Surah adh-Dhuha 93 ~ Tafsir al-Azhar (2/2)

Dari Buku:
Tafsir al-Azhar
Oleh: Prof. Dr. HAMKA

Penerbit: PT. Pustaka Islam Surabaya

Rangkaian Pos: Surah adh-Dhuha 93 ~ Tafsir al-Azhar

Dan didapati-Nya engkau dalam keadaan miskin, lalu Dia cukupkan.” (ayat 8). Miskin hartabenda meskipun kaya budi, sampai akhirnya menerima sambutan kekayaan Khadījah dan berniaga ke Syam. Akhirnya pulang dari Syam kawin dengan janda kaya itu, sehingga sejak itu menjadi orang yang termasuk kayalah beliau di Makkah karena kekayaan istrinya.

Dari kecil yatim dipelihara oleh Tuhan. Dalam kebingungan diberi petunjuk oleh Tuhan. Dalam keadaan miskin, dinaikkan Tuhan jadi orang kaya. Ini semuanya adalah nikmat yang telah beliau terima lebih dahulu dan akan banyak nikmat lagi.

Untuk mensyukuri nikmat yang berganda lipat yang telah diterima dan akan diterima itu:

(Oleh sebab itu), adapun anak yatim, janganlah engkau hinakan.” (ayat 9).

Oleh sebab engkau sendiri telah merasai keyatiman itu, dan Allah sendiri yang menanamkan kasih-sayang kepada pengasuh-pengasuhmu di waktu engkau kecil, hendaklah engkau tunjukkan pula kasih-sayang kepada anak-anak yatim. Jangan engkau bersikap keras kepadanya, jangan mereka dipandang hina. Tanamkanlah perasaan pada anak-anak yatim itu bahwa mereka dibela, dibelai dan dikasihi.

Hartabenda mereka hendaklah terjamin baik sampai dapat mereka terima sendiri setelah mereka dewasa.

Ini berlaku sendiri dalam kehidupan Rasūlullāh. Bagaimana beliau memperlakukan anak-anak yatim, yang ayah mereka mati dalam perjuangan, jihād fī sabīlillāh. Ketika beliau meminang Ummi Salamah yang suaminya Abū Habsyi Salamah telah turut berjuang mendampingi Rasūlullāh, sampai hijrah ke Habsyi dan kemudian hijrah ke Madinah dan mati dalam jihad, meninggalkan anak-anak yatim, beliau katakan kepada Ummi Salamah, bahwa anak-anak yatim itu akan diasuh dan dididik bersama. Di antara anak-anak itu ialah Zainab. Beliau ini terkenal cerdas fikiran dalam ilmu fiqh. Selalu disebut namanya Zainab binti Abū Salamah, rabībatu Rasūlullāh, (anak tiri atau anak didik Rasūlullāh). Berkata Abū Rafī’ Ash-Shā’igh: “Kalau aku terkenang ahli-ahli fiqh di negeri Madinah, selalu aku teringat akan Zainab. Dia adalah perempuan yang paling ahli fiqh di Madinah.”

Ja‘far bin Abī Thālib adalah kepala rombongan yang hijrah ke negeri Habsyi dan tinggal di sana bertahun-tahun. Setelah dia pulang di tahun ketujuh hijrah, dia turut pergi ke berperang ke Mut’ah dan tewas syahid dalam peperangan itu bersama dengan Zaid bin Ḥāritsah dan ‘Abdullāh bin Rawāḥah.

Tiga hari setelah berita kematian Ja’far itu Rasūlullāh s.a.w. pergi melihati anak-anak yatim yang ditinggal mati oleh Ja’far itu. Lalu beliau berkata: “Jangan kalian menangis juga mengingati saudaraku Ja’far mulai hari ini.”

“Sejak hari itu kami beliau panggilkan “Ibnu Akhī” anak saudaraku” , kata ‘Abdullāh bin Ja‘far. Anak yatim Ja‘far bin Abī Thālib itu dua orang; Muḥammad dan ‘Abdullāh. Ketika ayahnya syahid anak-anak itu masih amat kecil-kecil, seorang digendong dan seorang dibimbing oleh ibunya. Lalu beliau s.a.w. menyuruh memanggil tukang cukur, beliau suruh cukur kepala anak-anak itu. Setelah itu beliau pegangi dan beliau kemban keduanya. Kepada Muḥammad beliau katakan: “Muḥammad ini menyerupai paman kami Abū Thālib. Tetapi ‘Abdullāh (yang kecil) menyerupai aku, baik rupanya atau bentuk badannya.” Kemudian beliau ambil tanganku kata ‘Abdullāh, diangkatkannya ke langit lalu beliau berdoa: “Ya Allah, turunkanlah pengganti Ja‘far dalam kalangan putera-puteranya, dan beri berkatlah ‘Abdullāh dalam segala usahanya.”

Maka mendekatlah ibu anak-anak itu kepada beliau dan airmatanya berlinang, sedih memikirkan anak-anak ini. Lalu beliau bersabda pula: “Jangan kau takut dan cemaskan keadaan mereka. Aku akan menjadi pengasuh mereka dunia dan akhirat.”

Kemudian hari, lama setelah Rasūlullāh s.a.w. meninggal, terkenallah ‘Abdullāh bin Ja’far karena kekayaannya dan kedermawanannya.

Makbul padanya doa Rasūlullāh.

Dan adapun orang yang datang bertanya, janganlah engkau hardik.” (ayat 10). As-Sā’il mempunyai dua arti. Yaitu bertanya dan meminta.

Dalam tafsiran menurut yang pertama, kalau datang orang menanyakan soal-soal agama yang musykil baginya dan dia tidak tahu, hendaklah beri dia jawaban yang memuaskan. Janganlah jengkel atau marah kepadanya jika ternyata dia bodoh. Inilah menurut tafsir Ar-Rāzī.

Tafsir yang kedua: “Jika ada orang datang meminta tolong, meminta bantu karena dia berkurangan, jangan engkau sambut dengan sifat angkuh dan menghardik.” Ini menurut Tafsir Ibnu Jarīr Ath-Thabarī.

Dan adapun dengan nikmat Tuhanmu, hendaklah engkau dermakan.” (ayat 11). Artinya syukurilah nikmat Tuhan yang telah engkau terima. Kekayaan yang bersifat benda atau bersifat kejiwaan, hendaklah engkau dermakan pula. Hendaklah engkau murah tangan dan hendaklah engkau nyatakan syukurmu kepada Tuhan atas nikmat itu. Janganlah engkau bakhil setelah beroleh kekayaan. Ingatlah betapa sakitnya hidup miskin sebagaimana telah engkau derita sebelum beristri Khadījah.

Ayat ini sangat pula mempengaruhi beliau. Sehingga kerapkalilah baju gamis atau jubah yang selalu beliau pakai sendiri, beliau hadiahkan kepada seseorang, setelah dilihatnya dengan mata yang kaya dengan firasat itu bahwa orang tersebut amat ingin akan pakaian yang beliau pakai.

Ini banyak diceritakan di dalam Hadis-hadis.

Berkata Ustāz-ul-Imām Syaikh Muḥammad ‘Abduh dalam tafsir Juzu’ ‘Ammanya: “Sudah menjadi kebiasaan orang yang bakhil menyembunyikan bahwa dia orang kaya, untuk jadi alasan baginya menahan dari memberikan bantuan kepada orang lain atau untuk kepentingan umum. Biasa saja dia mengatakan bahwa dia sedang susah! Adapun orang yang telah melatih diri jadi dermawan senantiasalah memberikan harta kurnia Allah yang telah diterimanya. Dan selalu dia memuji Tuhan, karena telah mencurahkan rezeki kepadanya. Lantaran itulah maka mendermakan harta, memberi makanan fakir dan miskin dan membantu orang-orang yang sangat memerlukan bantuan, di ujung ayat ini disebut faḥaddits, yang artinya secara harfiyah; hendaklah sebut-sebut! Bukan disebut–sebut dengan mulut, melainkan dibuktikan dengan perbuatan, sampai akhirnya mau tidak mau, jadi buah sebutan yang baik dari orang yang dibantu.

Ayat ini terhadap kepada Nabi Muḥammad, perluaslah bantuan kepada fakir miskin. Bukanlah artinya menyebut-nyebut saya kaya, kekayaan saya sekian; karena itu namanya membangga dan menyombong. Bukan itulah yang disuruhkan Allah kepada Rasūl-Nya. Tidak pernah tersebut dalam riwayat bahwa beliau membanggakan kekayaan. Yang tersebut hanyalah bagaimana cepatnya beliau mengeluarkan harta kekayaannya untuk membantu orang lain. Malahan kadang-kadang untuk keperluan dirinya sendiri dia lupa mengingatnya.” Demikian isi tafsir Syaikh Muḥammad ‘Abduh.

Dan kita lihatlah Sīrah atau riwayat hidup beliau s.a.w.. Di waktu di Makkah memang beliau kaya dengan hartabenda yang ditinggalkan Khadījah. Hartabenda itu pulalah yang menjaga muruah beliau, sehingga bagaimanapun besarnya rintangan kaum Quraisy, beliau tetap dapat menjaga gengsi dan martabat diri. Dan kemudian setelah hijrah ke Madinah terbukalah dunia ‘Arab di hadapannya, seluruh masyriq dan maghrib telah jatuh ke bawah kuasanya, dan Tuhan memberikan seperlima bahagian dari harta rampasan perang (ghanīmah) untuk beliau, dan yang empat perlima lagi untuk para mujahidin. Tetapi dicatatlah oleh riwayat bahwa pernah sebulan rumahnya tidak berasap, dan pernah beliau memulai niat puasa siang hari saja, karena persediaan makanan untuk sarapan pagi tidak ada di rumah. Dan seketika beliau meninggal dunia tidaklah ada pusaka warisan yang beliau tinggalkan selain dari setengah guni gandum, seekor unta tua dan sebuah tombak, tetapi tergadai pula di rumah seorang Yahudi.

Pernah beliau jelaskan: “Seperlima harta rampasan itu dijelaskan untuk aku. Tetapi dia pun aku kembalikan kepada kamu.” Yaitu fakir miskin, orang-orang tua, orang-orang lemah, orang sakit, anak-anak yatim yang semuanya itu tidak ada kesanggupan turut berperang fī Sabīlillāh.

Menurut riwayat mufassir Ibnu Katsīr, ada beberapa Hadis menerangkan bahwa setelah kita selesai membaca Sūrat-udh-Dhuḥā, sunnatlah kita membaca takbīr:

اللهُ أَكْبَرُ وَ للهِ الْحَمْدُ

Allāhu Akbar, Wa lillāh-il-ḥamd

Setelah selesai membaca Takbīr itu barulah kita teruskan membaca Sūratu Alam Nasyrah.

Syaikh Syihāb-ud-Dīn Abū Syāmah di dalam kitabnya “Syaraḥ-usy-Syathibiyah” meriwayatkan dari asy-Syāfi‘ī, bahwa asy-Syāfi‘ī mendengar seseorang membaca Takbīr sesudah membaca Sūrat-udh-Dhuḥā dalam sembahyang. Lalu beliau berkata: “Perbuatanmu itu baik dan telah tepat menurut sunnah.”

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *