Surah al-‘Adiyat 100 ~ Tafsir al-Azhar

Dari Buku:
Tafsir al-Azhar
Oleh: Prof. Dr. HAMKA

Penerbit: PT. Pustaka Islam Surabaya

Sūrat-ul-‘Ādiyāt
(Yang berlari)

Surat ke-100, 11 Ayat
Diturunkan di Makkah

 

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ

Dengan Nama Allah, Maha Pengasih, Maha Penyayang

 

وَ الْعَادِيَاتِ ضَبْحًا. فَالْمُوْرِيَاتِ قَدْحًا. فَالْمُغِيْرَاتِ صُبْحًا. فَأَثَرْنَ بِهِ نَقْعًا. فَوَسَطْنَ بِهِ جَمْعًا.

100:1. Demi kuda perang yang berlari kencang dengan terengah-engah.
100:2. dan kuda yang mencetuskan api dengan pukulan (kuku kakinya),
100:3. dan kuda yang menyerang dengan tiba-tiba di waktu pagi,
100:4. maka ia menerbangkan debu,
100:5. dan menyerbu ke tengah-tengah kumpulan musuh,

KEPENTINGAN KUDA DI MEDAN PERANG

Nama Surat ini ialah Al-‘Ādiyāt, yang berarti kuda-kuda yang berlari kencang. Maka tersebutlah dalam ayat yang pertama bagaimana keistimewaan kuda itu: “Demi yang berlari kencang terengah-engah.” (ayat 1). Dalam penyerbuan mengejar musuh yang hebat dahsyat itu kelihatanlah bagaimana pentingnya kendaraan atau angkatan berkuda (Cavalerie). Kuda itu dipacu dengan penuh semangat oleh yang mengendarainya, sehingga dia berlari kencang sampai mendua, artinya sudah sama derap kedua kaki muka dan kedua kaki belakang, bukan lagi menderap. Sehingga berpadulah semangat yang mengendarai dengan semangat kuda itu sendiri; kedengaran dari sangat kencang dan jauh larinya, nafasnya jadi terengah, namun dia tidak menyatakan payah, bahkan masih mau dihalau lagi. “Yang memancarkan api.” (ayat 2). Dalam lari yang sangat kencang itu, terutama di waktu dinihari kelihatanlah memancar api dari ladamnya ketika ladam itu terantuk batu: “Yang menyerang di waktu Shubuḥ.” (ayat 3). Yaitu di waktu musuh sedang lengah atau lalai atau mengantuk, sehingga angkatan perang itu datang saja dengan tiba-tiba laksana dijatuhkan dari langit. “Yang membangkitkan padanya” yaitu pada waktu Shubuḥ itu “debu-duli.” (ayat 4).

Biasanya di waktu Shubuḥ, embun masih membasahi bumi. Barulah embun itu akan hilang setelah matahari naik. Tetapi oleh karena hebat penyerangan angkatan perang berkuda itu, karena kencang lari kuda-kudanya, yang menerbitkan cetusan api karena pergeseran ladamnya dengan batu, debu-duli naiklah ke udara (11). Sehingga berkabutlah tempat itu, tidak ada yang kelihatan lagi, menyebabkan orang yang diserang kebingungan. “Yang menyerbu ke tengah kumpulan (musuh).” (ayat 5). Yaitu kumpulan musuh.

Dengan lima ayat itu, dengan bahasa yang indah, bahasa Tuhan sendiri, digambarkanlah betapa hebatnya penyerangan dan penyerbuan dengan kuda. Dan dengan sendirinya ayat ini memberikan penghargaan yang amat tinggi kepada kuda di medan perang yang dinamai khail! Malahan di dalam Sūrat-ul-Anfāl, Surat 8 ayat 60 ada suruhan yang terang dan tegas kepada mujahidin Islam mencukupkan persediaan alat perang, di antaranya ialah kuda (khail) tidaklah ketinggalan. Dan di dalam perang yang telah modern sekarang ini pun, dengan tank-tank berlapis baja, namun angkatan perang berkuda masih tetap dipandang penting.

Di dalam ayat keempat kita artikan bahwa penyerbuan tentara berkuda itu menerbitkan debu-duli yang naik ke udara menimbulkan kelam kabut. Setengah ahli tafsir mengartikan Naq’an yang kita artikan debu itu dengan sorak-sorai. Ini pun suatu tafsir yang juga dapat diterima. Karena kadang-kadang suara sorak sorai sebagai lambang dalam perang sangat besar kesannya untuk mematahkan semangat musuh. Tentara Jepang waktu menduduki Indonesia, terkenal dengan soraknya yang dihajan dari pusat dan menimbulkan takut yang mendengar.

Dalam kitab “Tuḥfatun-Nafis” karangan Raja Ali Haj Riau, beliau menerangkan bahwa tentara Bugis apabila menyerbu musuh mereka itu mengkaruk, yaitu bertampik-sorak yang dahsyat. Mujahidin di Aceh ketika berperang dengan Belanda di akhir Abad ke 19 sampai permulaan Abad Kedua Puluh (1902) menyorakkan “Lā Ilāha Illallāh” atau “Allāhu Akbar” di tengah hutan belantara tengah bergerilya.

Tentara Belanda mengakui terus-terang bahwa mereka takut mendengarkan tahlīl dan takbīr yang dijadikan semboyan perang itu. Tentara Turki dalam Perang Korea di bawah komando MacArthur pun tidak pernah meninggalkan semboyan Allāhu Akbar dalam perang.

Dengan kelima ayat itu Allah membuat sumpah, agar kuda jangan diabaikan oleh kaum Muslimin dalam perang. Dan Rasūlullāh s.a.w. sendiri setelah mulai hijrah ke Madinah, salah satu perintah harian beliau ialah menyuruh sahabat-sahabatnya memelihara kuda untuk perang. Pembahagian ghanīmah (harta rampasan), kalau bagi seorang yang berjalan kaki dapat satu, maka bagi yang berkuda dapat empat bahagian.

Lantaran itu menjadi kesukaan turun-temurunlah bagi bangsa ‘Arab memelihara kuda dan terkenallah ketangkasan bentuk kuda ‘Arab di seluruh dunia sampai kepada zaman sekarang ini.

 

إِنَّ الْإِنْسَانَ لِرَبِّهِ لَكَنُوْدٌ. وَ إِنَّهُ عَلَى ذلِكَ لَشَهِيْدٌ. وَ إِنَّهُ لِحُبِّ الْخَيْرِ لَشَدِيْدٌ.

100:6. sesungguhnya manusia itu sangat ingkar tidak berterima kasih kepada Tuhannya,
100:7. dan sesungguhnya manusia itu menyaksikan (sendiri) keingkarannya,
100:8. dan sesungguhnya dia sangat bakhil karena cintanya kepada harta.

Setelah Tuhan bersumpah dengan memakai kuda kendaraan di dalam perang, yang gagah perkasa menyerbu musuh di tengah malam, sehingga dari ladam kuda itu timbul api dan bekas hebat serbuannya menimbulkan debu-duli, datanglah tujuan inti sumpah pada ayat yang keenam, yaitu: “Sesungguhnya manusia terhadap Tuhannya tidaklah berterima kasih.” (ayat 6). Arti kanūd ialah tidak berterima kasih, pelupakan jasa.

Berapa saja nikmat diberikan Tuhan diterimanya dan dia tidak merasa puas dengan yang telah ada itu, bahkan masih meminta tambahnya lagi. Nafsunya tidak pernah merasa cukup kenyang, yang ada tidak disyukurinya, bahkan dia mengomel mengapa sedikit, dan yang datang terlebih dahulu dilupakannya.

Abū Amāmah berkata: “Mana yang telah dia dapat, dia makan sendiri dan tidak diberinya orang lain. Hambasahayanya dipukulinya dan orang-orang yang berhajat tidak diperdulikannya.”

Banyaklah manusia yang bersikap demikian.

Dan sesungguhnya dia, atas yang demikian itu, adalah menyaksikan sendiri.” (ayat 7). Artinya, bahwasanya tingkah laku dan sikap hidup orang yang tidak berterima kasih kepada Tuhan itu mudah saja diketahui oleh orang lain, karena orang yang begitu tidaklah dapat menyembunyikan perangainya yang buruk itu: “Dan sesungguhnya dia, karena cintanya kepada harta, adalah terlalu.” (ayat 8). Yang dimaksud dengan terlalu di sini ialah sangat bakhil. Mana yang telah masuk tidak boleh keluar lagi.

Dipertalikan di antara ayat 7 dengan ayat 8 yaitu tingkah laku orang itu dapat saja dilihat orang, dan lekas dapat diketahui. Takut didekati orang karena takut orang akan datang meminta. Sampai kadang-kadang pada manis mulutnya kepada orang, sampai kepada caranya berburuk-buruk supaya jangan diketahui orang bahwa dia kaya, semuanya itu adalah menunjukkan ciri-ciri orang bakhil. Kadang-kadang terompahnya yang patut ditukar sekali setahun, sudah lima tahun tidak ditukarnya dan hanya ditambal-tambalnya saja. Yang sangat padanya ialah mementingkan diri sendiri dan yang lemah adalah hubungannya dengan Allah dan dengan sesama manusia.

Ayat selanjutnya ialah ancaman hari depan bagi orang demikian:

 

أَفَلَا يَعْلَمُ إِذَا بُعْثِرَ مَا فِي الْقُبُوْرِ. وَ حُصِّلَ مَا فِي الصُّدُوْرِ. إِنَّ رَبَّهُمْ بِهِمْ يَوْمَئِذٍ لَّخَبِيْرٌ

100:9. Maka apakah dia tidak mengetahui apabila dibangkitkan apa yang ada di dalam kubur,
100:10. dan dilahirkan apa yang ada di dalam dada,
100:11. sesungguhnya Tuhan mereka pada hari itu Maha Mengetahui keadaan mereka.

Apakah dia tidak tahu?” (pangkal ayat 9). Apakah dia tidak mendengar? Apakah tidak sampai kepadanya pengajaran yang disampaikan oleh Rasul, bahwa hidup ini bukanlah sehingga dunia sahaja? Dan setelah manusia mati harta bendanya itu tidak akan dibawa? Malahan kelak akan tiba masanya: “Apabila dibongkar apa yang ada dalam kubur?” (ujung ayat 9). Artinya bahwa semua makhluk yang telah mati akan dibangkitkan kembali dari kuburnya karena akan dihisab, karena akan diperhitungkan amalan yang telah dibawanya untuk hidupnya di akhirat. Dan akan ditanyai dari mana didapatnya hartanya yang banyak dan dipertahankannya mati-matian sampai menjadi bakhil itu, dan ke mana dibelanjakannya?

Dan dilahirkan apa yang ada di dalam dada-dada?” (ayat 10). Maka segala rahasia yang tersembunyi selama hidup dahulu, entah harta-benda yang banyak itu didapat dari menipu, mencuri, berbohong, laku curang, korupsi, manipulasi, semuanya akan terbongkar, sehingga jatuh hinalah diri di hadapan khalayak ramai di Padang Maḥsyar. “Sesungguhnya Tuhan mereka, terhadap mereka, di hari itu adalah Amat Mengetahui.” (ayat 11).

Tidaklah dapat berbohong lagi, atau bersenda-gurau dan main-main (lahwun wa laibun) sebagai di dunia, karena semua rahasia sudah ada di tangan Tuhan.

Maka marilah berlindung kepada Allah, moga-moga penyakit demikian jangan menimpa diri kita: Amin!

Catatan:

  1. 1). Duli adalah nama lain dari pada debu. Sebab itu maka di dalam membahasakan Raja orang menyebut “Ke bawah Duli”; artinya ke bawah debu telapak sepatunya.

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *