Surah al-A’la 87 ~ Tafsir Ibni Katsir (1/2)

Dari Buku:
Tafsir Ibnu Katsir, Juz 30
(An-Nabā’ s.d. An-Nās)
Oleh: Al-Imam Abu Fida’ Isma‘il Ibnu Katsir ad-Dimasyqi

Penerjemah: Bahrun Abu Bakar L.C.
Penerbit: Sinar Baru Algensindo Bandung

Rangkaian Pos: Surah al-A'la 87 ~ Tafsir Ibni Katsir

SŪRAT-UL-A‘LĀ

(Yang Paling Tinggi)
Makkiyyah, 19 Ayat

Turun sesudah Sūrat-ut-Takwīr

 

Sūrat-ul-A‘lā ini adalah surat Makkiyyah, dalil yang menunjukkan kepada hal ini ialah apa yang diriwayatkan oleh Imām Bukhārī. Disebutkan bahwa telah menceritakan kepada kami ‘Abdān, telah menceritakan kepadaku ayaku, dari Syu‘bah, dari Abū Isḥāq, dari al-Barrā’ Ibnu ‘Āzib yang mengatakan bahwa di antara sahabat Nabi s.a.w. yang mula-mula datang kepada kami (di Madinah) ialah Mush‘ab ibnu ‘Umair dan Ibnu Ummi Maktūm. Lalu keduanya membacakan (mengajarkan) kepada kami al-Qur’ān. Kemudian datang pula ‘Ammār, Bilāl, dan Sa‘d, kemudian menyusul ‘Umar ibnul-Khaththāb bersama dua puluh orang Muhajirin, lalu datanglah Nabi s.a.w. (bersama Abū Bakar).

Aku belum pernah melihat penduduk Madinah merasa gembira ria dengan sesuatu hal segembira ketika kedatangan Nabi s.a.w. Sehingga aku melihat anak-anak perempuan dan anak-anak laki-laki mengatakan: “Inilah Rasūlullāh s.a.w. telah datang kepada kita!” Dan begitu beliau s.a.w. tiba, maka aku belajar surat Sabbiḥ-isma rabbik-al-a‘lā dan beberapa surat lainnya yang semisal panjangnya.

Imām Aḥmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Wakī‘,telah menceritakan kepada kami Isrā’īl, dari Shuwayyir ibnu Abū Fakhitah, dari ayahnya, dari ‘Alī r.a. yang mengatakan bahwa Rasūlullāh s.a.w. menyukai surat ini, yaitu:

سَبِّحِ اسْمَ رَبِّكَ الْأَعْلَى

Sucikanlah nama Tuhanmu Yang Maha Tinggi (al-A‘lā: 1) hingga akhir surat.

Imām Aḥmad meriwayatkan hadis ini secara munfarid.

Di dalam kitab Shaḥīḥain telah disebutkan bahwa Rasūlullāh s.a.w. pernah bersabda kepada sahabat Mu‘ādz:

هَلاَّ صَلَّيْتَ بِسَبِّحِ اسْمَ رَبِّكَ الْأَعْلَى، وَ الشَّمْسِ وَ ضُحَاهَا وَ اللَّيْلِ إِذَا يَغْشَى.

Mengapa tidak baca saja dalam shalatmu Sabbiḥ-isma rabbik-al-a‘lā (sūrat-al-a‘lā) dan wasy-syamsi wa dhuḥāhā (sūrat-usy-syams) dan wal-laili idzā yaghsyā (sūrat-ul-lail)?

Imām Aḥmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Sufyān, dari Ibrāhīm bin Muḥammad ibnul-Muntasyir, dari ayahnya, dari Ḥabīb ibnu Sālim, dari ayahnya, dari an-Nu‘mān ibnu Basyīr, bahwa Rasūlullāh s.a.w. dalam shalat dua hari rayanya membaca sūrat-ul-a‘lā dan sūrat-ul-ghāsyiyah; dan jika hari raya bertepatan dengan hari Jum‘at, maka beliau membaca keduanya dalam kedua shalatnya itu. Demikianlah yang tertera di dalam kitab Musnad Imām Aḥmad, yakni dengan sanad seperti yang tersebut di atas. Imām Muslim telah meriwayatkannya di dalam kitab shaḥīḥ-nya, juga Abū Dāūd, Imām Tirmidzī, dan Imām Nasā’ī melalui hadis Abū Uwwānah, Jarīr, dan Syu‘bah, ketiganya dari Muḥammad ibn-ul-Muntasyrī, dari ayahnya, dari Ḥabīb ibnu Sālim, dari an-Nu‘mān ibnu Basyīr dengan sanad yang sama.

Imām Tirmidzī mengatakan bahwa demikian pula yang diriwayatkan oleh ats-Tsaurī dan Mis‘ar, dari Ibrāhīm. Imām Tirmidzī mengatakan bahwa Sufyān ibnu ‘Uyaynah telah meriwayatkan hadis ini dari Ibrāhīm, dari ayahnya, dari Ḥabīb ibnu Sālim, dari ayahnya, dari an-Nu‘mān, tetapi belum pernah diketahui bahwa Ḥabīb mengambil riwayat hadis dari ayahnya. Ibnu Mājah telah meriwayatkannya dari Muḥammad ibn-ush-Shabāḥ, dari Sufyān ibnu ‘Uyaynah, dari Ibrāhīm ibn-ul-Muntasyir, dari ayahnya, dari Ḥabīb ibnu Sālim, dari an-Nu‘mān dengan sanad yang sama. Sebagaimana yang telah diriwayatkan oleh Jama‘ah; maka hanya Allah-lah Yang Maha Mengetahui.

Menurut lafaz yang ada pada Imām Muslim dan para pemilik kitab-kitab sunnah, Rasūlullāh s.a.w. dalam shalat dua hari raya dan shalat Jum‘atnya membaca al-A‘lā dan al-Ghāsyiyah; dan adakalanya keduanya bertepatan jatuh dalam hari yang sama, maka beliau membaca keduanya (dalam kedua shalat itu, yakni shalat hari raya dan shalat Jum‘at.).

Imām Aḥmad telah meriwayatkan di dalam kitab Musnad nya melalui hadis Ubay ibnu Ka‘ab dan ‘Abdullāh ibnu ‘Abbās, dan ‘Abd-ur-Raḥmān ibnu Abzā dan Siti ‘Ā’isyah Umm-ul-Mu’minīn, bahwa Rasūlullāh s.a.w. dalam salat witirnya acapkali membaca sūrat-ul-a‘lā dan sūrat-ul-kāfirūn, dan sūrat-ul-ikhlāsh. Siti ‘Ā’isyah r.a. menambahkan “dan sūrat-ul-mu‘awwadzatain (al-Falaq dan an-Nās)”

Hal yang sama telah diriwayatkan hadis ini melalui jalur Jābir, Abū Umāmah alias Shadā ibnu ‘Ajlān, ‘Abdullāh ibnu Mas‘ūd, Imām ibnu Ḥushain, dan ‘Alī ibnu Abī Thālib r.a. Sekiranya tidak takut akan memperpanjang pembahasan, tentulah kami akan mengemukakan sanad-sanad-nya dan juga matan-matan hadis yang berkaitan dengan hal ini. Tetapi dengan mengemukakan hal tersebut secara ringkas, sudah cukup untuk dijadikan sebagai pemandu; hanya Allah-lah Yang Maha Mengetahui.

 

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ

Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang

 

Al-A‘lā, ayat 1-13.

سَبِّحِ اسْمَ رَبِّكَ الْأَعْلَى، الَّذِيْ خَلَقَ فَسَوَّى، وَ الَّذِيْ قَدَّرَ فَهَدَى، وَ الَّذِيْ أَخْرَجَ الْمَرْعَى، فَجَعَلَهُ غُثَاءً أَحْوَى، سَنُقْرِؤُكَ فَلَا تَنْسَى، إِلَّا مَا شَاءَ اللهُ إِنَّهُ يَعْلَمُ الْجَهْرَ وَ مَا يَخْفَى، وَ نُيَسِّرُكَ لِلْيُسْرَى، فَذَكِّرْ إِنْ نَّفَعَتِ الذِّكْرَى، سَيَذَّكَّرُ مَنْ يَخْشَى، وَ يَتَجَنَّبُهَا الْأَشْقَى، الَّذِيْ يَصْلَى النَّارَ الْكُبْرَى، ثُمَّ لَا يَمُوْتُ فِيْهَا وَ لَا يَحْيَى.

087: 1. Sucikanlah nama Tuhanmu Yang Maha Tinggi,
087: 2. yang menciptakan dan menyempurnakan (penciptaan-Nya)
087: 3. dan yang menentukan kadar (masing-masing) dan memberi petunjuk,
087: 4. dan yang menumbuhkan rumput-rumputan,
087: 5. lalu dijadikan-Nya rumput-rumput itu kering kehitam-hitaman.
087: 6. Kami akan membacakan (al-Qur’ān) kepadamu (Muḥammad) maka kamu tidak akan lupa,
087: 7. kecuali kalau Allah menghendaki. Sesungguhnya Dia mengetahui yang terang dan yang tersembunyi.
087: 8. Dan Kami akan memberi kamu taufik kepada jalan yang mudah,
087: 9. oleh sebab itu berikanlah peringatan karena peringatan itu bermanfaat,
087: 10. orang yang takut (kepada Allah) akan mendapat pelajaran,
087: 11. orang-orang yang celaka (kafir) akan menjauhinya.
087: 12. (Yaitu) orang yang akan memasuki api yang besar (neraka).
087: 13. Kemudian dia tidak mati di dalamnya dan tidak (pula) hidup.

Imām Aḥmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abū ‘Abd-ur-Raḥmān, telah menceritakan kepada kami Mūsā ibnu Ayyūb al-Gāfiqī, telah menceritakan kepada kami pamanku Iyās ibnu ‘Āmir, ia pernah mendengar ‘Uqbah ibnu ‘Āmir al-Juhanī mengatakan bahwa ketika ayat ini diturunkan, yaitu firman-Nya:

فَسَبِّحْ بِاسْمِ رَبِّكَ الْعَظِيْمِ

Maka bertasbihlah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang Maha Besar. (al-Ḥāqqah: 52).

Maka Rasūlullāh s.a.w. bersabda kepada kami:

اِجْعَلُوْهَا فِيْ رُكُوْعِكُمْ

Jadikanlah bacaan ayat ini dalam rukuk kalian!

Dan ketika turun firman-Nya:

سَبِّحِ اسْمَ رَبِّكَ الْأَعْلَى

Sucikanlah nama Tuhanmu Yang Maha Tinggi. (al-A‘lā: 1)

Maka beliau s.a.w. bersabda kepada kami:

اِجْعَلُوْهَا فِيْ سُجُوْدِكُمْ

Jadikanlah bacaan ayat ini dalam sujud kalian!

Imām Abū Dāūd dan Imām Ibnu Mājah meriwayatkannya melalui hadis Ibn-ul-Mubārak, dari Mūsā ibnu Ayyūb dengan sanad yang sama.

Imām Aḥmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Wakī‘,telah menceritakan kepada kami Isrā‘īl, dari Abū Isḥāq, dari Muslim al-Bāthin, dari Sa‘īd ibnu Jubair, dari Ibnu ‘Abbās, bahwa Rasūlullāh s.a.w. apabila membaca firman-Nya:

سَبِّحِ اسْمَ رَبِّكَ الْأَعْلَى

Sucikanlah nama Tuhanmu Yang Maha Tinggi. (al-A‘lā: 1)

Maka beliau s.a.w. mengucapkan:

سُبْحَانَ رَبِّيَ الْأَعْلَى

Mahasuci Tuhanku Yang Maha Tinggi.

Demikianlah menurut riwayat Imām Aḥmad, dan Imām Abū Dāūd meriwayatkannya dari Zuhair ibnu Ḥarb, dari Wakī‘ dengan sanad yang sama. Abū Dāūd mengatakan bahwa nama Wakī‘ dan Syu‘bah, dari Abū Isḥāq, dari Sa‘īd, dari Ibnu ‘Abbās secara mauqūf.

Ats-Tsaurī telah meriwayatkan dari as-Suddī, dari ‘Abdu Khair yang mengatakan bahwa aku pernah mendengar ‘Alī membaca firman-Nya:

سَبِّحِ اسْمَ رَبِّكَ الْأَعْلَى

Sucikanlah nama Tuhanmu Yang Maha Tinggi. (al-A‘lā: 1)

Lalu ia mengucapkan: “Maha Suci Tuhanku Yang Maha Tinggi.”

Ibnu Jarīr mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ibnu Ḥumaid, telah menceritakan kepada kami Ḥakam, dari Anbasah, dari Abū Isḥāq al-Ḥamdanī, bahwa Ibnu ‘Abbās apabila membaca firman-Nya:

سَبِّحِ اسْمَ رَبِّكَ الْأَعْلَى

Sucikanlah nama Tuhanmu Yang Maha Tinggi. (al-A‘lā: 1)

Maka ia mengucapkan: “Maha Suci Tuhanku Yang Maha Tinggi.” Dan apabila membaca firman-Nya:

لاَ أُقْسِمُ بِيَوْمِ الْقِيَامَةِ

Aku bersumpah dengan hari kiamat. (al-Qiyāmah: 1).

Dan bacaannya sampai pada ayat terakhirnya, yaitu firman Allah s.w.t.:

أَلَيْسَ ذلِكَ بِقَادِرٍ عَلَى أَنْ يُحْيِيَ الْمُوْتَى

Bukankah (Allah yang berbuat) demikian berkuasa (pula) menghidupkan orang mati? (al-Qiyāmah: 40).

Maka ia mengucapkan: “Maha Suci Engkau, dan tidaklah demikian (sebenarnya Engkau berkuasa untuk ini).” Qatādah mengatakan sehubungan dengan firman-Nya:

سَبِّحِ اسْمَ رَبِّكَ الْأَعْلَى

Sucikanlah nama Tuhanmu Yang Maha Tinggi. (al-A‘lā: 1)

Diceritakan kepada kami bahwa Nabi s.a.w. apabila membaca ayat ini, maka beliau mengucapkan: “Maha Suci Tuhanku Yang Maha Tinggi.”

Firman Allah s.w.t.:

الَّذِيْ خَلَقَ فَسَوَّى

yang menciptakan dan yang menyempurnakan (penciptaan-Nya) (al-A‘lā: 2)

Yakni, Dia telah menciptakan makhluk dan menyempurnakan setiap makhluk-Nya dalam bentuk yang paling baik.

Firman Allah s.w.t.:

وَ الَّذِيْ قَدَّرَ فَهَدَى

dan yang menentukan kadar (masing-masing) dan memberi petunjuk, (al-A‘lā: 3)

Mujāhid mengatakan bahwa makna yang dimaksud ialah yang memberi petunjuk kepada manusia untuk celaka dan untuk bahagia, dan memberi petunjuk kepada hewan ternak untuk memakan makanannya di padang-padang tempat penggembalaannya. Ayat ini semakna dengan apa yang disebutkan oleh Allah s.w.t. dalam kisah Mūsā a.s. yang berkata kepada Fir‘aun:

رَبُّنَا الَّذِيْ أَعْطَى كُلَّ شَيْءٍ خَلْقَهُ ثُمَّ هَدَى

Tuhan kami ialah (Tuhan) yang telah memberikan kepada tiap-tiap sesuatu bentuk kejadianmu, kemudian memberinya petunjuk (Thāhā: 50).

Allah s.w.t. telah menentukan kadar bagi makhluk-Nya dan memberi mereka petunjuk kepada takdirnya. Sebagaimana pula yang disebutkan di dalam kitab Shaḥīḥ Muslim dari ‘Abdullāh ibnu ‘Amr, bahwa Rasūlullāh s.a.w. pernah bersabda:

إِنَّ اللهَ قَدَّرَ مَقَادِيْرَ الْخَلاَئِقِ قَبْلَ أَنْ يَخْلُقَ السَّمَاوَاتِ وَ الْأَرْضَ بِخَمْسِيْنَ أَلْفَ سَنَةٍ وَ كَانَ عَرْشُهُ عَلَى الْمَاءِ.

Sesungguhnya Allah telah menentukan kadar-kadar bagi semua makhluk-Nya sebelum Dia menciptakan langit dan bumi dalam jangka waktu lima puluh ribu tahun, dan adalah ‘Arasy-Nya masih berada di atas air.

Firman Allah s.w.t.:

وَ الَّذِيْ أَخْرَجَ الْمَرْعَى

dan yang menumbuhkan rumput-rumputan. (al-A‘lā: 4).

Yakni semua jenis tumbuh-tumbuhan dan tanam-tanaman:

فَجَعَلَهُ غُثَاءً أَحْوَى

lalu dijadikan-Nya rumput-rumput itu kering kehitam-hitaman. (al-A‘lā: 5).

Menurut Ibnu ‘Abbās, artinya kering dan berubah warnanya; dan hal yang semisal telah diriwayatkan dari Mujāhid, Qatādah, dan Ibnu Zaid, Ibnu Jarīr mengatakan bahwa sebagian orang yang ahli dalam bahasa ‘Arab (ulama Nahwu) mengatakan bahwa dalam kalimat ini terkandung taqdīm dan ta’khīr dan bahwa makna yang dimaksudnya ialah bahwa Tuhan Yang telah menumbuhkan rumput-rumputan, kemudian tampak hijau segar,” lalu berubah menjadi layu berwarna kehitam-hitam, sesudah itu menjadi kering kerontang. Kemudian Ibnu Jarīr memberi komentar, bahwa sekalipun pendapat ini termasuk salah satu dari takwil makna ayat, tetapi tidak benar mengingat pendapat ini bertentangan dengan pendapat-pendapat ulama ahli ta’wil.

Firman Allah s.w.t.:

سَنُقْرِؤُكَ فَلَا تَنْسَى

Kami akan membacakan (al-Qur’an) kepadamu (Muhammad), maka kamu tidak akan lupa. (al-A‘lā: 6).

Hal ini merupakan berita dari Allah s.w.t. dan janji-Nya kepada Nabi Muḥammad s.a.w. bahwa Dia akan membacakannya kepadanya dengan bacaan yang selamanya dia tidak akan melupakannya.

إِلَّا مَا شَاءَ اللهُ

kecuali kalau Allah menghendaki. (al-A‘lā: 7).

Demikianlah menurut pendapat yang dipilih oleh Ibnu Jarīr. Qatādah mengatakan bahwa adalah Rasūlullāh s.a.w. tidak pernah melupakan sesuatu kecuali apa yang dikehendaki oleh Allah.

Menurut pendapat lain, yang dimaksud dengan firman-Nya:

فَلَا تَنْسَى

maka kamu tidak akan lupa. (al-A‘lā: 6).

Ini mengandung makna thalab; dan mereka menjadikan makna istitsna berdasarkan pengertian ini ialah apa yang dijadikan subjek oleh nasakh. Dengan kata lain, dapat disebutkan bahwa kamu tidak akan melupakan apa yang telah Kubacakan kepadamu kecuali apa yang dikehendaki oleh Allah untuk dilupakan, maka janganlah kamu membiarkannya.

Firman Allah s.w.t.:

إِنَّهُ يَعْلَمُ الْجَهْرَ وَ مَا يَخْفَى

Sesungguhnya Dia mengetahui yang terang dan yang tersembunyi. (al-A‘lā: 7).

Allah mengetahui apa yang dilakukan oleh hamba-hambaNya secara terang-terangan dan juga apa yang mereka sembunyikan dari ucapan dan perbuatan mereka. Tiada sesuatu pun yang tersembunyi bagi-Nya.

Firman Allah s.w.t.:

وَ نُيَسِّرُكَ لِلْيُسْرَى

Dan Kami akan memberi kamu taufik kepada jalan yang mudah (al-A‘lā: 8).

Artinya, Kami akan memudahkan kamu untuk mengerjakan perbuatan dan ucapan yang baik, dan Kami akan mensyariatkan kepadamu suatu hukum yang mudah, penuh toleransi, lurus, lagi adil, tidak ada kebengkokan padanya dan tidak ada beban dan tidak pula kesulitan.

Firman Allah s.w.t.:

فَذَكِّرْ إِنْ نَّفَعَتِ الذِّكْرَى

oleh sebab itu berikanlah peringatan karena peringatan itu bermanfaat, (al-A‘lā: 9).

Yakni berikanlah peringatan bilamana peringatan itu bermanfaat. Maka dari sini disimpulkan etika dalam menyebarkan ilmu, yaitu hendaknya tidak diberikan bukan kepada ahlinya (tidak berminat kepadanya), sebagaimana yang dikatakan oleh Amīr-ul-Mu’minīn ‘Alī r.a.: “Tidak sekali-kali engkau menceritakan suatu hadis kepada suatu kaum yang akal mereka masih belum dapat mencernanya, melainkan hal itu akan menjadi fitnah bagi kalangan sebagian dari mereka.” ‘Alī r.a. telah berkata pula: “Berbicaralah kepada orang-orang lain sesuai dengan jangkauan pengetahuan mereka, maukah kamu bila Allah dan Rasul-Nya didustakan.”

Firman Allah s.w.t.:

سَيَذَّكَّرُ مَنْ يَخْشَى

orang-orang yang takut (kepada Allah) akan mendapat pelajaran (al-A‘lā: 10).

Yaitu yang mau menerima sebagai pelajaran dari apa yang engkau sampaikan, hai Muḥammad, adalah orang yang hatinya takut kepada Allah dan meyakini bahwa dia pasti akan menghadap dan berdua dengan-Nya:

وَ يَتَجَنَّبُهَا الْأَشْقَى، الَّذِيْ يَصْلَى النَّارَ الْكُبْرَى، ثُمَّ لَا يَمُوْتُ فِيْهَا وَ لَا يَحْيَى.

orang-orang yang celaka (kafir) akan menjauhinya. (Yaitu) orang yang akan memasuki api yang besar (neraka). Kemudian dia tidak mati di dalamnya dan tidak (pula) hidup. (al-A‘lā: 11-13).

Yakni tidak dapat mati sehingga ia terhenti dari siksaannya, dan tidak pula hidup dengan kehidupan yang memberi manfaat baginya. Bahkan kehidupannya itu merupakan penderitaan dan mudarat baginya, karena dengan kehidupannya yang kekal ia selalu menderita pedihnya siksaan dan berbagai macam pembalasan yang ditimpakan kepadanya secara abadi dan kekal.

Imām Aḥmad mengatakan bahwa telah menceritakan kepada kami Ibnu Abī ‘Adī dari Sulaimān yakni at-Tamīmī dari Abū Nadrah dari Abū Sa‘īd yang telah mengatakan bahwa Rasūlullāh s.a.w. pernah bersabda:

أَمَّا أَهْلُ النَّارِ الَّذِيْنَ هُمْ أَهْلُهَا لاَ يَمُوْتُوْنَ وَ لاَ يَحْيَوْنَ وَ أَمَّا أُنَاسٌ يُرِيْدُ اللهُ بِهِمُ الرَّحْمَةَ فَيُمِيْتُهُمْ فِي النَّارِ فَيَدْخُلُ عَلَيْهِمُ الشُّفَعَاءُ فَيَأْخُذُ الرَّجُلُ الضَّبَارَةَ فَيُنْبِتُهُمْ – أَوْ قَالَ – يَنْبُتُوْنَ – فِيْ نَهْرِ الْحَيَا – أَوْ قَالَ الْحَيَاةِ – أَوْ قَالَ الْحَيَوَانِ – أَوْ قَالَ نَهْرُ الْجَنَّةِ فَيَنْبُتُوْنَ – نَبَاتَ الْحَبَّةِ فِيْ حَمِيْلِ السَّيْلِ.

Adapun ahli neraka yang menjadi penghuni tetapnya, maka mereka tidak mati dan tidak (pula) hidup. Dan orang-orang yang dikehendaki oleh Allah mendapatkan rahmat (Nya) maka Allah mematikan mereka di dalam neraka, dan orang-orang yang telah diberi izin untuk memberi syafaat masuk menemui mereka, kemudian seseorang dari para pemberi syafaat itu mengambil segolongan besar manusia lalu dia menumbuhkan mereka dengan memasukkan mereka ke dalam sungai kehidupan, atau ke dalam sungai yang ada di dalam surga, hingga mereka tumbuh (hidup) kembali sebagaimana biji-bijian yang dibawa oleh banjir tumbuh (di tepian sungai).

Dan perawi melanjutkan bahwa Rasūlullāh s.a.w. bersabda pula:

أَمَا تَرَوْنَ الشَّجَرَةَ تُكُوْنُ خَضْرَاءَ ثُمَّ تَكُوْنُ صَفْرَاءَ ثُمَّ تَكُوْنُ خَضْرَاءَ

Pernahkah kalian melihat proses tumbuhnya pohon, pada awal mulanya hijau, kemudian menguning, kemudian hijau kembali?

Perawi melanjutkan, bahwa sebagian di antara mereka mengatakan bahwa Nabi s.a.w. menceritakan demikian seakan-akan beliau s.a.w. pernah berada di daerah pedalaman.

Imām Aḥmad mengatakan pula bahwa telah menceritakan kepada kami Sa‘īd ibnu Yazīd dari Abū Nadhrah dari Abū Sa‘īd al-Khudrī r.a. yang telah mengatakan, bahwa Rasūlullāh s.a.w. telah bersabda:

أَمَّا أَهْلُ النَّارِ الَّذِيْنَ هُمْ أَهْلُهَا فِإِنَّهُمْ لاَ يَمُوْتُوْنَ فِيْهَا وَ لاَ يَحْيَوْنَ وَ لكِنَّ أُنَاسٌ – أَوْ كَمَا قَالَ – تُصِيْبُهُمُ النَّارُ بِذُنُوْبِهِمْ – أَوْ قَالَ بِخَطَايَاهُمْ – فَيُمِيْتُهُمْ إِمَاتَةً حَتَّى إِذَا صَارُوْا فَحْمًا أُذِنَ فِي الشَّفَاعَةِ، فَجِيْءَ بِهِمْ ضَبَائِرَ فَبُثُّوْا عَلَى أَنْهَارِ الْجَنَّةِ فَيُقَالُ: يَا أَهْلَ الْجَنَّةِ أَفِيْضُوْا عَلَيْهِمْ، فَيَنْبُتُوْنَ نَبَاتَ الْحَبَّةِ تَكُوْنُ فِيْ حَمِيْلِ السَّيْلِ.

Adapun ahli neraka yang menjadi penghuni tetapnya maka sesungguhnya mereka tidak mati di dalamnya dan tidak pula hidup. Berbeda halnya dengan orang-orang yang dikenai oleh api neraka karena dosa-dosa atau karena kesalahan-kesalahan mereka; maka Allah mematikan mereka dengan sebenarnya, hingga manakala mereka telah berubah menjadi orang, diberilah izin untuk mendapatkan syafaat. Kemudian didatangkanlah mereka serombongan demi serombongan, lalu dimasukkanlah mereka ke dalam sungai-sungai yang ada di dalam surga. Kemudian dikatakan: “Hai ahli surga, sambutlah mereka!”, maka mereka tumbuh (hidup) kembali sebagaimana biji-bijian yang dibawa oleh arus banjir tumbuh.

Perawi melanjutkan bahwa seorang lelaki dari kalangan kaum yang hadir saat itu mengatakan, bahwa seakan-akan Rasūlullāh s.a.w. pernah tinggal di daerah pedalaman.

Imām Muslim meriwayatkan hadis ini melalui hadis Bisyr ibnul Mufadhdhal dan Syu‘bah, yang keduanya dari Abū Salamah alias Sa‘īd ibnu Yazīd dengan teks yang semisal.

Imām Aḥmad telah meriwayatkan pula melalui Yazīd dari Sa‘īd ibnu Iyās al-Jarīri dari Abū Nadhrah dari Abū Sa‘īd dari Nabi s.a.w. yang telah bersabda:

إِنَّ أَهْلَ النَّارِ الَّذِيْنَ لاَ يُرِيْدُ اللهُ إِخْرَاجَهُمْ لاَ يَمُوْتُوْنَ فِيْهَا وَ لاَ يَحْيَوْنَ، وَ إِنَّ أَهْلَ النَّارِ الَّذِيْنَ يُرِيْدُ اللهُ إِخْرَاجَهُمْ يُمِيْتُهُمْ فِيْهَا إِمَاتَةً حَتَّى يَصِيْرُوْا فَحْمًا، ثُمَّ يَخْرُجُوْنَ ضَبَائِرَ فَيُلْقَوْنَ عَلَى أَنْهَارِ الْجَنَّةِ فَيُرَشُّ عَلَيْهِمْ مِنْ أَنْهَارِ الْجَنَّةِ فَيَنْبُتُوْنَ كَمَا تَنْبُتُ الْحَبَّةُ فِيْ حَمِيْلِ السَّيْلِ.

Sesungguhnya ahli neraka yang tidak akan dikeluarkan oleh Allah, mereka tidak mati di dalamnya dan tidak pula hidup. Dan sesungguhnya ahli neraka yang dikehendaki oleh Allah untuk dikeluarkan, maka Allah mematikan mereka dengan sebenarnya hingga tubuh mereka hangus menjadi arang. Kemudian dikeluarkanlah mereka (dari neraka) rombongan demi rombongan, lalu dilemparkan ke dalam sungai surga dan mereka disirami dengan air dari sungai surga, maka mereka tumbuh (hidup) kembali bagaikan biji-bijian yang dibawa arus banjir tumbuh.

Dan sesungguhnya Allah s.w.t. telah memberitakan perihal ahli neraka melalui firman-Nya:

وَ نَادَوْا يَا مَالِكُ لِيَقْضِ عَلَيْنَا رَبُّكَ قَالَ إِنَّكُم مَّاكِثُوْنَ

Mereka berseru: “Hai Mālik, biarlah Tuhanmu membunuh kami saja.” Dia menjawab: “Kamu akan tetap tinggal (di neraka ini).” (az-Zukhruf: 77).

Dan firman Allah s.w.t.:

لاَ يُقْضَى عَلَيْهِمْ فَيَمُوْتُوْا وَ لاَ يُخَفَّفُ عَنْهُمْ مِّنْ عَذَابِهَا

Mereka tidak dibinasakan sehingga mereka mati dan tidak (pula) diringankan dari mereka azabnya. (Fāthir: 36).

Dan masih ada lagi ayat-ayat lain yang semakna dengan ini.

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *