Surah al-‘Adiyat 100 ~ Tafsir Syaikh Fadhlallah

Tafsir Juz ‘Amma
(Judul Asli: Beams of Illumination)
Oleh: Syaikh Fadhlallah Haeri

SURAH AL-‘ĀDIYĀT

“YANG MENYERBU”

 

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ

Dengan Nama Allah, Yang Maha Pengasih, Lagi Maha Penyayang.

 

Kultur masyarakat tempat al-Qur’an diturunkan adalah kultur gurun pasir di mana peran unta dan kuda sangat menonjol. Oleh karena itu, banyak penjelasan diberikan dalam al-Qur’an mengenai ibil (unta) dan khayl (kuda). Kata untuk kuda adalah kata benda kolektif dan juga dihubungkan oleh kata akarnya dengan khala, yang berarti ‘mengkhayal, berpikir, mengira’, dan khayl, yang berarti ‘khayalan, fantasi, bayangan’, atau kemampuan batin untuk membentuk kesan atau konsep dari berbagai obyek yang tidak ada atau tidak hadir. Kemampuan batin ini merupakan salah satu fenomena eksistensi yang paling penting, yang sebenarnya menjadi dasar bagi pengalaman eksistensi. Lima ayat pertama ini adalah tentang kuda dalam arti harfiah.

وَ الْعَادِيَاتِ ضَبْحًا

  1. Demi [kuda] yang berlari kencang dengan terengah-engah,

Al-‘Ādiyāt berasal dari kata kerja ‘ada yang berarti ‘berlari, berderap, lari cepat-cepat atau berlomba cepat’. Dhaban berarti ‘dengusan, suara terengah-engah atau megap-megap karena berlari terlalu cepat’. Kuda-kuda berlari kencang seolah-olah menyerbu musuh. Hal ini bisa juga berkenaan dengan serbuan kekuatan musuh terhadap kaum muslim atau, kalau tidak, serbuan kekuatan iman. Sebagian orang saleh menganggap ayat ini berkenaan dengan serangan nafs pada saat berada di alam zikir yang tinggi.

فَالْمُوْرِيَاتِ قَدْحًا

  1. Dan yang memercikkan bunga api,

Ini gambaran lain tentang serbuan. Sambaran percikan api bisa jadi merupakan rabuk (fungus; mold) nafs yang mengering ketika percikan ‘irfān (pengetahuan langsung) menyalakannya. Lagi-lagi hal itu menunjukkan daya, kekuatan dan petunjuk. Kita dapat merasakan dalam ayat ini suatu situasi perjuangan dan pertempuran, bentrokan antara dua kekuatan yang berlawanan, konfrontasi antara iman (kepercayaan, keyakinan) dan kufur (penyangkalan realitas).

فَالْمُغِيْرَاتِ صُبْحًا

  1. Dan yang menyerang tiba-tiba di waktu pagi,

Kata shubḥ, yang berarti ‘fajar, pagi’, di sini berarti membuka wilayah musuh, membuka kegelapan dengan cahaya pagi, membuka kegelapan batin kita dengan cahaya Allah.

فَأَثَرْنَ بِهِ نَقْعًا

  1. Lalu menerbangkan debu,

Para penyerang—yang menimbulkan percikan-percikan—mengaduk-aduk debu yang sudah ada, karena debu adalah adim (lapisan kerak bumi) yang pertama, yang paling rendah, dan asal penciptaan Adam. Penyucian jiwa mirip dengan peluruhan debu dari tubuh, yakni, transendensi tubuh di dunia ini dan di dunia akan datang.

فَوَسَطْنَ بِهِ جَمْعًا

  1. Lalu kuda-kuda itu menyerbu ke tengah kerumunan musuh:

Tiba-tiba para penyerang ini mendapati dirinya di tengah-tengah musuh, di tengah kerumunan. Seseorang bisa tiba-tiba berada di tengah wahm (ilusi)-nya sendiri, bisikan hati dan nafs-nya. Ia bisa tiba-tiba mendapati dirinya berada di tengah kerumunan orang-orang yang dianggapnya kufur. Tiba-tiba dunia subyektifnya runtuh tanpa ada peringatan lebih dahulu.

Dinamisme dari apa yang digambarkan dalam ayat-ayat pertama ini merupakan sesuatu yang dapat kita semua saksikan. Gambaran tersebut melukiskan serangan bersemangat yang memiliki suatu tujuan, suatu misi, di mana unsur-unsur pokok muncul, yakni percikan api dan debu, kemudian pergerakan ke tengah-tengah, dan pelepasan napas yang penghabisan, karena terengah-engah dan sesak napas, yang diakibatkan oleh semangat. Tiba-tiba kita diberikan suatu pandangan kaleidoskopis (yang berubah-ubah dengan cepat) tentang apa yang dapat kita saksikan dari berbagai peristiwa luar di dalam hati kita. Panorama dari berbagai peristiwa dan perbuatan di dunia lahir merupakan cermin dari apa yang berlangsung dalam batin.

Lalu tiba-tiba kita sampai pada alam manusia, sifat dasarnya yang dapat dilihat dan tidak dapat dilihat yang dapat kita selidiki, perhatikan, dan renungkan agar kita dapat melampaui apa yang terdekat kepada kita, yakni, di luar kecenderungan-kecenderungan kita yang alamiah dan rendah.

إِنَّ الْإِنْسَانَ لِرَبِّهِ لَكَنُوْدٌ

  1. Sesungguhnya manusia tidak bersyukur kepada Tuhannya!

Kecenderungan yang paling lazim pada manusia adalah kanūd, yang berarti ‘tidak ada rasa syukur’. Manusia mengingkari rahmat, kasih sayang, dan nikmat Allah. Itu memang sifatnya karena dalam dirinya ada benih ketidak-bergantungan yang menggemakan sifat Allah, Yang Sama Sekali Tidak Bergantung. Dalam kesombongannya manusia menganggap dirinya independen, suatu pemikiran yang sesat mengenai aspek Ilahiah.

وَ إِنَّهُ عَلَى ذلِكَ لَشَهِيْدٌ

  1. Dan sesungguhnya ia menjadi saksi langsung atas hal itu.

Namun, pada manusia ada sesuatu yang lebih dalam dari rasa tak bersyukur, yakni kesadaran akan kesadaran, dan hal ini menjadikan dia sebagai saksi atas dirinya sendiri dalam situasi tersebut. Manusia sendiri adalah saksi untuk dirinya sendiri ketika dalam keadaan tidak bersyukur. Penyaksian ini tidak bisa terjadi kalau tidak ada sesuatu yang sudah ada dalam dirinya yang bahkan lebih tinggi dari nafs, atau dengan kata lain, kalau nafs yang tinggi tidak menerangi nafs yang rendah. Nafs yang rendah menyangkal, meragukan, bermuka dua, dan berubah warna sesuai dengan keadaan, sedangkan kesadaran yang tinggi menerangi kesadaran yang rendah. Cahaya ilmu pengetahuan sudah ada dalam diri manusia, tapi ia harus membiarkannya memantul dalam mata batinnya, agar ia dapat melihat dengan jelas. Yang dilihat manusia tergantung pada mata yang digunakannya untuk melihat, apakah menggunakan mata nafs yang rendah atau menggunakan mata batinnya yang tinggi.

وَ إِنَّهُ لِحُبِّ الْخَيْرِ لَشَدِيْدٌ

  1. Dan sesungguhnya ia sangat teguh dalam kecintaannya terhadap harta.

Sifat manusia memang ingin ‘terikat’ pada hal yang baik—syadīd (kokoh, kuat) berasal dari syadda, yang berarti ‘mengetatkan, mengikat’. Ia mencintai hal yang dianggapnya baik, walaupun yang kelihatan baik bagi dia saat ini mungkin tidak baik bagi dia di saat lain.

أَفَلا يَعْلَمُ إِذَا بُعْثِرَ مَا فِي الْقُبُوْرِ

  1. Apakah ia tidak mengetahui, tatkala apa yang ada dalam kubur dibangkitkan,

Manusia selalu mencari perlindungan dan kesenangan, dan juga ingin dibiarkan sendiri dengan nilai-nilainya. Ayat ini bertanya kepada kita, ‘Apakah manusia tidak menyadari bahwa apa yang tersembunyi dalam hati, apa yang tersembunyi dalam kubur, akhirnya akan keluar?’ Akhirnya kita semua akan dikeluarkan dari kubur-kubur kita, dan yang sekarang tersembunyi dalam hati akan diungkapkan dalam kehidupan mendatang. Apa pun yang dikubur atau disembunyikan akhirnya akan terungkap.

وَ حُصِّلَ مَا فِي الصُّدُوْرِ

  1. Dan apa yang ada dalam dada akan ditampakkan,

Ḥashala berarti ‘di samping, jelas’. Apa yang tersembunyi dalam dada akan ditampakkan dan menjadi jelas. Penampakan ini dapat terjadi sekarang jika kita sungguh-sungguh ingin mengetahui apa yang ada dalam hati kita. Tujuan eksistensi ini adalah mencapai kesatuan, menyatukan yang ada dalam hati kita dengan perbuatan kita, melalui kejelasan dan kesadaran.

إِنَّ رَبَّهُمْ بِهِمْ يَوْمَئِذٍ لَّخَبِيْرٌ

  1. Sesungguhnya Tuhan mereka pada hari itu akan benar-benar mengetahui mereka.

Hari ketika penyatuan atau pembukaan itu terjadi akan menjadi hari kebijakan Tuhan kita. Ketuhanan adalah hal yang menggiring kita kepada tauhid, kepada keesaan. Untuk mendapatkan hikmah dari pengalaman kita dalam kehidupan ini kita harus yakin bahwa apa pun yang ditakdirkan juga akan terungkap dan terang dalam pengetahuan sempurna Tuhan kita.

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *