Surah al-‘Alaq 96 ~ Tafsir Sayyid Quthb (3/3)

Dari Buku:
Tafsīr fi Zhilāl-il-Qur’ān
Oleh: Sayyid Quthb
 
Penerbit: Gema Insani

Rangkaian Pos: Surah al-'Alaq 96 ~ Tafsir Sayyid Quthb

Adakalanya beliau mengucapkan doa ini:

Kami memasuki waktu pagi dan adalah segala kerajaan milik Allah. Segala puji kepunyaan Allah, dan tidak ada tuhan kecuali Allah Yang Esa, tiada sekutu bagi-Nya. Kepunyaan-Nyalah segala kekuasaan dan kepunyaan-Nyalah segala puji. Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu. Ya Tuhan, aku memohon kepada-Mu kebaikan sesuatu pada hari ini dan kebaikan sesuatu yang ada sesudahnya, dan aku berlindung kepada-Mu dari kejelekan sesuatu pada hari ini dan kejelekan sesuatu sesudahnya. Ya Tuhan, aku berlindung kepada-Mu dari malas dan buruknya kesombongan. Ya Tuhan, aku berlindung kepada-Mu dari siksa neraka dan siksa di dalam kubur.

Apabila memasuki waktu sore, beliau mengucapkan:

أَمْسَيْنَا وَ أَمْسَى الْمُلْكُ للهِ…..

Kami memasuki waktu petang, dan adalah segala kekuasaan itu milik Allah….” (dan seterusnya hingga akhir doa seperti di atas).” (Diriwayatkan oleh Muslim).

Dalam sebuah hadits shaḥīḥ disebutkan bahwa Abū Bakar ash-Shiddīq r.a. berkata kepada Rasūlullāh s.a.w.: “Suruhlah aku mengucapkan kalimat-kalimat apabila aku memasuki waktu pagi dan waktu petang.” Beliau bersabda: “Ucapkanlah:

اللهُمَّ فَاطِرَ السَّمَاوَاتِ وَ الْأَرْضِ، عَالِمَ الْغَيْبِ وَ الشَّهَادَةِ، رَبذَ كُلَّ شَيْءٍ وَ مَلِيْكَهُ وَ مَالِكَهُ. أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلهَ إِلَّا أَنْتَ، أَعُوْذُ بِكَ مِنْ شَرِّ نَفْسِيْ وَ شَرِّ الشَّيْطَانِ وَ شِرْكِهِ، وَ أَنْ أَقْتَرِفَ عَلَى نَفْسِيْ سُوْءًا، أَوْ أَجُرَّهُ إِلَى مُسْلِمٍ.

Ya Allah, Pencipta langit dan bumi, Yang Mengetahui segala yang ghaib dan yang nyata, Tuhan bagi segala sesuatu, Penguasanya dan Pemiliknya. Aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Engkau. Aku berlindung kepada-Mu dari keburukan diriku, dari keburukan syaithān dan sekutu-sekutunya, dan dari melakukan kejelekan atas diriku atau menimpakannya kepada orang Muslim lain.”

Beliau bersabda: “Ucapkanlah doa itu ketika engkau memasuki waktu pagi dan waktu petang, dan ketika engkau hendak tidur.”

Kemudian beliau menyebutkan beberapa hadits yang shaḥīḥ berikut ini.

Nabi s.a.w. apabila mengenakan pakaian baru, maka beliau sebut namanya (surban, baju, atau selendang) lalu beliau mengucapkan:

اللهُمَّ لَكَ الْحَمْدُ، أَنْتَ كَسَوْتَنِيْهِ، أَسْأَلُكَ خَيْرَهُ وَ خَيْرَ مَا صُنِعِ لَهُ، وَ أَعُوْذُ بِكَ مِنْ شَرِّهِ وَ شَرِّ مَا صُنِعَ لَهُ.

Ya Allah, kepunyaan-Mu segala puji. Engkau telah mengenakannya kepadaku. Aku memohon kepada-Mu akan kebaikan dan kebaikan sesuatu yang diciptakan untuknya. Aku berlindung kepadamu dari keburukannya dan keburukan sesuatu yang diciptakan untuknya.” (Hadits Shaḥīḥ).

Diriwayatkan dari Rasūlullāh s.a.w. bahwa apabila pulang dari bepergian, beliau mengucapkan:

الْحَمْدُ للهِ كَفَانِيْ وَ آوَانِيْ، وَ الْحَمْدُ للهِ الَّذِيْ أَطْعَمَنِيْ وَ سَقَانِيْ، وَ الْحَمْدُ للهِ الَّذِيْ مَنَّ عَلَيَّ. أَسْأَلُكَ أَنْ تُجِيْرَنِيْ مِنَ النَّارِ.

Segala puji kepunyaan Allah yang telah mencukupi dan melindungiku. Segala puji kepunyaan Allah yang telah memberiku makan dan minum. Segala puji kepunyaan Allah yang telah memberi ni‘mat kepadaku. Aku mohon kepada-Mu agar Engkau lindungi aku dari neraka.”

Diriwayatkan dalam Shaḥīḥ Bukhārī dan Muslim, bahwa apabila masuk ke kamar kecil (W.C.) beliau berdoa:

اللهُمَّ إِنِّيْ أَعُوْذُ بِكَ مِنَ الْخُبُثِ وَ الْخَبَائِثِ.

Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari jinn laki-laki dan jinn wanita.”

Apabila beliau keluar dari kamar kecil, beliau mengucapkan:

غُفْرَانَكَ.

Aku memohon ampun kepada-Mu.”

Dalam hadits riwayat Ibnu Mājah disebutkan bahwa apabila keluar dari kamar kecil beliau mengucapkan:

الْحَمْدُ للهِ الَّذِيْ أَذْهَبَ عَنِّي الْأَذَى وَ عَافَانِيْ.

Segala puji kepunyaan Allah yang telah menghilangkan kotoran dariku dan telah menyehatkanku.”

Diriwayatkan dari Rasūlullāh s.a.w. bahwa beliau meletakkan tangan beliau di dalam bejana yang terdapat air di dalamnya, lalu bersabda kepada sahabat-sahabat: “Berwudhū’lah dengan mengucapkan bismillāh…..!

Diriwayatkan juga bahwa apabila melihat bulan sabit (tanggal satu bulan qamariyyah), beliau mengucapkan:

اللهُمَّ أَهِلَّهُ عَلَيْنَا بِالْأَمْنِ وَ الْإِيْمَانِ، وَ السَّلَامَة وَ الْإِسْلَامِ. رَبِّيْ وَ رَبُّكَ اللهُ.

Ya Allah, tampakkanlah bulan sabit itu kepada kami dengan membawa keamanan dan keimanan, keselamatan dan keislaman. Tuhanku dan Tuhanmu (wahai bulan sabit) adalah Allah.” (Tirmidzī berkata: “Ini adalah hadits ḥasan.”).

Apabila Nabi s.a.w. meletakkan tangannya pada makanan, beliau mengucapkan: “Bismillāh”, dan menyuruh orang yang hendak makan supaya mengucapkan “Bismillāh”. Kemudian beliau bersabda:

إِذَا أَكَلَ أَحَدُكُمْ فَلْيَذْكُرِ اسْمَ اللهِ تَعَالَى، فَإِنْ نَسِيَ أَنْ يَذْكُرَ اسْمَ اللهِ فِيْ أَوَّلِهِ فَلْيَقُلْ: بِاسْمِ اللهِ فِيْ أَوَّلِهِ وَ آخِرِهِ.

Apabila salah seorang dari kamu hendak makan maka hendaklah ia menyebut nama Allah ta‘ālā. Jika lupa menyebut nama Allah pada permulaannya, maka hendaklah ia mengucapkan: “Bismillāhi fī awwalihi wa ākhirihi” “Dengan menyebut nama Allah pada permulaannya dan akhirnya.” (Hadits Shaḥīḥ).

Demikianlah kehidupan Rasūlullāh s.a.w. dengan seluruh segi dan aktivitasnya berkat pengaruh pengarahan Ilahi yang beliau terima pada masa pertama. Pandangan imaninya berdiri di atas landasan pokok yang dalam.

Orang yang Lupa Daratan.

Di antara konsekuensi hakikat bahwa Allah adalah yang menciptakan, mengajarkan, dan memuliakan manusia, maka hendaklah manusia mengerti dan mengakui yang demikian ini serta mensyukurinya. Akan tetapi, yang terjadi justru sebaliknya. Penyimpangan inilah yang menjadi topik pembicaraan pada segmen kedua surah al-‘Alaq:

كَلَّا إِنَّ الْإِنْسَانَ لَيَطْغَى. أَنْ رَّآهُ اسْتَغْنَى. إِنَّ إِلَى رَبِّكَ الرُّجْعَى.

Ketahuilah! Sesungguhnya manusia benar-benar melampaui batas, karena dia melihat dirinya serba cukup. Sesungguhnya hanya kepada Tuhanmulah kembali (mu)” (al-‘Alaq: 6-8).

Sesungguhnya yang memberi ni‘mat dan kekayaan kepadanya adalah Allah, sebagaimana Dia pula yang telah menciptakan, memuliakan, dan mengajarinya. Akan tetapi, manusia secara umum, kecuali orang yang terpelihara oleh imannya, tidak mau bersyukur ketika diberi ni‘mat. Lantas, dia merasa dirinya serba cukup dan tidak mengetahui sumber ni‘mat dan kecukupan itu. Padahal, Allah-lah sumber yang telah menciptakan dirinya dan memberinya pengetahuan, kemudian memberinya rezeki. Kemudian manusia itu melampaui batas dan durhaka, congkak dan sombong, padahal semestinya dia harus mengakui ni‘mat Allah dan mensyukurinya.

Ketika tampak potret manusia yang melampaui batas dan melupakan asal-usulnya serta bersikap sombong karena melihat dirinya kaya dan merasa serba cukup, maka datanglah ancaman yang menakutkan:

Sesungguhnya hanya kepada Tuhanmulah kembali (mu)” (al-‘Alaq: 8).

Maka, hendak pergi ke manakah orang yang melampaui batas dan merasa dirinya serba cukup itu?!

Pada waktu yang sama, tampak pula kaidah lain dari kaidah-kaidah tashawwur īmānī, yaitu kaidah kembali kepada Allah. Kembali kepadanya dalam segala hal dan segala urusan, segala niat dan segala gerak, karena tidak ada tempat kembali lagi selain kepada Allah. Kepada-Nyalah akan kembali orang yang shāliḥ dan yang thāliḥ “durhaka”, orang yang taat dan yang suka bermaksiat, yang berpihak kepada kebenaran dan yang berpihak kepada kebāthilan, yang baik dan yang buruk, yang kaya dan yang miskin. Kepada-Nya pula akan kembali orang yang melampaui batas karena merasa dirinya serab cukup. Ingatlah, kepada Allah-lah kembali semua urusan. Dari Allah-lah asal-usul penciptaan dan kepada-Nya akan kembali.

Demikianlah berkumpul dalam kedua segmen ini ujung-ujung tashawwur īmānī, penciptaan dan kejadian, pemuliaan dan pengajaran. Kemudian kembali dan kembali hanya kepada Allah saja, tanpa ada yang bersekutu dengan-Nya: “Sesungguhnya kepada Tuhanmulah kembali(mu).”

Tindakan Melampaui Batas.

Selanjutnya, segmen ketiga dari surah yang pendek ini membentangkan salah satu gambaran tentang tindakan melampaui batas. Yaitu, gambaran yang mungkar dan mengherankan, sangat buruk dan amat jelek yang digambarkan oleh al-Qur’ān dengan metode yang unik.

أَرَأَيْتَ الَّذِيْ يَنْهَى. عَبْدًا إِذَا صَلَّى. أَرَأَيْتَ إِنْ كَانَ عَلَى الْهُدَى. أَوْ أَمَرَ بِالتَّقْوَى. أَرَأَيْتَ إِنْ كَذَّبَ وَ تَوَلَّى. أَلَمْ يَعْلَمْ بِأَنَّ اللهَ يَرَى.

Bagaimana pendapatmu tentang orang yang melarang, seorang hamba ketika dia mengerjakan shalat? Bagaimana pendapatmu jika orang yang dilarang itu berada di atas kebenaran, atau dia menyuruh bertaqwā (kepada Allah)? Bagaimana pendapatmu jika orang yang melarang itu mendustakan dan berpaling? Tidakkah dia mengetahui bahwa Allah melihat segala perbuatannya?” (al-‘Alaq: 9-14).

Menjelekkan dan menunjukkan keheranan, tampak jelas di dalam pengungkapan itu. Pengungkapan itu sulit dilakukan dalam bahasa tulis manusia. Juga tidak bisa dipenuhi kecuali dengan metode penyampaian yang hidup, yang diungkapkan dengan sentuhan-sentuhan terpotong-potong dengan ringan dan cepat.

Bagaimana pendapatmu…..?

Bagaimana pendapatmu terhadap perkara yang sangat mungkar ini? Apakah engkau memandang bahwa hal itu dapat terjadi?

Bagaimana pendapatmu terhadap orang yang melarang, seorang hamba ketika dia mengerjakan shalat?” (al-‘Alaq: 9-10).

Bagaimana pendapatmu ketika satu keburukan berhimpun dengan keburukan lainnya? Bagaimana pendapatmu jika orang yang mengerjakan shalat dan dilarang mengerjakannya berada di atas petunjuk atau menyuruh bertaqwā? Bagaimana pendapatmu jika dia mencegah orang yang mencegahnya melakukan shalat, di samping dia berada di atas petunjuk, dia juga menyuruh bertaqwā kepada Allah?

Bagaimana pendapatmu jika perbuatan yang mungkar itu ditambah lagi dengan perbuatan mungkar lainnya yang lebih buruk?

Bagaimana pendapatmu jika orang yang melarang itu mendustakan dan berpaling?” (al-‘Alaq: 13).

Di sini datanglah ancaman yang terselubung sebagaimana disebutkan pada akhir segmen sebelumnya:

Tidakkah dia mengetahui bahwa sesungguhnya Allah melihat segala perbuatannya?” (al-‘Alaq: 14).

Ketahuilah bahwa Allah melihat pendustaan dan berpalingnya. Dia melihat bagaimana orang itu melarang seorang mu’min yang hendak mengerjakan shalat, padahal ia berada di atas petunjuk dan menyuruh bertaqwā kepada Allah. Dia melihat semua itu, dan apa yang bakal terjadi sesudahnya! “Tidakkah dia mengetahui bahwa sesungguhnya Allah melihat segala perbuatannya?

Di depan pemandangan berupa kezhāliman yang berhadapan dengan dakwah dan iman, serta berhadapan dengan ketaatan ini, datanglah ancaman yang pasti dan tegas serta transparan, tidak terselubung lagi:

Ketahuilah, sungguh jika dia tidak berhenti (berbuat demikian) niscaya Kami tarik ubun-ubunnya, (yaitu) ubun-ubun orang yang mendustakan lagi durhaka. Maka, biarlah dia memanggil golongannya (untuk menolongnya). Kelak Kami akan memanggil malaikat Zabāniyah.” (al-‘Alaq: 15-18).

Ini adalah ancaman yang terang-terangan, dengan menggunakan kata-kata yang keras dan tegas: “Ketahuilah, sungguh jika dia tidak berhenti (berbuat demikian) niscaya Kami tarik ubun-ubunnya!

Niscaya Kami tarik…..”, perkataan keras yang menggambarkan ma‘nanya. As-safa’ berarti keras; dan an-nāshiyah berarti ubun-ubun, yang merupakan tempat atau bagian fisik yang didongakkan orang yang aniaya dan sombong itu. Ubun-ubun kepala yang pantas ditarik dan dibanting: “(yaitu) ubun-ubun orang yang mendustakan lagi durhaka.” Itulah saat baginya untuk ditarik dan dibanting.

Boleh jadi akan timbul ide untuk memanggil orang yang dibanggakan dan diandalkan dari kalangan keluarga dan kawan-kawannya: “Biarlah dia memanggil golongannya (untuk menolongnya)” Adapun Kami, maka Kami “akan memanggil malaikat Zabāniyah” yang sangat tegas dan keras. Dengan demikian, peperangan ini jelas merupakan peperangan di tempat kembali (akhirat) nanti.

Di bawah sorotan tempat kembali yang menakutkan itu, ditutuplah surah ini dengan menggarahkan orang yang beriman serta taat agar konsisten dan mantap atas keimanan dan ketaatannya.

Sekali-kali jangan, janganlah kamu patuh kepadanya. Sujūdlah dan dekatkanlah (dirimu kepada Tuhan).” (al-‘Alaq: 19).

Sekali-kali jangan! Jangan kamu patuhi orang yang melarang shalat dan dakwah. Sujūdlah kepada Tuhanmu dan dekatkanlah dirimu kepada-Nya dengan melakukan ketaatan dan ‘ibādah kepada-Nya. Biarkanlah orang yang aniaya itu, yang suka menghalangi orang mengerjakan shalat dan berbuat kebajikan. Biarkanlah dia diurusi malaikat Zabāniyah!

Terdapat beberapa riwayat shaḥīḥ yang menerangkan bahwa surah ini, selain segmen pertama, turun mengenai Abū Jahal ketika ia melewati Rasūlullāh s.a.w. Ya‘ni, sewaktu beliau mengerjakan shalat di maqam Ibrāhīm, lalu Abū Jahal berkata kepada beliau: “Hai Muḥammad! Bukankah aku telah melarangmu melakukan hal ini?” Kemudian ia mengancam beliau.

Rasūlullāh s.a.w. sangat marah lalu membentaknya. Beliau mencekik lehernya seraya berkata: “Celakalah kamu! Celakalah kamu…!” Kemudian ia berkata: “Hai Muḥammad, dengan cara apa kamu akan mengancamku? Ketahuilah, demi Allah, sesungguhnya aku lebih banyak golonganku di lembah ini!” Lalu Allah menurunkan firman-Nya: “Maka, biarlah dia memanggil golongannya (untuk menolongnya)…..” Ibnu ‘Abbās berkata: “Seandainya dia memanggil golongannya, niscaya malaikat ‘adzāb akan menghukumnya saat itu pula.”

Akan tetapi, petunjuk surah itu bersifat umum, mengenai setiap orang mu’min yang taat, rajin ber‘ibādah, dan suka menyeru ke jalan Allah. Juga meliputi semua orang yang aniaya, melewati batas, melarang orang mengerjakan shalat, mengancam dan menakut-nakuti orang yang taat, dan menyombongkan kekuatannya.

Pengarahan Rabbānī yang terakhir: “Sekali-kali jangan, janganlah kamu patuh kepadanya. Sujudlah dan dekatkanlah (dirimu kepada Tuhan)

 

Dengan demikian, serasilah seluruh segmen surah ini. Kesan-kesan dan petunjuknya saling melengkapi.

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *