Surah al-‘Adiyat 100 ~ Tafsir Ibni Katsir

Dari Buku:
Tafsir Ibnu Katsir, Juz 30
(An-Nabā’ s.d. An-Nās)
Oleh: Al-Imam Abu Fida’ Isma‘il Ibnu Katsir ad-Dimasyqi

Penerjemah: Bahrun Abu Bakar L.C.
Penerbit: Sinar Baru Algensindo Bandung

Sūrat-ul-‘Ādiyāt
(Kuda Perang yang Berlari Kencang)

Makkiyyah, 11 ayat
Turun sesudah Surat Al-‘Ashr

 

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ

Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang

 

Al-‘Ādiyāt, ayat 1-11

وَ الْعَادِيَاتِ ضَبْحًا. فَالْمُوْرِيَاتِ قَدْحًا. فَالْمُغِيْرَاتِ صُبْحًا. فَأَثَرْنَ بِهِ نَقْعًا. فَوَسَطْنَ بِهِ جَمْعًا. إِنَّ الإِنْسَانَ لِرَبِّهِ لَكَنُوْدٌ. وَ إِنَّهُ عَلى ذلِكَ لَشَهِيْدٌ. وَ إِنَّهُ لِحُبِّ الْخَيْرِ لَشَدِيْدٌ. أَفَلاَ يَعْلَمُ إِذَا بُعْثِرَ مَا فِي الْقُبُوْرِ. وَ حُصِّلَ مَا فِي الصُّدُوْرِ. إِنَّ رَبَّهُمْ بِهِمْ يَوْمَئِذٍ لَّخَبِيْرٌ

Demi kuda perang yang berlari kencang terengah-engah, dan kuda yang mencetuskan api dengan pukulan (kuku kakinya), dan kuda yang menyerang dengan tiba-tiba di waktu pagi, maka ia menerbangkan debu, dan menyerbu di tengah-tengah kumpulan musuh, sesungguhnya manusia itu sangat ingkar tidak berterima kasih kepada Tuhannya, dan sesungguhnya manusia itu menyaksikan (sendiri) keingkarannya, dan sesungguhnya dia sangat bakhil karena cintanya kepada harta. Maka apakah dia tidak mengetahui apabila dibangkitkan apa yang ada di dalam kubur, dan dilahirkan apa yang ada di dalam dada, sesungguhnya Tuhan mereka pada hari itu Maha Mengetahui keadaan mereka.

Allah s.w.t. bersumpah dengan menyebut kuda apabila dilarikan di jalan Allah (jihād), maka ia lari dengan kencangnya dan suara dengus napasnya yang keras saat lari.

فَالْمُوْرِيَاتِ قَدْحًا

dan kuda yang mencetuskan api dengan pukulan (kuku teracaknya) (Al-‘Ādiyāt: 2)

Yakni suara tidak teracaknya ketika menginjak batu-batuan, lalu keluarlah percikan api darinya.

فَالْمُغِيْرَاتِ صُبْحًا

dan kuda yang menyerang dengan tiba-tiba di waktu pagi. (Al-‘Ādiyāt: 3)

Yang mengadakan serangan di waktu pagi hari, sebagaimana yang pernah dilakukan oleh Rasulullah s.a.w. Beliau mengadakan serangan di waktu subuh; maka apabila beliau mendengar suara adzan di kabilah yang akan diperanginya, beliau mengurungkan niatnya. Dan apabila beliau s.a.w. tidak mendengar suara adzan di kabilah tersebut, maka dilangsungkanlah niatnya.

Firman Allah s.w.t.:

فَأَثَرْنَ بِهِ نَقْعًا

maka ia menerbangkan debu. (Al-‘Ādiyāt: 4)

Maksudnya, debu di tempat kuda-kuda mereka sedang beraksi di kancah peperangan.

فَوَسَطْنَ بِهِ جَمْعًا

dan menyerbu di tengah-tengah kumpulan musuh. (Al-‘Ādiyāt: 5)

Yakni kuda-kuda tersebut berada di tengah-tengah kancah peperangan (mengobrak-abrik barisan musuh). Ibnu Abī Ḥātim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abū Sa‘īd al-Asyāj, telah menceritakan kepada kami ‘Abdah, dari al-A‘masy, dari Ibrāhīm, dari ‘Abdullāh sehubungan dengan makna firman-Nya:

وَ الْعَادِيَاتِ ضَبْحًا

Demi kuda perang yang berlari kencang terengah-engah. (Al-‘Ādiyāt: 1)

Yaitu unta; menurut ‘Alī disebutkan unta, dan menurut Ibnu ‘Abbās disebutkan kuda. Dan ketika apa yang dikatakan oleh Ibnu ‘Abbās itu sampai ke telinga ‘Alī, maka ia berkata: “Dalam Perang Badar kami tidak memiliki kuda.” Ibnu ‘Abbās menjawab, bahwa sesungguhnya hal tersebut hanyalah berkenaan dengan pasukan khusus yang dikirimnya.

Ibnu Abī Ḥātim dan Ibnu Jarīr mengatakan, telah menceritakan pula kepada kami Yunus, telah menceritakan kepada kami Ibnu Wahb, telah menceritakan kepadaku Abū Shakhr, dari Abū Mu‘āwiyah al-Bajalī, dari Sa‘īd ibnu Jubair, dari Ibnu ‘Abbās yang menceritakan kepadanya bahwa ketika aku sedang berada di Ḥijr Ismā‘īl, tiba-tiba datanglah kepadaku seorang lelaki yang bertanya mengenai makna firman-Nya:

وَ الْعَادِيَاتِ ضَبْحًا

Demi kuda perang yang berlari kencang terengah-engah. (Al-‘Ādiyāt: 1)

Maka aku menjawab, bahwa makna yang dimaksud adalah kuda ketika digunakan untuk menyerang di jalan Allah, kemudian di malam hari diistirahatkan dan mereka membuat makanan (memasak makanan)nya, dan untuk itulah maka mereka menyalakan api (dapur)nya buat masak. Setelah itu lelaki tersebut pergi meninggalkan diriku menuju ke tempat ‘Alī berada, yang saat itu berada di tempat minum air zamzam (dekat sumur zamzam). Lalu lelaki itu menanyakan kepada ‘Alī makna ayat tersebut, tetapi ‘Alī r.a. balik bertanya: “Apakah engkau pernah menanyakannya kepada seseorang sebelumku?” Lelaki itu menjawab: “Ya, aku telah menanyakannya kepada Ibnu ‘Abbās, dan ia mengatakan bahwa makna yang dimaksud adalah kuda ketikan menyerang di jalan Allah.”

‘Alī berkata: “Pergilah dan panggillah dia untuk menghadap kepadaku.” Ketika Ibnu ‘Abbās telah berada di hadapan ‘Alī, maka ‘Alī r.a. berkata: “Apakah engkau memberi fatwa kepada manusia dengan sesuatu yang tiada pengetahuan bagi mengenainya. Demi Allah, sesungguhnya ketika mula-mula perang terjadi di masa Islam (yaitu Perang Badar), tiada pada kami pasukan berkuda kecuali hanya dua ekor kuda, yang satu milik az-Zubair dan yang lainnya milik al-Miqdād. Maka mana mungkin yang dimaksud dengan al-‘ādiyāti dhabḥan adalah kuda. Sesungguhnya yang dimaksud dengan al-‘ādiyāti dhabḥan ialah bila berlari dari ‘Arafah ke Muzdalifah dan dari Muzdalifah ke Mina.”

Ibnu ‘Abbās mengatakan bahwa lalu ia mencabut ucapannya itu dan mengikuti pendapat yang dikatakan oleh ‘Alī r.a. Dan berdasarkan sanad ini dari Ibnu ‘Abbās dapat disebutkan bahwa Ibnu ‘Abbās mengatakan bahwa menurut ‘Alī al-‘ādiyāti dhabḥan bila jarak yang ditempuhnya dari ‘Arafah ke Muzdalifah; dan apabila mereka beristirahat di Muzdalifah, maka mereka menyalakan apinya (untuk memasak makanannya).

Al-Aufī dan lain-lainnya telah meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbās, bahwa makna yang dimaksud adalah kuda. Dan ada sejumlah ulama yang mengatakan bahwa makna yang dimaksud adalah kumpulan unta (yang digunakan untuk kendaraan perang di jalan Allah), di antara mereka adalah Ibrāhīm dan Ubaid ibnu ‘Umair. Sedangkan ulama lainnya mengikuti pendapat yang dikatakan oleh Ibnu ‘Abbās, antara lain ialah Mujāhid, Ikrimah, ‘Athā’, Qatādah dan Adh-Dhaḥḥāk; dan pendapat inilah yang dipilih oleh Ibnu Jarīr.

Ibnu ‘Abbās dan ‘Athā’ mengatakan bahwa tiada yang mengeluarkan suara dengusan napas saat berlari kecuali hanya kuda dan anjing. Ibnu Juraij telah meriwayatkan dari ‘Athā’, bahwa ia pernah mendengar Ibnu ‘Abbās memperagakan tentang makna adh-dhabḥu, yaitu suara dengusan napas.

Kebanyakan ulama mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya:

فَالْمُوْرِيَاتِ قَدْحًا

dan kuda yang mencetuskan api dengan pukulan (kuku teracaknya) (Al-‘Ādiyāt: 2)

Yakni dengan teracaknya, dan menurut pendapat yang lain menyebutkan bila kuda-kuda itu menyalakan peperangan di antara para penunggangnya, menurut Qatādah.

Telah diriwayatkan dari Mujāhid dan Ibnu ‘Abbās sehubungan dengan makna firman-Nya:

فَالْمُوْرِيَاتِ قَدْحًا

dan kuda yang mencetuskan api dengan pukulan (kuku teracaknya) (Al-‘Ādiyāt: 2)

Yaitu menyalakan api untuk tipu muslihat dalam peperangan. Menurut pendapat yang lain, menyalakan api bila kembali ke tempat tinggal mereka di malam hari. Menurut pendapat yang lainnya lagi, makna yang dimaksud ialah apinya para kabilah. Dan menurut orang yang menafsirkannya dengan kuda mengartikannya dengan pengertian menyalakan api di Muzdalifah.

Ibnu Jarīr mengatakan bahwa pendapat yang benar adalah yang pertama. Yaitu yang mengatakan bahwa makna yang dimaksud ialah kuda ketika memercikkan bunga api dari kaki teracaknya saat berlari kencang dan beradu dengan batu-batuan.

Firman Allah s.w.t.:

فَالْمُغِيْرَاتِ صُبْحًا

dan kuda yang menyerang dengan tiba-tiba di waktu pagi. (Al-‘Ādiyāt: 3)

Ibnu ‘Abbās, Mujāhid, dan Qatādah mengatakan bahwa makna yang dimaksud ialah pasukan berkuda yang menyerang di pagi hari buta di jalan Allah. Dan menurut ulama yang menafsirkannya dengan unta, makna yang dimaksud ialah berangkat di waktu subuh dari Muzdalifah ke Mina. Dan mereka semuanya mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya:

فَأَثَرْنَ بِهِ نَقْعًا

maka ia menerbangkan debu. (Al-‘Ādiyāt: 4)

Yakni tempat yang kuda-kuda dan unta-unta itu berada, baik dalam ibadah haji maupun dalam jihad, debu-debu beterbangan karenanya.

Firman Allah s.w.t.:

فَوَسَطْنَ بِهِ جَمْعًا

dan menyerbu di tengah-tengah kumpulan musuh. (Al-‘Ādiyāt: 5)

Al-Aufi telah meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbās, ‘Athā’, ‘Ikrimah, Qatādah, dan Adh-Dhaḥḥāk (yang semuanya dari Ibnu ‘Abbās), bahwa makna yang dimaksud ialah kumpulan pasukan musuh yang kafir. Dapat pula ditakwilkan dengan pengertian bahwa kuda-kuda itu berkumpul di tengah-tengah tempat medan pertempuran. Dengan demikian, berarti lafaz jam‘ah di-nashab-kan menjadi ḥāl (kata keterangan keadaan) yang menguatkan makna wasatha.

Abū Bakar al-Bazzār sehubungan dengan hal ini telah meriwayatkan sebuah hadis yang garib sekali. Untuk itu ia mengatakan bahwa telah menceritakan kepada kami Aḥmad ibnu ‘Abdah, telah menceritakan kepada kami Ḥafsh ibnu Jāmi‘, telah menceritakan kepada kami Sammāk, dari ‘Ikrimah, dari Ibnu ‘Abbās yang mengatakan bahwa Rasulullah s.a.w. mengirimkan pasukan berkuda, maka berlalulah masa satu bulan tanpa ada kabar beritanya. Lalu turunlah firman Allah s.w.t.:

وَ الْعَادِيَاتِ ضَبْحًا

Demi kuda perang yang berlari kencang terengah-engah. (Al-‘Ādiyāt: 1)

Yakni menghentak-hentakkan kakinya dengan cepat dalam larinya.

فَالْمُوْرِيَاتِ قَدْحًا

dan kuda yang mencetuskan api dengan pukulan (kuku teracaknya) (Al-‘Ādiyāt: 2)

Artinya, teracaknya memercikkan bunga-bunga api karena menginjak bebatuan, seperti halnya batu pemantik api apabila diadukan.

فَالْمُغِيْرَاتِ صُبْحًا

dan kuda yang menyerang dengan tiba-tiba di waktu pagi. (Al-‘Ādiyāt: 3)

Yaitu menyerang musuh di pagi buta dengan serangan yang mengejutkan.

فَأَثَرْنَ بِهِ نَقْعًا

maka ia menerbangkan debu. (Al-‘Ādiyāt: 4)

Yakni debu beterbangan karena injakan teracak-teracaknya.

فَوَسَطْنَ بِهِ جَمْعًا

dan menyerbu di tengah-tengah kumpulan musuh. (Al-‘Ādiyāt: 5)

Maksudnya, menyerbu ke tengah-tengah kantong musuh semuanya di waktu pagi buta.

Firman Allah s.w.t.:

إِنَّ الإِنْسَانَ لِرَبِّهِ لَكَنُوْدٌ

sesungguhnya manusia itu sangat ingkar tidak berterima kasih kepada Tuhannya. (Al-‘Ādiyāt: 6)

Inilah subjek sumpahnya, dengan pengertian bahwa sesungguhnya manusia itu benar-benar mengingkari nikmat-nikmat Tuhannya.

Ibnu ‘Abbās, Mujāhid, Ibrāhīm An-Nakha‘ī, Abul-Jauza’, Abul-‘Āliyah, Abudh-Dhuḥā, Sa‘īd ibnu Jubair, Muḥammad ibnu Qais, Adh-Dhaḥḥāk, Al-Ḥasan, Qatādah, Ar-Rabī‘ ibnu Anas, dan Ibnu Zaid telah mengatakan bahwa al-kanūd artinya pengingkar. Al-Ḥasan mengatakan bahwa al-kanūd artinya orang yang mengingat-ingat musibah dan melupakan nikmat-nikmat Allah yang diberikan kepadanya.

Ibnu Abī Ḥātim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abū Kuraib, telah menceritakan kepada kami ‘Ubaidillāh, dari Isrā’īl, dari Ja‘far ibn-uz-Zubair, dari al-Qāsim, dari Abū Umamah yang mengatakan bahwa Rasulullah s.a.w. sehubungan dengan makna firman-Nya:

إِنَّ الإِنْسَانَ لِرَبِّهِ لَكَنُوْدٌ

sesungguhnya manusia itu sangat ingkar tidak berterima kasih kepada Tuhannya. (Al-‘Ādiyāt: 6)

Beliau bersabda, bahwa al-kanūd artinya orang yang makan sendirian dan memukul budaknya serta menolak kehadirannya. Ibnu Abī Ḥātim telah meriwayatkannya pula melalui Ja‘far ibn-uz-Zubair, tetapi dia orangnya tidak terpakai hadisnya, dan sanad hadis ini lemah. Ibnu Jarīr telah meriwayatkannya pula melalui hadis Harriz ibnu ‘Utsmān, dari Ḥamzah ibnu Hanī’, dari Abū Umamah secara mauqūf.

Firman Allah s.w.t.:

وَ إِنَّهُ عَلى ذلِكَ لَشَهِيْدٌ

dan sesungguhnya manusia itu menyaksikan (sendiri) keingkarannya. (Al-‘Ādiyāt: 7)

Qatadah dan Sufyān ats-Tsaurī mengatakan bahwa sesungguhnya Allah benar-benar menyaksikan hal tersebut. Dapat pula ditahkikkan bahwa dhamīr yang ada merujuk kepada manusia, ini menurut Muḥammad ibnu Ka‘b al-Qurazī. Dengan demikian, berarti maknanya ialah sesungguhnya manusia itu benar-benar menyaksikan sendiri (mengakui) akan keingkaran dirinya melalui sepak terjangnya, yakni terlihat jelas hal itu dari ucapan dan perbuatannya, sebagaimana yang disebutkan dalam firman-Nya:

مَا كَانَ لِلْمُشْرِكِيْنَ أَنْ يَعْمُرُوْا مَسَاجِدَ الله شَاهِدِيْنَ عَلى أَنْفُسِهِمْ بِالْكُفْرِ

Tidaklah pantas orang-orang musyrik itu memakmurkan masjid-masjid Allah, sedangkan mereka mengakui bahwa mereka sendiri kafir.” (At-Taubah 17).

Ada pun firman Allah s.w.t.:

وَ إِنَّهُ لِحُبِّ الْخَيْرِ لَشَدِيْدٌ

dan sesungguhnya dia sangat bakhil karena cintanya kepada harta. (Al-‘Ādiyāt: 8)

Yakni sesungguhnya kecintaannya kepada harta benda benar-benar sangat berat. Sehubungan dengan makna ayat ini, ada dua pendapat: pendapat pertama mengatakan bahwa sesungguhnya manusia itu sangat mencintai harta. Pendapat yang kedua mengatakan bahwa sesungguhnya karena kecintaannya kepada harta, dia menjadi seorang yang kikir. Kedua makna sama-sama benarnya.

Kemudian Allah s.w.t. menganjurkan kepada manusia untuk berzuhud terhadap duniawi dan menganjurkan mereka untuk menyukai pahala akhirat. Yang hal ini diungkapkan-Nya melalui peringatan terhadap mereka tentang apa yang akan terjadi sesudah kehidupan dunia ini, yaitu banyak peristiwa yang menakutkan yang akan dihadapinya.

أَفَلاَ يَعْلَمُ إِذَا بُعْثِرَ مَا فِي الْقُبُوْرِ

Maka apakah dia tidak mengetahui apabila dibangkitkan apa yang ada di dalam kubur. (Al-‘Ādiyāt: 9)

Maksudnya, dikeluarkan orang-orang yang telah mati dari dalam kuburnya.

وَ حُصِّلَ مَا فِي الصُّدُوْرِ.

dan dilahirkan apa yang ada di dalam dada. (Al-‘Ādiyāt: 10)

Ibnu ‘Abbās dan lain-lainnya mengatakan bahwa makna yang dimaksud ialah apabila dilahirkan dan ditampakkan apa yang selama itu mereka sembunyikan dalam diri dan hati mereka.

إِنَّ رَبَّهُمْ بِهِمْ يَوْمَئِذٍ لَّخَبِيْرٌ

sesungguhnya Tuhan mereka pada hari itu Maha Mengetahui keadaan mereka. (Al-‘Ādiyāt: 11)

Tuhan mereka benar-benar mengetahui semua yang diperbuat dan yang dikerjakan oleh mereka, dan Dia kelak akan membalaskannya terhadap mereka dengan balasan yang sempurna; Dia tidak akan berbuat aniaya barang seberat zarrah pun terhadap seseorang.

Demikianlah akhir tafsir sūrat-ul-‘Ādiyāt, segala puji bagi Allah atas semua karunia yang telah dilimpahkan-Nya.