucikanlah nama Tuhanmu Yang Maha Tinggi,
087: 2. yang menciptakan dan menyempurnakan (penciptaan-Nya)
087: 3. yang menentukan kadar (masing-masing) dan memberi petunjuk,
087: 4. dan yang menumbuhkan rumput-rumputan,
087: 5. lalu dijadikan-Nya rumput-rumput itu kering kehitam-hitaman.
087: 6. Kami akan membacakan (al-Qur’ān) kepadamu (Muḥammad) maka kamu tidak akan lupa,
087: 7. kecuali kalau Allah menghendaki. Sesungguhnya Dia mengetahui yang terang dan yang tersembunyi.
087: 8. Kami akan memberi kamu taufīq kepada jalan yang mudah.
087: 9. Oleh sebab itu, berilah peringatan karena peringatan itu bermanfaat.
087: 10. Orang yang takut (kepada Allah) akan mendapat pelajaran,
087: 11. Orang-orang yang celaka (kafir) akan menjauhinya.
087: 12. (Yaitu) orang yang akan memasuki api yang besar (neraka).
087: 13. Kemudian dia tidak mati di dalamnya dan tidak (pula) hidup.
087: 14. Sesungguhnya beruntunglah orang yang membersihkan diri (dengan beriman),
087: 15. dan dia ingat nama Tuhannya, lalu dia sembahyang.
087: 16. Tetapi, kamu (orang-orang kafir) memilih kehidupan duniawi.
087: 17. Sedangkan, kehidupan akhirat adalah lebih baik dan lebih kekal.
087: 18. Sesungguhnya ini benar-benar terdapat dalam kitab-kitab yang dahulu,
087: 19. (yaitu) kitāb-kitāb Ibrāhīm dan Mūsā.

Pengantar.

Imām Aḥmad meriwayatkan dari Imām ‘Alī karramallāhu wajhahu bahwa Rasūlullāh s.a.w. menyukai surah “Sabbiḥisma Rabbik-al-A‘lā.”

Imām Muslim meriwayatkan bahwa Rasūlullāh s.a.w. biasa membaca pada kedua shalat ‘Īd dan shalat Jum‘at dengan surah: “Sabbiḥisma Rabbik-al-A‘lā” dan “Hal Atāka Ḥadīts-ul-Ghāsyiyah”. Pernah terjadi ‘Īd dan Jum‘at berkumpul dalam satu hari, lalu beliau membaca kedua surah itu….

Hak Rasūlullāh s.a.w. untuk menyukai surah ini, karena surah ini mengubah alam seluruhnya sebagai sarana ber‘ibādah yang sisi-sisinya saling merespons dengan menyucikan dan memuji Tuhannya Yang Maha Tinggi. Juga sebagai panggung pesta untuk menampilkan kesan-kesan penyucian dan pujian itu:

Sucikanlah nama Tuhanmu Yang Maha Tinggi, yang menciptakan dan menyempurnakan (penciptaan-Nya), yang menentukan kadar (masing-masing) dan memberi petunjuk, dan yang menumbuhkan rumput-rumputan, lalu dijadikan-Nya rumput-rumput itu kering kehitam-hitaman.” (al-A‘lā: 1-5)

Irama surah yang lambat dan panjang menjadikan bayang-bayang tasbīḥ itu memiliki gaung yang jauh.

Adalah hak Rasūlullāh s.a.w. untuk mencintai surah ini, karena ia mengandung urusan yang besar bagi kemanusiaan. Sedangkan, Tuhannya yang memberinya tugas untuk bertablīgh dan memberi peringatan itu berfirman kepadanya:

Kami akan membacakan (al-Qur’ān) kepadamu (Muḥammad) maka kamu tidak akan lupa, kecuali kalau Allah menghendaki. Sesungguhnya Dia mengetahui yang terang dan yang tersembunyi. Kami akan memberi kamu taufīq kepada jalan yang mudah. Oleh sebab itu, berilah peringatan karena peringatan itu bermanfaat.” (al-A‘lā: 6-9)

Dalam surah ini, Tuhan memberikan jaminan kepadanya untuk menjaga hatinya terhadap al-Qur’ān, mengangkat beban ini dari pundaknya, dan akan memberikan kemudahan baginya dalam semua urusannya dan urusan dakwah ini. Hal ini merupakan persoalan yang sangat besar.

Dan adalah hak Rasūlullāh s.a.w. untuk mencintai surah ini, yang mengandung tashawwur īmānī yang mantap. Yaitu, mentauhidkan Tuhan Yang Maha Pencipta, menetapkan adanya wahyu Ilahi, dan menetapkan adanya balasan di akhirat nanti. Semua ini merupakan unsur-unsur ‘aqīdah yang utama. Kemudian dihubungkan ‘aqīdah ini dengan asal-usulnya yang jauh dan akarnya berkembang di sepanjang masa:

Sesungguhnya ini benar-benar terdapat dalam kitāb-kitāb yang dahulu, (yaitu) kitāb-kitāb Ibrāhīm dan Mūsā” (al-A‘lā: 18-19)

Lebih dari apa yang digambarkan mengenai tabiat ‘aqīdah ini dan tabiat Rasūl yang menyampaikannya serta tabiat umat yang mengembannya, adalah tabiat kemudahan dan kelapangan.

Setiap satu dari semua ini, di bawahnya terdapat kesan-kesan dan isyārat-isyārat yang beraneka macam. Di belakangnya juga terdapat lapangan-lapangan yang jauh jangkauannya.

Sucikan Nama Tuhanmu.

سَبِّحِ اسْمَ رَبِّكَ الْأَعْلَى. الَّذِيْ خَلَقَ فَسَوَّى. وَ الَّذِيْ قَدَّرَ فَهَدَى. وَ الَّذِيْ أَخْرَجَ الْمَرْعَى. فَجَعَلَهُ غُثَاءً أَحْوَى.

Sucikanlah nama Tuhanmu Yang Maha Tinggi, yang menciptakan dan menyempurnakan (penciptaan-Nya), yang menentukan kadar (masing-masing) dan memberi petunjuk, dan yang menumbuhkan rumput-rumputan, lalu dijadikan-Nya rumput-rumput itu kering kehitam-hitaman. (al-A‘lā: 1-5)

Pembukaan ini, dengan penilikan yang luas dan jauh, untuk memberikan nuansa jangkauan tasbīḥ sejak awal, di samping ma‘na tasbīḥ itu sendiri. Sifat-sifat yang mengiringi perintah bertasbīḥ adalah sifat “Yang Maha Tinggi, yang menciptakan dan menyempurnakan (penciptaan-Nya), yang menentukan kadar (masing-masing) dan memberi petunjuk, dan yang menumbuhkan rumput-rumputan, lalu dijadikan-Nya rumput-rumput itu kering kehitam-hitaman” Sifat-sifat ini mengubah seluruh semesta menjadi sarana ‘ibādah yang saling merespons segi-seginya dengan gaung suara itu. Juga sebagai hamparan tempat memajang bekas-bekas ciptaan Yang Maha Pencipta: “Yang menciptakan dan menyempurnakan (penciptaan-Nya).

Tasbīḥ adalah memberikan pujian dan penyucian serta menghadirkan dan merenungkan ma‘na sifat-sifat yang sangat bagus bagi Allah. Kemudian hidup di antara pancaran cahayanya, limpahannya, dan sinarnya yang dirasakan dengan hati dan perasaan, dan bukannya semata-mata mengulang-ulang ucapan: “Subḥānallāh”. Dan “Sucikanlah nama Tuhanmu Yang Maha Tinggi”, terucapkan dalam perasaan dengan segenap ma‘na dan keadaannya yang sulit dibatasi dengan kata-kata. Karena, hanya dapat dirasakan dengan perasaan yang dalam. Juga mengisyāratkan kehidupan yang disertai dengan pancaran-pancaran yang bersumber dari perenungan ma‘na sifat-sifat tersebut.

Ma‘na pertama yang dekat dalam nash ini adalah sifat ar-Rabb dan sifat al-A‘lā. Ar-Rabb, al-Murabbī “Yang Memelihara” dan al-Mura‘ī “Yang Melindungi”. Bayang-bayang sifat yang penuh kasih-sayang ini sangat serasi dengan nuansa surah dan berita-beritanya serta kesan-kesannya yang luas dan nada-nadanya yang lunak. Sifat al-A‘lā “Yang Maha Tinggi” mengulurkan pandangan ke ufuk yang tak berkesudahan. Juga mengulurkan ruh untuk bertasbīḥ dan berenang hingga ke kawasan yang tak terhingga. Kawasan yang selaras dengan pujian dan penyucian, yang pada dasarnya terdapat perasaan terhadap sifat Yang Maha Tinggi.

Firman ini semula ditujukan kepada Rasūlullāh s.a.w., dan perintah ini datang dari Tuhannya dengan sifat ini: “Sucikanlah nama Tuhanmu Yang Maha Tinggi”. Dalam kalimat ini, terdapat nuansa kelembutan dan ketenangan, yang tidak diungkapkan. Rasūlullāh s.a.w. membaca perintah ini, lantas beliau langsung menyambutnya sebelum selesai membaca ayat-ayat yang lain dalam surah ini dengan mengucapkan: “Subḥāna Rabbiy-al-A‘lā” “Maha Suci Tuhanku Yang Maha Tinggi.” Maka, ini adalah firman dan respons, perintah dan kepatuhan, penenangan dan sambutannya. Ia berada di hadirat Tuhannya, menerima firman secara langsung dan menyambutnya, dalam ketenangan dan hubungan yang dekat.

Ketika ayat ini turun, beliau bersabda: “Letakkanlah ia di dalam sujudmu!” Dan, ketika sebelumnya turun ayat: “Fasabbiḥ bismi Rabbik-al-‘Azhīm”, beliau bersabda: “Letakkanlah ia di dalam rukū‘mu!” Maka, tasbih di dalam ruku‘ dan sujud ini adalah kalimat hidup yang bertemu dengan shalat. Ia menghangatkan kehidupan supaya responsif terhadap perintah yang datang secara langsung. Atau, dengan ungkapan yang lebih halus, terhadap idzin secara langsung.

Pasalnya, idzin Allah kepada hamba-hambaNya untuk memuji dan menyucikan-Nya merupakan salah satu ni‘mat dan karunia-Nya kepada mereka. Karena itu merupakan idzin untuk berhubungan dengan-Nya Yang Maha Suci, dalam bentuk yang dekat dengan pengertian manusia yang terbatas. Inilah suatu bentuk per‘ibādatan yang dikaruniakan Allah kepada mereka supaya mereka mengenali dzāt dan sifat-sifatNya dalam batas-batas kemampuan manusia. Setiap peridzinan dan perkenan bagi hamba untuk berhubungan dengan Allah dalam bentuk apa pun, maka hal itu merupakan kemuliaan dan karunia dari-Nya kepada hamba-hambaNya itu.

Sucikanlah nama Tuhanmu Yang Maha Tinggi, yang menciptakan dan menyempurnakan (penciptaan-Nya), yang menentukan kadar (masing-masing) dan memberi petunjuk….

Yang telah menciptakan segala sesuatu dan menyempurnakan ciptaannya pada tingkat kesempurnaan yang sesuai untuknya. Yang menentukan kadar masing-masing makhlūq akan tugas dan tujuannya, lalu diberi-Nya petunjuk untuk mencapai tujuan yang untuk itu dia diciptakan. Juga diberi-Nya ilham (bisikan pengetahuan) mengenai tujuan keberadaannya, dan ditentukan untuknya sesuatu yang maslahat baginya sepanjang hidupnya, serta diberikan-Nya petunjuk kepadanya untuk mencapainya.

Hakikat yang sangat besar itu tercermin pada setiap sesuatu di alam semesta, yang disaksikan oleh setiap sesuatu di hamparan semesta, dari yang besar hingga yang kecil, yang agung hingga yang rendah. Segala sesuatu sempurna pembuatan dan penciptaannya, disiapkan untuk menunaikan tugas-tugasnya, sudah ditentukan tujuan keberadaannya, dan dimudahkan untuk mencapai tujuan ini dari jalan yang paling mudah. Segala sesuatu berkumpul dan berhimpun dengan sangat serasi. Juga dimudahkan untuk menunaikan tugas-tugas sosial dan kumpulannya itu, sebagaimana setiap individunya dimudahkan untuk menunaikan peranan individualnya.

Sebutir atom memiliki jalinan yang rapi antara proton dan elektron-elektronnya. Keadaannya bagaikan sistem tata surya dengan keteraturannya yang serasi antara mataharinya, bintang-bintangnya, dan planet-planet yang mengikutinya. Masing-masing mengetahui jalannya dan dapat menunaikan fungsi dan tugasnya sendiri-sendiri.

Sebuah sel hidup sempurna penciptaan dan persiapanya untuk menunaikan semua tugasnya. Keadaannya bagaikan keadaan makhlūq hidup yang tinggi yang tersusun dari berbagai unsur yang saling melengkapi.

Antara sebutir atom dan tata surya, bagaikan antara sebuah sel dan makhlūq-makhlūq hidup tingkat tinggi. Tingkatan dan keteraturan susunannya bagaikan makhlūq yang lengkap unsur-unsurnya, dengan keteraturanya yang seperti keteraturan sistem sosial yang diatur dan ditata sedemikian rupa, semesta seluruhnya adalah saksi yang hadir yang menunjukkan hakikat yang dalam ini.

Hakikat ini dapat dimengerti oleh hati manusia secara global ketika ia menerima kesan-kesan semesta. Juga ketika ia merenungkan segala sesuatu di hamparan semesta ini dengan perasaan yang terbuka. Pengetahuan ilhami ini tidak akan jauh dari siapa pun di lingkungan manapun, dan sampai di manapun tingkat pengetahuan yang dimilikinya. Asalkan, jendela-jendela hatinya terbuka dan senar-senarnya masih bergetar untuk menerima irama semesta.

Perhatian terhadap semua itu dan pengetahuan yang diperoleh dengan memikirkannya, memperjelas contoh-contoh unik yang diperoleh ilham dengan perhatian pertamanya. Di sana terdapat alat pengintai untuk memperhatikan dan mengkaji yang mengisyāratkan kepada hakikat yang meliputi segala sesuatu yang terdapat di alam semesta ini.

Cressy Morrison, Ketua Akademi Ilmu Pengetahuan di New York berkata di dalam bukunya yang berjudul al-Insān Lā Yaqūmu Waḥdahu (71), “Sesungguhnya burung-burung itu memiliki insting untuk pulang ke habitatnya. Maka, burung bul-bul yang membuat sarang di Babak berpindah ke selatan pada musim gugur, tetapi ia akan kembali ke sarangnya pada musim semi berikutnya. Pada bulan September kebanyakan kawanan burung-burung negeri kita (Amerika) terbang ke selatan, yang kadang-kadang menempuh perjalanan hingga seribu mil di atas lautan, tetapi mereka tidak tersesat jalannya. Merpati pos apabila kebingungan karena tertarik suara-suara baru dari dalam sangkar, dalam perjalanan panjangnya, ia melayang-layang sebentar. Kemudian, terbang lagi ke depan menuju tempatnya tanpa tersesat jalan. Lebah dapat menemukan sarangnya sudah dirusakkan oleh angin yang bertiup atas rerumputan dan pepohonan. Mereka dapat mengetahui setiap petunjuk.

Feeling untuk menurut kembali jalan ke tempat asal ini lemah pada manusia. Tetapi, mereka dapat melengkapinya dengan menggunakan alat-alat penerbangan atau pelayanan. Kita sangat memerlukan gharīzah ini, dan kebutuhan ini dapat terpenuhi dengan akal pikiran kita. Sudah tentu binatang-binatang yang kecil-kecil juga mempunyai mata pembesar yang kita tidak mengetahui kapasitasnya. Burung rajawali juga mempunyai penglihatan pembesar. Di sini manusia dapat pula mengungguli dengan peralatan mekanik. Maka, dengan teleskopnya, mereka dapat melihat kabut yang karena kelemahannya mereka memerlukan berjuta-juta kali kekuatan pandangan biasa untuk dapat melihatnya. Dan, dengan mikroskopnya, manusia dapat melihat bakteri yang tak dapat dilihat dengan mata telanjang (bahkan terhadap binatang-binatang kecil yang turut termakan olehnya).

Apabila anda biarkan kuda anda yang lemah itu sendirian, maka ia dapat meniti jalan meskipun malam sangat gelap. Ia dapat melihat meskipun tanpa ada cahaya. Akan tetapi, ia memperhatikan perbedaan suhu di jalan dan sekelilingnya, dengan kedua mata yang sedikit terpengaruh oleh cahaya merah di jalan. Selain itu, burung hantu dapat melihat tikus yang hangat dan halus ketika sedang berlari di atas rumput yang dingin meski bagaimanapun gelapnya malam. Sedangkan, kita dapat membalik malam menjadi siang dengan memberi penerangan cahaya sedemikian rupa.

Sesungguhnya lebah-lebah pekerja dapat membuat bilik-bilik yang berbeda-beda ukurannya pada sarang yang dipergunakan untuk pemeliharaan. Bilik-bilik kecil untuk para pekerja, yang lebih besar lagi untuk para lebah jantan, dan disiapkan bilik khusus bagi ratu-ratu yang hamil. Lebah ratu meletakkan telur yang subur pada bilik-bilik yang sehat yang disiapkan bagi pekerja-pekerja betina dan ratu-ratu yang sedang menanti.

Pekerja-pekerja betina yang adalah betina-betina penyeimbang, setelah melakukan penantian panjang akan kedatangan generasi baru. Mereka juga menyiapkan makanan bagi lebah-lebah kecil dengan mengunyah madu dan penginjeksian serta membantu pencernaan. Kemudian mereka berhenti dari melakukan pengunyahan dan membantu pencernaan ketika perkembangan jantan dan betina sudah mencapai suatu tingkatan tertentu. Mereka tidak lagi memberi makanan selain madu dan injeksian. Lebih-lebih betina yang mencapai bentuk ini menjadi pekerja.

Adapun betina-betina yang berada di dalam bilik ratu, maka pemberian makan dengan mengunyah dan bantuan pencernaan itu terus berlangsung. Mereka yang melakukan tugas-tugas khusus ini nantinya akan berkembang menjadi ratu-ratu lebah pula. Merekalah yang memproduksi telur yang subur.

Pengulangan produksi ini menghasilkan bilik-bilik khusus dan telur-telur khusus, sebagaimana ia juga menimbulkan dampak yang mengagumkan untuk mengubah makanan. Hal ini memerlukan penantian (waktu), penyeleksian, dan penyingkapan pengaruh makanan tersebut. Perubahan-perubahan ini mengikuti cara khusus bagi kehidupan kelompok tersebut, dan tampak vitalitasnya bagi keberadaannya. Sudah tentu pengetahuan dan kemahiran yang menjadi kelaziman bagi mereka, sudah mereka usahakan sejak dimulainya kehidupan berkelompok ini. Hal ini sudah pasti bukan kelaziman untuk mewujudkan lebah dan untuk kelangsungan hidup mereka. Dengan demikian, tampaklah bahwa lebah itu mengungguli manusia dalam mengetahui dampak makanan di dalam kondisi-kondisi tertentu.

Catatan:

  1. 7). Diterjemahkan oleh Prof. Mahmud Shalih al-Falaki dengan judul Al-‘Ilmu Yad‘ū ilal-Īmān.