Surat ke-93, 11 Ayat
Diturunkan di Makkah
بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ
Dengan Nama Allah, Maha Pengasih, Maha Penyayang
وَ الضُّحَى. وَ اللَّيْلِ إِذَا سَجَى. مَا وَدَّعَكَ رَبُّكَ وَ مَا قَلَى. وَ لَلْآخِرَةُ خَيْرٌ لَّكَ مِنَ الْأُولَى. وَ لَسَوْفَ يُعْطِيْكَ رَبُّكَ فَتَرْضَى.
093: 1. Demi waktu matahari sepenggalahan naik,
093: 2. dan demi malam apabila telah sunyi,
093: 3. Tuhanmu tiada meninggalkan kamu dan tiada (pula) benci padamu,
093: 4. dan sesungguhnya akhir itu lebih baik bagimu dari permulaan.
093: 5. Dan kelak Tuhanmu pasti memberikan karunia-Nya kepadamu, lalu (hati) kamu menjadi puas.
“Demi waktu dhuḥā.” (ayat 1). Di ayat pertama ini Tuhan bersumpah, tegasnya memerintahkan kita memperhatikan waktu dhuḥā. Waktu dhuḥā ialah sejak pagi setelah matahari terbit, sampai naik sampai menjelang tengahari. Di dalam bahasa Melayu lama disebut “sepenggalah matahari naik.” Apabila matahari telah sampai di pertengahan langit, yang disebut “tengah-hari”, waktu dhuḥā tidak ada lagi.
Terdapat Hadis-hadis yang shaḥīḥ menganjurkan kita sembahyang sunnat sekurangnya 2 rakaat, atau 4 rakaat, atau sampai 8 rakaat; dua rakaat satu salam pada waktu dhuḥā itu.
Waktu dhuḥā diambil persumpahan oleh Tuhan untuk menarik perhatian kita kepadanya. Mungkin oleh karena di waktu yang demikian kita sedang lincah, kekuatan dan kesegaran masih ada berkat tidur yang nyenyak pada malamnya. Maka di waktu Dhuḥā itulah kesempatan yang baik untuk berusaha di muka bumi Allah, sepanjang yang dianjurkan oleh Allah sendiri. (Lihat Surat 67, Al-Mulk; 15).
“Demi malam, apabila dia sudah sunyi-senyap.” (ayat 2). Sumpah peringatan atas malam apabila sudah sunyi senyap ialah memperingatkan betapa penting manusia istirahat mengambil kekuatan baru di malam hari untuk berjuang hidup lagi pada besok harinya. Dan kelak apabila telah masuk dua pertiga malam, kira-kira sekitar pukul 3 hari akan siang di daerah Khath-ul-Istiwā ini, dianjurkan pulalah kita melakukan sembahyang tahajjud dan ditutup dengan witir, sekurangnya 8 rakaat dan lebihnya berapa kita sanggup. Sehabis sembahyang kita duduk memohon ampun kepada Ilahi atau membawa al-Qur’ān sampai waktu Subuh datang.
Sesudah Tuhan mengambil sumpah dengan waktu dhuḥā dan larut malam itu, barulah Tuhan menuju apa yang Dia maksudkan dengan sumpah tersebut:
“Tidaklah Tuhanmu membuangmu, dan tidaklah Dia marah.” (ayat 3). Artinya secara harfiyah “tidaklah Tuhanmu mengucapkan selamat tinggal kepadamu” sehingga engkau merasa kesepian sebab Jibril tidak akan datang lagi. Dan tidaklah Tuhan marah sehingga engkau tidak diperdulikan lagi.
Menurut tafsir Ibnu Jarīr, pernah beberapa lamanya terhenti turunnya wahyu, sehingga belum ada lagi sambungan al-Qur’ān yang akan disampaikan oleh beliau s.a.w. kepada manusia, sehingga merasa sepilah Nabi s.a.w.. Dan hal ini diketahui oleh kaum musyrikin, sampai mereka berkata: “Muḥammad sudah diucapi selamat tinggal oleh Tuhannya dan telah dimarahi.” Yang mengatakan demikian ialah isteri Abū Lahab. Lantaran itu datanglah ayat ini; bahwasanya persangkaan kaum musyrikin itu tidaklah benar, Tuhan tidak pernah meninggalkan Nabi-Nya dan tidak pernah marah kepadanya. Dia selalu didampingi oleh Tuhannya.
“Dan sesungguhnya kesudahan itu, lebih baik bagimu daripada permulaan.” (ayat 4).
Janganlah berdukacita jika kadang-kadang terlambat datang wahyu itu kepadamu. Menurut tafsiran dari al-Qāsimī: “Yang diujung pekerjaanmu ini akan lebih baik dari permulaannya.” Artinya jika di permulaan ini kelihatan agak sendat jalannya, banyak tantangan dan perlawanan, namun akhir kelaknya engkau akan mendapat hasil yang gilang-gemilang.
Dengan ayat ini diberikanlah kepada Rasūl s.a.w. dan kepada orang yang menyambung usaha Rasūl suatu tuntunan hidup, agar merasa besar hati dan besar harapan melihat zaman depan. Meskipun perjuangan itu dimulai dengan serba kesusahan, namun pada akhirnya kelak akan didapat hasil yang baik. Dan ini bertemu dalam sejarah kebangkitan Islam.
Asal pekerjaan telah dimulai, akhir pekerjaan niscaya akan mendapati yang lebih baik daripada yang permulaan. Yang pokok ialah keteguhan niat dan azam disertai sabar dan tabah hati.
“Dan sesungguhnya Tuhanmu akan memberi kepadamu, sehingga engkau ridhā.” (ayat 5). Ayat ini pun berisi janji harapan yang disampaikan Tuhan sebagai bujukan kepada utusan-Nya yang dikasihi-Nya. Bahwa banyaklah kurnia dan anugerah yang akan diberikan kepadanya kelak, sambil jalan dari permulaan menuju kesudahan itu, terutama anugerah ketinggian gensi dan martabat, kesempurnaan jiwa dan kebesaran peribadi, ilmu dunia dan akhirat, pengetahuan tentang ummat-ummat yang dahulu, kemenangan menghadapi musuh-musuh, ketinggian agama dan pernaklukan beberapa negeri; baik yang terjadi di zaman beliau sendiri atau di zaman khalifah-khalifah beliau, dan akan tersebarlah agama ini ke seluruh dunia, ke Timur dan ke Barat, yang semuanya itu akan mendatangkan ridhā, atau senang bahagia dalam hati Nabi Muḥammad s.a.w..
Itulah rentetan bujukan dan obat penawar hati bagi Nabi s.a.w. seketika agak terlambat wahyu bersambung datang. Suatu peringatan bahwa perjalanan ini masih jauh dan kemenangan terakhir akan ada pada beliau.
أَلَمْ يَجِدْكَ يَتِيْمًا فَآوَى. وَ وَجَدَكَ ضَالًّا فَهَدَى. وَ وَجَدَكَ عَائِلًا فَأَغْنَى. فَأَمَّا الْيَتِيْمَ فَلَا تَقْهَرْ. وَ أَمَّا السَّائِلَ فَلَا تَنْهَرْ. وَ أَمَّا بِنِعْمَةِ رَبِّكَ فَحَدِّثْ
093: 6. Bukankah Dia mendapatimu sebagai seorang yatim, lalu Dia melindungimu.
093: 7. Dan Dia mendapatimu sebagai seorang yang bingung, lalu Dia memberikan petunjuk.
093: 8. Dan Dia mendapatimu sebagai seorang yang kekurangan, lalu Dia memberikan kecukupan.
093: 9. Adapun terhadap anak yatim maka janganlah kamu berlaku sewenang-wenang.
093: 10. Dan terhadap orang yang minta-minta maka janganlah kamu menghardiknya.
093: 11. Dan terhadap nikmat Tuhanmu maka hendaklah kamu menyebut-nyebutnya (dengan bersyukur).
“Bukankah Dia dapati engkau dalam keadaan yatim, lalu Dia pelihara engkau?” (ayat 6).
Ini adalah lanjutan bujukan Tuhan pada ayat sebelumnya, bahwa Allah akan memberi kurnia kepada beliau sebanyak-banyaknya, sehingga beliau merasa ridha, senang gembira. Yang demikian itu adalah kurnia yang dijanjikan. Adapun sebelum nikmat itu pun telah banyak, banyak sekali. Lalu Tuhan Allah memperingatkan nikmat yang beliau terima sejak beliau kecil. Ayah beliau telah meninggal semasa beliau lagi dalam kandungan ibunya 2 bulan. Setelah dia lahir ke dunia, sejak dari penjagaan ibu yang menyusukan beliau di desa Bani Sa‘ad, yang bernama Ḥalīmat-us-Sa‘diyah, sampai pulangnya ke Makkah dalam usia 4 tahun, sampai dalam pemeliharaan neneknya ‘Abd-ul-Muththalib, sampai pula kepada sambutan pemeliharaan Abū Thālib saudara ayahnya, jelas sekali pada semuanya itu bahwa beliau tidak pernah lepas dari pemeliharaan dan pengasuhan Allah.
“Dan didapati-Nya engkau dalam keadaan bingung, lalu Dia pimpin?” (ayat 7). Sejak masa muda belianya telah kelihatan beliau tidak menyukai perbuatan-perbuatan kaumnya, menyembah berhala, menternakkan uang dengan riba, memperbudak sesama manusia dengan sesuka hati, menguburkan anak-anak perempuan hidup-hidup. Kadang-kadang berperang di antara satu kabilah dengan kabilah yang lain hanya karena soal-soal kecil. Beliau menolak semuanya itu. Tetapi beliau bingung, tak tahu jalan, bagaimana memperbaiki kebobrokan yang didapatinya dalam masyarakat ini. Lalu tertariklah hatinya hendak menyisihkan diri, menjari kejernihan pada jiwa, memohonkan petunjuk kepada Allah, maka datanglah wahyu. Dan diceritakan pula bahwa wahyu itu datang bertingkat-tingkat. Mulanya berupa suatu mimpi yang benar, kemudian sebagai bunyi lonceng. Akhirnya datanglah malaikat membawa wahyu pertama di gua Hirā’. Dengan datangnya wahyu sebagai hidayat daripada Allah, hilanglah kebingungan beliau dan dapatlah beliau memimpin kaumnya dan bangsa dan dunia seluruhnya.