Diturunkan di Makkah
Jumlah Ayat: 11.
بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ
“Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang”
وَ الضُّحَى. وَ اللَّيْلِ إِذَا سَجَى. مَا وَدَّعَكَ رَبُّكَ وَ مَا قَلَى. وَ لَلْآخِرَةُ خَيْرٌ لَّكَ مِنَ الْأُولَى. وَ لَسَوْفَ يُعْطِيْكَ رَبُّكَ فَتَرْضَى. أَلَمْ يَجِدْكَ يَتِيْمًا فَآوَى. وَ وَجَدَكَ ضَالًّا فَهَدَى. وَ وَجَدَكَ عَائِلًا فَأَغْنَى. فَأَمَّا الْيَتِيْمَ فَلَا تَقْهَرْ. وَ أَمَّا السَّائِلَ فَلَا تَنْهَرْ. وَ أَمَّا بِنِعْمَةِ رَبِّكَ فَحَدِّثْ
093: 1. Demi waktu matahari sepenggalahan naik,
093: 2. dan demi malam apabila telah sunyi,
093: 3. Tuhanmu tiada meninggalkan kamu dan tiada (pula) benci kepadamu.
093: 4. Sesungguhnya akhir itu lebih baik bagimu daripada permulaan.
093: 5. Kelak Tuhanmu pasti memberikan karunia-Nya kepadamu, lalu (hati) kamu menjadi puas.
093: 6. Bukankah Dia mendapatimu sebagai anak yatim, lalu Dia melindungimu.
093: 7. Dia mendapatimu sebagai seorang yang bingung, lalu Dia memberikan petunjuk?
093: 8. Dan, Dia mendapatimu sebagai orang yang kekurangan, lalu Dia memberikan kecukupan?
093: 9. Adapun terhadap anak yatim, janganlah kamu berlaku sewenang-wenang.
093: 10. Terhadap orang yang minta-minta maka, janganlah kamu menghardiknya.
093: 11. Dan terhadap ni‘mat Tuhanmu, hendaklah kamu menyebut-nyebutnya (dengan bersyukur).
Surah ini dengan tema, ungkapan kalimat, pemandangan-pemandangan, bayang-bayang, dan kesan-kesannya, merupakan sentuhan kasih-sayang, embusan rahmat, sepenggal rasa cinta, dan tangan penyayang yang mengusap kepedihan-kepedihan dan penderitaan. Juga mengembuskan kasih-sayang, keridhāan, dan harapan; dan memberikan keteduhan, ketenangan, dan keyakinan. Surah ini secara keseluruhan khusus untuk Nabi s.a.w. Semuanya datang dari Tuhannya untuk menghibur, melerai, menyenangkan, dan menenangkan hati beliau. Semuanya merupakan embusan rahmat dan pantulan kasih-sayang, serta kelemahlembutan dari yang punya hubungan dekat. Juga merupakan penenang ruh yang kelelahan, hati yang bergoncang, dan qalbu yang menderita.
Menurut beberapa riwayat, wahyu terhenti dari Rasūlullāh s.a.w. dan malaikat Jibrīl a.s. terlambat menyampaikannya, lalu orang-orang musyrik berkata: “Muḥammad telah ditinggalkan oleh Tuhannya.” Kemudian Allah menurunkan surah ini.
Wahyu, bertemu dengan Jibrīl, dan berhubungan dengan Allah, merupakan bekal Rasūlullāh s.a.w. dalam menempuh jalan yang sulit. Juga sebagai minuman beliau di dalam menghadapi panasnya tantangan, dan sebagai semangat beliau di dalam penghadapi pendustaan kaum musyrikīn. Rasūlullāh s.a.w. hidup dengannya di dalam menghadapi suasana yang panas membakar, yang beliau alami dalam menghadapi jiwa-jiwa manusia yang liar, binal, suka melanggar, dan keras kepala. Beliau alami itu di dalam menghadapi makar, tipu-daya, dan gangguan-gangguan kaum musyrikīn terhadap dakwah, iman, dan petunjuk.
Karena itu, ketika wahyu terhenti, terputuslah bekal dari beliau. Sumber pun mengering dan hatinya pun kesepian dari Kekasih. Tinggallah beliau sendirian dalam kepanasan, tanpa bekal, tanpa minuman penghilang dahaga, dan tanpa hiburan dari Kekasih Tercinta. Ini adalah suatu kondisi yang berat ditanggung dari semua segi.
Pada waktu itu, turunlah surah ini. Turunlah limpahan kasih-sayang, rahmat, hiburan, kedekatan, harapan, kepuasan, ketentraman, dan keyakinan (adh-Dhuḥā: 3-5). Allah s.w.t. sama sekali tidak meninggalkan Nabi s.a.w. dan tidak pula membenci beliau. Dia tidak menjuahkan beliau dari rahmat, pemeliharaan, dan perlindungan-Nya (adh-Dhuḥā: 6-8).
Tidakkah engkau jumpai realitasnya di dalam kehidupanmu? Tidakkah engkau rasakan sentuhan ini di dalam hatimu? Tidakkah engkau melihat bekasnya di dalam kenyataan hidupmu?
Tidak…. tidak….! “Tuhanmu tiada meninggalkan kamu dan tiada (pula) benci kepadamu.” Tidak terputus pula kebaikan-Nya kepadamu dan tidak akan pernah terputus selama-lamanya. “Sesungguhnya akhir itu lebih baik bagimu daripada permulaan”. Di sana ada sesuatu yang lebih banyak dan lebih lengkap. “Kelak Tuhanmu pasti memberikan karunia-Nya kepadamu, lalu (hati) kamu menjadi puas.”
Di samping embusan yang lembut mengenai hakikat perkara dan ruhnya, serta embusan lembut dalam ungkapan, irama, dan bingkai semesta tempat, diletakkannya hakikat itu: “Demi waktu matahari sepenggalahan naik, dan demi malam apabila telah sunyi…..”
Kalimat itu diucapkan dalam nuansa kasih-sayang dan kelemah-lembutan, rahmat yang diberikan, kepuasan yang menyeluruh, dan kegembiraan yang hangat.
“Tuhanmu tiada meninggalkan kamu dan tiada (pula) benci kepadamu. Sesungguhnya akhir itu lebih baik bagimu daripada permulaan. Kelak Tuhanmu pasti memberikan karunia-Nya kepadamu, lalu (hati) kamu menjadi puas. Bukankah Dia mendapatimu sebagai anak yatim, lalu Dia melindungimu. Dia mendapatimu sebagai seorang yang bingung, lalu Dia memberikan petunjuk? Dan, Dia mendapatimu sebagai orang yang kekurangan, lalu Dia memberikan kecukupan” (adh-Dhuḥā: 3-8).
Kasih-sayang, rahmat, kepuasan, dan kegembiraan itu mengalir dari celah-celah irama kalimat yang halus, dari kata-katanya yang lembut, dan dari nuansa musikalnya yang mengalir dalam ungkapan kalimatnya. Nuansa musik yang teratur geraknya, derap langkah yang perlahan, suaranya yang lembut, dan iramanya yang menggembirakan. Ketika Allah menghendaki bingkai bagi kasih-sayang yang halus, rahmat yang tercurah, kepuasan yang meliputi, dan kegembiraan yang hangat ini; maka dijadikanlah bingkai itu berupa waktu dhuḥā yang terang benderang dan malam yang sunyi. Dipilihnya dua waktu dari waktu siang dan malam, dua waktu yang lembut saat untuk merenung. Juga waktu ruh berhubungan dengan alam semesta dan Penciptannya, merasakan ‘ibādah alam semesta ini kepada Penciptanya, dan menghadap kepada-Nya dengan tasbīḥ, kegembiraan, dan kecerahannya. Lalu, digambarkannya keduanya dalam kalimat yang sesuai.
Maka, malam itu adalah “malam apabila telah sunyi”, bukan sembarang malam secara mutlak dengan kesan ketakutan dan kegelapannya. Malam sunyi yang lembut, tenang, dan jernih, yang diliputi oleh awan tipis yang berarak. Malam yang membangkitkan hati dan perasaan untuk berpikir dan merenung, seperti suasana keyatiman dan kemiskinan. Kemudian kesunyian dan kesepian itu hilang terhapuskan dengan terbitnya waktu matahari naik sepenggalahan yang indah dan cerah. Maka, harmonislah warna-warna lukisan itu dengan warna-warna bingkainya, dan sempurnalah keteratuan dan kerapiannya. (131)
Sesungguhnya ciptaan dengan keindahannya yang sempurna ini, benar-benar menunjukkan penciptaan Allah yang tiada bandingnya. Penciptaan yang tiada dapat dicampuradukkan dengan peniruan.
وَ الضُّحَى. وَ اللَّيْلِ إِذَا سَجَى. مَا وَدَّعَكَ رَبُّكَ وَ مَا قَلَى. وَ لَلْآخِرَةُ خَيْرٌ لَّكَ مِنَ الْأُولَى. وَ لَسَوْفَ يُعْطِيْكَ رَبُّكَ فَتَرْضَى.
“Demi waktu matahari sepenggalahan naik, dan demi malam apabila telah sunyi, Tuhanmu tiada meninggalkan kamu dan tiada (pula) benci kepadamu. Sesungguhnya akhir itu lebih baik bagimu daripada permulaan. Kelak Tuhanmu pasti memberikan karunia-Nya kepadamu, lalu (hati) kamu menjadi puas.” (adh-Dhuḥā: 1-5)
Allah s.w.t. bersumpah dengan dua waktu yang indah dan mengesankan ini. Lalu, dia menghubungkan fenomena alam dengan perasaan jiwa manusia. Juga memberikan kesan kepada hati manusia tentang kehidupan yang sensitif dan responsif terhadap alam yang indah dan hidup ini, yang saling berlemah-lembut dengan setiap makhlūq hidup. Maka, hiduplah hati tersebut dalam kejinakan dan ketenangan di alam semesta, tanpa merasa takut dan merasa terasing.
Dalam surah ini sendiri, ketenangan dan kejinakan itu menemui realitasnya. Ketenangan inilah yang dimaksudkan menjadi sasarannya. Seakan-akan Allah memberi isyārat kepada Rasūl-Nya s.a.w. sejak permulaan surah, bahwa Tuhannya selalu melimpahkan ketenangan dan kesenangan di sekitar alam wujud ini. Karena itu, beliau tidak disingkirkan dan dikucilkan.
Setelah isyarat semesta ini, datanglah penegasan secara langsung: “Tuhanmu tiada meninggalkan kamu dan tiada (pula) benci kepadamu.” Tuhanmu tidak meninggalkanmu dan tidak pula mengucilkanmu sebagaimana anggapan orang-orang yang hendak menyakiti perasaanmu, mengganggu qalbumu, dan menggoncangkan hatimu. Allah adalah “Tuhanmu”, dan engkau adalah “hamba-Nya” yang dinisbatkan kepada-Nya, di-‘athaf-kan kepada rubūbiyyah-Nya. Karena itu, Dialah yang memeliharamu, melindungimu, dan memberikan jaminan kepadamu.
Tidak pernah surut sumber karunia-Nya dan limpahan pemberian-Nya. Maka, engkau akan mendapat di sisi-Nya di akhirat nanti kebaikan yang jauh lebih baik daripada apa yang diberikan-Nya kepadamu di dunia: “Sesungguhnya akhir (akhirat) itu lebih baik bagimu daripada permulaan (dunia).” Itu adalah kebaikan yang pertama dan yang akhir, sejak permulaan hingga terakhir.
Sesungguhnya Dia telah menyimpan untukmu apa yang menyenangkanmu. Yaitu, yang berupa pertolongan di dalam dakwahmu, dihilangkannya hambatan dari jalanmu, dominannya manhaj-mu, dan memenangkan hak-hakmu. Itulah perkara-perkara yang menyibukkan hati Rasūlullāh s.a.w. ketika beliau menghadapi kekerasan, pendustaan, gangguan, tipu-daya, dan caci-maki. “Kelak Tuhanmu pasti memberikan karunia-Nya kepadamu, lalu (hati) kamu menjadi puas.”
Selanjutnya, surah tersebut mengingatkan kepada Rasūlullāh s.a.w. bagaimana perhatian Tuhannya kepadanya sejak permulaan perjalanannya. Tujuannya agar hati beliau dapat membayangkan bagaimana indahnya yang diperbuat Tuhan terhadap dirinya, bagaimana kasih-sayangNya, dan bagaimana Dia melimpahkan karunia-Nya. Juga supaya beliau merasa senang dengan mengenang kembali rahmat dan kasih-sayang Ilahi. Hal ini merupakan keni‘matan tertinggi yang dihidupkan kembali kenangannya dengan cara yang indah.
أَلَمْ يَجِدْكَ يَتِيْمًا فَآوَى. وَ وَجَدَكَ ضَالًّا فَهَدَى. وَ وَجَدَكَ عَائِلًا فَأَغْنَى.
“Bukankah Dia mendapatimu sebagai anak yatim, lalu Dia melindungimu. Dia mendapatimu sebagai seorang yang bingung, lalu Dia memberikan petunjuk? Dan, Dia mendapatimu sebagai orang yang kekurangan, lalu Dia memberikan kecukupan?” (adh-Dhuḥā: 6-8)
Perhatikanlah bagaimana realitas hidup dan perhatikan kehidupanmu di masa lalu. Apakah Tuhan-mu membiarkanmu dan membencimu hingga sebelum engkau menghadapi urusan ini? Bukankah Dia telah meliputimu dengan pemeliharaan-Nya ketika engkau yatim? Bukankah engkau telah dibimbing-Nya ketika engkau bingung? Bukankah Dia telah mencukupimu dari kemiskinanmu dengan pemberian-Nya?
Engkau dilahirkan dalam keadaan yatim lalu Dia melindungimu. Dia menjinakkan hati banyak orang hingga mereka iba kepadamu, bahkan hati pamanmu Abū Thālib yang tidak seagama denganmu.
Dahulu engkau dalam keadaan miskin, lalu Allah mencukupkan dirimu dengan sifat qanā‘ah, sebagaimana Dia mencukupimu dengan usahamu dan harta istrimu (Khadījah r.a.). Sehingga, engkau tidak merasakan kemiskinan lagi atau membutuhkan harta di sekitarmu.
Kemudian engkau dahulu dibesarkan di lingkungan jahiliyyah dengan pandangan hidup dan ‘aqīdah yang kacau-balau, beserta perilaku dan tata kehidupan yang menyimpang dari jalur kebenaran, sehingga hatimu tidak tenang terhadapnya. Akan tetapi, engkau tidak menemukan jalan yang terang dan menenangkan, baik di kalangan jahiliyyah maupun pada para pengikut Mūsā dan ‘Īsā yang telah mengubah dan mengganti agama itu, yang telah menyimpang dan kebingungan. Kemudian Allah memberikan petunjuk kepadamu dengan wahyu yang diturunkan-Nya kepadamu dan dengan manhaj yang dengannya engkau dapat berhubungan dengan-Nya.
Petunjuk dari kebingungan ‘aqīdah dan kesesatan kelompok-kelompok, merupakan keni‘matan sangat besar yang tiada bandingnya, keni‘matan yang menyenangkan dan menenangkan hati dari kekacauan dan kegoncangan yang luar biasa, dari kelelahan yang tiada tara. Barangkali inilah yang menyebabkan Rasūlullāh s.a.w. memperhatikannya dengan sangat serius pada waktu itu. Karena, terputusnya wahyu, banyaknya caci-maki kaum musyrikin, dan terputusnya hubungan seorang kekasih dari kekasihnya. Maka, datanglah surah ini untuk mengingatkan dan menenangkan hatinya, bahwa Tuhannya tidak akan membiarkannya tanpa memberi wahyu kepadanya dalam kebingungan itu. Sedangkan, sebelum mengalami kebingungan itu pun, Tuhan tidak membiarkannya.
Selaras dengan peringatan Tuhannya terhadap perlindungan-Nya kepada Rasūlullāh s.a.w. pada waktu masih sebagai anak yatim, petunjuk-Nya kepada beliau dari kebingungan, dan pencukupan-Nya kepada beliau dari kemiskinan, maka Allah memberikan pengarahan kepada beliau dan kepada kaum Muslimīn di belakang beliau agar melindungi semua anak yatim dan bersikap sosial kepada orang yang minta-minta. Juga menceritakan ni‘mat Allah yang sangat besar yang dikaruniakan kepada beliau, terutama petunjuk kepada agama ini,
فَأَمَّا الْيَتِيْمَ فَلَا تَقْهَرْ. وَ أَمَّا السَّائِلَ فَلَا تَنْهَرْ. وَ أَمَّا بِنِعْمَةِ رَبِّكَ فَحَدِّثْ
“Adapun terhadap anak yatim, janganlah kamu berlaku sewenang-wenang. Terhadap orang yang minta-minta maka, janganlah kamu menghardiknya. Dan terhadap ni‘mat Tuhanmu, hendaklah kamu menyebut-nyebutnya (dengan bersyukur).” (adh-Dhuḥā: 9-11)
Diberi-Nya pengarahan untuk memuliakan anak-anak yatim dan larangan dari bertindak sewenang-wenang terhadapnya, menyedihkan hatinya, dan menghinanya. Juga pengarahan untuk memberi orang yang minta-minta dengan sikap yang lemah-lembut dan memuliakannya. Semua pengarahan itu termasuk isyarat penting terhadap realitas lingkungan yang keras dan kasar. Ya‘ni, lingkungan yang tidak melindungi hak orang lemah yang tidak mampu melindungi haknya dengan senjatanya sendiri.
Islam mengangkat lingkungan ini dengan aturan Allah kepada kebenaran dan keadilan, serta kepedulian dan ketaqwaan. Kemudian berhenti pada batas-batas Allah, yang menjaga batas-batasNya dan memperhatikannya. Juga yang membenci semua bentuk pelanggaran terhadap hak-hak hamba-Nya yang lemah yang tidak memiliki kekuatan dan senjata untuk melindungi hak-haknya.
Adapun menceritakan ni‘mat Allah, khususnya ni‘mat petunjuk dan keimanan, adalah salah satu bentuk kesyukuran kepada Pemberi ni‘mat. Ya‘ni, menyempurnakan kesyukurannya dengan berbuat kebajikan kepada sesama hamba-Nya, sebagai simbol perbuatan syukur. Kemudian melakukan pembicaraan yang tenang tentang ni‘mat yang bermanfaat dan mulia.